• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perikanan cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan didominasi usaha perikanan skala kecil. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan teknologi (armada dan penggunaan alat tangkap) maupun manajemen perikanan (tenaga kerja dan sistem bagi hasil) serta operasional di daerah penangkapan cumi-cumi. Permasalahan pada perikanan cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan yaitu adanya aktivitas penambangan timah yang dapat memberikan dampak terhadap perikanan cumi- cumi dan produktivitas perikanan cumi-cumi. Hal tersebut dapat dilihat melalui kondisi perikanan cumi-cumi seperti unit penangkapan, tingkat pendapatan dan sistem bagi hasil serta hasil tangkapan, potensi sumber daya cumi-cumi meliputi tingkat pemanfaatan dan laju degredasi sumberdaya cumi-cumi. Sedangkan dampak pada aktivitas penambangan timah yaitu kondisi kualitas perairan dan dampak terhadap perikanan cumi-cumi melalui proses bioakumulasi. Dirjen Perikanan Tangkap (2006) menyatakan permasalahan pada pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil dikelompokkan dalam sepuluh permasalahan dan diperingkatkan yaitu produktivitas dan efisiensi usaha, pengawasan dan pengendalian SDI, SDI dan lingkungan, permodalan, SDM, prasarana, sarana dan

pelayanan usaha, mutu dan nilai hasil tangkapan, pemasaran, kelembagaan nelayan dan sosial ekonomi nelayan.

Perikanan cumi-cumi idealnya dapat dikembangkan jika dapat menjabarkan dalam suatu arah kebijakan yang dipersiapkan terutama dalam menghadapi benturan antara sektor perikanan laut dengan sektor pertambangan laut yang hingga saat ini belum terselesaikan secara maksimal. Guna keberlanjutan perikanan cumi-cumi di kabupaten Bangka Selatan, maka perlu dilakukan langkah-langkah kebijakan yang diawali dengan kegiatan penelitian.

Perairan Kabupaten Bangka Selatan dapat digolongkan ke dalam 2 daerah penangkapan cumi-cumi, yaitu daerah penangkapan cumi-cumi di luar daerah penambangan timah (Kecamatan Kepulauan Pongok, Lepar Pongok, dan Tukak Sadai) dan daerah penangkapan cumi-cumi di daerah penambangan timah (Kecamatan Toboali, Pulau Besar dan Simpang Rimba). Ke dua daerah Panangkapan cumi-cumi tersebut merupakan daerah pesisir dengan 6 kecamatan yang merupakan lokasi fishing base aktivitas penangkapan cumi-cumi. Jangkauan fishing ground di daerah penambangan timah yaitu 2-4 mil dari fishing base

(kurang dari 6 mil dari pantai) dengan kedalaman mencapai 10,5-30 m.

Tumpang tindihnya daerah penangkapan cumi-cumi dengan daerah penambangan timah menyebabkan nelayan dalam melakukan aktivitas penangkapan cumi-cumi berada pada sekitar daerah yang terdapat aktivitas penambangan timah baik kapal keruk, kapal isap maupun TI apung yang berada

pada kuasa penambangan (KP) baik yang dimiliki oleh perusahaan BUMN

maupun Pemerintah Daerah. Hal tersebut menyebabkan nelayan melakukan upaya penangkapan cumi-cumi pada daerah yang memiliki resiko hasil tangkapan yang terbatas dengan armada penangkapan berukuran < 5 GT, dan alat tangkap yang digunakan di daerah penambangan yaitu bagan tancap dan pancing. Jika dibandingkan dengan armada penangkapan cumi-cumi di luar daerah penambangan timah, armada bagan perahu memiliki ukuran sebesar 15 GT dan pancing serta bagan tancap memiliki ukuran kapal < 5GT. Hasil tangkapan yang

102

diperoleh alat tangkap tersebut lebih banyak dibandingkan dengan alat tangkap yang beroperasi di daerah penambangan timah.

Intensitas penangkapan cumi-cumi tertinggi pada perairan Kabupaten Bangka Selatan berdasarkan hasil penelitian yaitu berada di luar daerah penambangan timah. Hal ini diduga karena daerah penangkapan cumi-cumi di luar daerah penambangan timah memiliki ketersediaan makanan seperti ikan-ikan kecil lebih tinggi dibandingkan dengan ketersediaan makanan di daerah penambangan timah. Hal ini sesuai dengan penjelasan Nyuja et al. (2002) bahwa

ketersediaan makanan akan mempengaruhi kelimpahan, migrasi dan distribusi cumi-cumi. Jika dilihat dari produksi penangkapan cumi-cumi, maka tidak terlepas dari produktivitas jenis alat tangkap yang digunakan.

Jika dilihat dari alat tangkap cumi-cumi, maka keberlanjutan dari unit penangkapan cumi-cumi merupakan hal penting yang perlu diseleksi guna memastikan bahwa pengoperasiannya menjamin keberlanjutan ketersediaan sumber daya cumi-cumi di perairan Kabupaten Bangka Selatan dan keberlanjutan pemanfaatanya. Pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi oleh nelayan di perairan Kabupaten Bangka Selatan baik di luar daerah penambangan maupun daerah penambangan timah laut secara optimal perlu didukung oleh teknologi pada unit penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan atau unggulan.

Unit penangkapan tepat guna atau berwawasan lingkungan memiliki kriteria (1) bila ditinjau dari segi biologi penangkapan yang akan dikembangkan tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya; (2) secara teknis efektif digunakan; (3) dari segi sosial dapat diterima oleh masyarakat nelayan; dan (4) secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan (Haluan dan Nurani 1993).

Regulasi mengenai pengaturan alat tangkap juga harus diiringi dengan adanya upaya restocking terhadap perairan yang ada, sehingga degredasi

lingkungan dapat dikendalikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hamdan et al.,

(2006), bahwa pengaturan alat tangkap harus diiringi dengan upaya restocking

terhadap perairan yang ada sehingga tidak menyebabkan terjadinya degredasi lingkungan yang berakibat buruk kepada produksi perikanan.

Produksi aktual perikanan cumi-cumi dari tahun 2009-2013 di Kabupaten Bangka Selatan dengan rata-rata sebesar 4.963,06 ton per tahun dengan effort

sebesar 103.613 trip per tahun belum mencapai estimasi produksi lestari yaitu 134.702,17 ton per tahun dengan effort 113.840.00 trip per tahun. Jumlah

produksi aktual dan upaya penangkapan aktual yang berada dibawah angka estimasi produksi dan upaya penangkapan baik pada kondisi lestari maupun pada rente ekonomi maksimum memberikan indikasi bahwa sumberdaya cumi-cumi di Kabupaten Bangka Selatan dapat terus dikembangkan.

Pengembangan sumberdaya cumi-cumi secara optimal dimana potensi sumberdaya diharapkan dapat dikelola secara berkelanjutan melalui kegiatan penangkapan yang diarahkan pada daerah di luar daerah penambangan. Pengelolaan sumberdaya cumi-cumi di perairan Kabupaten Bangka Selatan belum mengalami overfishing, baik secara biologi maupun ekonomi. Hal ini dilihat dari

angka effort aktual sebesar 103.613 trip per tahun lebih kecil dari effort MSY

sebesar 113.840.00 trip per tahun dan OA sebesar 221.195.00 trip per tahun.

Pengelolaan sumberdaya cumi-cumi secara berkelanjutan selain memberikan ruang laut melalui kawasan konservasi laut daerah/kawasan konservasi perairan,

103

dalam mempertahankan daya dukung lingkungan diperlukan juga suatu pengembangan metode yang tepat guna dan kelestarian sumberdaya yang ada tidak merusak lingkungan dan dapat terjaga serta pemanfaatannya berkelanjutan. Hal ini sesuai dengan Baskoro dan Mustaruddin (2010) bahwa untuk mempertahankan daya dukung lingkungan, diperlukan suatu pengembangan metode yang tepat guna, pemanfaatan sumberdaya yang ada tidak merusak lingkungan, kelestarian sumberdaya yang ada tidak merusak lingkungan, kelestarian sumberdaya dapat terjaga serta pemanfaatannya berkelanjutan melalui pemanfaatan atraktor cumi-cumi.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam pengelolaan perikanan cumi- cumi secara berkelanjutan pemerintah dan otoritas lainnya perlu adanya pedoman dalam pemanfaatan maupun pengelolaannya yaitu tata laksana untuk perikanan yang bertanggungjawab (code of conduct for responsible fisheries) untuk

memberi kelengkapan yang dibutuhkan, secara nasional dalam rangka menjamin pengusahaan sumberdaya hayati perairan secara lestari yang selaras dan serasi dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rasdani (2004), bahwa pemerintah atau otoritas lainnya melaksanakan pengelolaan sumberdaya ikan secara terpadu dan terarah, sehingga sumberdaya ikan akan dimanfaatkan secara berdaya guna dan berhasil guna, dengan cara melakukan pengelolaan secara terpadu yang melibatkan stakeholders demi kelestarian sumberdaya ikan beserta

lingkungannya.

Inti dari CCRF bidang perikanan tangkap akan menjamin sumberdaya ikan

dan lingkungannya secara lestari dengan mengikuti sistem

monitoring/pemantauan, controlling/pengendalian, surveillance/pengawasan

(MCSE) dan law enforcement/penegakan hukum yaitu suatu sistem yang harus

ditegakkan dan dijalankan dalam rangka memelihara dan menjaga kelestarian sumberdaya cumi-cumi dan lingkungannya di perairan Kabupaten Bangka Selatan.

Aktivitas penangkapan cumi-cumi yang optimal dapat dilakukan pada bulan November. Melihat kondisi musim penangkapan yang ada di Perairan Kabupaten Bangka Selatan, maka kegiatan operasi penangkapan perlu lebih diintensifkan pada bulan-bulan dimana terjadi musim cumi-cumi. Penangkapan cumi-cumi di perairan Kabupaten Bangka Selatan berlangsung hampir sepanjang tahun, tetapi nilainya sangat berfluktuasi. Berfluktuasinya musim penangkapan ikan disebabkan oleh musim yang terjadi. Hal ini sesuai dengan pendapat Wiyono (1993), bahwa berfluktuasinya musim penangkapan ikan yang ditandai dengan berfluktuasinya jumlah alat tangkap ikan yang beroperasi dan jumlah ikan hasil tangkapan yang didaratkan disebabkan oleh musim yang terjadi.

Sumber penyebab pencemaran logam berat di perairan Kabupaten Bangka Selatan diduga diakibatkan oleh adanya aktivitas penambangan timah pada daerah penangkapan cumi-cumi yang didominasi pada Perairan Selat Bangka (Kecamatan Simpang Rimba, Pulau Besar dan Toboali). Hal tersebut terjadi di lokasi penambangan masyarakat tanpa izin (TI apung), Kapal Isap Produksi dan

Kapal Keruk dimana tailing sisa pencucian bahan tambang langsung dibuang ke

perairan dan mencemari lingkungan sekitarnya. Adanya aktivitas penambangan tersebut menyebabkan logam berat yang terkandung dalam sedimen terlepas ke perairan.

104

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan logam berat Pb dan Fe

telah mencemari air laut dan telah melebihi baku mutu air laut yang diperuntukkan untuk biota laut. Hal ini sesuai dengan penelitian Hesti (2013) di Perairan Baru Belubang Kabupaten Bangka Tengah menunjukkan bahwa wilayah Penambangan TI Apung telah mengalami penurunan kualitas air dengan tingginya

nilai TSS dan Logam Pb yang terlarut di air. Kandungan TSS dan dan logam Pb di

air tersebut telah melebihi baku mutu yang ditetapkan. Bioakumulasi terjadi pada

Pb di sedimen, plankton dan insang cumi-cumi dengan nilai bioakumulasi

masing-masing sebesar 1,32 mg/l, 1,06 mg/l, dan 1,78 mg/l. Bioakumulasi terjadi pada Fe di sedimen dan plankton dengan nilai bioakumulasi masing-masing

sebesar 55,96 mg/l dan 1,83 mg/l.

Kandungan logam berat yang terkandung dalam plankton dapat mengalami biotransformasi dan biomagnifikasi melalui rantai makanan. Hal demikian dapat menyebabkan kandungan logam berat dalam tingkat trofik yang lebih tinggi, mengandung logam lebih besar dari tingkat trofik di bawahnya. Plankton dapat bermigrasi dari suatu perairan ke perairan lain yang tidak terpapar logam berat. Kondisi demikian menyebabkan biota pemangsa seperti cumi-cumi mengandung logam berat. Sedimen juga mengakumulasi logam berat yang terkandung dalam air laut dan setiap waktu menjadi sumber paparan logam berat dalam air laut dan biota.

Arus, angin, gelombang, dan kegiatan mikroba anaerobik dalam sedimen dapat menyebabkan logam berat dalam sedimen terlepas ke dalam air laut. Harteman (2011), menyatakan bahwa kandungan logam berat dalam biota laut berkaitan erat dengan logam berat yang terkandung di dalam perairan, sedangkan biotransformasi dan biomagnifikasi logam berat melalui rantai makanan lebih lambat dibandingkan air laut. Kulit dan saluran pencernaan biota laut berperan penting dalam mengakumulasi logam berat dalam air dan makanan. Kandungan logam yang terdapat pada cumi-cumi lebih besar pada kelenjar pencernaannya.

Menurut (Supriharyono 2000), bahwa kandungan logam berat yang terdapat di air lebih berbahaya dibandingkan penyerapan logam berat melalui rantai makanan. Beberapa organisme laut tidak terjadi biomagnifikasi dalam tubuhnya kecuali pada predator tinggi yaitu burung laut dan mamalia laut. Hasil penelitian ini menunjukkan nilai yang masih rendah. Namun, organisme yang terekspos logam berat dengan konsentrasi rendah biasanya tidak mengalami kematian, akan tetapi akan mengalami pengaruh sublethal, yaitu menghambat pertumbuhan,

perkembangan dan reproduksi, perubahan morfologi, dan merubah tingkat laku organisme.

Perikanan tangkap merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan. Hal ini dikarenakan kegiatan perikanan tangkap merupakan salah satu sumber protein hewani bagi masyarakat dan sumber lapangan kerja yang dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi pengelolanya termasuk pemerintah.

Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap yang dihasilkan dari pola pemanfaatan sumberdaya perikanan cumi-cumi di wilayah perairan luar daerah penambangan dan daerah penambangan timah laut Kabupaten Bangka Selatan adalah sebagai berikut: (1) Optimalisiasi pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi; (2) Pengaturan daerah penangkapan cumi-cumi; (3) Peningkatan ketersediaan stok cumi-cumi melalui pengelolaan daerah konservasi fishing ground di luar daerah

105

penambangan timah dan di daerah penambangan timah; (4) Konsistensi pelaksanaan monitoring, controlling dan law enforcement (penegakkan hukum);

(5) Pengendalian dampak pencemaran dan penerapan good mining practice.

Keberlanjutan pengelolaan perikanan cumi-cumi dalam koridor perikanan tangkap pada hakekatnya mencari alternative action dalam hal pengelolaan

sumberdaya perikanan cumi-cumi dan mampu mencegah terjadinya konflik antar kegiatan pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi dan sumberdaya lainya (penambangan timah) dalam mencapai tujuan ekonomi, termasuk adalah hal pemanfaatan yang dihasilkan oleh sumberdaya tersebut dan upaya konservasi guna kepentingan generasi mendatang. Charles (2001) menyatakan bahwa elaborasi tentang komponen dasar dari keberlanjutan yang terdiri dari keberlanjutan ekologi, keberlanjutan sosial ekonomi, keberlanjutan masyarakat dan keberlanjutan kelembagaan. Dengan demikian, keberlanjutan sistem perikanan merupakan hasil kerja secara simultan dari keempat komponen tersebut di atas. Selanjutnya, tujuan aktivitas penangkapan atau pengelolaan perikanan tidak akan tercapai, apabila yang dihasilkan adalah berupa dampak negatif seluruh atau salah satu komponen tersebut.

106

8 KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait