• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Seni Pertunjukan Pariwisata Bali

KONSEP PERTUNJUKAN

2.2. Konsep Seni Pertunjukan Pariwisata Bali

Seni pertunjukan pariwisata Bali adalah seni pertunjukan daerah ini yang sengaja dikemas untuk ditampilkan bagi wisatawan/pariwisata. Memang ada beberapa seni pertunjukan baru yang sengaja diciptakan untuk pariwisata. Namun, sebagian besar dari seni pertunjukan pariwisata Bali yang ada saat ini merupakan kemasan dari seni pertunjukan tradisional, baik yang bersifat sakral maupun yang bersifat hiburan bagi masyarakat setempat.

Seni pertunjukan pariwisata Bali muncul karena adanya interaksi antara seni pertunjukan tradisional Bali dengan industri pariwisata yang berkembang di daerah ini. Seni pertunjukan ini tumbuh dan berkembang karena respon masyarakat Bali dalam menyikapi berkembangnya industri pariwisata tersebut di daerah ini. Respon masyarakat atas berkembangnya industri pariwisata tersebut di daerahnya antara lain diperlihatkan dengan sikapnya yang ramah kepada para wisatawan. Sikap ramah masyarakat ini sudah tercermin dalam konsep arsitektur, antara lain dari bentuk rumahnya, tempat ibadah (pura) yang semuanya serba

terbuka, dan lebih mengutamakan kepentingan bersama atau orang lain daripada kepentingan pribadinya. Sikapnya yang terbuka itu juga diperlihatkan masyarakatnya ketika seni pertunjukannya dikagumi. Mereka biasanya merasa sangat senang dan bangga jika diberi kesempatan tampil/menari, terlebih jika ada wisatawan yang berkeinginan untuk mempelajarinya.

Dengan banyaknya wisatawan yang mengagumi seni pertunjukan Bali yang dominan bernuansa religius ini, masyarakat setempat terdorong untuk lebih ba-nyak menampilkan seni-seni pertunjukan bernuansa religius untuk wisatawan. Banyaknya daerah yang memiliki seni pertunjukan bernuansa religius adalah cermin budaya masyarakatnya yang masih berpegang kuat pada kepercayaan akan adanya kekuatan gaib di lingkungannya.

Beberapa seni pertunjukan pariwisata yang dari awal perkembangannya hingga kini masih tetap digemari wisatawan manca negara adalah Cak & Fire

Dance yang muncul pada tahun 1930 atas gagasan Walter Spies. Seni pertunjukan

itu dikemas dari koor dan tari Sang Hyang Dedari dan Sang Hyangjaran. Ketika dipertunjukkan dalam konteks pariwisata, ditambahkanlah cerita Ramayana (Vickers, 1989:107). Selain itu juga ada Barong & Kriss Dance, yang juga merupakan sebuah seni pertunjukan pariwisata bernuansa religius. Pertunjukan ini dikemas dari seni pertunjukan tradisional dengan mempergunakan duplikat dari Barong yang disakralkan masyarakat setempat (Wijaya, 2002:127).

Lindsay (1991) menyatakan bahwa bentuk pertunjukan seperti di atas merupakan kesenian “kitsch”, karena penyajiannya lebih mementingkan “bentuk” daripada isi. Namun Kayam (1991:140) menyatakan bahwa seni pertunjukan yang berorientasi ekonomi itu memang harus diubah penyajiannya sesuai dengan keinginan konsumen agar laku dijual. Seni Pertunjukan Pariwisata Bali pada umumnya hanya dikemas dari sebuah seni pertunjukan saja, yang disajikan sebagaimana pertunjukan aslinya, sebagaimana digambarkan dalam diagram di bawah ini.

Gambar 2.1.

Diagram seni pertunjukan pariwisata Bali (Wimsatt,1971)

Keterangan:

A : Seni pertunjukan Bali B : Pariwisata

C : Seni pertunjukan pariwisata (tradisi) Bali

Perkembangan industri pariwisata Bali yang hampir selalu dilengkapi sajian seni pertunjukan sangat pesat. Pariwisata (tourism) merupakan suatu kompleksitas bisnis yang saling berhubungan dalam melayani orang yang bepergian (Lunberg, 1990:5). Dalam industri pariwisata, terdapat kekuasaan kapital. Kekuasaan kapital dimiliki oleh para pemilik modal, sementara kekuasaan media massa dimiliki oleh biro perjalanan wisata yang mendistribusikan produk tersebut kepada ma-syarakat konsumen.

Dalam masyarakat modern, industri kebudayaan membangun kekuasaan. Kekuasaan itu dibangun dengan membuat orang merasa rendah diri jika tidak mengikuti mode dan selera pada saat itu. Konsekuensinya adalah masyarakat produsen mengkomodifikasikan seluruh kehidupan dan ranah kebudayaannya sebagai produk yang bernilai ekonomis. Ideologi seperti itu menghasilkan makna-makna yang berasal dari kebudayaan rekayasa untuk mengemas unsur-unsur budaya material. Dengan demikian, akan terbentuk budaya konsumen yang mengkonsumsi estetika realitas-semu.

Konsentrasi ekonomi yang saat ini terletak pada teknik-teknik produksi baru yaitu mengakses kapasitas produksi dan kapitalisme konsumen, memfokuskan perhatian kepada pengelolaan konsumsi dan penciptaan kebutuhan-kebutuhan akan benda-benda prestisius baru. Model konsumsi 'baru' tersebut dalam proses estetik dianggap sangat penting, karena dalam masyarakat konsumen terjadi per-ubahan mendasar yang berkaitan dengan benda-benda

estetik secara umum dan pola konsumsi yang direkayasa oleh para produsen. Konsep ini relevan dengan pola pengemasan Seni Pertunjukan Pariwisata Bali Kemasan Baru yang dengan sengaja direkayasa dari berbagai komponen seni budaya untuk ditampilkan sebagai realitas semu untuk kepentingan ekonomi.

Seni Pertunjukan Pariwisata Bali Kemasan Baru adalah sebuah seni pertunjukan pariwisata budaya yang dikemas dari berbagai jenis seni pertunjukan dan budaya tradisional masyarakat setempat (yang direkayasa) menjadi sebuah seni pertunjukan pariwisata berskala besar ditinjau dari materi, ruang, dan durasi penyajiannya. Seni pertunjukan yang bentuknya kolosal ini melibatkan ratusan orang pelaku di setiap penyajiannya, yang disajikan terkait dengan acara dinner secara berkesinambungan dari awal hingga acara berakhir, sebagaimana digambarkan dalam diagram di bawah ini.

Gambar 2.2.

Diagram Seni Pertunjukan Pariwisata Kemasan Baru (Ruastiti, 2001)

Keterangan

A : Seni Pertunjukan Bali B : Pariwisata

C : Prosesi Ritual (Yang Direkayasa) D : Arsitektur tradisional (Puri / Pura)

E : Seni Pertunjukan Pariwisata Bali Kemasan Baru

Dalam pemikiran Marxisme dinyatakan bahwa beroperasinya ideologi dalam masyarakat kapitalis didasarkan atas relasi kelas-kelas dalam masyarakat, antara kelas penguasa (konseptor) dan kelas pekerja (pelaku) yang membuat

dominasi kelas penguasa atas kelas pekerja. Dalam masyarakat komoditas distribusi kekuasaan berbalik, yaitu dari atas-bawah ke bawah-atas, atau dari tangan penguasa sentral ke tangan para pelaksana yang membentuk fragmentasi kekuasaan. Namun dalam masyarakat, kekuasaan berkembang dari berbagai kelompok sosial yang bisa dikategorikan sebagai agen atau produser kebudayaan (Ibrahim, 1997:27).

Baudrillard menyatakan bahwa industri apa pun yang berkembang dapat menyebabkan terjadinya pergeseran dan keterputusan zaman yang mengakibatkan munculnya totalitas sosial baru dengan berbagai pengorganisasian dan prinsip-prinsipnya. Baudrillard menyebut gejala seperti itu sebagai suatu gerak maju menuju masa post-industri (Featherstone, 1988:195)- Perkembangan masyarakat post-industri dan kebudayaannya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan konsumerisme dalam diskursus kapitalisme mutakhir, dan perkembangan masyarakat konsumen dapat mempengaruhi cara-cara pengungkapan estetik suatu produk (Piliang, 1998:245-246). Hal itu terjadi dalam kerangka munculnya Seni Pertunjukan Pariwisata Bali Kemasan Baru itu di Puri Mengwi, Puri Anyar Kerambitan, dan Puri Banyuning Bongkasa. Seni pertunjukan tersebut muncul karena respon masyarakat di Puri Mengwi, Puri Anyar Kerambitan, dan Puri Banyuning Bongkasa atas berkembangnya industri pariwisata di daerah tersebut. Perubahan sikap masyarakat dalam menyajikan seni pertunjukan dalam konteks pariwisata tidak terlepas dari perubahan budaya masyarakatnya yang disebabkan oleh adanya ekonomi uang. Ada spirit untuk mendapatkan keuntungan atas berkembangnya industri pariwisata di ketiga puri tersebut. Karl Marx menyatakan bahwa spirit untuk mendapatkan keuntungan itu sebagai komodifikasi (Turner, 1992:115-138).

Fairclough (1995) dalam Discourse and Social Change menyatakan bahwa komodifikasi adalah sebuah konsep yang luas, yang tidak hanya menyangkut masalah produksi komoditas dalam pengertian perekonomian yang sempit tentang barang-barang yang diperjualbelikan saja, namun juga menyangkut bagaimana barang-barang tersebut didistribusikan dan dikonsumsi. Komodifikasi dapat melahirkan budaya massa. Budaya massa ditentukan oleh masyarakat konsumen

atau masyarakat komoditas sebagai akibat konsumsi massa, dan hal itu membuat terbentuknya budaya konsumen (Lury, 1998:302-304). Dalam budaya konsumen, terdapat tiga kekuasaan yang beroperasi di belakang produksi dan konsumsi objek-objek estetik, yaitu kekuasaan kapital, kekuasaan produser, dan kekuasaan media massa (Piliang, 2004:129-131).

Dalam masyarakat modern, industri kebudayaan membangun kekuasaan. Kekuasaan ini dibangun dengan membuat orang merasa rendah diri kalau tidak mengikuti mode yang sesuai dengan selera pada saat itu. Konsekuensinya adalah masyarakat mengkomodifikasikan seluruh kehidupan dan ranah kebudayaannya sebagai produk yang bernilai ekonomis. Ideologi seperti itu menghasilkan makna-makna yang berasal dari kebudayaan rekayasa untuk mengemas unsur-unsur budaya material. Dengan demikian, akan terbentuk budaya konsumen yang mengkonsumsi estetika realitas-semu, seperti pengemasan Seni Pertunjukan Pariwisata Bali Kemasan Baru dari berbagai komponen seni budaya untuk kepentingan ekonomi.

BAB III