• Tidak ada hasil yang ditemukan

SENI PERTUNJUKAN PARIWISATA BALI KEMASAN BARU

Seni pertunjukan secara konseptual terwujud berdasarkan sistem nilai budaya masyarakatnya. Nilai budaya merupakan satu kesatuan yang bulat dan tidak dapat dipisahkan. Sistem nilai budaya adalah konsep-konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat yang berkaitan erat dengan hal-hal yang harus mereka anggap bernilai dan bermakna dalam hidupnya. Karena itu sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi manusia untuk menentukan kelakuannya. Sistem tata kelakuan manusia yang tingkatnya lebih konkret adalah: aturan-aturan khusus, hukum, dan norma-norma berpedoman kepada sistem nilai budaya itu (Koentjaraningrat, 1974:32).

Dalam mewujudkan seni pertunjukan, sistem nilai budaya merupakan hal yang dapat memberikan corak atau identitas pada seni pertunjukan tersebut, sebagaimana halnya Seni Pertunjukan Pariwisata Bali Kemasan Baru yang muncul dan berkembang di Puri Mengwi, Puri Anyar Kerambitan, di Puri Bongkasa tersebut. Walaupun ketiganya mengembangkan konsep dan pola pertunjukan sama tetapi jika dicermati sesungguhnya memiliki perbedaan dan ciri khas masing-masing. Hal itu disebabkan karena nilai-nilai budaya masyarakat pendukung pertunjukan di ketiga daerah (Puri) tersebut tidak sama. Sebagaimana diuraikan, konsep Seni Pertunjukan Pariwisata Bali Kemasan Baru adalah sebuah seni pertunjukan pariwisata yang dikemas dari berbagai komponen seni budaya masyarakat lokal.

Persaingan pasar yang begitu ketat tampaknya menuntut para pelaku pariwisata harus selalu kreatif menciptakan ide-ide baru dalam menyajikan produk yang ditawarkan. Jika tidak demikian, maka produk yang ditawarkan itu akan tidak diminati lagi oleh para konsumennya. Terlebih, para konsumen atau wisa-tawan yang datang ke Bali itu adalah orang-orang yang sudah sering berkali-kali datang ke Bali. Mereka tentu menginginkan sesuatu yang baru, berbeda, mena-rik, dan unik.

Munculnya konsep Seni Pertunjukkan Pariwisata Bali Kemasan Baru di Puri Mengwi, Puri Anyar Kerambitan maupun di Puri Bongkasa dapat digambarkan sebagai model di bawah ini.

Gambar 4.1. Model Terbentuknya Pertunjukan

Model tersebut di atas menunjukkan terbentuknya konsep Seni Pertunjukan Pariwisata Bali Kemasan Baru di Puri Mengwi, Puri Anyar Kerambitan, maupun di Puri Bongkasa yang muncul karena adanya pariwisata di Puri tersebut. Dilihat dari arah garis, model tersebut menunjukkan bagaimana pariwisata yang ber-orientasi ekonomi tersebut mempengaruhi seni budaya masyarakat setempat se-hingga tanpa disadari telah mewujudkan “konsep baru”, dalam Seni Pertunjukan Pariwisata Bali. Munculnya seni pertunjukan ini tidak menimbulkan konflik 'karena didukung oleh masyarakat di lingkungan Puri tersebut.

Minat konsumen memang tidak sepenuhnya tergantung dari budaya kon-sumen, namun lebih didasarkan atas logika konsumen (Lury, 1998:72). Oleh sebab itu, para produsen yang dalam hal ini adalah para pelaku pariwisata Bali dituntut responsif terhadap kebutuhan dan keinginan konsumen. Mereka selalu berupaya melakukan terobosan-terobosan baru untuk meraih pasar, memuaskan konsumen. Terlebih, industri pariwisata itu adalah suatu bisnis jasa yang sifatnya sangat kompleks (Lunberg, 1990:5), yakni melibatkan berbagai komponen seperti

transportasi, hotel, objek wisata, makanan (restaurant), hiburan, pelayanan, dan keamanan.

Dalam industri pariwisata terdapat kekuasaan kapital yang dimiliki oleh kaum kapitalis (Robins, 1991:25). Oleh sebab itu, puri selaku produser menjalin kerja sarna dengan para biro perjalanan wisata (BPW) selaku distributor produk wisata yang menjadi penghubung pihak puri dengan konsumen (wisatawan) un-tuk mencari tahu kebutuhan, keinginan, bahkan hal-hal yang dapat membuat konsumen merasa puas dalam bisnis industri pariwisata tersebut.

Dalam konsep Baudrillard (1988) tentang masyarakat konsumen

(consumer society), terdapat “nilai tanda” (sign-value), “nilai guna” (use-value)

dan “nilai tukar” (exchange value). Menurut Baudrillard, industri apa pun dapat menyebabkan terjadinya pergeseran dan keterputusan zaman yang mengakibatkan munculnya totalitas sosial baru dengan berbagai pengorganisasian dan prinsip-prinsipnya (Baudrillard, 1988:145). Sebagaimana munculnya Seni Pertunjukan Pariwisata Kemasan Baru dalam industri pariwisata Bali, yang merupakan strategi para pelaku pariwisata tersebut untuk menambah nilai jual dinner yang ditawarkan. Berbagai komponen seni budaya masyarakat lokal sengaja ditampilkan untuk membuat konsumen (wisatawan) merasa puas sehingga dinner yang ditawarkan tersebut dapat bernilai jual lebih tinggi. Apa pun diupayakan agar konsumen merasa puas (Leiss, 1976:61). Baudrillard dan Lyotard menyebut upaya mau-pun gejala seperti itu sebagai sebuah gerak maju menuju masa post-industri (Featherstone, 1988:195).

Dalam masyarakat konsumen postmodern atau masyarakat komoditas industri kebudayaan bersama-sama membangun kekuasaan. Kekuasaan itu dibangun untuk membuat orang merasa “mati” jika tidak trendi (mengikuti trend). Konsekuensinya adalah masyarakat konsumen postmodern mengkomodifikasikan seluruh kehidupan dan ranah kebudayaannya sebagai suatu yang dapat bernilai lebih. Ideologi seperti ini akan dapat menghasilkan makna-makna yang berasal dari kebudayaan daur ulang (recycling), yang memoles dunia permukaan imanen, menciptakan konsumen schizoprenik, dan mementaskan parodi dalam permainan rumit estetika realitas-semu. Karl Marx dan Georg Simmel menyatakan hal ini

dapat menimbulkan munculnya gejala komodifikasi di berbagai sektor kehidupan masyarakat. Hal ini diakibatkan oleh karena adanya ekonomi uang yang didasarkan atas spirit (semangat) untuk memperoleh keuntungan (Turner, 1992:115-138).

Fairclough (1995) dalam Discours and Social Change menyatakan bahwa komodifikasi adalah suatu konsep yang luas, yang tidak hanya menyangkut masalah produksi komoditas dalam pengertian perekonomian yang sempit tentang barang-barang yang diperjualbelikan saja, namun juga menyangkut tentang bagaimana barang-barang tersebut didistribusikan dan dikonsumsi. Komodifikasi dapat melahirkan budaya massa. Munculnya masyarakat konsumen atau masyarakat komoditas menyebabkan munculnya budaya konsumen, dan dalam budaya konsumen terdapat tiga bentuk kekuasaan yang beroprasi di belakang produksi dan konsumsi objek-objek estetik, antara lain kekuasaan kapital, kekuasaan produser, dan kekuasaan media massa (Piliang, 1998: 246).

Konsentrasi ekonomi yang saat ini terletak pada teknik-teknik produksi baru dengan mengakses kapasitas produksi dan kapitalisme konsumen, dan memfokus-kan perhatian kepada bagaimana pengelolaan konsumsi dilakukan yang mencipta-kan kebutuhan-kebutuhan akan benda-benda prestisius baru yang mengakibatkan munculnya rezim nilai tanda. Munculnya model konsumsi “baru” yang lebih estetik dianggap penting, karena dalam masyarakat konsumen sering terjadi perubahan mendasar yang berkaitan dengan cara, objek-objek dan bagaimana model konsumsi itu direkayasa oleh para produsen untuk memuaskan konsumen.

Perkembangan masyarakat postindustri dan kebudayaannya tentunya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan konsumerisme dalam diskursus kapitalisme mutakhir, dan perkembangan masyarakat konsumen dapat mempengaruhi cara-cara mereka dalam mengungkapkan estetika itu sebagai suatu produk. Suatu produk akan diminati konsumen jika apa yang diciptakan itu berhasil menguasai kepuasan konsumen (Piliang, 1998: 245-246). Sebagaimana munculnya Seni Pertunjukan Pariwisata Bali Kemasan Baru itu di Puri Mengwi, Puri Anyar Kerambitan, dan Puri Banyuning Bongkasa, banyak diminati konsumen

(wisatawan) karena mereka merasa puas dengan dinner yang ditampilkan dengan selalu mengaitkannya dengan seni budaya masyarakat setempat.

Munculnya konsep Seni Pertunjukan Pariwisata Bali Kemasan Baru itu di ketiga puri tersebut secara umum disebabkan karena adanya pengaruh dari dalam (internal) dan luar (eksternal). Pengaruh dari dalam antara lain karena:

- Puri dan masyarakat di sekitarnya ingin memperoleh pengakuan.

- Puri dan masyarakat di sekitarnya merasa bangga memiliki budaya yang unik.

- Puri dan masyarakat ingin memperoleh keuntungan.

- Puri ingin memelihara hubungan patron-client dengan masyarakat. Sementara pengaruh dari luar (eksternal) antara lain karena:

- Ramainya kunjungan wisatawan ke Bali.

- Puri memiliki potensi seni budaya yang unik dan menarik.

- Wisatawan tertarik terhadap seni budaya Bali yang unik. - Puri mendapat dukungan dari masyarakat di sekitarnya.

- Puri memiliki hubungan kerja sama dengan para biro perjalanan wisata (BPW).

Selain memiliki hubungan kerja sama dengan para biro perjalanan wisata, Puri juga menjalin hubungan kerja sama dengan hotel-hotel, para pemandu wisata,

restaurant, sekaa-sekaa kesenian, para seniman, banjar-banjar yang ada di

wilayah puri tersebut.

Seringnya wisatawan datang ke Bali, yang di setiap kunjungannya itu selalu dipertunjukkan seni pertunjukan ketika mereka menikmati dinner, membuat para pelaku pariwisata hams kreatif menciptakan terobosan untuk menyajikan produk yang ditawarkan kepada konsumennya. Sebagaimana dinner yang ditawarkan di ketiga Puri tersebut, yang di setiap penyajiannya selalu dikaitkan dengan konsep Seni Pertunjukan Pariwisata Bali Kemasan Baru. Walaupun dalam seni pertunjukan ini tidak ada seni baru namun karena konsep maupun model penyajian seni budaya ditampilkan secara berbeda dibandingkan dengan pada umumnya maka tentulah komponen seni budaya yang ditampilkan itu pun memiliki warna dan kesan berbeda dibandingkan sebelumnya.

Pesatnya perkembangan industri pariwisata yang hampir selalu dimeriahkan seni pertunjukan membuat para pelaku pariwisata harus selalu kreatif menciptakan kreasi untuk menampilkan seni budaya yang ditawarkan. Banyaknya permintaan akan seni pertunjukan untuk ditampilkan dalam konteks pariwisata tampaknya tidak seimbang dengan hasil karya yang diciptakan oleh para seniman Bali. Hal ini dapat dilihat dari jenis-jenis seni pertunjukan yang ditampilkan selama ini tidak mengalami perkembangan. Oleh sebab itu banyak kalangan menu-ding bahwa seni pertunjukan Bali mengalami involusi, karena karya yang ada tidak mengalami perkembangan, terlebih ditampilkan dengan cara dan pola yang sama (monotone). Dengan dikembangkannya konsep Seni Pertunjukan Pariwisata Kemasan Baru yang dikemas dari berbagai komponen seni budaya masyarakat lokal ini membuat bangunnya bentuk-bentuk seni budaya masyarakat yang selama ini hampir punah.

Konsep Seni Pertunjukan Pariwisata Bali Kemasan Baru ini bahkan mampu mengangkat nilai jual dinner yang ditawarkan oleh ketiga puri tersebut. Dengan pola pengembangan kreatif ini, secara tidak disadari terwujudlah “konsep baru” yakni Seni Pertunjukan Pariwisata Bali Kemasan Baru, yang merupakan terobosan baru para pelaku pariwisata Bali untuk menyikapi perkembangan industri pariwisata di daerah ini.

Matriks 4.1. Komponen Pertunjukan di Puri Mengwi, Kerambitan, dan