TINJAUAN PUSTAKA
2.4.2 Konsep Sistem Pemasyarakatan
Bagi Prof. Mr. Roeslan, tidak ada kejahatan tanpa penjahat, sebaliknya tidak ada penjahat tanpa kejahatan, terlalu sederhana mengganggap kejahatan sebagai suatu kecelakaan belaka. Kejahatan, bila hanya dilihat dari kacamata hukum pidana menyerupai “hukum tanpa kepala“, tak jelas pandangan kemasyarakatan, seharusnya hukum hidup ditengah dinamika pertumbuhan masyarkat agar dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat. Seorang kriminal atau narapidana ada bukan karena dibentuk secara lahiriah tapi dibentuk secara sosial budaya dimana ia berada. Demikan pula penghukuman yang dijalani bukanlah konstruksi fisik tapi bagian dari konstruksi sosial-budaya seperti hasil interaksi, komunikasi, bentukan solidaritas dan konflik yang terjadi (Allen,1989:117).
Ahli sosial Erfing Goffman, dalam bukunya Asylum (1961) menguraikan bahwa karakteristik lingkungan penjara adalah sama dengan rumah sakit jiwa dan
xliii organisasi militer sebagai salah satu institusi sosial (total institution) yang menampung dan mengatur hidup orang banyak secara seragam. Struktur totaliter ini berisi peraturan-peraturan detil, pengawasan ketat, jurang lebar antara yang berkuasa dan yang dikuasai, konsentrasi kekuasaan di tangan sekelompok yang berkuasa (rulling few). Goffman mendefenisikan institusi total sebagai tempat tinggal dan kerja dimana sejumlah besar individu untuk waktu yang cukup lama terlepas dari masyarakat luas, bersama-sama terlibat dan berperan dalam kehidupan yang diatur secara formal. Ia mendefenisikan 5 kategori institusi total, dimana penjara merupakan salah satu didalamnya, yaitu :
1. Institusi yang dibangun untuk merawat orang yang dianggap tidak mampu dan tidak berbahaya, misalnya tuna wisma, tuna netra, rumah jompo, asrama yatim piatu dan fakir miskin.
2. Tempat yang dibangun untuk orang yang tidak mampu merawat dirinya sendiri dan bagi masyarakat, sekalipun mereka tidak bermaksud demikian seperti sanatorium, rumah sakit jiwa, rumah sakit kusta.
3. Institusi total yang diorganisir untuk melindungi masyarakat dari apa yang dirasakan sebagai bahaya yang mengancam, dimana kesejahteraan mereka yang diasingkan itu tidak dianggap sebagai suatu masalah, contohnya penjara, camp tawanan perang, camp tawanan konsentrasi.
4. Institusi total yang dibangun untuk menunaikan beberapa tugas-tugas yang mengesahkan diri mereka diatas dasar-dasar instrumental ini seperti barak-barak tentara, asrama sekolah, kampung kerja, perkampungan kolonial, dan bangsal-bangsal.
5. Lembaga kemasyarakatan yang dirancang sebagai tempat mengasingkan diri dan kadang-kadang sering berfungsi sebagai tempat latihan keagamaan,
xliv misalnya biara, pendopo, penjara dan tempat menyepi lainnya (Poloma, 2003).
Sahardjo merupakan tokoh yang pertama kali melontarkan perlunya perbaikan perlakuan bagi narapidana yang hidup dibalik tembok penjara, memerlukan landasan sistem pemasyarakatan yaitu: “bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulangi perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara, dari pengayoman itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari negara, tobat tidak akan dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan pembinaan, terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan terpidana kehilangan kemerdekaan. Negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan pada waktunya akan mengembalikan orang itu kedalam masyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan masyarakat“ (Harsono, 1995:1).
Ide pemasyarakatan diperkenalkan Sahardjo pada tanggal 5 Juli 1963, merupakan pedoman dasar bagi pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia. Ide ini dikenal dengan 10 prinsip pemasyarakatan, yang antara lain memuat prinsip bahwa penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam dari negara karena itu negara tidak berhak membuat orang menjadi lebih buruk atau jahat daripada sebelum masuk lapas. Dikatakan juga bahwa pembinaan dan bimbingan harus dilakukan sebagaimana perlakuan terhadap sesama manusia meskipun ia telah tersesat (Sunaryo,2011:5).
Gagasan Sahardjo dirumuskan dalam Konferensi Dinas Pemasyarakatan di Lembang Bandung pada tanggal 27 april 1964. Pokok-pokok pikiran Sahardjo tertuang dalam sepuluh prinsip pembinaan dan bimbingan narapidana. Sepuluh prinsip pemasyarakatan yaitu :
xlv 1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan
peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna. 2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam negara.
3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat.
4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum dijatuhi pidana
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik harus diperkenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
6. Pekerjaan diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat sekedar mengisi waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan sewaktu-waktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan produksi.
7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana harus berdasarkan Pancasila.
8. Narapidana dan anak didik sebagai orang yang tersesat adalah manusia, dan harus pula diperlakukan sebagai manusia.
9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan sebagai satu-satunya derita yang dialaminya.
10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif, korektif, dan edukatif dalam sistem pemasyarakatan (Sujatno,2008:123-124).
Dalam membina narapidana, tidak dapat disamakan dengan kebanyakan orang. Membina narapidana harus menggunakan prinsip-prinsip pembinaan narapidana. Ada empat komponen penting dalam pembinaan narapidana yaitu :
xlvi a. Diri sendiri, yaitu narapidana itu sendiri
b. Keluarga, yaitu anggota keluarga inti atau keluarga dekat.
c. Masyarakat, yaitu orang-orang yang berada di sekeliling narapidana pada saat masih di luar lembaga pemasyarakatan, yaitu masyarakat biasa, pemuka masyarakat, atau pejabat setempat.
d. Petugas dapat berupa petugas kepolisian, pengacara, pemuka agama, petugas sosial, petugas pemasyarakatan dan lain sebagainya.
Sistem pemasyarakatan menurut UU No.12 Tahun 1995, Pasal 1 ayat 2 adalah suatu tatatan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga Binaan pemasyarakatan (WBP) atau narapidana berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas WBP agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulang tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab (Sujatno,2008:126). Sistem pemasyarakatan juga merupakan salah satu tatanan yang lebih manusiawi dan normative terhadap narapidana berazaskan pancasila dan bercirikan rehabilitative, korektif, edukatif dan integrative.
Sistem Pemasyarakatan juga merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana dan perdata, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan. Untuk melaksanakan sistem pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga keikutsertaan masyarakat, baik dengan mengadakan kerja sama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan atau narapidana yang telah selesai menjalani pidana. Pelaksanaan sistem pemasyarakatan tidak terlepas dari tujuan
xlvii pemidanaan, yang menurut Ketentuan Konsep Rancangan Undang-undang RI tahun 2004 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dalam Pasal 51.