• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Konsep Studi Fenomenologi

Pandangan fenomenologi terhadap stres dan koping ditampilkan untuk mengembangkan sebuah bahasa yang secara adekuat lebih menangkap kemungkinan-kemungkinan pengalaman yang dialami oleh orang-orang yang menggunakan koping dalam berbagai kejadian seperti kelahiran, kematian, penuaan, penyakit, dan ketegangan selama bekerja (Benner & Wrubel, 1989).

Fenomenologi berakar dari ilmu filosofi yang dikembangkan oleh Husserl dan Heidegger pada tahun 1962. Konsep ini merupakan suatu pendekatan untuk

mengeksplorasi pengalaman hidup manusia. Ini berfokus pada esensi dan makna dari pengalaman tersebut (Polit & Beck, 2008).

Husserl dan Heidegger sebagai ahli fenomenologi (phenomenologist) memiliki berbagai pandangan terkait pengalaman manusia. Husserl dan Heidegger (1962, dalam Polit & Beck, 2008) memandang fenomena subjektif dengan keyakinan bahwa kebenaran tentang realita didasarkan pada pengalaman hidup manusia. Pengalaman hidup manusia dipandang oleh phenomenologist sebagai sesuatu yang penuh makna dan dialami secara sadar. Pengalaman hidup manusia diartikan sebagai keterikatan fisik manusia terhadap dunianya. Ini dikenal dalam istilah fenomenologi sebagai “being-in the world” atau “embodiment”. Dapat disimpulkan embodiment merupakan pengalaman manusia secara sadar melalui interaksi tubuh dengan dunia (Polit & Beck, 2008).

Pengalaman manusia dipelajari oleh peneliti untuk mengetahui dan memahami esensi atau makna dari pengalaman tersebut. Pengetahuan dan pemahaman ini dilakukan oleh peneliti dengan berbagai cara. Peneliti berupaya mengeksplorasi pengalaman yang dialami oleh partisipan melalui pengumpulan informasi dan berusaha masuk ke dalam dunia partisipan, sehingga pengalaman partisipan dapat dialami oleh peneliti dengan cara yang sama. Pengumpulan informasi dapat dilakukan dengan wawancara mendalam, partisipasi, observasi, dan refleksi introspeksi (Polit & Beck, 2008).

Polit dan Beck (2008) menyatakan bahwa terdapat dua jenis penelitian fenomenologi yaitu :

1. Descriptive Phenomenology

Fenomenologi deskriptif dikembangkan oleh Husserl pada tahun 1962. Jenis penelitian ini ditekankan pada deskripsi pengalaman yang dialami oleh manusia berdasarkan apa yang didengar, dilihat, diyakini, dirasakan, diingat, dievaluasi, dilakukan, dan seterusnya. Fokus utama fenomenologi deskriptif adalah ’knowing’. Penelitian ini memiliki empat langkah, yaitu bracketing,

intuiting, analyzing, dan describing. Bracketing merupakan proses

mengidentifikasi dan membebaskan diri dari praduga-praduga, keyakinan, atau pendapat terkait fenomena yang diteliti. Proses ini dilakukan oleh peneliti dengan cara peneliti membebaskan diri dari teori-teori yang diketahuinya serta menghindari perkiraan-perkiraan dalam upaya memperoleh data yang murni.

Intuiting merupakan langkah kedua dimana peneliti tetap terbuka terhadap makna

yang dikaitkan dengan fenomena yang dialami oleh partisipan. Analyzing merupakan proses analisa data yang dilakukan melalui beberapa fase seperti; mencari pernyataan-pernyataan signifikan kemudian mengkategorikan dan menemukan makna esensial dari fenomena yang dialami. Describing merupakan tahap terakhir dalam fenomenologi deskriptif. Langkah ini peneliti membuat narasi yang luas dan mendalam tentang fenomena yang diteliti.

Fenomenologist dalam proses analisis data untuk fenomenologi deskriptif

adalah Collaizi (1978), Giorgi (1985), dan Van Kaam (1959). Ketiga fenomenologis tersebut berpedoman pada Filosofi Husserl yang mana fokus utamanya adalah mengetahui gambaran sebuah fenomena.

2. Interpretive Phenomenology

Interpretive Phenomenology dikembangkan oleh Heidegger pada tahun

1962. Filosofi yang dianut oleh Heidegger berbeda dengan Husserl. Inti filosofinya ditekankan pada pemahaman dan interpretif (penafsiran), tidak sekedar deskripsi pengalaman manusia. Pengalaman hidup manusia merupakan suatu proses interpretif danpemahaman yang merupakan ciri dasar keberadaan manusia.

Penelitian interpretif bertujuan untuk menemukan pemahaman dari makna pengalaman hidup dengan cara masuk ke dalam dunia partisipan. Pemahaman yang dimaksud adalah pemahaman setiap bagian dan bagian-bagian secara keseluruhan.

Ahli fenomenologi untuk analisa data fenomenologi interpretif adalah Van Manen yang berpedoman pada filosofi Heiddegrian. Pendekatannya untuk metoda analisis data merupakan kombinasi dari karakteristik fenomenologi deksriptif dan interpretif (Polit & Beck, 2008).

Berdasarkan pendekatan Van Manen (1990) dalam Polit dan Beck (2008) aspek tematik dari pengalaman dapat ditemukan atau diisolasi dari deskripsi pengalaman partisipan dengan 3 metode yaitu the detailed or line-by-line

approach, the selective or highlighting approach, dan the holistic approach. The

detailed or line-by-line approach, peneliti mencari esensial atau makna dari

pengalaman dengan membaca secara detail dan menganalisa setiap kalimat. The

selective or highlighting approach, peneliti memberikan highlight atau menarik

keluar pernyataan atau frase yang terlihat esensial dari pengalaman yang diteliti. Pernyataan atau frase yang di-highlight adalah pernyataan yang paling sering

muncul tentang fenomena sesuai dengan pertanyaan penelitian. The holistic

approach, pendekatan dimana peneliti melihat teks secara keseluruhan dan

mencoba untuk menemukan makna dari teks tersebut. Hasil dari ketiga metode tersebut akan ditemukan beberapa tema yang merupakan objek refleksi dan interpretif melalui validasi hasil kepada partisipan.

Van Manen (2006) dalam Polit dan Beck (2008) menekankan bahwa pendekatan metode fenomenologi tidak terpisahkan dari praktik menulis. Penulisan hasil analisa kualitatif merupakan suatu upaya aktif untuk memahami dan mengenali makna hidup dari fenomena yang diteliti yang dituangkan dalam bentuk teks tertulis. Tek tertulis yang dibuat oleh peneliti harus dapat mengarahkan pemahaman pembaca dalam memahami fenomena tersebut. Van Manen juga menyatakan identifikasi tema dari deskripsi partisipan tidak hanya diperoleh dari teks tertulis hasil transkrip wawancara, tetapi juga dapat diperoleh dari sumber artistik lain seperti literatur, musik, lukisan, dan seni lainnya yang dapat menyediakan kekayaan informasi pengalaman partisipan sehingga meningkatkan wawasan bagi peneliti dalam melakukan interpretasi dan pencarian makna dari suatu fenomena.

Pendekatan Van Manen berusaha untuk menggambarkan makna dari pengalaman seperti yang dialami dengan sebuah interpretasi teks kehidupan. Dalam pendekatan ini, cara untuk mengetahui melalui teks interpretif adalah kongruen (sama) dengan framework filosofi hermeneutik. Pendekatan ilmu manusia Van Manen (1990) menyediakan proses penelitian; beberapa termasuk memunculkan pertanyaan-pertanyaan, mengumpulkan data, mengembangkan

sebuah fenomena, dan membangun interpretasi tekstual yang mengarahkan langsung peneliti untuk memahami arti dari pengalaman hidup perawat. Selanjutnya, pendekatan ini menawarkan panduan-panduan untuk mengembangkan 4 dunia yang dialami yang mencerminkan pada teks-teks interpretif dari kehidupan sehingga membantu peneliti membedakan struktur hidup yang dialami dari makna dari merawat orang-orang yang mempunyai pengalaman kematian damai di ICU dalam kehidupan sehari-hari.

Pendekatan ilmu manusia fenomenologi hermeneutik Van Manen (1990) terdiri dari perspektif ilmu manusia, fenomenologi, dan hermeneutik. Enam aktivitas metodologi penelitian ilmu manusia diperkenalkan oleh Van Manen, yang memungkinkan peneliti memilih atau menciptakan metode penelitian yang sesuai, teknik, dan prosedur untuk pertanyaan penelitian tertentu. Van Manen mengembangkan bahwa penelitian fenomenologi hermeneutik sebagai sebuah interaksi dinamis antara 6 aktivitas-aktivitas ilmu manusia. Keenam aktivitas tersebut adalah (Van Manen, 1990):

1) Mengembalikan sifat pengalaman yang dialami (Turning to the nature of

Dokumen terkait