• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISIS DATA

TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Konsep Tentang Kemiskinan

Kemiskinan adalah sesuatu yang nyata adanya bagi meraka yang tergolong miskin, kereka sendiri merasakan dan menjalani kehidupan dalam kemiskinan tersebut. Kemiskinan itu akan lebih terasa lagi apabila mereka telah membandingkannya dengan kehidupan orang lain yang lebih tinggi tingkat kehidupannya. Kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok, seperti pangan, pakaian, papan sebagai tempat berteduh(Hartomo, 2008:314).

Parsudi Suparlan (dalam Hartomo, 2008: 313) menyatakan kemiskinan adalah sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung nampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral dan rasa harga diri mereka yang tergolong sebagai orang miskin. Sedangkan menurut Emil Salim (dalam Hartomo, 1982:314) Mereka dikatakan berada di bawah garis kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok, seperti pangan, pakaian tempat berteduh dan lain-lain.

Kemiskinan bukanlah sesuatu yang terwujud sendiri terlepas dari aspek-aspek lainnya, tetapi kemiskinan itu terjuwud sebagai hasil interaksi antara berbagai aspek yang ada dalam kehidupan manusia. Aspek-aspek tersebut terutama adalah aspek sosial dan ekonomi. Aspek sosial ialah adanya ketidaksamaan sosial diantara sesama warga masyarakat yang bersangkutan, seperti perbedaan suku bangsa, ras, kelamin, usia yang bersumber dari corak sistem pelapisan sosial yang ada dalam masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan aspek ekonomi ialah adanya ketidak saamaan diantara sesama warga masyarakat dalam hak dan kewajiban yang berkenaan dengan pengalokasian sumber-sumber daya ekonomi(Hartomo, 2008:315)

Berbicara tentang kemiskinan berarti berbicara tentang nasib umat manusia. Lebih jauh lagi, kemiskinan merupakan fakta yang sepanjang masa dan dimana saja dapat kita lihat. Hal ini berarti bahwa kemiskinan merupakan sesuatu yang nyata, dekat dan menyatu dengan kita, namun tidak mudah dipahami secara holistik. Maka dari itu langkah yang pertama yang dapat dilakukan dalam upaya dalam hal memahami kemiskinan secara holistik adalah dengan melakukan kajian tentang aspek-aspek kemiskinan itu sendiri, yaitu:

1. Kemiskinan itu multi dimensi.

Sifat kemiskinan sebagai suatu konsep yang multi dimensi berakar dari kondisi kebutuhan manusia yang beraneka ragam.

2. Aspek-aspek kemiskinan saling berkaitan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sebagai konsekwensi logisnya, kemajuan atau kemunduran pada salah satu aspek dapat mengakibatkan kemajuan dan kemunduran pada aspek lainnya. Justru aspek seperti ini lah yang mengakibatkan tidak mudahnya menganalisis kemiskinan itu menuju pada pemahaman yang komprehensif.

3. Kemiskinan itu adalah fakta yang terukur.

Fenomena yang sering kita temui adalah pendapatan yang diperoleh sekelompok yang bermukim ditempat yang sama boleh sama, namun kualitas individu atau keluarga yang dimiliki mungkin saja berbeda. Keadaan yang demikian sering mengkondisikan kita untuk mengidentifikasi kemiskinan sebagai sesuatu yang serba abstrak dan tidak mungkin diukur.

Kemiskinan dapat diukur dalam klasifikasi tingkatan, yaitu: a. Miskin

b. Sangat miskin c. Sangat miskin sekali

BKKBN mengklasifikasi kondisi kehidupan masyarakat kedalam berbagai tingkat, yaitui:

a. Prasejahtera b. Sejahtera 1 c. Sejahtera 2

Klasifikasi yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa kemiskinan itu merupakan fakta yang terukur. Bahwa yang miskin adalah manusianya, baik secara individu maupun kolektif.

Kita sering mendengar istilah kemiskinan pedesaan (rural poverty), kemiskinan perkotaan (urban poverty), dan sebagainya. Berbagai istilah tersebut bukanlah berarti bahwa yang mengalami kemiskinan itu adalah desa atau kota secara an sich.Kondisi desa dan kota itu merupakan penyebab kemiskinan bagi manusia. Dengan demikian pihak yang menderita miskin hanyalah manusia, baik secara individi maupun kelompok, dan bukan wilayah (Siagian, 2012:12-15).

Suatu studi menunjukkan adanya lima ciri–ciri kemiskinan, yakni:

1. Mereka yang hidup dibawah kemiskinan pada umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri, seperti tanah yang cukup luas, meodal yang memadai atau pun keterampilan yang memadai untuk melakukan suatu aktifitas ekonomi sesuai dengan mata pencahaariannya.

2. Mereka yang pada umumnya tidak mempunyai kemungkinan atau peluang untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatasn sendiri.

3. Tingkat pendidikan pada umumnya rendah, kondisi ini akan berpengaruh terhadap wawasan mereka. Beberapa penelitian antara lain menyimpulkan bahwa waktu mereka pada umumnya habis tersita semata mata hanya untuk mencari nafkah sehingga tidak ada waktu lagi untuk belajar atau meningkatkan keterampilan. 4. Pada umumnya mereka masuk kedalam kelompok penduduk dengan ketegori

setengah menganggur.

5. Banyak diantara mereka yang hidup dikota masih berusia muda, tetapi tidak memiliki keterampilan atau pendidikan yang memadai (Siagian, 2012: 16-23).

Indikator kemiskinan yang beraneka ragam dihasilkan melalui tiga pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan Pendapatan.

Sekilas pendekatan pendapatan diyakini dapat menghasilkan rumusan indikator kemiskinan yang repsentatif. Keyakinan tersebut muncul karena pendapatan merupakan variabel yang secara langsung mempengaruhi apakah seseorang atau sekelompok orang akan mampu atau tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya agar dapat hidup secara layak sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat.

2. Pendekatan Konsumsi.

Banyak pihak berpendapat bahwa pendapatan tidak selalu dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kelemahan yang terdapat pada penetapan pendapatan sebagai indikator kemiskinan menjadi banyak ahli mencari indikator lain. Salah satu indikator alternatif yang di anggap cukup representatif adalah konsumsi.

3. Pendekatan Multi Aspek.

Pada awalnya banyak pihak meletakkan harapan pada penetapan indikator kemiskinan yang di tetapkan melalui pendekatan konsumsi.Namun setelah dilakukan, pendekatan tersebut dianggap masih sarat dengan kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah sulitnya dilakukan pengukuran yang akurat.

Salah satu pihak yang berupayan menelaah dan menetapkan indikator kemiskinan melalui pendekatan multi aspek adalah PBB. Dalam laporan PBB I berjudul Report On International Definition And Measurement Of Standard And Level Of Living, badan dunia tersebut menetapkan 12 jenis komponen yang harus digunakan sebagai dasar untuk memperkirakan kebutuhan manusia, meliputi:

1. Kesehatan, termasuk kondisi demografi. 2. Makanan dan gizi

3. Pendidikan, termasuk literacy dan skill 4. Kondisi pekerjaan

5. Situasi kesempatan kerja

6. Konsumsi dan tata hubungan aggregatif 7. Pengangkutan

8. Perumahan, termasuk fasilitas – fasilitas perumahan 9. Sandang

10. Rekseasi dan hiburan 11. Jaminan sosial

12. Kebebasan manusia (United Nation, 1965).

Upaya merumuskan indikator kemiskinan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 1996 adalah menyusun komposisi kebutuhan dasar, yang dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu pangan dan non pangan. Upaya tersebut dilakukan melalui Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Hal utama yang ingin diketahui adalah data tentang pengeluaran perkapita didaerah kota dan desa.

Kebutuhan dasar yang termasuk komoditas pangan terdiri: 1. Padi padian dan hasil hasilnya

2. Ubi–ubian dan hasil hasilnya 3. Ikan dan hasil–hasilnya 4. Daging

5. Telur

6. Susu dan hasil hasil dari susu 7. Sayur-sayuran

8. Kacang-kacangan 9. Buah-buahan

10. Makanan yang sudah jadi

11. Minuman yang mengandung alcohol 12. Tembakau

13. Sirih

Kebutuhan dasar yang termasuk komoditas non pengan adalah: 1. Perumahan 2. Bahan bakar 3. Penerangan 4. Air 5. Jasa-jasa 6. Pekaian 7. Alas kaki 8. Tutup kepala

9. Barang barang yang tahan lama

10. Keperluan pesta dan upacara (BPS, 1996)

Informasi yang cukup menarik adalah terjadinya perbedaan jenis komoditas yang termasuk kebutuhan dasar diberbagai daerah di Indonesia. Oleh karena itu diera otonomi daerah saat ini adalah lebih tepat masing masing daerah merumuskan sendiri indikator kemiskinan yang wajar diberlakukan didaerah masing–masing sehingga lebih obyektif.

Penetapan sasaran pelayanan kesejahteraan sosial bagi fakir miskin yang dilakukan oleh departemen ilmu sosial merumuskan indikator yang merefleksikan tingkat kemiskinan yang sesungguhnya ada dimasyarakat. Hasilnya adalah

dirumuskannya indikator untuk menetukan masyarakat yang tergolong fakir miskin, meliputi:

1. Penghasilan rendah atau berada bibawah garis sangat miskin yang diukur dari tingkat pengeluaran perorangan perbulan berdasarkan standar BPS perwilayah provinsi dan kabupaten/kota.

2. Ketergantungan pada bantuan pangan untuk penduduk miskin (seperti zakat/beras untuk miskin/santunan sosial.

3. Keterbatasan kepemilikan pekaian untuk setiap anggota keluarga pertahun (hanya mampu memiliki satu stel pakaian lengkap perorangan pertahun).

4. Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit.

5. Tidak mampu membiayai pendidikan dasar sembilan tahun bagi anak anaknya. 6. Tidak memiliki harta (asset) yang dapat dimanfaatkan hasilnya atau dijual untuk

membiayai kebutuhan hidup selama tiga bulan atau dua kali batas garis sangat miskin.

7. Ada anggota keluarga yang meninggal dalam usia muda atau kurang dari 40 tahun akibat tidak mampu mengobati penyakit sejak awal.

8. Ada anggota keluarga usia 15 tahun ke atas yang buta huruf. 9. Tinggal dirumah yang tidak layak huni.

10.Kesulitan air bersih.

11.Rumah tidak mempunyai sirkulasi udara.

12.Sanitasi lingkungan yang kumuh/tidak sehat (Departemen sosial 2006).

Tiga pendekatan tersebut disebabkan karena sulitnya menetapkan indikator kemiskinan. Artinya jika ternyata tidak menghasilkan indikator yang dianggap

repsesentatif. Keadaan seperti ini disebabkan masing-masing pendekatan memiliki kelemahan disamping keunggulan (Siagian, 2012:67-83).

2.3. Konsep Tentang Program Kemitraan