Pengertian Amil Zakat
Salah satu instrumen penting zakat adalah amil. Menurut Ibnu Qasim Al-Ghazali amil adalah orang yang ditunjuk oleh kepala negara (imam) untuk memungut dan mendistribusikan zakat kepada pihak-pihak yang berhak menerimnanya.
اَهْـيِّقِحَتْسُمِل اَهِعْفَدَو ِتاَقَدَّصلا ِذْخَأ ىَلَع ُماَمِْلإا ُهَلَمْعَـتْسا ِنَم ُلِماَعْلاَو
“Amil adalah orang yang ditunjuk imam untuk memungut zakat dan mendistribusikan kepada yang pihak-pihak yang berhak atas zakat tersebut”24Sedangkan menurut Qadhi Abdul Haq bin Ghalib
Al-Andalusi Al-Maliki (481-543 H/1088-1147 M) dalam tafsirnya,
Al-Muharrar Al-Wajiz, sebagai berikut:
ْنَم ُّلُكَو ِتاَقَدَّصلا ِعْمَج يِف ِيْعَّسلا يِف ُماَمِْلإا ُهُبيِنَتْسَي يِذَّلا ُلُجَّرلا َوُهَـف ُلِماَعْلا اَّمَأَو
)َنْيِلِماَعْلا( َنِم َوُهَـف ُهْنَع ىَنْغَـتْسُي َلا ٍنْوَع ْنِم ُفِرْصَي
“Adapun amil adalah orang diangkat oleh imam untuk menjadi wakilnya dalam urusan mengumpulkan zakat. Setiap orang yang membantu amil yang mesti dibutuhkan maka ia termasuk amil”Kedua pengertian amil yang dikemukakan oleh kedua ulama di atas pada dasarnya adalah saling melengkapi. Langsung dapat disimpulkan bahwa pengertian amil adalah orang yang diangkat oleh imam untuk memungut, mengumpulkan dan mendistribusikan zakat kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya yaitu delapan ashnaf (golongan). Jadi amil pada dasarnya merupakan kepanjangan tangan imam dalam melaksanakan tugas yang terkait dengan zakat.
Syarat-syarat Amil
Dilihat dari sisi kewenangan dan tugas yang diembannya, amil terbagi menjadi dua. Pertama, ‘amil tafwidl, yaitu amil yang diberi kewenangan secara menyeluruh untuk mengurusi harta zakat. Kedua, ‘amil tanfidz, yaitu amil diberi kewenangan terbatas dalam mengurusi zakat seperti diberi tugas sebatas memungut dan mendistribusikannya. Karena berbeda kewenanganya maka syarat yang harus dipenuhinya pun berbeda pula.
a. Syarat ‘Amil Tafwidl
Adapun syarat yang harus dipenuhi seseorang bisa diangkat menjadi ‘amil tafwidl adalah (1) orang yang merdeka (bukan budak) (2) laki-laki (3) mukallaf (4) adil dalam seluruh kesaksian (5) beragama Islam) (6) memiliki pendengaran yang baik (7) memiliki
penglihatan yang baik (8) memahami dengan baik fiqih zakat (9)
bukan keturunan Bani Hasyim.
َلاَف اَهِّلُك ِتاَداَهَّشلا يِف ) ًلاْدَع( اًفَّلَكُم اًرَكَذ )اًّرُح ُهُنْوَك( ُلِماَعْلا َوُهَو )ْيِعاَّسلا ُطْرَشَو(
. ِتاَي َلاِوْلا َنِم اَهِرْيَغَك اَهِطْرَش ْنِم َكِلٰذ َناَكَف ٍةَي َلاِو ُعْوَـن ُهَّنَِلأ اًرْـيِصَب اًعْـيِمَس َنْوُكَي ْنَأ َّدُب
ُهْتَنَّمَضَت اَمْيِف )ِةاَكَّزلا ِباَوْـبَأِب اًهْـيِقَف( ِم َلاْسِْلإا ِطاَرِتْشا ِنَع ِةَلاَدَعْلا ِرْكِذِب ىَنْغَـتْسا :ٌهْيِبْنَـت
اًّماَع ُضْيِوْفَّـتلا َناَك اَذإ اَذٰه ُذَخْؤُـي اَمَو ُذُخْأَي ْنَم َمَلْعَـيِل ُّيِدْرَواَمْلا ُهَدَّيَـق اَمَك ُهُتَـي َلاِو
“Syarat amil adalah orang yang merdeka, laki-laki, mukallaf, adil dalam seluruh kesaksian sehingga ia harus orang yang bisa mendengar dan melihat karena status sebagai amail zakat adalah sebuah kekuasaan maka hal tersebut termasuk dari syarat kekuasaan sebagaimana kekuasaan-kekuasaan lainnya. Catatan: dengan menyebutkan syarat keadilan sudah tidak perlu menyebutkan persyaratan Islam. Syarat selanjutnyaadalah ia memahami dengan baik bab-bab fiqih zakat dalam apa tercakup
dalam kekuasaanya sebagaimana ditegaskan Al-Mawardi agar ia dapat mengetahui siapa orang yang berhak ia pungut dan apa yang dipungut. Demikian ini apabila kewenangan yang diberikan kepadanya adalah kewenangan umum (amil tafwidl).25
Namun menyangkut syarat laki-laki terdapat pendapat
yang tidak mempersyaratkannya. Ibnu Muflih Al-Hanbali dalam
kitab Al-Furu’ menyatakan bahwa dari apa yang terlihat (zhahir) mengarah kepada tidak dipersyaratkan laki-laki untuk amil zakat. Sedang dalam kitab Al-Mubdi’-nya Ibnu Muflih menyatakan
bahwa dalam konteks ini terdapat catatan (fihi nazhar) dari aspek ketiadaan dalil yang menunjukkan adanya persyaratan laki-laki dan dari sudut alasan terkait dengan wilayah (kekuasaan) yang dikemukakan oleh para ulama.
Kendati demikian, atas pertimbangan hal tersebut maka Musa bin Ahmad Al-Hijawi dalam kitab Al-Iqna’-nya menyatakan bahwa dipersyartakannya laki-laki itu lebih utama (awla). Hal ini tentunya dibanding dengan pendapat yang menyatakan tidak diperlukan adanya persyaratan laki-laki. Para ulama seolah-olah tidak mencantumkan secara tegas persyaratan laki-laki karena dianggap sudah jelas. Demikian sebagaimana dikemukakan oleh Manshur bin Yunus Al-Bahuti dalam kitab Kasysyaf Al-Qina’ ‘an Matn Al-Iqna` berikut ini;
ِهيِفَو : ِعِدْبُمْلا يِف َلاَق. ٌهِّجَوَـتُم اَذَهَو ُهُتَّـيِروُكُذ ُطَرَـتْشُت َلا ُهُرِهاَظَو : ِعوُرُفْلا يِف َلاَق
ُطاَرِتْشاَو ( : َلاَق اَذَهِلَف ؛ ِةَي َلاِوْلاِب ْمِهِليِلْعَـت ْنِمَو ، ِهْيَلَع ُّلُدَي اَم ْدِرَي ْمَل ُهَّنَأ ِةَهِج ْنِم ٌرَظَن
. ِهِحوُضُوِل َكِلَذ ىَلَع اوُّصُنَـي ْمَل ْمُهَّـنَأَكَو اَهِطاَرِتْشا ِمَدَعِب ِلْوَقْلا ْنِم ) ىَلْوَأ ِهِتَّيِروُكُذ
“Ibnu Muflih berkata dalam kitab Al-Furu’; ‘Zhahirnya tidakdipersyaratakan laki-laki untuk amil zakat. Dan pendpapat ini adalah
yang mutawajjih (memiliki alasan). Ibnu Muflih berkata dalam kitab
Al-Mubdi’-nya: ‘Dalam konteks ini terdapat catatan dari aspek ketiadaan dalil yang menunjukkan atas persyaratan laki-laki dan dari sudut alasan yang terkait soal kekuasaan (wilayah) yang dikemukakan oleh para ulama. Oleh karenanya, maka penulis kitab Al-Iqna’ (Musa bin Ahmad al-Hijawi) menyatakan; ‘(Dan persyaratan laki-laki bagi amil zakat itu lebih utama)’, dibanding dengan pendapat yang menyatakan tidak diperlukan adanya persyaratan laki-laki. Seolah-olah para ulama tidak
mencantumkan secara tegas persyaratan tersebut karena mereka melihat bahwa hal itu sudah jelas”.26
Persyaratan amil tidak termasuk keturunan Bani Hasyim juga diperselisihkan oleh para ulama. Bolehkah keturunan Bani
Hasyim menjadi amil? Dalam Madzhab Syafi’i sendiri terjadi
silang pendapat. Masing-masing didukung dengan dalil, namun menurut Abu Ishaq Asy-Syirazi, Al-Baghawi, dan mayoritas
ulama dari kalangan Madzhab Syafi’i yang paling sahih adalah
pendapat yang tidak memperbolehkan. Demikian sebagaimana dikemukakan Muhyiddin Syarf An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab.
ُفِّنَصُمْلا َرَكَذ ِناَروُهْشَم ِناَهْجَو ِهيِف اَّيِبِّلَطُم ْوَأ اًّيِمِشاَه ِلماَعْلا ُنْوَك ُزوُجَي ْلَه )ُةَّيِناَّثلَا(
ُزوُجَي َلا ِباَحْصُْلاا ِروُهْمُجَو ِّيِوَغَـبْلاَو ِفِّنَصُمْلا َدْنِع )اَمُهُّحَصَأ( اَمُهَليِلَد
“Yang kedua, apakah boleh amil dari keturunan Bani Hasyimatau Muthallib? Dalam hal ini ada dua pendapat yang masyhur yang dikemukakan oleh pengarang kitab Al-Muhadzdzab yaitu Abu Ishaq Asy-Syirazi. Pendapat yang paling sahih menurut Abu Ishaq Asy-Syirazi,
Al-Baghawi, dan mayoritas ulama dari kalangan Madzhab Syafi’i adalah
tidak boleh”27
b. Syarat ‘Amil Tanfidz
Adapun syarat yang harus dipenuhi seseorang bisa diangkat menjadi ‘amil tanfidz adalah hampir sama dengan ‘amil tafwidl, tetapi lebih longgar. Dalam konteks amil tanfidz tidak disyaratkan
harus menguasai fiqih zakat, begitu juga tidak harus laki-laki,
orang yang merdeka, dan Islam. Kelonggaran ini karena tugas
‘amil tanfidz titik tekannya lebih kepada keperantaraan (sifarah/ risalah) bukan kewenangan kekuasaan (wilayah).
26 Manshur bin Yunus al-Bahuti, Kasysyaf al-Qina’ ‘an Matn al-Iqna’, Tahqiq: Muhamman Amin dl-Dlinnawi, Bairut-Dar al-Kutub, cet ke-1, 1417 H/1997 M, juz, III, h. 100
ٍبِتاَكَو ٍبِساَح ِوْحَن ْنِم ِهِناَوْعَأَك ِهْيِف )ْطَرَـتْشُي ْمَل( ْطَقَـف )ٌعْفَدَو ٌذْخَأ ُهَل َنِّيُع ْنِإَف(
اَهَّـنَِلأ ُةَّيِّرُحْلا َلاَو ُةَرْوُكُّذلا َلاَو )ُهْقِفْلا( ْيِواَحْلا يِف ُّيِدْرَواَمْلا ِهْيَلَع َهَّبَـن اَمَك ٍفِرْشُمَو
ِع ْوُمْجَمْلا يِف اَمَك ِطْوُرُّشلا ِةَّيِقَب ْنِم ِهِرْيَغَك ِم َلاْسِْلإا َنِم ِهْيِف َّدُب َلا ْمَعَـن ٌةَي َلاِو َلا ٌةَراَفِس
“Kemudian jika ia (amil) diangkat hanya sebatas memungut dan mendistribusikan maka tidak disyaratkan—sebagaimana para pembantu amil misalnya juru hitung, penulis, dan pengawas seperti yangdikemukakan Al-Mawardi dalam kitab Al-Hawi—, untuk mengerti fiqih
zakat, begitu juga tidak disyaratkan harus laki-laki dan merdeka karena dalam hal ini hanya merupakan perantaraan bukan kekuasaan (wilayah). Benar, bahwa dalam masalah amil syarat Islam adalah keharusan sebagaimana syarat-syarat yang lainnya sebagaimana yang dikemukakan dalam kitab Al-Majmu’.28
Atas dasar keperantaraan bukan kewenangan kekuasaan, Imam Al-Mawardi tidak memasukan Islam sebagai syarat ‘amil
tanfidz. Namum menurut Imam Muhyiddin Syarf An-Nawawi, pandangan ini mengandung kemusykilan. Karena itu maka pendapat yang dipilih (Al-mukhtar) adalah pendapat yang menyatakan tetap mensyaratkan Islam bagi ‘amil tanfidz.
ُةَّيِّرُحْلاَو ُم َلاْسِْلإا ِنَّيَعُمْلا اَذَه يِف ُرَـبَتْعُـي َلا اَذَكَو :ِةَّيِناَطْلُّسلا ِماَكْحَْلأا يِف ُّيِدْرَواَمْلا َلاَق
ُهُطاَرِتْشا ُراَتْخُمْلاَو ٌلِكْشُم ِم َلاْسِْلإا ِطاَرِتْشا ِمَدَع ْنِم ُهَلاَق يِذَّلا اَذَهَو ٌةَي َلاِو َلا ٌةَلاَسِر ُهَّنَِلأ
“Dalam kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah, al-Mawardi menyatakan; ‘Begitu juga tidak diperlukan syarat Islam dan merdeka untuk amilyang diberi kewenangan terbatas dalam urusan zakat (‘amil tanfidz,
pent) karena itu hanya perantaraan bukan kekuasaan (wilayah). Dan menurut Muhyiddin Syarf An-Nawawi, pendapat Al-Mawardi tentang ketidakperluan persyaratan Islam ini adalah problematis (musykil). Sedang pendapat yang dipilih adalah adanya persyaratan Islam”.29
28 Syamsuddin ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Bairut-Dar al-Fikr, 1404 H/1984 M, juz, VI, h. 169