• Tidak ada hasil yang ditemukan

Taqrīr Jamā’i

Dalam dokumen Hasil Munas dan Konbes NU 2017 (Halaman 95-100)

Dalam literatur fiqih atau ushul fiqih istilah taqrīr tidak

populer. Maksud sesungguhnya dari istilah ini ialah tarjī, yaitu memilih atau mengunggulkan dalil yang lebih kuat di antara

adillatul fiqh at-tafshīliyyah apabila terjadi ta’ārudl bainaladillatis

syar’iyyah atau memilih/mengunggulkan pendapat yang lebih

maslahat dan lebih kuat dalilnya jika terjadi ta’ārudl baina aqwālil fuqahā. Proses penetapan taqrīr/tarjī ini dilakukan secara jamā’i

(kolektif) sehingga disebut dengan taqrīr jamā’i.

Pertanyaannya adalah bagaimana cara kita menentukan suatu pendapat lebih maslahat dan lebih kuat dalilnya dari pendapat lain? Sebagaimana dikemukakan Imam Al-Ghazali, mashlahat adalah perlindungan terhadap tujuan-tujuan syara’ yang terdiri atas hifdhud dīn (memelihara agama), hifdhun nafs

(memelihara jiwa), hifdhul ‘aql (memelihara akal), hifdhun nasl

(memelihara keturunan), dan hifdhul māl (memelihara harta).37

Lima perlindungan tersebut merupakan induk mashlaha (تاهمأ لحاصلما) atau lebih dikenal dengan al-kulliyātul khams.38 Lima ajaran pokok itu kemudian bercabang pada ajaran al-`adalah (keadilan), al-hurriyah (kemerdekaan), al-musawah (kesetaraan), dan al-karamatul insaniyah (kehormatan kemanusiaan), dan lain-lain.

37 Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa min ‘Ilmil Ushul, juz II, halaman 174.ِنْعَـن اَّنِكَل ْمُهَـنيِد ْمِهْيَلَع َظَفَْي ْنَأ َوُهَو :ٌةَسَْخ ِقْلَْلا ْنِم ِعْرَّشلا ُدوُصْقَمَو ِعْرَّشلا ِدوُصْقَم ىَلَع َةَظَفاَحُمْلا ِةَحَلْصَمْلاِب ُتِّوَفُـي اَم ُّلُكَو ،ٌةَحَلْصَم َوُهَـف ِةَسْمَْلا ِلوُصُْلأا ِهِذَه َظْفِح ُنَّمَضَتَـي اَم ُّلُكَف ،ْمَُلاَمَو ْمُهَلْسَنَو ْمُهَلْقَعَو ْمُهَسْفَـنَو ٌةَحَلْصَم اَهُعْـفَدَو ٌةَدَسْفَم َوُهَـف َلوُصُْلأا ِهِذَه.

38 Ibnu A’syur, Nadhariyyatul Maqashid ‘indal Imamis Syathibi, halaman

126.

،نيدلا ظفح :يه ةسخ انهأ ءارقتسلااب تبث ،ةيرورضلا لحاصلما وأ ،ةيرورضلا دصاقلماو

Sebagaimana umum diketahui, maslahat memiliki tiga tingkatan; pertama, mashlahah dlarūriyyah, kedua, mashlahah

hājiyyah, dan ketiga, mashlahah tahsīniyyah. Yang dimaksud dengan mashlahat dalam pertanyaan yang diajukan di atas tentu bukan maslahat yang diabaikan oleh syāri’ (mashlahatul mulghāh) melainkan maslahat yang diapresiasi oleh syāri’ (mashlahatul mu’tabarah) melalui penegasan nash secara khusus, atau maslahat yang tidak memiliki acuan nash secara khusus baik yang

mengafirmasikan maupun yang mengabaikannya (mashlahatul

mursalah). Suatu maslahat dikatakan lebih kuat apabila dampak perlindungannya terhadap tujuan syari’ baik secara kualitas maupun kuantitas lebih dari yang lain.

Dari sisi lain maslahat terbagi atas dua kategori, yaitu

mashlahah ‘āmmah dan mashlahah khashshāh. Dalam kaitan ini, jika terjadi benturan antara mashlahah ‘āmmah dan mashlahah khashshāh, maka yang dimenangkan adalah mashlahah ‘āmmah. Misalnya, pendapat si A mendatangkan kemaslahatan sekecamatan, sementara pendapat si B mendatangkan maslahat sekabupaten, tentu kita memilih dan mengunggulkan maslahat yang cakupannya lebih luas.

Seperti dikemukakan di paragraf awal, taqrīr bukan hanya dilihat dari aspek kemaslahatan melainkan juga didasarkan pada kuat dan tidaknya dalil yang menjadi acuan mujtahid atau ulama. Yang dimaksud dengan dalil adalah Al-Quran dan As-Sunah sebagai dalil primer, al-ijmā’, al-qiyās, maslahatul mursalah, syar’u man qablanā, mazhabus shahābi, al-istisān, al-istishāb, al-‘urf, dan saddudz dzarī’ah sebagai dalil sekunder.

Dalil-dalil tersebut baik secara ijmāli maupun secara tafshīli

memiliki kekuatan yang berbeda antara satu dan yang lain. Misalnya, ada dalīl qathi’i dan dalīl dhanni, dalil manthūq dan dalil

mafhūm, manthūq sharī dan manthūq ghairu sharī. Itu sebabnya jika terjadi ta’ārudh bainal aqwāl wal awjuh, maka:

1. Pendapat (qaul atau wajah) yang didasarkan pada dalil

qath’i lebih kuat karena itu lebih dipilih dari pendapat yang didasarkan pada dalil dhanni.

2. Pendapat yang didasarkan pada ‘ibāratun nash lebih kuat karena itu lebih dipilih daripada pendapat yang didasarkan pada isyāratun nash dan iqtidhā’un nash.

3. Pendapat yang diambil dari manthūq secara umum dimenangkan atas pendapat yang diambil dari mafhūm.

4. Pendapatyang diperoleh dari mantūq sharī dimenangkan atas pendapat yang diambildarimantūq ghairu sharī;pendapat yang merupakan makna hakiki dari dalil pada dasarnya lebih didahulukan dari pendapat yang merupakan makna

lafadhmajazi dari dalil.

5. Pendapat yang didasarkan pada lafadh khāsh lebih didahulukan daripada pendapat yang didasarkan pada dalil dengan lafadh ‘ām.

6. Pendapat yang diambil dari hadist yang perawinya fakih dimenangkan atas pendapat yang diambil dari hadist yang perawinya bukan seorang fakih; pendapat yang didasarkan pada hadits dalam Shahih Al-Buhkari dan Muslim lebih didahulukan dari pendapat yang didasarkan pada hadits Sunan Abi Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’i, misalnya.

7. Pendapat yang mewujudkan mashlahah dlarūriyyah

dimenangkan atas pendapat yang mewujudkan mashlah

hājiyyah; selanjutnya pendapat yang mewujudkan mashlahah

hājiyyah dimenangkan atas pendapat yang mengandung

mashlahah tasīniyyah.

Pertanyaannya, jika pendapat yang dipilih didasarkan pada maslahat dan tidaknya pendapat itu, maka siapa yang menentukan bahwa suatu pendapat lebih maslahat dari yang lain? Jika kemaslahatan suatu pendapat didasarkan pada hadits Nabi SAW نسح للها دنع وهف انسح نوملسلما هآر ام, maka pertanyaannya umat Islam yang mana? Bagaimana jika terjadi perselisihan; seorang Muslim melihat maslahat pada satu pendapat, sementara yang lain tak

Hadist di atas dalam beberapa literarur qawaid fiqih adalah acuan kaidah al-‘ādah muhakkamah dan acuan al-‘urf dalam ushul

fiqih, bukan sebagai acuan mashlaah.39 Secara umum ‘urf yang bisa

diterima adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan nash dan

‘urf yang bisa memanifestasikan kaidah-kaidah mashlahah sesuai dengan urutannya di atas. Istilah نوملسلماmaknanya terbatas (هب داري ماع صوصلا) dengan pengertian bahwa partikel “al” dalam lafal tersebut mengandung makna نىهذلا دهعللyang memiliki pengertian al-‘ulamā’

sehingga parameter baik dan buruk yang dimaksud dalam hadist tersebut mengacu pada pandangan `ulama’ul ummah.

Dengan demikian qaul yang sesuai dengan kesepakatan ulama (ijmā‘) dan atau jumhur ulama dimenangkan atas pendapat minoritas dengan catatan pendapat jumhur tersebut sejalan dengan maqhāshidus syarī‘ah. Apabila pendapat jumhur tersebut didasarkan pada suatu ‘urf yang kondisinya berbeda jauh dengan ‘urf yang ada saat ini, maka sangat dimungkinkan terjadinya perubahan hukum akibat perubahan dasarnya atau ‘urf-nya. Di sinilah letak penggunaan kaidahفورظلاو ةنكملأاو نامزلأا يرغتب ماكحلأا يرغت ركني لا لاوحلأاو.

Pertanyaan selanjutnya, jika ada dua pendapat; yang satu lebih kuat dari sisi dalil tapi lemah dari segi maslahat, sedangkan pendapat lain lebih kuat dari sisi maslahat tapi lemah dari segi dalil, maka pendapat manakah yang harus didahulukan? Pertanyan ini mengasumsikan terjadinya ta’ārudl antara dalil

nash dan mashlahatul mu‘tabarah yang menjadi acuan qiyās, dan

mashlahatul mursalah yang menjadi salah satu acuan istihsān dan

saddud dzarī‘ah. Jika yang dimaksud adalah mashlahatul mu’tabarah,

maka pada umumnya ulama memenangkan nash atas qiyās

sekalipun nash itu berupa hadits ahad kecuali Imam Abu Hanifah yang memenangkan qiyas bila perawi hadits tersebut tidak fakih.

39 Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Asybah wanNadhair, halaman 89.

اًنَسَح َنوُمِلْسُمْلا ُهآَر اَم َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُهَّللا ىَّلَص ُهُلْوَـق اَهُلْصَأ :يِضاَقْلا َلاَق . ٌةَمَّكَُم ُةَداَعْلا ُةَسِداَّسلا ُةَدِعاَقْلا

ٌنَسَح ِهَّللا َدْنِع َوُهَـف

Tetapi jika ta’ārudl terjadi antara nash dan mashlahatul mursalah, maka tentu yang dimenangkan adalah nash, terkecuali jika pengamalan nash itu menimbulkan mafsadah yang lebih besar.

Misalnya, soal penarikan pajak dari orang yang kaya. Sekiranya didasarkan pada nash hadits هنمسفن بيطب لاإ ئرما لام لي لا,40 maka hukumnya tidak boleh karena pada umumnya penarikan pajak dilakukan dengan paksa. Tetapi, kalau penarikan pajak itu tidak dilakukan—tentu dengan syarat-syarat khusus—, maka dapat dipastikan ia mendatangkan mafsadat yang lebih besar, yaitu negara akan lumpuh dan akan terjadi kekacauan.

Dengan demikian, maka jawaban pertanyaan tersebut secara global sebagai berikut. Yaitu, qaul yang dalilnya lebih kuat tapi dari segi maslahat lemah dalam kondisi tertentu bisa dimenangkan atas qaul yang dalilnya lemah tapi kuat dari segi maslahat. Dalam kondisi yang lain bisa terjadi sebaliknya. Jika kondisinya cukup dilematis, maka kita bisa mengunakan teori multidimensi (ددعتةيرظن داعبلاا), yaitu teori yang didasarkan pada berbagai dimensi baik dimensi ruang maupun dimensi waktu. Dengan mengunakan teori ini, maka yang dianggap ta’ārudl sesungguhnya tidak ta’ārudl

karena ta’ārudl secara global ada dua, yaitu رملاا سفن في ضراعتلاdan ضراعتلا دهتلمجا نهذ في.

Dengan mengembangkan teori nadhariyyatu ta’addudil ab’ād

jelas bahwa ketika terjadi ta’ārudl bainal aqwāl atau ta’ārudl bainal

awjuh, maka yang pertama harus dilakukan adalah al-jam’u wat

taufīq, yaitu mengkompromikan pendapat yang berbeda-beda tersebut. Satu pendapat misalnya relevan diterapkan dalam situasi dan kondisi A, sementara pendapat lain relevan diterapkan dalam situasi dan kondisi B. Dengan perkataan lain, di dalam taqrīr juga berlaku satu ketentuan, yaitu mengamalkan dua pendapat yang bertentangan lebih utama daripada mengabaikan dua pendapat itu.

Namun, jika al-jam’u wat taufīq tak bisa dilakukan, maka yang dipilih adalah pendapat yang disepakati Imam Nawawi

dan Imam Rafi’i. Selanjutnya jika Imam Nawawi dan Imam Rafi’i

mengemukakan pendapat berbeda tentang satu perkara, maka yang dipilih adalah pendapat yang diajukan Imam Nawawi. Pilihan pada Imam Nawawi tak hanya didasarkan pada argumen karena Imam Nawawi41 datang lebih belakangan dari Imam Rafi‘i42

melainkan karena Imam Nawawi telah disepakati sebagai ىعفاشلا نياثلا, بهذلما ررم. Bahkan, Imam Nawawi juga mendapat julukan ينثدلمحا هيقف ءاهقفلا ثدمو.

Bahwa pendapat yang disepakati Imam Nawawi dan Imam

Rafi’i didahulukan dari pendapat lain, dan pendapat Imam Nawawi didahulukan dari pendapat Imam Rafi’i, itu sudah

disepakati dan kita terima. Namun, di pihak lain kita juga menerima kaidah bahwa perubahan fatwa bisa terjadi karena perubahan situasi, kondisi, lokasi, dan tradisi (دئاوعلاو لاوحلااو ةنكملااو ةنمزلاا يرغتب ىوتفلا يرغت). Bagaimana menghadapi dua kaidah itu? Secara bijaksana kita bisa mengkompromikandua kaidah tersebut: bahwa prinsipnya kaidah pertama (yakni mengikuti pendapat Imam Nawawi dan

Imam Rafi’i)selalu kita jadikan pegangan dalam tataran طانلما جيرتخ,

sementara dalam tataran طانلما قيقتحkita bisa beralih pada kaidah kedua jika karena satu dan lain hal tak memungkinkan menerapkan kaidah pertama.

Dalam dokumen Hasil Munas dan Konbes NU 2017 (Halaman 95-100)