• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Tradisi: Sebuah Kajian Teoretik

1. Konsepsi Tradisi

58

menerus dalam sebuah lingkup sosial baik menyangkut keseluruhan dari sistem sosial maupun hanya terjadi pada sebagian unsur yang ada di dalam sistem tersebut. Pesantren sebagai sebuah sistem sosial memiliki unsur-unsur yang sangat mungkin menjadi tempat bagi terjadinya perubahan sosial. Sesuai dengan fokus kajian, unsur tradisi yang ada di dalam dunia pesantren merupakan hal penting yang harus dibicarakan di sini. Oleh karena itu, dalam sub bab ini penulis akan memaparkan dua hal; pertama, konsepsi tentang tradisi itu sendiri, dan kedua, tradisi dan kemungkinan perubahan.

1. Konsepsi Tradisi

Kata tradisi sepadan dengan kata tradition dalam bahasa Inggris, patrimonie atau heritage dalam bahasa Perancis, dan turāth dalam bahasa Arab. Secara liguistik, dalam bahasa Arab kata turāth merupakan kata benda (noun) yang diderivasi dari kata kerja waratha.38 Dia sepadan dengan kata irth, wirth, dan mīrāth.39

Oleh karenanya, secara leksikal, kata ini dimaknai dengan segala sesuatu yang diwarisi seseorang dari kedua orang tuanya baik berupa harta benda, kedudukan, maupun kebangsawanan. Edward Shils memaknai tradisi sebagai “sesuatu yang diwariskan dari masa lalu ke masa kini”.40

Tradisi mencakup segala sesuatu yang ditransmisikan secara lisan maupun melalui tulisan, bisa

38Bentuk asli dari kata tersebut adalah wurath yang kemudian di i’lāl dengan mengganti huruf

wāwu yang dianggap berat memikul ḥarakat ḍommah di atas dengan huruf ta, sehingga menjadi turāth. Mengenai proses pembentukan kata melalui proses i’lāl ini, Lihat Tim Pembukuan

Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, I’lāl al-Iṣṭilāḥiy wa al-Lughāwiy fi ’Ilm al-Ṣarf (Kediri: Madrasah Hidayatu Mubtadi-ien, tt.)

39Namun demikian sebagian ahli bahasa Arab ada yang membedakan arti dari ketiga kata tersebut dengan menyebutkan bahwa kata irth lebih mengacu pada warisan yang berupa kebangsawanan, sedangkan kata wirth dan kata mīrāth lebih menunjukan pada warisan yang berupa harta benda dan kedudukan. Lihat Muhamad Abid al-Jabiri, Post-Tradisionalisme Islam, terj. Ahmad Baso (Yogyakarta: LkiS, 2000), 2.

40

59

berupa keyakinan agama maupun persoalan yang terkait dengan keduniaan. Keyakinan dimaksud bisa berupa keyakinan yang dihasilkan dari logika maupun dari keyakinan yang diterima tanpa renungan yang mendalam. Dia juga bisa berupa keyakinan yang diwahyukan oleh Tuhan maupun interpretasinya. Dia juga meliputi keyakinan yang dibentuk melalui pengalaman maupun yang diperoleh dari kesimpulan logika.41

Sementara Sztompka mengartikan tradisi sebagai keseluruhan benda meterial dan gagasan yang masih ada pada masa kini yang belum dihancurkan, dirusak, dibuang atau dilupakan, yang berasal dari masa lalu. Dengan demikian maka kehadiran masa lalu di masa kini memiliki dua bentuk yaitu material (objektif) dan gagasan (subjektif).42 Tradisi yang berbentuk meterial (objektif) bisa berupa bentuk bangunan, tembok peninggalan masa penjajahan, candi, puing kuno, kereta kencana, dan sejumlah besar benda peninggalan lainnya. Sementara tradisi dalam bentuk gagasan (subjektif) meliputi keyakinan, kepercayaan, simbol, norma, nilai, aturan, dan ideologi yang benar-benar mempengaruhi pikiran dan perilaku yang melukiskan makna khusus atau legitimasi masa lalunya. Dengan demikian maka tradisi menurut Sztompka43 bisa berupa tradisi yang benar-benar berasal dari masa lalu dan mempengaruhi masa kini, bisa juga berupa tradisi yang diciptakan pada masa kini dengan mempelajari dan menghidupkan kembali tradisi yang pernah ada pada masa silam.

41Lihat Ibid., 12-16.

42Sztompka, Sosiologi Perubahan, 69-70.

43

Untuk kasus yang kedua (tradisi yang diciptakan kemudian), Sztompka mencontohkan model pakaian, simbol, lencana, dan melodi masyarakat pegunungan Skotlandia yang diciptakan oleh sepasang aristokrat pada abad ke-19 yang diciptakan dengan jalan mempelajari tradisi nenek moyang mereka jauh di masa lalu, serta tradisi seremoni kerajaan Inggris yang diciptakan dengan tujuan tertentu. Lihat Ibid., 70.

60

Tradisi dalam pandangan al-Jabiri adalah segala sesuatu yang hadir dalam diri kita atau beserta kita yang berasal dari masa lampau, baik dari masa lalu kita sendiri maupun dari masa lalu orang lain, baik masa lampau yang bersifat jauh maupun dekat, dan masih mempengaruhi kita hingga saat ini. Definisi ini mencakup tradisi yang bersifat maknawi (al-turāth al-ma’nawiy) seperti yang berupa pemikiran dan adat istiadat, dan tradisi yang bersifat material (turāth al-māddiy) seperti arsitektur bangunan dan lain sebagainya. Definisi itu juga menyakup tradisi yang bersifat komunal (al-turāth al-qaumiy) yaitu sesuatu yang hadir di dalam diri kita yang berasal dari masa lalu kita, serta tradisi yang bersifat universal (al-turāth al-insāniy) yaitu sesuatu yang hadir di dalam diri kita yang berasal dari masa lalu orang lain.44

Mencermati definisi tradisi yang dikemukakan oleh al-Jabiri dan membandingkannya dengan yang diungkapkan oleh Sztompka maka penulis perlu memberikan catatan terkait dengan titik persamaan dan perbedaannya. Dalam konteks persamaan, baik Jabiri maupun Sztompka menjadikan masa lampau sebagai basis terbentuknya sebuah tradisi. Hanya saja, berbeda dengan Jabiri, Sztompka memasukkan hal-hal yang diciptakan pada masa kini sebagai bagian dari tradisi selagi hal yang diciptakan tersebut merupakan hasil dari mempelajari atau didorong oleh semangat menghidupkan kembali tradisi yang pernah ada di masa lampau. Konsepsi seperti ini tentu mengundang perdebatan lebih lanjut dengan mempertanyakan apakah tradisi yang diciptakan pada masa kini tersebut dapat dikategorikan sebagai kelanjutan dari tradisi masa lampau yang

44Muhammad Abid al-Jabiri, al-Turāth wa al-Hadāthat: Dirāsat wa al-Munāqasat (Beirut: Markaz Dirāsat al-Waḥdat al-„Arabiyyat, 1999), 45.

61

menginspirasi kelahirannya kembali, atau tradisi yang diciptakan tersebut bisa dikatakan sebagai tradisi baru yang lahir dari semangat tradisi lama. Menurut hemat penulis, yang bisa mempertemukan kedua argumen tersebut adalah terletak pada pengaruh yang ditimbulkan oleh masa lalu. Sebuah tradisi dapat diartikan sebagai kondisi keterpengaruhan masa kini oleh keadaan-keadaan yang pernah ada di masa lampau. Dengan demikian, baik kondisi itu merupakan kelanjutan dari masa lampau ataupun diciptakan pada masa kini, selagi dia dipengaruhi oleh keadaan-keadaan masa lampau, maka dia layak disebut sebagai sebuah tradisi. Dengan kata lain, tradisi adalah segala keadaan masa lampau yang masih mempengaruhi kondisi saat ini.

Mengenai lahir dan terbentuknya tradisi, Sztompka mengidentifikasi bahwa tradisi dilahirkan melalui dua cara:

a. Tradisi lahir dan muncul dari bawah melalui mekanisme yang lahir secara spontan dan tidak diharapkan serta melibatkan rakyat banyak. Dalam kasus ini individu, dengan alasan tertentu, menemukan warisan historis yang menarik. Kemudian individu tersebut menyebarluaskan perhatian, ketakdiman, kecintaan, serta kekagumannya terhadap warisan historis tersebut untuk mempengaruhi rakyat banyak dengan melalui berbagai cara. Sikap kagum individu tersebut memperkokoh sikap dan berubah menjadi perilaku dalam bentuk upacara, penelitian, pemugaran peninggalan purbakala dan menafsir ulang keyakinan lama yang kemudian menjadi milik bersama dan berubah menjadi fakta sosial yang sesungguhnya.

62

b. Tradisi lahir dan muncul dari atas melalui mekanisme paksaan. Dalam kasus ini, sesuatu yang dianggap sebagai tradisi dipilih dan dijadikan perhatian namun atau dipaksakan oleh individu yang berpengaruh atau berkuasa.45

Penulis beranggapan bahwa ada titik perbedaan pandangan antara Jabiri dan Sztompka memandang tradisi. Jabiri mengasumsikan bahwa tradisi selalu muncul dari masa lalu yang masih mempengaruhi cara hidup individu dan masyarakat sekarang. Konsekwensinya, tradisi tidak lain hanyalah sebuah warisan yang masih dipelihara hingga saat ini. Sampai pada tahapan ini, tradisi seakan-akan hanya terbentuk melalui proses ketidaksengajaan atau dalam bahasa Sztompka sebagai pembentukan tradisi secara spontan, sementara Sztompka mengilustrasikan bahwa selain melalui proses spontan, tradisi juga bisa muncul melalui proses paksaan oleh individu atau kelompok yang berpengaruh. Pernyataan ini secara implisit mengasumsikan adanya kemungkinan terbentuknya tradisi.

Kemudian untuk mengidentifikasi tradisi sekaligus membedakannya dengan modern dapat dilihat dengan memperhatikan beberapa aspek yang berlaku di dalam sebuah komunitas masyarakat. Aspek-aspek tersebut di antaranya adalah: pembagian kerja, teknologi, derajat urbanisasi, ekonomi, edukasi dan komunikasi serta nilai-nilai budaya.46 Dengan memperhatikan aspek-aspek tersebut, masyarakat dapat ditipologikan dalam beberapa kategori. Sebagai contoh, aspek pembagian kerja oleh Durkheim digunakan untuk mengidentifikasi masyarakat dan membaginya menjadi masyarakat mekanik dan masyarakat

45Sztompka, Sosiologi Perubahan, 71-72.

46

63

organik. Menurutnya, masyarakat mekanik dibangun atas solidaritas mekanik yang bertumpu pada ikatan tradisional. Masyarakat mekanik ditandai dengan adannya kecenderungan bersatu karena semua orang berwatak generalis. Batas antara orang dengan yang lain justru sama-sama menjalankan aktifitas dengan tanggung jawab yang sama. Sementara masyarakat organik dibangun oleh dasar solidaritas organik yang lebih bersifat individual. Setiap orang melakukan kegiatannya dengan pembagian kerja, sehingga masing-masing orang berbeda dalam hal tugas dan tanggung jawabnya. Masyarakat organik inilah yang kemudian disebut sebagai masyarakat modern, sementara masyarakat mekanik diidentifikasi sebagai masyarakat tradisional.47

Jika dilihat kembali paparan sebelumnya, aspek-aspek yang berlaku di dalam sebuah komunitas masyarakat dalam perspektif teori perubahan sosial sering disebut sebagai dimensi sosial yang perlu diamati. Dalam penelitian ini aspek-aspek tersebut akan digunakan sebagai basis dalam pemaparan dan analisis data dalam bab berikutnya (terutama bab IV dan V).