• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Perkembangan Islam di Kota Kediri

2. Perkembangan Agama Islam di Kota Kediri

88

2. Perkembangan Agama Islam di Kota Kediri

Kota Kediri memiliki catatan sejarah panjang terkait dengan perkembangan agama-agama yang dianut oleh penduduknya. Agama Islam bukanlah agama pertama yang dianut oleh masyarakat Kediri pada masa lampau. Agama Islam datang belakangan ketika masyarakat Kediri telah memeluk agama Hindu-Buddha yang menjadi agama negara pada masa Kerajaan Kadhiri.7 Tidak mengherankan jika sampai saat ini masyarakat Kediri dikategorikan sebagai masyarakat heterogen jika dilihat dari sudut pandang agama yang dipeluknya. Selain Islam sebagai agama mayoritas saat ini, masyarakat Kediri juga memeluk agama Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Buddha, Konghucu, dan aliran kepercayaan lainnya.

Penelusuran terhadap agama Islam di Kediri tidak terlepas dari jejak para ulama yang dianggap sebagai tokoh-tokoh pembawa dan penyebar Islam di Kediri pada masa awal. Ada beberapa nama yang tercatat sebagai pembawa Islam ke tanah Kediri, diantaranya adalah Syekh Wasil Setono Gedong,8 Kiai Abdullah

7

Nama Kediri berasal dari kata “kedi” yang berarti mandul atau wanita yang tidak datang bulan. Dalam kamus Jawa Kuno, “kedi” berasal dari kosa kata “Kediri” yang berarti orang kebiri, bidan, atau dukun. Catatan sejarah yang yang mengacu pada batu tulis Harinjing menyebutkan bahwa lahirnya Kota Kediri pada 25 Maret 804M. terkait erat dengan tokoh yang bernama Bagawanta Bari. Dia mendapat hadiah “tanah perdikan” di Desa Cuanggi (Besowo, Kecamatan Kepung) dari Raja Rake Layang Dyah Tulodong seorang penguasa Mataram atas jasanya menyelesaikan bendungan Sungai Harinjing untuk menyuburkan tanah pertanian di sekitarnya. Lihat Tim Penyusun, Pesanten Lirboyo, 3.

8

Tokoh ini diyakini sebagai juru dakwah yang diutus oleh kerajaan Mataram Islam untuk menyebarkan agama Islam di Kediri sekitar abad ke-12M. Dia adalah orang Gujarat yang telah lama menetap di Solo sebelum akhirnya berdakwah di Kediri sampai akhir hayatnya. Lihat Ibid., 7-8. Keyakinan ini perlu ditinjau kembali mengingat fakta sejarah yang menyebutkan bahwa pemerintahan Mataram mencapai puncak kejayaannya ketika dipimpin oleh Sultan Agung yang berkuasa pada tahun 1613-1645M. Sultan Agung memang dikenal sebagai penguasa yang aktif mengirimkan para mubaligh ke berbagai wilayah termasuk ke daerah Jawa Timur. Lihat Abdurrahman Mas‟ud, Kyai Tanpa Pesantren: Potret Kyai Kudus (Yogyakarta: Gama Media, 2013), 11-13.

89

Mursyad Setono Landean,9 kemudian Kiai Ali Ma‟lum Kalangbret Tulungagung,10 dan Kiai Sholeh Banjarmlati.

Dengan meyakini Syekh Wasil Setono Gedong sebagai pembawa Islam pertama masuk ke Kediri, maka dapat diartikan bahwa Islam di Kota Kediri berasal dari Demak yang bergeser ke pedalaman melalui kerajaan Pajang dan akhirnya ke Mataram. Pergeseran Islam dari pesisir ke pedalaman tersebut juga sekaligus menandai munculnya pemisahan tiga lembaga utama yang menopang kerajaan Islam di Jawa. Tiga lembaga utama tersebut adalah; kraton sebagai pusat kekuasaan, pasar sebagai pusat perdagangan, dan pesantren sebagai pusat keagamaan.11 Proses historis tersebut mengakhiri kekuasaan ulama plus raja dan merupakan awal dari proses pembentukan Islam tradisional di pedalaman yang berbasis pesantren.12

Dalam hal ini, pembahasan akan lebih difokuskan kepada kehidupan Kiai Sholeh Banjarmlati dengan alasan sebagai berikut:

1. Menelusuri jejak Syekh Wasil Setono Gedong tidak terkait langsung dengan fokus penelitian yang membahas Pondok Pesantren Lirboyo, walaupun dia dianggap sebagai orang pertama yang masuk ke wilayah Kediri.

2. Mengenai dakwah Islam yang dilakukan oleh Kiai Abdullah Mursyad Setono Landean dan Kiai Ali Ma‟lum Kalangbret secara tidak langsung akan

9 Garis keturunan isteri pendiri Pondok Pesantren Lirboyo (Nyai Dlomroh) berasal dari ulama yang satu ini sebagaimana dapat dilihat pada penjelasan mengenai silsilah Kiai Sholeh Banjarmlati yang tidak lain adalah mertua dari Kiai Abdul Karim.

10 Dia adalah cicit dari Syekh Abdullah Mursyad yang pada awalnya menetap di Tulungagung kemudian atas perintah ayahnya berdakwah di bantaran sugai Brantas di Kediri tepatnya di Desa Banjarmlati. Lihat Tim Penyusun, Pesanten Lirboyo, 11-12.

11 Lihat Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarta: LKiS, 2008), 173.

12 Ibid., Bandingkan dengan Jajat Burhanudin, “Ulama dan Politik Pembentukan Umat: Sekilas Pengalaman Sejarah Indonesia”, dalam Jajat Burhanudin dan Ahmad Baedowi (Ed.), Transformasi Otoritas Keagamaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 11.

90

terbahas ketika pembicaraan terfokus pada Kiai Sholeh Banjarmlati, karena kedua orang tersebut adalah kakek dan buyut dari Kiai Sholeh.

3. Kiai Sholeh Banjarmlati adalah mertua dari Kiai Abdul Karim (Kiai Manab) Pendiri pondok Pesantren Lirboyo.

4. Kiai Sholeh Banjarmlati adalah orang yang memerintahkan Kiai Abdul Karim (Kiai Abdul Karim) untuk mendirikan pondok Pesantren di desa Lirboyo. 5. Hampir semua pondok pesantren yang ada di Kediri terkait dengan Kiai

Sholeh Banjarmlati melalui jalur kekerabatan.

Kiai Sholeh Banjarmlati adalah turunan ketujuh dari Kiai Abdullah Mursyad dan turunan keempat dari Kiai Ali Ma‟lum dari jalur ibu. Ibunya yang bernama Nyai Rofiah adalah putri dari Nyai Musyarofah yang merupakan cucu dari Kiai Ali Ma‟lum dari putra yang bernama Zainal Abidin. Kiai Ali Ma‟lum sendiri adalah cicit dari Kiai Abdullah Mursyad dari jalur bapak (Kiai Anbiya‟) dan kakeknya yang bernama Kiai Abdurohman.

Kiai Sholeh Banjarmlati selain sebagai muballigh yang menyiarkan agama Islam juga berprofesi sebagai saudagar yang kaya raya. Dia mendirikan pondok pesantren di pinggir sungai Brantas. Pondok pesantren yang dibesarkannya merupakan pengembangan dakwah Kiai Ali Ma‟lum yang telah mendirikan sebuah masjid di pinggir sungai Brantas setelah menelusuri sungai tersebut dari Tulungagung. Selain membesarkan pondok pesantren yang diasuhnya, Kiai Sholeh juga banyak membangun masjid di berbagai wilayah Kediri dengan menggunakan kekuatan finansial yang dimilikinya.13 Menurut Azra, keberadaan

13

91

para pendakwah yang berprofesi sebagai saudagar yang kaya raya merupakan salah satu faktor penting proses Islamisasi di Nusantara.14

Upaya lain yang dilakukan oleh Kiai Sholeh dalam mengemban misi dakwahnya adalah dengan menyebar putra dan menantunya untuk mendirikan pondok pesantren-pondok pesantren di berbagai wilayah sekitar Kediri. Putri pertamanya yang bernama Nyai Hasanah dinikahkan dengan Kiai Ma‟ruf dan diperintahkan untuk mendirikan pondok pesantren Kedunglo di pinggir sungai Brantas berjarak sekitar satu kilometer ke arah utara dari Banjarmlati. Putrinya yang kedua (Nyai Anjar) dinikahkan dengan Kiai Fadhil yang kemudian mendirikan pondok pesantren di lereng Gunung Wilis tepatnya di Bathokan Desa Pethok yang berjarak sekitar empat kilometer sebelah Barat Daya Banjarmlati. Putrinya yang ketiga (Nyai Artimah) dinikahkan dengan Kiai Dahlan dan mendirikan pondok pesantren di Desa Jampes di pinggiran sungai Brantas yang berjarak sekitar sembilan kilometer utara Banjarmlati. Putranya yang keempat diperintahkan berdakwah di Desa Bandar Kidul yang bersebelahan dengan Desa Banjarmlati. Putri kelimanya (Nyai Nafisah) dinikahkan dengan Kiai Manshur yang mendirikan pondok pesantren di Kalipucung Blitar. Putri keenamnya (Nyai Khadijah/Dlomroh) dinikahkan dengan Kiai Abdul Karim (Kiai Manab) dan diperintahkan mendirikan pondok pesantren di Desa Lirboyo yang berjarak kurang lebih tiga kilometer sebelah Barat Laut Banjarmlati. Putranya yang kedelapan (Kiai Ya‟kub) diperintahkan untuk membantu Kiai Abdul Karim

14

Islamisasi di Nusantara menurut Azra didukung oleh beberapa faktor, diantaranya: 1) Portabilitas sistem keimanan Islam yang siap pakai dan berlaku di mana pun sehingga sesuai bagi para pemeluk yang dinamis. 2) Asosiasi Islam dengan kekayaan. 3) Introduksi kebudayaan-peradaban literasi yang relatif universal. Lihat Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), 21-23.

92

membesarkan Pondok Pesantren Lirboyo. Putranya yang kesembilan (Kiai Asy‟ari) diperintahkan mendirikan pondok pesantren di Desa Cangkring Kecamatan Gurah Kediri yang berjarak sekitar lima belas kilometer arah Timur Laut dari Banjarmlati. Sementara putranya yang kesepuluh dan kesebelas (Kiai Abdul Haji dan Kiai Ibrohim) ditugaskan menetap di Banjarmlati menemani Kiai Sholeh.15

Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa lahirnya Pondok Pesantren Lirboyo merupakan bagian dari sebuah skenario besar yang dirancang oleh Kiai Sholeh Banjarmlati dalam mengemban misi dakwahnya menyebarkan agama Islam di wilayah Kediri. Kiai Sholeh membangun sebuah sistem sosial yang disusun melalui jaringan kekerabatan. Pada sub bab berikutnya akan dijelaskan lebih jauh mengenai jaringan kekerabatan yang dilestarikan oleh Kiai Abdul Karim sebagai sebuah tradisi yang dipertahankan dalam menjaga eksistensi Pondok Pesantren Lirboyo.