• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

G. Konsepsualisasi

Ada beberapa hal yang perlu ditegaskan dan dijelaskan lebih lanjut berkaitan dengan beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Adapun konsep-konsep tersebut adalah :

1.PUBLIC RELATIONS

Definisi Public Relations sangat beragam, dan datang dari banyak ahli dengan latar belakang pengalaman yang berbeda-beda. Selain itu, Public Relations juga merupakan cabang ilmu pengetahuan yang sangat fleksibel dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Salah satu definisi Public Relations yang dianggap dapat mencakup keseluruhan definisi yang ada adalah definisi Public Relations yang biasa disebut sebagai The Statement Of Mexico yang berbunyi

“ Praktik Public Relations adalah seni dan ilmu pengetahuan sosial yang dapat dipergunakan untuk menganalisis kecenderungan, memprediksi konsekuensi-konsekuensinya, menasehati para pemimpin organisasi, dan melaksanakan program yang terencana mengenai kegiatan-kegiatan yang melayani, baik untuk kepentingan organisasi maupun kepentingan publik atau umum” (Rosady Ruslan, 2003 : 15)

Selain definisi di atas, masih ada juga definisi dari Frank Jefkins mengenai Public Relations, yaitu

“Public Relations adalah sesuatu yang merangkum keseluruhan komunikasi yang terencana, baik itu ke dalam atau ke luar, antara suatu organisasi dengan semua

khalayaknya, dalam rangka mencapai tujuan-tujuan yang spesifik yang berlandaskan pada saling pengertian” (Frank Jefkins, 1992:10)

Menurut Dozier & Broom peranan Public Relation dalam suatu organisasi dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu :

1. Penasehat Ahli (Expert Prescriber)

Seorang praktisi PR yang sudah berpengalaman dan mempunyai kemampuan yang tinggi dapat membantu menyelesaikan masalah yang timbul dan berkaitan dengan publik suatu organisasi. Dalam hal ini, pihak management bersifat pasif, artinya tinggal menerima, mempercayai dan menjalankan apa yang sudah diusulkan oleh penasehat ahli tersebut untuk mengatasi permasalahan yang timbul.

1. Fasilitator Komunikasi (Communication Fasilitator)

Dalam hal ini, PR bertindak sebagai seorang mediator yang membantu pihak manajemen mengetahui apa yang diinginkan publiknya sekaligus juga bisa bertindak yang sebaliknya, yaitu untuk bisa menjelaskan tujuan dari pihak manajemen kepada publiknya, agar tercipta saling pengertian antara kedua belah pihak.

2. Fasilitator Proses Pemecahan Masalah (Problem Solving Process Fasilitator) Dalam proses pemecahan masalah, praktisi PR adalah bagian dari tim manajemen, yang bertugas untuk membantu pimpinan, baik sebagai penasehat hingga proses pengambilan keputusan. Biasanya dalam menghadapi krisis yang menimpa suatu perusahaan atau organisasi, akan dibentuk suatu tim yang dikoordinir oleh praktisi PR yang melibatkan berbagai departemen dan berbagai keahlian.

Peranan PR sebagai teknisi komunikasi ini berbeda dengan tiga peranan lainnya. Peranan ini hanya menjadikan PR sebagai journalist in resident yang hanya menyediakan layanan teknis komunikasi.

2. CITRA

Citra adalah tujuan utama sekaligus merupakan reputasi dan prestasi yang hendak dicapai bagi dunia PR. Pengertian citra sendiri sebenarnya abstrak dan tidak dapat diukur secara matematis. Tapi wujudnya bisa dirasakan dari hasil penilaian baik atau buruk. Seperti penerimaan dan tanggapan baik positif maupun negatif yang khususnya datang dari publik (khalayak sasaran) dan masyarakat luas pada umumnya. (Rosady Ruslan, 2003:68)

Ada beberapa jenis citra yang sekarang lazim untuk digunakan, yaitu : A. Citra Bayangan (mirror image)

Citra ini adalah citra yang melekat pada orang dalam atau anggota suatu organisasi, biasanya adalah pemimpinnya, mengenai anggapan pihak luar tentang organisasinya. Dengan kata lain, citra bayangan adalah citra yang dianut anggota organisasi tentang pandangan orang luar terhadap organisasinya. Kekurangannya, citra ini kadang tidak tepat, bahkan hanya bisa jadi berupa ilusi, karena kurangnya pengetahuan anggota organisasi tentang pendapat orang lain seputar organisasi mereka.

B. Citra yang berlaku (current image)

Citra ini adalah kebalikan dari citra bayangan. Citra yang berlaku adalah citra yang melekat pada pihak luar mengenai suatu organisasi. Citra ini cenderung negatif

dan kadang juga tidak tepat, karena kurangnya pengetahuan masyarakat luas tentang organisasi tersebut, sehingga kadang menghadirkan penilaian yang salah.

C. Citra yang diharapkan (wish image)

Ini adalah citra yang diinginkan oleh pihak management. Citra yang diharapkan tersebut, biasanya dirumuskan dan diperjuangkan untuk menyambut sesuatu yang relatif baru, yaitu ketika khalayak belum memiliki informasi yang memadai tentang hal tersebut.

D. Citra Perusahaan (corporate image)

Adalah citra dari organisasi secara keseluruhan, jadi bukan citra atas produk atau pelayanannya, citra ini terbentuk karena banyak hal, dari mulai prestasi oraganisasi atau hal-hal tertentu yang pernah dilakukan organisasi untuk masyarakat luas dan khalayaknya.

E. Citra Majemuk (multiple image)

Citra ini bisa terbentuk karena setiap organisasi tentu saja mempunyai banyak anggota, dan tentu saja masing-masing anggota mempunyai kepribadian yang berbeda-beda juga. Dari kepribadian dan tingkah laku tersebut, tanpa disadari, mereka telah memunculkan suatu citra yang belum tentu sama dengan citra yang dimiliki oleh organisasi pada umumnya.

(Frank Jeffkins, 1992:17-20)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata krisis mempunyai dua arti, yaitu : 1.Kemelut, 2.Keadaan genting. (Redi Panuju, 2002:1-2)

Sedangkan menurut Djamaludin Ancok Ph.D., krisis adalah situasi yang merupakan titik balik (turning point) yang dapat membuat baik atau buruk, jika dipandang dari kacamata bisnis. Titik krisis merupakan penentu untuk selanjutnya. (Rosady Ruslan, 1995:73)

Dalam suatu krisis atau konflik, terdapat perkembangan keadaan yang dapat dikategorikan menjadi empat menurut Steven Fink, yaitu :

1. Masa Prakrisis

Suatu krisis atu konflik besar biasanya bermula dari konflik kecil yang menjadi tanda bahwa konflik tersebut akan berkembang menjadi besar di masa mendatang.

2. Masa Krisis Akut

Jika dalam masa prakrisis, konflik yang terjadi tidak terdeteksi dan tidak segera ditangani dengan benar, maka akan timbul masalah yang lebih fatal. Masa krisis akut ini, jika dibandingkan dengan tahapan yang lain, memang tergolong singkat. Tetapi masa akut ini adalah masa yang paling menegangkan dan cukup menguras tenaga bagi tim yang bertugas untuk menanganinya.

3. Masa Krisis Kronis

Masa ini adalah masa pemulihan citra dan merupakan upaya untuk meraih kembali kepercayaan dari masyarakat, selain itu juga merupakan masa untuk instrospeksi ke dalam mengapa konflik tersebut dapat terjadi. Masa kronis ini

berlangsung panjang, tergantung dari seberapa berat konflik yang dihadapi dan seberapa sulit untuk mendapat kembali kepercayaan masyarakat.

4. Masa Kesembuhan dari krisis

Masa ini adalah masa dimana organisasi yang terkena konflik akan bangkit kembali seperti sediakala. Setelah melalui perbaikan di dalam tubuh organisasi tersebut, maka mulai dipikirkan kembali bagaimana kelanjutan pemulihan citra organisasi tersebut di mata khalayak.

(Rosady Ruslan, 1995:73-76)

Konflik perebutan kekuasaan di keraton Surakarta, sebenarnya sudah mulai menunjukkan tanda-tanda akan menjadi besar ketika Sinuhun Pakubuwono XII mulai mengalami gangguan kesehatan sejak tahun 2002. Permasalahan tentang siapa yang nantinya akan menggantikan kedudukan beliau terus bergulir karena Sinuhun Pakubuwono XII tidak mengangakat salah satu selirnya unutk menjadi permaisuri, jadilah beliau tidak memiliki putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya sebagai raja.

Konflik menjadi semakin jelas ketika Sinuhun Pakubuwono XII akhirnya mangkat di usia yang ke-80 pada Jumat Wage, 11 Juni 2004 setelah beberapa hari sebelumnya membuat wasiat yang lebih dikenal dengan nama Pesan Tawangmangu.

Ditengah suasana duka, mulai beredar spekulasi tentang kelanjutan nasib Keraton Kasunana Surakarta. Munculnya isu suksesi tersebut, didorong oleh dua hal. Pertama, almarhum PB XII tidak mempunyai permaisuri. Kedua, munculnya ide pembaruan dalam sistem pewarisan tahta.

Polemik mengenai suksesi tersebut, bukanlah hal baru. Menjelang masa-masa akhir PB XII persoalan tersebut sudah berkembang dan bahkan sudah sering diperdebatkan. Namun, perbedan pendapat baru benar-benar terlihat dan menajam ketika Pesan Tawangmangu diungkapkan di media massa. Polarisasi di kalangan internal keraton dan abdi dalem pun semakin jelas terlihat, dan mulai mengarah pada bentuk rivalitas.

Penyebutan nama KGPH Hangabehi menjadi calon raja yang dipilih saat keraton masih dalam suasana berduka, dinilai tidak etis serta menyalahi kesepakatan. Karena sebelumnya putra-putri Sinuhun PB XII sudah sepakat untuk tidak membicarakan masalah pewarisan tahta sebelum peringatan 40 hari meninggalnya beliau. Lebih dari itu, otensitas Pesan Tawangmangu, termasuk capa jempol PB XII diragukan karena hanya disaksikan putra-putri dari sebuah garis keturunan seorang garwa ampil (selir) dan sekretaris pribadi PB XII.

Ditengah suasana yang belum kondusif, pada tanggal 24 Juni 2004 KGPH Hangabehi, putra sulung PB XII dari garwa ampil atau selir yang bernama KRAy Pradapaningrum, ditetapkan sebagai pengganti PB XII. Hal ini seakan-akan menjadi penyulut berkobarnya konflik yang sudah ada. Bagi beberapa pihak yang tidak setuju, peristiwa tersebut dianggap illegal dan menyalahi prosedur.

Sebenarnya dalam hal calon, sejumlah abdi dalem yang tidak puas dan menolak sistem pencalonan tunggal, mengusulkan 4 calon lain yang mereka nilai memiliki akses luas, berkemampuan serta memiliki trackrecord yang tidak tercela, yaitu KGPH Hadiprabowo, KGPH Tedjowulan, KGPH Puger, KGPH Dipokusumo.

Inilah yang nantinya akan memicu terjadinya pengangkatan KGPH Tedjowulan sebagai raja di luar tembok keraton.