• Tidak ada hasil yang ditemukan

Munculnya Kontroversi Penetapan Calon Raja

BAB II. DESKRIPSI LOKASI

C. Kontroversi Penetapan Pengganti Raja

1. Munculnya Kontroversi Penetapan Calon Raja

Jumat wage, 11 Juni 2004, Paku Buwono XII, raja Keraton Surakarta yang bertahta paling lama yaitu selama 60 tahun menghembuskan nafas terakhir di RS. Dr. Oen Surakarta.

Jenazah Paku Buwono XII kemudian disemayamkan di Masjid Pujosono yang terletak di dalam kompleks Kraton Kasunanan. Selama disemayamkan di Masjid Pujosono tersebut, kerabat Kraton memberikan kesempatan kepada masyarakat yang ingin memberikan penghormatan terakhir kepada almarhum. Setelah disemayamkan selama dua hari, jenazah Paku Buwono XII kemudian dipindahkan ke Sasana Parasdya (Mulyanto Utomo, 2004:119)

Tiga hari setelah Paku Buwono XII wafat, tepatnya pada hari Senin tanggal 14 Juni 2004, jenazah dimakamkan di Astana Raja-Raja Mataram di Pajimatan, Imogiri, Bantul DIY. Pelepasan jenazah menggunakan dua tradisi, yakni militer dan adapt Jawa yang dilakukan di Kompleks Kraton Surakarta. (Mulyanto Utomo, 2004:120)

Di tengah-tengah suasana duka, muncul spekulasi tentang siapakah nantinya yang akan menggantikan kedudukan almarhum sebagai Raja Kraton Kasunanan Surakarta. Mengingat selama beliau masih hidup tidak pernah menyebut secara jelas siapa diantara putra-putranya yang ditunjuk menjadi putra mahkota, selain itu Paku Buwono XII juga tidak pernah mengangkat seorang permaisuri. Inilah yang membuat

publik semakin menerka-nerka tentang siapakah calon pengganti yang sebenarnya diinginkan oleh Paku Buwono XII.

Munculnya isu seputar suksesi juga tidak terlepas dari tumbuhnya ide pembaruan sistem pewarisan tahta. Kedua isu tersebut, yaitu tidak adanya permaisuri dan tumbuhnya ide pembaruan system pewarisan tahta inilah yang membuat pandangan masyarakat, kerabat, dan sentana dalem terbelah. (KP. Edy Wirabhumi, 2004:13)

Sebagian ada yang berpegang teguh kepada angger-angger keraton, bahwa yang berhak mewarisi tahta adalah putera tertua almarhum. Sedangkan pada sisi lain muncul pendapat yang berlawanan bahwa calon pengganti tidak harus putera sulung raja, melainkan bisa salah satu putera raja yang dianggap memiliki kemampuan yang terukur, akses luas,serta diterima semua kalangan.

Keberadaan Pesan Tawangmangu yang disebut-sebut memuat nama calon pengganti raja membuat polarisasi di kalangan internal keraton semakin menajam. Penyebutan KGPH Hangabehi sebagai calon terpilih disaat keraton sedang berduka dinilai tidak etis dan menyalahi kesepakatan oleh beberapa pihak. Karena dalam pertemuan sebelumnya telah disepakati bahwa tidak akan dibicarakan masalah pewarisan tahta sebelum peringatan 40 hari meninggalnya almarhum. Lebih dari itu keaslian Pesan Tawangmangu beserta cap jempol PB XII diragukan, karena hanya disaksikan putera-puteri almarhum dari garis keturunan seorang selir dan sekretaris pribadi almarhum saja. (KP.Edy Wirabhumi, 2004:14)

Menjelang sholat Jumat, selang beberapa jam setelah meninggal Paku Buwono XII, spekulasi tentang pengganti Raja Kraton Kasunanan Surakarta tersebut sedikit terkuak. Bertempat di Pendapa Sasana Mulya, putera tertua almarhum dari isteri selir KRAy. Pradapaningrum, yaitu KGPH. Hangabehi dinyatakan sebagai penerus tahta yang berhak menggantikan Paku Buwono XII. (Mulyanto Utomo, 2004:119)

Dengan pengukuhan tersebut, terhitung sejak saat itu seluruh urusan di dalam maupun keluar keraton sepenuhnya menjadi tanggung jawab KGPH Hangabehi, dibantu oleh Paran Nata Karsa dan Paran Para Nata maupun lembaga lainnya yang akan ditetapkan kemudian. (KP.Edy Wirabhumi, 2004:14)

Dalam buku Dibalik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat, GPH Dipokusumo berpendapat bahwa penetapan pengganti raja harus mempertimbangkan setidaknya sembilan komponen, masing-masing permintaan raja (yang akan digantikan), penghulu Keraton, pujangga Keraton, komandan prajurit, patih, penguasa (pemerintah kolonial), Pengageng Kasentanan, Pengageng Parentah, serta Pengageng Keputren. Tiga lembaga yang disebut terakhir merupakan institusi yang dibentuk PB X yang dilanjutkan penerusnya untuk membantu tugas-tugas raja. (Mulyanto Utomo, 2004:123)

Selain itu, calon raja harus pula melalui serangkaian ritual adat dalam rangka mencari wahyu sebelum menjadi raja. Hingga kemudian muncul sejumlah nama putera PB XII yang telah menyandang pangeran sepuh yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH), gelar tertinggi yang diberikan PB XII kepada putera

sentana yang secara adapt dianggap layak dan berhak menggantikan. Mereka adalah KGPH Hangabehi, KGPH Kusumayudha (dari istri selir KRAy Pradapaningrum), KGPH Tedjowulan (dari istri selir KRAy Retnodiningrum), serta KGPH Hadiprabowo (dari istri selir KRAy Rogasmoro).

Pada peringatan 7 hari meninggalnya PB XII, pada hari Kamis 17 Juni 2004, belum tampak adanya kesepakatan diantara pihak keluarga seputar penetapan pengganti PB XII. Dalam pertemuan tersebut, pihak keluarga juga meminta masyarakat supaya bersabar menunggu siapa yang nantinya akan ditetapkan sebagai pengganti almarhum untuk menjadi Raja di Kraton Kasunanan Surakarta. (Mulyanto Utomo, 2004:124)

Akhirnya pada hari Kamis tanggal 24 Juni 2004, Kraton Surakarta mengeluarkan biworo (pengumuman) mengenai penetapan Hangabehi sebagai pengganti PB XII. Pengumuman tersebut KGPH Kusumayudha, salah satu putera PB XII. (Mulyanto Utomo, 2004:125)

Dihadiri oleh KRAy Retnodiningrum, satu-satunya garwa ampil PB XII yang masih hidup dan beberapa tamu undangan, upacara penetapan diakhiri dengan wilujengan atau selamatan oleh abdi dalem Sura. Sementara ketiga pengageng

(pimpinan) tiga elemen Kraton, yaitu KGPH Hadiprabowo (Pengageng Kasentanan), KGPH Dipokusumo (Pengageng Parentah Karaton) dan GKR Alit (Pengageng Keputren) tidak terlihat hadir. (KP.Edy Wirabhumi, 2004:14)

Ketegangan dan polemik di antara putera-puteri PB XII kian memuncak setelah penyampaian biworo tersebut. Polemik tersebut semakin meruncing ketika

media massa salah mengartikan upacara pengumuman tersebut sebagai acara penetapan KGPH Hangabehi sebagai putera mahkota. (KP.Edy Wirabhumi, 2004:14)

Bagi mereka yang tidak bisa menerima, pengumuman tersebut atau apapun istilahnya, illegal dan menyalahi prosedur. Ada beberapa alasan yang membuat oihak-pihak tertentu menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap pengumuman tersebut, yaitu : pertama pengumuman yang dituliskan di atas selembar kertas berkop keraton dengan lambang Sri Radya Laksana tersebut tidak berstempel serta tidak ada ditandatangani sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Kedua, calon pengganti raja berikut mekanismenya tidak melalui pembahasan intensif.

Ketiga, kalaupun harus berpegang pada angger-angger, suksesi di keraton pada jaman dulu selalu melibatkan peran sembilan elemen, yaitu permintaan raja (yang akan digantikan), penghulu Keraton, pujangga Keraton, komandan prajurit, patih, penguasa (pemerintah kolonial), Pengageng Kasentanan, Pengageng Parentah, serta Pengageng Keputren. Padahal dari keseluruhan elemen tersebut tinggal tiga elemen yang disebut terakhir yang hingga saat ini masih dipertahankan keberadaannya oleh keraton. Dan seperti yang sudah dijelaskan di atas ketiga elemen keraton tersebut tidak ada satupun ynag menghadiri upacara pengumuman penetapan KGPH Hangabehi sebagai calon pengganti PB XII. Inilah yang membuat polarisasi dan spekulasi semakin bertambah panas, tidak saja di dalam tembok kraton tapi juga melebar ke masyarakat luas.

Salah satu unsur masyarakat luar kraton yang ikut memberikan suara dalam polemik ini adalah Forum Bela Raos Abdidalem. Forum tersebut mengklaim beranggotan sejumlah kelompok eksternal di luar struktural kraton, seperti Brayat

Ageng Surakarta, Trah Gagatan Surakarta, Paguyuban Lesanpura Surakarta, Paguyuban Mekar Kusuma Surakarta serta Himpunan Penghayat Kepercayaan Surakarta. Forum tersebut berlatar belakang keprihatinan yang terjadi di dalam keluarga kraton. Forum tersebut juga berkeinginan untuk memberikan masukan agar penetapan pengganti PB XII adalah seseorang yang memiliki kapabilitas dan kualitas sesuai dengan kondisi zaman. (Mulyanto Utomo, 2004:126)

Dalam perkembangan selanjutnya, masukan dari Forum Bela Raos Abdidalem berubah menjadi tuntutan yang meluas. Forum ini bahkan menetapkan criteria raja yang layak untuk meneruskan tahta Keraton Surakarta, dan menolak mekanisme penetapan KGPH Hangabehi serta menuntut agar penobatan raja ditunda untuk mengakomodasi aspirasi yang muncul. Forum ini juga mempertanyakan otentitas surat wasiat Paku Buwono XII yang lebih dikenal dengan nama Pesan Tawangmangu.

Tekanan yang datang tidak hanya dari pihak luar, tapi juga dari trah (keturunan) Paku Buwono yang berada di Jakarta, yang selama ini merasa selalu ditinggal dalam setiap pertemuan. Untuk itulah mereka mengeluarkan sejumlah opsi tentang suksesi kraton pada tanggal 27 Juni 2004. Pertama, proses suksesi dinilai tidak transparan. Kedua, pencalonan dan pengumuman penetapan KGPH Hangabehi cacat hukum. Ketiga, perlu diadakannya rembugan ulang secara lebih demokratis.

Keempat, membentuk Paran Nata, semacam lembaga penasihat raja yang keanggotaannya terdiri dari berbagai unsur termasuk masyarakat serta kelompok pengusaha. (KP.Edy Wirabhumi, 2004:16)

Sejumlah abdi dalem yang merasa tidak puas dengan pencalonan juga mengajukan empat nama lain selain Hangabehi untuk menjadi pengganti raja, yaitu KGPH Hadiprabowo, KGPH Tedjowulan, KGPH Dipokusumo dan GPH Puger.