• Tidak ada hasil yang ditemukan

CARREFOUR DAN AGEN PASAR

1.2. Tinjauan Pustaka

1.2.1 Konstelasi Pasar: Dari Tradisional, Hingga Modern

Berdasarkan sejarah, diketahui bahwa masyarakat Indonesia sudah mengenal salah satu kegiatan ekonomi yang disebut pasar. Pasar biasanya dicirikan oleh:

1) Berada pada lokasinya yang mudah didatangi dari berbagai arah; 2) berlangsung pada waktu-waktu tertentu;

3) mengutamakan benda keperluan hidup sehari-hari untuk keluarga.

Pada perkembangannya, sejalan dengan bertambahnya tuntutan dan perkembangan masyarakat di beberapa tempat tertentu, terutama di kota-kota besar, mulai tumbuh pasar yang melakukan kegiatan di setiap saat. Jika pada masa awal terbentuknya lembaga pasar, kegiatan jual-beli cenderung bersifat tukar-menukar (barter) dengan orientasi subsistensi, kini pasar merupakan sarana pertukaran antar barang dengan sejumlah uang tertentu, atau uang dengan jumlah barang tertentu. Dengan demikian, jika pada awalnya yang terjadi adalah kegiatan

antara sesama produsen, setelah dikenal alat tukar berupa uang, maka, terjadilah kegiatan antara produsen dengan konsumen (Hamilton, 1995).

Selanjutnya, moderasi terhadap pengertian pasar dalam pengertian teori ekonomi, Kini pasar dapat diartikan sebagai situasi di mana pembeli (konsumen) dan penjual (produsen dan pedagang) melakukan transaksi setelah kedua pihak telah mengambil kata sepakat tentang harga terhadap jumlah (kuantitas) barang dengan kuantitas tertentu yang menjadi objek transaksi. Kedua pihak, pembeli dan penjual mendapatkan manfaat dari adanya transaksi atau pasar. Pihak pembeli mendapatkan barang yang diinginkan untuk memenuhi dan memuaskan kebutuhannya sedangkan penjual mendapatkan imbalan pendapatan untuk selanjutnya digunakan untuk membiayai aktivitasnya sebagai pelaku ekonomi produksi atau pedagang (Kotler, 1987 ).

Dalam perkembangan selanjutnya, sekarang ini pasar mengalami transformasi sistem ekonomi pasar yang dikenal dengan istilah dualisme sistem ekonomi pasar, yaitu “pasar tradisional” dan “pasar modern”. Pasar tradisional dicirikan oleh organisasi pasar yang sederhana, tingkat efisiensi dan spesialisasi yang rendah, volume barang relatif sedikit, bentuk bangunan yang apa adanya, terkesan sempit, kotor, cara perbelanjaannya dengan sistem tawar menawar dengan model interaksi transaksi secara langsung, barang-barang yang diperdagangkan adalah barang kebutuhan sehari-hari dengan mutu barang yang kurang diperhatikan, harga barang relatif murah, para pedagangnya sebagian besar adalah golongan ekonomi lemah dan cara berdagang yang kurang profesional. Sebaliknya, pasar modern dicirikan dengan organisasi pasar yang lebih kompleks,

volume barang yang tinggi, kepastian harga, barang-barang yang dijual biasanya adalah barang yang tahan lama, dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang menawarkan kenyamanan ketika berbelanja, seperti: penyejuk udara, iringan musik, transaksi elektronik (ATM dan kartu kredit, dan tersedianya tempat parkir yang luas. Beberapa bentuk dari pasar modern adalah hypermarket, supermarket, minimarket, dan departemen store (Kotler, 1987: Pangestu, 2007).

Pasar tradisional dan pasar modern dapat dikatakan memiliki fungsi yang sama karena merupakan tempat perbelanjaan yang menyediakan dan menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat. Akan tetapi, di antara keduanya memiliki perbedaan dalam kelas mutu pelayanan. Selain itu, pasar dari sisi sosial ekonomi dapat dibedakan pengertiannya secara kultural, administrasi, dan fungsional. 1) Secara kultural, pasar merupakan tempat kegiatan perdagangan eceran berbagai jenis barang dan jasa tanpa memandang apakah tempat itu disediakan secara resmi atau tidak oleh pemerintah setempat; 2) Secara Administrasi, pasar adalah tempat kegiatan perdagangan eceran yang dibedakan atas pasar resmi dan tidak resmi, tidak diakui secara hukum, namun keberadaannya (secara de facto) tetap dipungut biaya retribusi; 3) Secara Fungsional, pasar adalah tempat berbelanja barang-barang kebutuhan sehari-hari yang dibutuhkan oleh penduduk secara keseluruhan, tempat bekerja (berdagang) yang memberikan pendapatan kepada pedagang, dan sebagai fasilitas perkotaan yang memberi pendapatan bagi pemerintah kota (Malau, 2009: Sinaga, 2006: Simbolon, 2005: Slamet, 2001)

Pasar dapat menjadi lebih dinamis disebabkan adanya pelaku (aktor) pasar yang dapat menjalankan setiap perannya dalam rangka bekerjanya sistem pasar secara keseluruhan. Namun demikian, bergeraknya kinerja pasar dipengaruhi oleh tiga unsur penting yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, yakni, penjual, pembeli dan barang (Damsar, 2002: Elida, 2005). Tidak hanya itu, dinamika pasar sebagai pusat penjualan juga dapat dipahami terkait rangkaian mekanisme ekonomi dalam pemeliharaan dan pengatur arus barang maupun jasa (Geertz, 1989).

Selanjutnya, Geertz (1989) juga mengatakan bahwa dari segi arus barang dan jasa pada pasar tradisional: yang paling menonjol adalah jenis barang yang diperjualbelikan umumnya berupa bahan pangan, sandang, dan berbagai barang yang mudah diangkut dan disimpan. Hasil-hasil produk pertanian untuk kebutuhan sehari-hari merupakan komoditi yang paling banyak diperjualbelikan di pasar tradisional, walaupun tidak menutup kemungkinan ditemukannya jenis-jenis barang lainnya yang bersifat tahan lama, seperti: perabot rumah tangga, dan bahan material untuk bangunan rumah. Hal ini sangat tergantung pada besar kecilnya pasar tradisional tersebut.

1.2.2 ‘Carrefour’ & ‘Oknum/Agen Pasar’: Ancaman Terkini Bagi Pedagang Pasar Sembada

Keberadaan ‘Carrefour’ sebagai salah satu ritel pasar modern yang kini telah beroperasi di lokasi yang berdekatan dengan Pasar Sembada dapat dikatakan merupakan salah satu ancaman terbesar bagi para pedagang di Pasar Sembada. Dikatakan demikian karena terkait dengan kecurigaan pedagang Pasar Sembada

terhadap penurunan jumlah pengunjung di Pasar Sembada. Salah satu dugaan utama mereka mengapa terjadi penurunan jumlah pengunjung Pasar Sembada disebabkan ‘Carrefour’ menyediakan tempat berbelanja yang lebih bersih dan menawarkan kenyamanan dalam berbelanja.

Kecurigaan para pedagang Pasar Sembada tersebut sepertinya seturut dengan pernyataan Pangestu (2007), bahwa secara umum, tempat yang nyaman, aman dan memadai akan menjadi pilihan utama bagi kebanyakan pembeli. Kondisi ini harus bisa menjadi perhatian serius dari para pedagang di pasar tradisional. Walaupun pasar tradisional tetap memiliki daya tarik untuk dikunjungi oleh para calon pembeli, namun pedagang harus mengetahui bahwa persaingan tidak hanya terbatas pada kualitas dan harga produk, tetapi juga sudah pada tataran lain, yaitu bagaimana memuaskan pelanggan dari faktor yang lain, seperti adanya kenyamanan berbelanja dan adanya nuansa khusus menarik lainnya yang kini lebih dapat ditemukan pada pasar modern (Mahyuni, 2007; Pangestu, 2007).

Selain itu, Indrawan (2009) juga mengatakan perihal yang senada, bahwa meskipun pasar tradisional merupakan simbolisasi dari kemandirian ekonomi rakyat, namun keberadaan pasar modern yang kini semakin menggeser peran pasar tradisional disebabkan oleh berubahnya pilihan konsumen dari pasar tradisional yang terkesan bau, kumuh, kotor, becek, dan dengan harga yang tidak pasti, kepada pasar modern yang bersih, nyaman, dengan harga yang pasti.

Peraturan Pemerintah Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, sepertinya turut menegaskan keberadaan ‘Carrefour’ sebagai ancaman bagi keberlangsungan

kegiatan ekonomi pedagang Pasar Sembada. Pada peraturan pemerintah ini terdapat dua persoalan yang mendasar, yaitu: Pertama, Permasalahan zonasi yang di dalam peraturan ini pemerintah tidak mengatur tentang zona mana saja yang boleh dibangun untuk hypermarket, sehingga banyak pengelola ritel hypermarket yang membangun semaunya dengan mendirikan bangunannya berada di dekat pasar-pasar tradisional. Kedua, pemerintah daerah semakin banyak menarik retribusi kepada para pedagang pasar tradisional. Sehingga hal ini membuat para pedagang enggan untuk berdagang kembali di pasar tradisional (Setiadi, 2003).

Penarikan retribusi oleh pemerintah terhadap para pedagang pasar tradisional yang semakin tinggi sepertinya menjadi peluang yang dimanfaatkan oleh para pemilik lapak (oknum/agen pasar) di Pasar Sembada dalam menaikkan harga sewa lapak. Sebagaimana telah dikemukakan pada pargaraf-paragraf sebelumnya, bahwa tantangan lainnya bagi para pedagang di Pasar Sembada untuk tetap bertahan berjualan di Pasar Sembada adalah kenaikan harga sewa lapak yang begitu tinggi, dan juga berbagai biaya retribusi yang semakin tidak karuan.

Realitas tantangan (kendala) para pedagang Pasar Sembada tersebut sepertinya dapat dipahami dengan menilik pandangan Hefner (2000) yang menyatakan, bahwa eksistensi pedagang pasar sangat dipengaruhi oleh hubungan sosial yang mendukung terhadap suatu kedinamikaan lingkungan pasar dalam menghadirkan norma-norma, kepercayaan, dan jaringan-jaringan dalam kehidupan ekonomi yang merepresentasikan keunikan suatu pasar. Gambaran tentang organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma-norma, dan

jaringan-jaringan dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan menyiapkan tindakan yang terkoordinasi, atau justru sebaliknya, dapat mengakibatkan kesimpangsiuran dalam praktik ekonomi pasar; seluruh hal tersebut mewakili suatu modal masyarakat yang sama vitalnya bagi kehidupan ekonomi seperti modal fisik itu sendiri (Hefner, 2000: 339).