• Tidak ada hasil yang ditemukan

CARREFOUR DAN AGEN PASAR

1.1. Latar Belakang

Dalam kurun tahun terakhir, keberadaan berbagai pasar modern sepertinya kini telah menjadi salah satu pilihan utama bagi masyarakat (terutama di kota-kota besar) sebagai tempat berbelanja. Adapun hypermarket, minimarket, dan berbagai jenis tempat belanja (pasar modern) dengan istilah market yang mengikuti di belakangnya kini semakin meningkat dengan pesat dan dalam jumlah yang relatif besar.1

Di satu sisi, pasar tradisional sebenarnya berpotensi untuk tetap lebih unggul dari pasar modern. Pasar tradisional memiliki ciri khas sebagai pasar dengan aktivitas perdagangan yang mempertemukan para pembeli dan penjual Keberadaan berbagai pasar modern ini dapat dikatakan membuat para pedagang pasar tradisonal semakin khawatir suatu waktu tidak ada lagi pengunjung bagi mereka- para pedagang pasar tradisional. Bahkan, keberadaan minimarket kini semakin tersebar di sekitar lingkungan permukiman warga. Pasar yang tadinya dikuasai pedagang tradisional kini telah diambil alih oleh pasar-pasar modern.

1

Pada tahun 2010 industri hipermarket di Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memperkirakan, total belanja ritel modern tahun ini bakal mencapai Rp 100 trilyun. Sebanyak Rp 65 triliun merupakan belanja makanan dan sisanya non-makanan. Dari jumlah belanja makanan ini, hipermarket mengambil porsi 35 persen, minimarket 35 persen dan supermarket 30 persen. Potensi pengembangan pasar ritel modern di Indonesia masih relatif besar terhadap jumlah populasi penduduk. Jumlah toko ritel modern per satu juta penduduk Indonesia saat ini sekitar 52, lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga lainnya seperti Malaysia 156 toko, Thailand 124 toko, Singapura 281 toko, dan China 74 toko. Jumlah toko ritel modern di Indonesia hanya menempati porsi yang sangat kecil (0,7%) dibandingkan dengan jumlah toko tradisional per satu juta penduduk Indonesia yang mencapai

secara langsung dalam suatu transaksi jual beli, sehingga ada jalinan kekuatan emosional yang erat di antara pedagang dan para pembeli atau pengunjung pasar. Berbeda halnya dengan pasar modern yang dalam aktivitas perdagangannya tidak ditemukan adanya pembeli dan penjual yang melakukan transaksi jual beli secara langsung.

Para pembeli atau pengunjung pasar modern biasanya hanya melakukan pembelian suatu barang dengan hanya memperhatikan harga yang telah tertempel dalam kemasan atau label yang ada dari jenis barang yang telah ditentukan, kemudian membawa barang yang hendak dibelinya langsung ke tempat pembayaran (kasir) dan membayar harga sebagaimana tertera pada kemasan. Tidak ditemukan adanya proses tawar menawar dalam transaksi jual beli seperti pada pasar tradisional yang tentunya dapat menghadirkan kesan akrab antara pembeli dan penjual, sehingga menghasilkan hubungan yang erat/intim antara pedagang dan pembeli sebagai suatu nilai lebih bagi keunggulan pasar tradisional dari pasar modern.

Meskipun begitu, pada kenyataannya kini pasar tradisional semakin kehilangan perhatian dari masyarakat di kota-kota besar sebagai pilihan utama untuk tempat berbelanja. Pasar modern dengan kekuatan modal yang begitu besar dapat lebih leluasa dalam menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat dengan variasi komoditi yang lebih beragam, dan juga dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan pasar tradisional. Fasilitas perdagangan pada pasar modern yang jauh lebih memadai dibandingkan pasar tradisional yang kondisinya cenderung kotor, becek, dan menyuguhkan bau tidak sedap menyebabkan para pengunjung

jarang sekali bisa merasa betah untuk berlama-lama dalam berbelanja. Ditambah lagi ancaman bahwa keadaan sosial masyarakat yang berubah, misalnya: kaum perempuan selaku kelompok pengunjung pasar terbesar yang kini umumnya berkarir dalam berbagai bidang professional, hampir tidak mempunyai waktu untuk berbelanja ke pasar tradisional (Esther dan Dikdik, 2003).

Perihal senada juga diungkap oleh Ekapribadi (2007), bahwa kehadiran pasar modern pada awalnya tidak mengancam pasar tradisional. Kehadiran pasar modern yang menyasar konsumen dari kalangan menengah ke atas, saat itu lebih sebagai alternatif terhadap pasar tradisional yang identik dengan kondisi pasar yang kumuh, dengan tampilan dan kualitas yang buruk, serta harga jual rendah dan sistem tawar menawar konvensional. Namun sekarang ini kondisinya telah banyak berubah. Supermarket dan hypermarket tumbuh seperti cendawan di musim hujan. Kondisi ini muncul sebagai implikasi dari berbagai perubahan pada masyarakat, khususnya yang berada di kota-kota besar. Sebagai konsumen, masyarakat menuntut hal yang berbeda di dalam aktivitas berbelanja. Konsumen menuntut para pedagang untuk memberikan nilai lebih dari setiap rupiah yang dibelanjakan.

Perubahan orientasi tempat berbelanja pada para konsumen (masyarakat) cenderung dipengaruhi oleh kemudahan dan penjaminan mutu komoditi yang diperdagangkan di pasar modern. Pertama, melalui skala ekonominya, pasar modern dapat menjual lebih banyak produk yang lebih berkualitas dengan harga yang lebih murah. Kedua, informasi daftar harga setiap barang tersedia dan dengan mudah dapat diakses oleh publik. Ketiga, pasar modern menyediakan

lingkungan berbelanja yang lebih nyaman dan bersih, dengan jam buka yang lebih panjang, dan menawarkan aneka pilihan pembayaran seperti kartu kredit untuk peralatan rumah tangga berukuran besar. Keempat, produk yang dijual di pasar modern, seperti bahan pangan, telah melalui pengawasan mutu dan tidak akan dijual bila telah kadaluwarsa (Setiadi N., 2003).

Selain itu, keunggulan lainnya dari pasar modern juga diungkap oleh (Suryadarma, 2007), bahwa salah satu strategi kemenangan pasar modern dari pasar tradisional adalah dalam hal strategi penerapan harga, seperti: strategi limit harga, strategi pemangsaan lewat pemangkasan harga (predatory pricing), dan diskriminasi harga antar waktu (inter-temporal price discrimination). Misalnya memberikan diskon harga pada akhir minggu dan pada waktu tertentu. Sedangkan strategi non-harga antara lain dalam bentuk iklan, membuka gerai lebih lama, khususnya pada akhir minggu, bundling/tying (pembelian secara gabungan), dan parkir gratis.

Kekhawatiran terhadap kehadiran pasar modern sebagaimana telah diungkap sebelumnya, sepertinya juga terjadi pada para pedagang di salah satu pasar tradisional di Kota Medan, yaitu Pasar Sembada2

2

Menurut informan, Pasar Sembada adalah berawal dari keinginan pihak kompleks kaveleri (perumahan tentara) yang ingin mendapat akses pasar yang dekat dengan pemukiman mereka, agar istri-istri para tentara tidak jauh untuk berbelanja, dan pihak kavaleri kemudian . Sebagai pasar tradisional, keberadaan Pasar sembada yang terletak di sekitar Padang Bulan ini cukup strategis untuk dikunjungi masyarakat karena memiliki daya aksesibilitas yang memadai: dari segi keterhubungan infrastruktur jalan raya yang dapat menjangkau masyarakat dari berbagai wilayah, dan juga sarana transportasi berupa angkutan

umum yang ramai melintasi lokasi keberadaan Pasar Sembada. Selain itu, lokasi Pasar Sembada yang tidak jauh dari pemukiman masyarakat, terutama warga yang bermukim di sekitarnya, semakin menegaskan betapa strategis keberadaannya untuk dikunjungi masyarakat.

Hampir di setiap pagi, Pasar Sembada ramai dikunjungi para pembeli. Rentang waktu berjualannya para pedagang di Pasar Sembada juga relatif panjang, yaitu dimulai dari sekitar pukul 04.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB, sehingga sepertinya masyarakat diberikan keleluasaan untuk menentukan waktu berbelanja mereka. Meskipun demikian, seringkali beberapa pedagang masih berjualan hingga barang dagangannya habis terjual. Jenis barang dagangan yang diperjualbelikan biasanya berupa kebutuhan sembilan bahan pokok masyarakat, dengan harga yang relatif lebih murah dari harga komoditi di pasar modern, dan dengan kualitas barang dagangan yang tetap diupayakan memiliki kualitas cukup baik pula. Jenis barang dagangan berupa sayur-sayuran dan buah-buahan segar biasanya didatangkan langsung dari ‘Berastagi’.

Akan tetapi, dalam dua hingga tiga tahun terakhir, para pedagang di Pasar (tradisional) Sembada diketahui tengah direpotkan dalam hal perolehan pendapatan hasil berjualan oleh keberadaan salah satu unit pasar modern yang telah beroperasi di lokasi yang berdekatan dengan Pasar Sembada. Unit pasar modern dimaksud adalah ‘Carrefour’ yang diketahui telah beroperasi selama sekitar tiga tahun terakhir. Dari hasil wawancara singkat dengan beberapa pedagang di Pasar Sembada, mereka menyatakan bahwa kehadiran ‘Carrefour’ cukup berpengaruh terhadap jumlah pengunjung Pasar Sembada. Lebih jauh lagi,

mereka memiliki kekhawatiran bahwa bisa saja suatu waktu nanti Pasar Sembada tidak lagi dapat beroperasi karena tidak ada lagi pedagang yang sanggup berjualan diakibatkan jumlah pengunjung tidak lagi ramai untuk berbelanja di Pasar Sembada.

Beberapa pedagang di Pasar Sembada sempat menyampaikan keluhannya terhadap keberadaan ‘Carrefour’ yang mengakibatkan mereka harus menambah durasi waktu berjualan. Jika mereka biasanya hanya berjualan selama 6-8 jam setiap harinya, maka, kini mereka harus berjualan selama 10-12 jam agar barang dagangannya dapat habis terjual. Kesulitan dalam menjual barang dagangan agar laku terjual dengan cepat, terutama untuk jenis ikan, sayuran maupun buah-buahan juga berdampak pada berkurangnya kualitas komoditi yang diperdagangkan, seperti: ikan akhirnya dijual dengan kondisi yang tidak lagi segar, sayur maupun buah yang akhirnya juga dijual dalam kondisi sudah mulai membusuk, dan berbagai kerusakan kualitas komoditi lainnya.

Tidak hanya keberadaan ‘Carrefour’ yang tengah menyebabkan kesulitan bagi para pedagang di Pasar Sembada, perubahan harga sewa ‘lapak’3

usaha di Pasar Sembada yang semakin mahal dalam dua tahun terakhir turut menambah kekhawatiran dan mempersulit para pedagang untuk tetap dapat bertahan berjualan di Pasar Sembada. Sekelompok orang yang sementara ini diketahui sering disebut oleh pedagang dengan istilah ‘Oknum/Agen Pasar’ merupakan penyebab dari mahalnya harga sewa lapak usaha di Pasar Sembada.

Oknum/Agen Pasar ini merupakan sekelompok orang yang diketahui sebagai pemilik dari sebagian besar lapak usaha yang terdapat di Pasar Sembada. Mereka membeli lapak dalam jumlah yang besar dari para pewaris pemilik lapak sebelumnya yang telah meninggal, dan kemudian menyewakannya kembali kepada para pedagang. Namun ironisnya, mereka menaikkan harga sewa kepada para pedagang dengan harganya yang bisa mencapai tiga kali lipat lebih mahal dari harga sewa yang diberlakukan pemilik sebelumnya. Tarif sewa lapak yang dulunya hanya berkisar Rp.300.000,- untuk setiap bulannya, sekarang menjadi lebih bervariasi dan bisa mencapai jutaan rupiah hingga belasan juta rupiah. Jumlah biaya kutipan (retribusi) yang terdiri dari biaya listrik, air, dan keamanan juga mengalami kenaikan dari Rp.2.000,-/hari menjadi Rp.7.000,-/hari.

“Sudah jatuh, tertimpa tangga pula”, sepertinya merupakan rangkaian kata yang tepat sebagai pengandaian terhadap situasi maupun kondisi kehidupan para pedagang di Pasar Sembada. Di satu sisi, para pedagang sedang berhadapan dengan ‘Carrefour’ yang keberadaannya sementara ini diduga berpengaruh terhadap jumlah pengunjung maupun hasil pendapatan, dan di sisi yang lain mereka juga harus menghadapi tekanan dari kehadiran Oknum/Agen Pasar yang telah mengakibatkan kenaikan harga sewa lapak disertai dengan keterbatasan lahan pasar untuk dimanfaatkan sebagai lapak usaha, seperti sedang hendak mencabut peluang kehidupan mereka hingga ke akar-akarnya. Betapa hal tersebut sangat mungkin terjadi karena dalam kurun waktu terakhir, diketahui bahwa sejumlah pedagang yang tidak mampu lagi membayar sewa lapak maupun berbagai retribusi akhirnya memilih untuk berjualan di luar (kompleks) Pasar

Sembada, atau dengan kata lain berjualan sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL). Meskipun keberadaan para ‘PKL’ di sekitar lokasi Pasar Sembada sebenarnya juga sudah lama ada, dengan awalnya hanya terdiri dari sekitar 20 lapak ‘PKL’, namun kini pertumbuhan ‘PKL’ semakin meningkat hampir enam kali lipat dari jumlah sebelumnya. Jumlah para pedagang yang kini memilih untuk berjualan di luar (kompleks) Pasar Sembada, sejauh ini diperkirakan berjumlah sekitar 150 pedagang (PKL). Jumlah dari mereka yang akhirnya menjadi ‘PKL’ dengan para pedagang yang tetap berjualan di dalam Pasar Sembada, dapat dikatakan hampir berbanding setengah dari jumlah para pedagang yang tetap berjualan di dalam (kompleks) Pasar Sembada.

Akan tetapi, bagi mereka yang akhirnya memutuskan untuk menjadi ‘PKL’, bukan berarti membuat mereka lepas dari berbagai tantangan permasalahan dalam menjalani kehidupan sebagai pedagang pasar tradisional. Hadirnya berbagai persoalan lain, seperti: penertiban pedagang pasar oleh pemerintah yang tidak jarang mengakibatkan mereka harus menutup lapak karena kehadiran pihak ‘Satpol PP4

Berbagai realitas permasalahan yang tengah dihadapi oleh para pedagang pasar tradisional di Pasar Sembada tersebut menjadi alasan bagi peneliti untuk memahami lebih jauh tentang kehidupan para pedagang tradisional di Pasar ’, masalah kebersihan, bahkan keamanan merupakan rangkaian kompleksitas permasalahan lainnya yang tetap harus dihadapi oleh mereka dalam menjalani kehidupan sebagai pedagang pasar tradisional.

4

Satpol PP merupakan singkatan dari Satuan Polisi Pamong Praja, yang merupakan unit kerja dibawah pemerintahan kota yang bertugas mengawasi dan mengamankan kebijakan

Sembada, Padang Bulan, Medan. Bagaimana pandangan mereka tentang keberadaan ‘Carrefour’ sebagai salah satu ritel pasar modern yang mengancam kelangsungan hidup mereka sebagai pedagang pasar tradisional, kemudian bagaimana pandangan mereka terhadap keberadaan para ‘Oknum/Agen Pasar’, dan lantas bagaimana upaya mereka dalam menghadapi berbagai kemungkinan permasalahan yang diakibatkan oleh keberadaan ‘Carrefour’ dan kehadiran ‘Oknum/Agen Pasar’, sementara ini merupakan rangkaian permasalahan yang menjadi fokus terhadap rencana penelitian yang akan dilaksanakan peneliti.