• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejatinya, mal (pusat perbelanjaan) adalah tempat orang menyediakan kebutuhan manusia yang nantinya akan ditukar dengan uang. Saat ini, mal bertebaran di setiap sudut kota besar. Mal tidak lagi sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan barang. Mal semakin dimaknai beragam oleh warga kota. Saya ambil contoh di Surabaya, mal terus bertambah sejak mal modern pertama dibangun di kota ini. Saat ini di Surabaya sudah ada 22 mal. Setidaknya itu yang dicatat Harian Republika. Mal-mal tersebut tersebar di berbagai penjuru kota dengan berbagai kelas dan target konsumen. Di ujung selatan Surabaya ada Cito (City of Tomorrow) yang menghadang masyarakat dari arah selatan Surabaya. Bergeser ke utara kita akan bertemu Royal Plaza, di mana sebelumnya ada Carrefour dan Giant. Di tengah kota ada Tunjungan Plaza, Surabaya Plaza (Delta), Surabaya Town Square

1 http://nasional.kompas.com/read/2009/01/14/10381315/mixed.use.ikon.pertama.di.kelas.high.end. surabaya.

(Sutos), dan Grand City. Di ujung timur ada Galaxy Mal dan Pakuwon City. Di ujung barat ada Ciputra World dan Pakuwon Trade Center. Belum lagi mal sebagai penjelmaan pasar tradisional seperti Kapas Krampung Mal (dulunya Pasar Tambahrejo) dan Darmo Trade Center (dulunya Pasar Wonokromo). Di utara ada BG Junction dan Jembatan Merah Plaza. Dan masih banyak lagi yang belum tercatat.

Semua mal menggunakan istilah asing (baca: Bahasa Inggris), sekalipun nama Tunjungan Plaza yang mengambil nama jalan di situ tempo dulu. Atau Surabaya Plaza yang mau menonjolkan lokasi dimana mal itu berada. Atau juga Jembatan Merah Plaza yang menjual sisi historis peristiwa perlawanan arek Surabaya melawan Jenderal Mallaby pada pertempuran 10 November 1945 di Jembatan Merah yang berjarak sekitar 200 m dari lokasi mal tersebut. Meski telah mengusung local wisdom, namun masih menggunakan embel-embel plaza. Plaza merupakan kata asing yang berarti area umum. Plaza bisa berarti sebuah alun-alun atau lapangan luas di mana masyarakat bisa secara bebas mengakses tempat tersebut.

Mengapa hampir tak ada yang menggunakan istilah lokal seperti pasar? Penggunaan kata asing identik dengan keren, bagus, lebih modern, maju, dan lain-lain asal masih dalam artian lebih bagus dari kita punya di Indonesia. Kajian post-kolonialisme

(Little John, 2009: 768-779) mengatakan, banyak negara melalui

proses kolonialisme/penjajahan. Kondisi tersebut membuat pada akhirnya sebagian kecil sebagai pelaku atau penjajah, sebagian besar sebagai objek atau daerah jajahan. Dalam buku ini dicatat, salah satu contoh peristiwa yang menyebabkan kajian post-kolonialisme adalah lepasnya India dari jajahan Inggris setelah Perang Dunia II. Akibat hal tersebut, berbondong-bondonglah

masyarakat ke kota dan kian pentingnya penggunaan Bahasa Inggris.

Kajian-kajian post-kolonialisme kemudian berkembang seiring dengan meredupnya tren aksi penjajahan bangsa-bangsa Eropa kepada negara Asia-Afrika dan Amerika Latin. Sejarah mencatat, negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin merupakan daerah jajahan bangsa Eropa. Kajian ini berkembang setelah beberapa tulisan ilmiah mulai masuk ke topik penjajah, daerah jajahan dan relasi antar keduanya yang tidak saja karena masalah ekonomi namun juga ke soal imperialime budaya. Frantz

Fanon (Little John, 2009: 768) sering dianggap sebagai ahli

yang mengawali kajian post-kolonialisme ini melalui tulisannya yang berjudul “Black Skin, White Mask” pada tahun 1952 yang dibukukan. Berlanjut pada Orientalisme Edward Said pada tahun

1972, yang kemudian banyak dipakai sebagai sumber mengenai

post-kolonialisme. Beberapa tokoh lainnya adalah Gayatri Spivak, Homi Bhabha, Albert Memmi dan Aime Cesaire.

Setiap mal menawarkan pengalaman yang berbeda-beda sesuai kelas sosial dan ekonomi. Mari kita tengok Tunjungan Plaza yang berada di jantung kota Surabaya. Dengan mengambil nama Tunjungan yang sudah terkenal sejak jaman kolonial, mal ini menawarkan barang dagangan untuk segala kelas ekonomi dan sosial. Meski diakui bahwa sasaran utamanya adalah (gaya hidup) masyarakat kelas menengah atas, namun sebenarnya kelas eknomi bawah tetap dapat mengakses mal ini. Atau setidaknya kegiatan ekonomi karena kehadiran mal ini tidak sebatas bagi masyarakat kelas menengah atas. Tunjungan Plaza menawarkan berbagai pengalaman konsumsi. Mulai dari barang bermerek hingga tak bermerek (meski tetap ada mereknya. Apa saja yang dibutuhkan tubuh baik kebutuhan pokok hingga

kebutuhan aksesoris dipasarkan di sini. Anda dan saya hanya perlu memanjakan mata dan melelahkan kaki dalam acara

window shopping. Tunjungan Plaza terintegrasi dengan Sogo yang

merupakan jaringan mal yang berpusat di Jepang. Di berbagai kota besar di Asia, Sogo merupakan mal yang representatif sebagai tujuan belanja.

Tata lampu, arsitektur, cara display barang, cat dinding, wall

paper bahkan hingga bahan lantai yang digunakan. Khusus untuk

lantai apakah menggunakan karpet, ukuran keramik yang luas, apakah menggunakan keramik atau granit atau marmer. Semua menimbulkan kesan tertentu dan memberi rasa berbeda tentang kelas sosial yang diundang datang ke mal tersebut. Morris (1993: 394) mengatakan, menganalisa shopping centres di satu sisi melibatkan sensasi, persepsi dan peningkatan kondisi emosi, dan di sisi lain sebagai perjuangan melawan antara persepsi tersebut dengan membuat tempat yang mengundang kekaguman. Pernahkah hal ini terjadi pada Anda? Alih-alih mencari tempat yang menyediakan apa yang Anda butuhkan, tapi Anda malah tidak berhenti menikmati nuansa arsitektur, wanginya ruang, terangnya cahaya, mengkilatnya lantai, pantulan wajah Anda di cermin-cermin transparan di jendela toko, alias window shopping

yang Anda lakukan menyita seluruh pengalaman indera Anda. Perasaan menjadi bagian dari anggota dari mal tertentu merupakan pengalaman yang bisa jadi tidak terjadi pada setiap orang. Ambil contoh Galaxy Mall yang berada di sekitar kompleks perumahan mewah di kawasan timur Surabaya yang mempunyai karakteeristik tersendiri. Masyarakat yang diundang mempunyai kelas atau karakter sendiri yang berbeda secara ekstrem dengan Jembatan Merah Plaza misalnya. Konteks lokasi, setting arsitektur, tata lampu bahkan display barang (diluar

barang branded) menimbulkan sensasi tersendiri. Oleh karena itu, beberapa kawan menjadi tidak nyaman jika pergi ke Galaxy Mall dengan sandal jepit, kaos oblong, tatanan rambut ala kadarnya dll. Khususnya dan spesial ini terjadi pada perempuan. Di Sutos (Surabaya Town Square), perempuan datang seperti hendak pergi kondangan. Pakai high heel, dress super keren, aksesoris yang menonjol, tatanan rambut keren, selayaknya datang ke resepsi perkawinan.

Aktivitas simbolik jauh lebih mengemuka disbanding aktivitas aktual. Haraway (1993:285) menulis dalam artikelnya,

The Cyborg Manifesto:“

The “multinational” material organization of the production and reproduction of daily life and the symbolic organization of the production and reproduction of culture and imagination seem equally implicated.

Produksi dan reproduksi budaya serta imajinasi rupanya saling menimbulkan sebab akibat. Imajinasi akan kehidupan tertentu, imajinasi menjadi bagian masyarakat tertentu dan menjadi komoditi di era produksi dan reproduksi (makna) budaya masa kini. Iklan dibuat dengan penuh imajinasi dengan melekatkan budaya tertentu tentang cara menjalani-menggunakan apa saja di sekitar kehidupan manusia. Demikian juga mal dengan desain arsitektur dan display tokonya yang menawarkan kehidupan simbolik yang ditawarkan kepada masyarakat. Tidak pernah ada hubungan langsung dan serius dengan kerennya baju yang dipakai manekin yang super langsing dengan kenyamanan ketika kita memakainya.

Kita semua tinggal dalam dunia penuh simbol. Segala apa yang dilakukan manusia penuh muatan makna. Dunia yang kita tinggali sudah sarat dengan makna yang tidak lagi tunggal. Symbolic

society dijelaskan dengan gamblang oleh Elchardus (2007:14)

begini: sekolah, media massa dan periklanan menciptakan budaya baru dari yang sebelumnya orang/masyarakat punya di mana komunikasi merupakan dasar dari semuanya itu. Dari situlah kemudian simbol (baru-penulis) diciptakan dan disebarkan. Masyarakat yang berada dalam era schooling, mass media dan

advertising bisa dikatakan sebagai masyarakat post-traditional,

dan melalui ketiga elemen itulah dunia simbolik diciptakan dan diproduksi ulang.

Dalam dunia simbolik itulah, pengalaman saya akan mal direpresentasikan dengan dengan baik ketika saya begitu menginginkan sepatu. Ya, SEPATU. Bukan sepatu biasa (bagi saya), namun sepatu yang dapat membawa saya ke sebuah simbol kemakmuran (bagi ukuran saya), sebuah simbol keberhasilan, dan sebuah simbol bagian dari masyarakat kota. Saya menginjakkan kaki di mal di Kota Surabaya pada tahun 1998, dan sejak saat itu, saya begitu menginginkan sepatu dengan merek KICKERS. Survei selintas, sepatu itu paling mahal di jajaran sepatu yang dipasarkan di Matahari Departement Store. 14 tahun hanya mengelus dan mencoba berbagai model sepatu Kickers, hingga akhirnya di penghujung 2012 saya memutuskan membelinya.

Ketika memutuskan membeli, saya bahkan tidak terbayang model dan harganya. Pokoknya beli dan harus punya. Dan kali ini aktivitas simbolik saya maksimalkan dengan membeli Kickers di Sogo Galaxy Mall. Lengkap sudah prestise yang saya beli. Lengkap sudah simbol kesuksesan yang saya tukar dengan uang setengah juta rupiah. Dan itu menjadi kebanggaan untuk diceritakan ke

orangtua, bahwa anaknya yang disekolahkan dan berjuang di perantauan kini mampu membeli sepatu dengan harga setengah juta rupiah tanpa perasaan berat. Inilah pencapaian pribadi pada saya sebagai anggota symbolic societies. Gambar dibawah ini sekilas meenggambarkan bagaimana perasaan saya ketika menenteng tas SOGO dengan KICKERS di dalamnya.

Komodifikasi: Sebuah Aktifitas Simbolik