• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menakar Media Massa dan Gaya Hidup Kita - Widya Mandala Catholic University Surabaya Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Menakar Media Massa dan Gaya Hidup Kita - Widya Mandala Catholic University Surabaya Repository"

Copied!
214
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

M

ENAKAR

M

EDIA

M

ASSA

D

AN

G

AYA

H

IDUP

K

ITA
(4)

Menakar Media Massa

dan Gaya Hidup kita

Fakultas Ilmu Komunikasi

Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Jl. Dinoyo 42-44 Surabaya 60265

www.wima.ac.id Editor : Nanang Krisdinanto

Desain : Guguh Sujatmiko Edisi pertama, Maret 2014

(5)

Dari Penerbit

Mengutip pemikiran Ashadi Siregar, keberadaan media massa biasa disikapi dengan dua cara. Pertama dipandang sebagai pembentuk (moulder) masyarakat, atau kedua sebagai cermin (mirror) yang memantulkan keadaan masyarakat.

Menakar Media Massa dan Gaya Hidup Kita merupakan buku terbitan perdana Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) yang mencoba melihat lebih jauh dua sudut pandang tersebut. Buku ini merupakan kumpulan 10 tulisan staf pengajar Fikom UKWMS sepanjang tahun 2010 hingga tahun 2013. Beberapa tulisan pernah dipublikasikan dalam berbagai seminar komunikasi nasional di Indonesia.

Beberapa tulisan mencermati bagaimana beragam realitas sosial ditampilkan oleh media massa dan bagaimana media massa membentuk realitas, mempengaruhi gaya hidup masyarakat, budaya konsumsi, dan pembentukan identitas diri. Selain itu, ada juga naskah yang membedah praktik komunikasi pemasaran dan public relation di sejumlah institusi.

Semoga buku ini dapat menjadi bahan diskusi dan referensi bagi mahasiswa, aka-demisi, dan praktisi di bidang komunikasi.

Surabaya, 10 Maret 2014

Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi

Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

(6)
(7)

Daftar Isi

9

Hip-Hop Dance: Dialektika Resistensi dan Komoditi

21

Sepatu dan Kisah Rumit Tentangnya

43

Second Life, Teknologi, dan Identitas Cyborg

63

Reality Show sebagai Leisure Program

73

Indonesia di Mata Media Australia

103

Media Baru dan Kekerasan Agama di Indonesia

117

Jurnalisme Damai di Tengah Konflik SARA di Indonesia

141

Media Massa dan Konflik Sosial di Jawa Timur

163

Strategi Komunikasi Pemasaran Pariwisata Surabaya

177

(8)
(9)

Pengantar

Nanang Krisdinanto

“Untuk menjadi objek konsumsi,

terlebih dahulu sebuah objek harus menjadi tanda.”

K

alimat itu ditulis Jean Baudrillard dalam bukunya
(10)

atau (3) makna simbolis objek. Saat itulah objek “dibebaskan sebagai tanda untuk ditangkap oleh logika fashion normal.” Salah satu konsekuensi dari pembebasan ini, masih menurut Baudrillard, adalah berkuasanya tontonan. Dalam perspektif ini, penampilan luar objek-objek konsumsi menjadi jauh lebih penting ketimbang nilai guna. (Ritzer dan Smart, 2012: 833)

Karya-karya awal Baudrillard memang banyak berfokus pada konsumsi (masyarakat konsumen), yang terlihat sangat dipengaruhi perspektif teoritik Marxian yang menitikberatkan pada persoalan ekonomi. Bedanya, jika Marx dan sebagian pemikir Marxis tradisional berfokus pada produksi, Baudrillard memfokuskan dirinya pada masalah konsumsi. Pada titik ini, pengaruh semiotika –yang menurut Fiske (1989) menjadi alat yang sangat berguna untuk menganalisis objek konsumen sebagai tanda— ikut masuk memengaruhi cara berpikir Baudrillard.

Dalam kacamata Baudrillard, konsumsi dalam masyarakat kapitalisme modern bukanlah mencari kenikmatan. Yang dicari bukanlah kenikmatan memperoleh dan menggunakan objek, tetapi lebih pada perbedaan. Yang kita perlukan dalam kapitalisme bukanlah objek tertentu, tetapi kita lebih berusaha untuk berbeda, dan melalui perbedaan itulah kita memiliki status sosial dan makna sosial. Ketika kita mengonsumsi objek, maka kita mengonsumsi tanda, dan sedang dalam prosesnya kita

mendefinisikan diri kita. (Ritzer, 2010: 137 – 140)

Dalam perspektif teoritik, pembahasan-pembahasan di seputar budaya konsumsi sebagai bagian dari masyarakat kapitalis mulai meruyak ke permukaan sejak tahun 1960-an. Para tokoh teori Kritis misalnya, melihat kapitalisme tahap lanjut telah menginisiasi lahirnya industri kebudayaan, yang melalui proses

(11)

komoditi, mulai gaya hidup, kesenian, seksualitas, perempuan, mitos, sampai agama.

Marcuse, dalam karyanya yang monumental, One Dimensional

Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society (1964), bahkan

menyebut masyarakat industri modern adalah masyarakat yang tidak sehat. Mengapa? Karena masyarakat tersebut merupakan masyarakat yang berdimensi satu: segala kehidupannya diarahkan pada satu tujuan saja, yakni keberlangsungan dan peningkatan sistem yang telah ada yang tidak lain adalah kapitalisme.

Semakin sentralnya pembahasan tentang konsumsi ini

sekaligus menunjukkan adanya perubahan signifikan pada

kapitalisme. Pada abad ke-19 kapitalis memusatkan perhatian pada produksi dan regulasi kerja, dan tidak terlalu menaruh perhatian pada konsumen. Namun pada abad ke-20, mereka berfokus pada konsumen dengan tidak memberi mereka peluang untuk memutuskan untuk mengonsumsi atau tidak, berapa banyak yang dikonsumsi atau apa yang dikonsumsi.

Analisis model ini menggeser fokusnya dari dominasi di bidang ekonomi menjadi dominasi di bidang kultural. Untuk mempertahankan dominasinya, para kapitalis dilihat tidak lagi menggunakan penguasaannya atas alat produksi (determinis ekonomi), melainkan menggunakan industri kebudayaan yang

–melalui proses komodifikasi— menciptakan aneka kebutuhan

serta mengontrol perilaku konsumsi. Dan kembali merujuk pada pemikiran Baudrillard, di sinilah kemudian objek konsumsi kemudian dilekatkan dengan tanda-tanda tertentu yang

berhubungan dengan stratifikasi sosial. Pada titik ini, konsumsi

dipahami bukan sekadar tambahan kecil bagi perputaran kapital, tetapi merupakan kekuatan produktif yang penting bagi kapital

(12)

Dari sinilah kemudian kajian-kajian tentang gaya hidup, budaya populer, termasuk peranan media massa dalam proses reproduksi tanda bertumbuh. Orang mulai mengarahkan perhatian pada penindasan yang dilakukan dalam konteks kultural, selain penindasan yang sebelumnya lebih dilihat dalam konteks politik serta ekonomi.

Cara pandang ini menjadi landasan berpikir bagi sebagian tulisan dalam buku ini, yakniempat tulisan awal yang merupakan karya Finsensius Yuli Purnama dan Anastasia Yuni Widyaningrum. Dua naskah dari Finsensius, yaitu “Hip-Hop Dance: Dialektika

Resistensi dan Komoditi” dan “Second Life, Teknologi, dan Identitas

Cyborg” banyak mengulas gaya hidup kaum urban yang semakin

tak bisa dipisahkan dari simbol-simbol modernitas, leisure time

(yang ujung-ujungnya juga merupakan praktik konsumsi), serta teknologi. Bahkan apa yang tampak sebagai subkultur atau perlawanan pun pada akhirnya juga harus menyerah kepada

logika komodifikasi, atau dalam bahasa Baudrillard: menyerah

kepada pembebasan objek menjadi tanda (untuk ditangkap oleh logika fashion normal).

Demikian pula tulisan Anastasia Yuni Widyaningrum,

Sepatu dan Kisah Rumit Tentangnya. Sekilas, penulisnya terlihat

(13)

simpatisan Mazhab Kritis) disebut sebagai “tempat ziarah bagi pemujaan komoditas.”

Naskah-naskah lainnya dalam buku ini –yang ditulis oleh Yuli Nugraheni, Noveina Sylviani Dugis, dan Maria Yuliastuti-- bergerak di wilayah pemberitaan di media massa, khususnya media cetak. Tulisan Noveina Sylviani Dugis dan Finsensius Yuli Purnama, “Indonesia di Mata Media Australia,” membahas bagaimana media-media cetak di Australia cenderung membingkai Indonesia sebagai ancaman. Pada titik pembahasan ini, keduanya terlihat meninggalkan paradigma positivistik dalam melihat jurnalisme. Secara implisit, tulisannya mengasumsikan prinsip objektivitas dalam pemberitaan media sebagai “mitos.” Sebaliknya, mereka justru melihat jurnalisme sebagai sebuah proses yang selalu diwarnai aktivitas pembingkaian oleh wartawan, yang bisa dideteksi dari cara wartawan memilih dan menuliskan fakta. Dengan cara ini, keduanya bisa dengan tajam “membongkar” bingkai-bingkai yang digunakan media Australia tatkala memberitakan masalah pencari suaka (yang melewati wilayah perairan Indonesia).

Secara teoritik, objektivitas pemberitaan memang menjadi salah satu bahasan sentral dalam studi jurnalisme. Objektivitas pemberitaan lebih sering dilihat sebagai cita-cita atau upaya untuk semakin mendekatkan hasil peliputan dengan kebenaran. Namun Denis McQuail melihat, hanya sedikit (kalaupun ada) media yang dapat terbebas sepenuhnya dari tuduhan tak objektif. (McQuail, 1999: 130 – 131)

(14)

tetap yakin jurnalisme objektif merupakan hal mustahil. John C. Merril dan Everette E. Dennis, misalnya, melihat, semua karya jurnalistik pada dasarnya subjektif, mulai dari pencarian berita, peliputan, penulisan sampai penyuntingan. Nilai-nilai subjektif wartawan ikut memengaruhi semua proses jurnalistik. (Merril dan Dennis, 1984 : 103 – 119)

Pamela J Shoemaker dan Stephen D. Reese dengan sangat tajam menunjukkan betapa besarnya pengaruh (eksternal dan internal) terhadap konten media. Mereka mengembangkan teori hirarki pengaruh isi media yang menjelaskan tentang pengaruh terhadap isi dari dari suatu pemberitaan media. Keduanya membagi beberapa level pengaruh isi media, yaitu pengaruh dari individu pekerja media (individual level), pengaruh dari rutinitas media (media routines level), pengaruh dari organisasi media (organizational level), pengaruh dari luar media (outside media

level), dan yang terakhir adalah pengaruh ideologi (ideology level).

(Shoemaker dan Reese. 1996 : 60).

Sementara dalam tiga tulisan lain, “Media Massa dan Konflik

Sosial di Jawa Timur” (Maria Yuliastuti dan Yuli Nugraheni),

“Media Baru dan Kekerasan Agama di Indonesia” (Finsensius Yuli

Purnama), dan “Jurnalisme Damai di Tengah Konflik SARA di

Indonesia” (Noveina Silvyani Dugis dan Maria Yuliastuti), para

penulisnya melihat jurnalisme lebih dalam kacamata objektivistik

dengan mengambil pemberitaan kasus-kasus konflik sosial di

(15)

emosional dalam melihat peristiwa, mengembangkan prinsip keseimbangan, melihat peristiwa dari dua sisi, dan sebagainya.

Rivers dan Mathews (1994: 104 - 105) juga menyebut, objektivitas adalah metode yang dipakai untuk menghadirkan gambaran dunia yang sedapat mungkin jujur dan cermat dalam batas-batas praktik jurnalistik. “Impian-impian” tersebutlah yang pada dasarnya menjadi spirit kedua naskah tersebut yang ada dalam buku ini. Bahkan naskah Noveina Dugis dan Maria Yuliastuti menyinggung tentang jurnalisme damai, sebuah gaya jurnalisme yang oleh penggagasnya (Jake Lynch dan Annabel McGoldrick) sebagai sebuah pendekatan etik terhadap berita (en

ethical approach to news). (Hanitzsch, 2003 : 118) Gaya jurnalisme

ini direkomendasikan keduanya sebagai salah satu instrumen

meredakan konflik SARA yang belakangan meletup di

mana-mana.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Baudrillard, Jean. (2006). Ekstase Komunikasi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Dennis, Everett E. dan John C. Merril. (1984). Basic Issues in Mass

Comunication. News York: Macmillion Publishing Company.

Fiske, John. (1989). Reading the Popular. Boston: Unwin Hyman.

Hanitzsch, Thomas et. al. (2003). Agents of Peace: Public

Communication and Conflict Resolution in an Asian Setting. Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung.

Marcuse, Herbert. (2000). Manusia Satu Dimensi. Jakarta: Bentang.

McQuail, Denis. (1989). Teori Komunikasi: Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga.

Ritzer, George. (2010). Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Ritzer, George dan Barry Smart. (2012). Handbook Teori Sosial. Bandung: Nusa Media.

Rivers, William L. dan Cleve Matthews. (1994). Etika Media

Massa dan Kecenderungan untuk Melanggarnya. Jakarta: Gramedia.

Shoemaker, Pamela J. dan Stephen D. Reese. (1996). Mediating

(17)
(18)
(19)

Hip-Hop Dance:

Dialektika Resistensi

dan Komoditi

1

S

tuart Hall2 menyebut identitas sebagai konsep yang

muncul pada masyarakat modern. Kontak dengan dunia luar membuat orang bertemu berbagai individu dengan variasi bahasa, budaya dan atribut lainnya. Selain itu, ketidakmampuan tradisi yang ada dalam merangkum fenomena kontemporer juga menuntut munculnya seperangkat aturan untuk mereka sendiri. Kedua hal tersebut mendorong kemunculan konsep identitas pada masyarakat post-tradisional.

1 Pernah dimuat di Proceeding Strategi Communication Branding Di Era Industri Kreatif, Juruan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas brawijaya, dan disampaikan penulis pada National Conference on Communication Branding (24 Januari 2012)

2 Hall 1996:596-636

(20)

Identitas dalam masyarakat tradisional lebih bersifat tetap

dan recieved identity. Identitas seseorang lebih ditentukan oleh

kelahiran, pernikahan, serta keahlian dan sejumlah peran.3

Sedangkan dalam masyarakat modern identitas bersifat achieved

identity. Identitas tidak bersifat tetap dan tidak dapat diubah,

namun dapat diraih melalui serangkaian atribut, termasuk “ritual belanja.”

Konsep identitas merangkum dua hal pokok, yaitu tentang bagaimana kita memandang diri kita sendiri dan bagaimana orang lain memandang kita. Anak muda dengan kesamaan identitas membentuk kelompok subkultur dengan kesamaan identitas yang meliputi cara berpakaian, berbicara, dan yang paling substansial adalah cara mereka mengkonsumsi.

Fesyen menjadi sesuatu yang penting bagi identitas individu modern. Fesyen menawarkan pilihan pakaian, gaya, dan citra yang menciptakan identitas individual. Wilson (1985) menyebut,

sejak tahun 1700 masyarakat modern menghapus kode pakaian

yang kaku.4 Dalam hal ini, media mainstream berperan melakukan

hegemoni tentang mana yang fasionable dan mana yang tidak. Identitas diubah menjadi komoditi untuk memasarkan komoditi, termasuk fesyen.

Dalam artian tertentu, identitas merupakan sebuah tanda, yaitu tanda tentang kesamaan dan perbedaan kita dengan orang lain. Dalam budaya subkultur, tanda tersebut nyata dalam bentuk resistensi dan oposisi terhadap budaya mainstream.

Hartley mendefinisikan subkultur sebagai sekelompok

individu yang berbagi kepentingan, ideologi, dan praktik tertentu.5 Hartley (2010) menambahkan, awalan sub dalam kata

3 Kellner 2010: 360 4 Dalam Kelllner 2010: 360

(21)

subkultur mengindikasikan identitas yang berlawanan (oposisi) dengan budaya dominan atau “orang tua.” Dengan bahasa yang sedikit berbeda, Barker (2004) mengartikannya sub sebagai

distinctiveness dan diference.6 Sedangkan Fiske menggunakan kata

yang lebih tegas, yaitu deviance.7

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan, salah satu identitas

subkultur adalah resistensi. Dengan demikian, hip hop sebagai salah satu subkultur diandaikan mempunyai identitas resistensi yang sama. Namun persoalannya, apakah hal itu nyata dalam kelompok hip hop yang tersebar dengan berbagai variasi? Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti bagaimana identitas hip hop dan peran merek dalam konstruksi identitas kelompok dance hip hop J-Squad dan Elevate.

Bermula Dari Resistensi

Busy Bee Starski, DJ Hollywood, dan DJ Afika Bambaataa

adalah tiga seniman New York yang pertama kali mencetuskan istilah “hip hop.”8 Hip hop dikembangkan anak muda Afro-Amerika dan Latin-Afro-Amerika di New York pada tahun 1970an

dengan menggabungkan tiga hal:MCing (rapping), Djing,

breakdance, dan grafiti (seni visual hip hop).

Tahun 1980an musik rap menjadi sangat populer untuk menyuarakan pengalaman dan kondisi masayarakat kulit hitam. Standard hidup masyarakat Afro-Amerika menurun, banyak terjadi kriminalitas, kehamilan remaja, AIDS, penyakit seksual menular, geng, dan kekerasan kota.9

Kellner dalam Budaya Media menjelaskan, musik rap banyak

6 Barker, 2004: 193

7 Fikse, 1994: 378

(22)

menggunakan elemen suara yang tidak biasa digunakan pada musik mainstream. Suara sirine, klakson, polisi, helikopter, gelas pecah, bahkan suara penembakan yang sangat asosiatif dengan peristiwa penembakan Rodney King (1992) dan pemberontakan di LA.10 Penggunaan kata-kata kasar ejekan rasial digunakan oleh

hip hop sebagai upaya pengambil alihan ejekan rasis menjadi kebanggaan rasial.

Perkembangan selanjutnya, elemen Hip Hop dilengkapi

beatboxing, fesyen, bahasa slang, dan gaya hidup lainnya.Meskipun

hip hop muncul dari budaya anak muda kulit hitam di Amerika, namun pengaruhnya telah bersifat global melampaui batas negara maupun ras. Faktanya, musik rap yang menjadi musik khas hip hop telah dinyanyikan dalam berbagai versi dan bahasa (salah satu grup rapper dari Jogja menggunakan bahasa Jawa).

Hip hop di Indonesia tumbuh subur dengan berabagai variasi dan penyesuaian. Penari hip-hop cilik asal Surabaya yang terkenal melalui ajang Indonesian Idol bersama Supermi adalah Fai Nabila dan Brandon. Nama kedua penari cilik tersebut melambung melalui media. Dalam tulisan ini, penulis menyoroti kelompok dance “J-Squad” yang beberapa personelnya merupakan penari latar dari Fai Nabila dan salah satu personel hip hop dancer “Elevate”.

Style: Konsumsi Identitas Subkultur Hip Hop

“After all, such a subculture is concerned first and foremost with

consumption.”11

(“Diantara semua, konsumsi merupakan fokus yang utama dan pertama bagi subkultur.)

(23)

Konsumsi merupakan salah satu tema sentral dari komunitas subkultural. Subkultur-subkultur kaum muda berkomunikasi melalui tindakan konsumsi. Kesamaan tentang cara individu mengkonsumsi barang menyatukan individu-individu tersebut dalam sebuah komunitas.

Storey (2010) menyebut konsumsi subkultural adalah konsumsi pada tahap yang paling diskriminatif.12 Kita bisa

melihat bagaimana kelompok subkultur menggunakan jenis pakaian tertentu tidak sesuai yang diinginkan produsen. Melalui proses “perakitan,” komoditas diartikulasikan kembali untuk menghasilkan makna-makna oposisional.

Hal itu pula yang diadopsi oleh kelompok J-Squad untuk memenuhi kebutuhan fesyen mereka. Jaket dan celana khas hip hop mereka bentuk sendiri sesuai selera dan referensi yang mereka miliki.

“Kalo untuk baju biasanya kami beli bahan trus dijahit rame-rame.... Biasanya dari referensi di internet pak..”

Susanty Gunawan, personel J-Squad, akrab dipanggil SG.

“Beli baju di toko hip hop.. guruku dulu bikin toko hip hop stuf kaya gitu si....”

Linda, personel Elevate.

Hartley menulis, gaya (style) merupakan bentuk oposisi yang paling nampak dalam identitas subkultur.13 Gaya berpakaian hip

hop sangat khas dengan celana gombrong, kaos gombrong, topi

12 Storey, 2010: 152

(24)

dibalik, dan aksesoris serba blink-blink (kalung rantai dalam ukuran besar dilengkapi gantungan cukup besar pula).

Bagi Hebdige,14 gaya bukanlah ekspresi lokasi kelas, ia

adalah sistem yang menandai, yang mengkomunikasikan identitas kultural dan perbedaan kultural. Identitas hip hop yang dicirikan celana gombrong, kaos gombrong, jaket, jumper, dan topi yang dipakai secara terbalik itu mengkomunikasikan sesuatu, namun tidak hanya sekedar fesyen. Ada semangat untuk menyuarakan kondisi sosial, resistensi terhadap isu diskriminasi rasial.

Hegemoni- Counter Hegemony

Gagasan utama Hebdige atas kajian subkultur adalah resistensi sekelompok sub kebudayaan tertentu atas hegemoni kebudayaan dominan. Resistensi yang sangat kental pada masa awal kemunculan subkultur menjadi kehilangan maknanya ketika telah mulai kehilangan perbedaan gayanya dan masuk ke dalam budaya komersial. Dengan kata lain, counter hegemonyyang disuarakan subkultur punk pada masa awal kemunculannya telah dilawan bentuk hegemoni baru, yaitu komersialisasi. Hal tersebut dimungkinkan dengan adanya sorotan media.

Reese mencatat penelitiannya bagaimana McDonald’s, Coca Cola, Sprite, Nike, serta kapitalisme raksasa lainnya telah mengkapitalisasi fenomena hip hop.15 Resistensi yang

disuarakan melalui musik rap yang penuh kritik, gaya menari yang aneh, maupun fesyen yang khas telah direduksi sebagai

semata-mata gaya hidup dan dikomodifikasi sebagai komoditi

kapitalis.

Dari hasil wawancara, penulis melihat tidak ada resistensi

14 Dalam Fiske, 2010: 153

(25)

sebuah gerakan yang membawa semangat resistensi atas sistem yang ada di masayarakat.

“Dari SMP, trus rasanya ada talenta jadi diterusin sampe sekarang..”,

papar SG ketika ditanya tentang motivasinya menjadi dancer hip hop. Begitu juga dengan Fernandes. “Ya karena asyik dan saya suka saja pak, jadi saya tekuni.. trus kan kesannya gaul juga”,

papar Fernandes. Faktor lain yang mendorong selain hoby adalah penghasilan yang didapat dari menjadi dancer.

“Ya kan bisa nambah uang saku, bisa nambah temen juga... bisa

nambah-nambah jajan si pak.. Lumayan lah... Hehe..”, papar SG

yang saat ini juga menjadi seorang pengajar dance hip hop di SD Stela Maris dan Surabaya Taipei School Internasional.

Sedangkan Linda memandang hip hop dance sebagai sekedar hobi dan penyaluran bakat. “Kalau aku emang dasare suka nari.. kalo misale ada masalah itu diungkapin pake nari.. kalo

ada waktu senggang aku nari...”, papar Linda

Motivasi menyalurkan hoby, trend dan motivasi finansial

menjadi semangat yang menjiwai para personel J-Squad. Semangat resisten yang pada awalnya disuarakan Hip hop di

Amerika pada tahun 70 an telah berubah menjadi semata-mata

budaya selera (style culture), bahkan menjadi komoditi.

Dari Subkultur ke Budaya Selera:

Reduksi Identitas Resistensi Menjadi Merek

Thornton (1995) dalam Club Culture: Music Media and

Subculture Capital berpendapat bahwa kelompok subkultur

(26)

selera (style culture) untuk menyebut sekelompok individu yang pergi mendengarkan dance music atau pun rave party. Pendapatnya tersebut didasarkan pada fakta bahwa meskipun sekelompok individu tersebut terbentuk oleh kesamaan identitas dan ikatan kesamaan minat, pembentukannya tidak didasarkan pada resitensi, seperti yang ditemukan oleh Hebdige pada era sebelumnya.16

Hebdige (1979) menyebut dua cara yang melawan counter

hegemony kelompok subkultur: 17

(1) the conversion of subcultural signs (dress, music, etc.) into mass-produced objects (i.e. the commodity form);

(2) the ‘labelling’ and re-definition of deviant behaviour by

dominant groups – the police, the media, the judiciary (i.e. the ideological form).

Untuk memperoleh identitas hip hop, media memberitemplate

yang dapat kita terapkan. Semua aksesoris hip hop telah diproduksi masal, bahkan merek tertentu telah menjadi sangat identik dengan subkultur tertentu. Sebagai contoh, skinheads sangat identik denganBen Shermanbutton-up shirts,Fred Perrypolo

shirts, jaket Harringron, dan sepatu boot Dr. Marten. Sedangkan

hip hop identik dengan 501 Levis, ECKO, South Pole, Avirex, Sean Jean, NIKE.

Bagi SG, salah satu informan personel J-Squad, sepatu merupakan aksesoris yang sangat khas hip hop. SG mengaku memiliki 4 sepatu Supra, 2 Nike, 2 Adidas. Fernandes, informan kedua bahkan memiliki koleksi sepatu berjumlah 15 dengan merek Supra. “Itu lo temenku yang cowok punya 15 Supra semua..”,

papar SG menjelaskan dengan nada seolah merasa rendah diri.

16 Hartley, 2010: 194

(27)

Sepatu merek Supra menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi SG dibanding merek lainnya.

Kalo Supra itu kan warnanya bagus, jenisnya banyak. Trus keluar

yang baru itu cepet. Kalo Adidas kan lama keluar yang baru.. kalau Nike bagus tapi ya itu-itu aja... Tahunya ya dari internet.. lihat dancer di internet itu kan suka pake sepatu besar-besar, trus dicari di internet

mereknya apa..”, papar SG.

Demikian juga pendapat Linda, personel hip hop dancer Elevate. Sepatu Supra adalah tanda identitas hip hop yang sangat penting. ” Ya cukup penting sih karena mencitrakan dancer.. soalnya kalau liat orang pake sepatu Supra itu pasti dikiranya dancer.. padahal

ngga selalu juga”, papar Linda.

Sepatu Supra bagi kalangan hip hop saat ini menjadi salah satu atribut penting. Dengan lugas Fernandez menyatakan, “Mmm.. ya soalnya kalau Supra itu hip hop banget.. Trus dancer di internet itu juga

pakenya Supra kebanyakan... kalau anak hip hop pasti pakenya Supra..

Pernyataan tersebut menunjukkan begitu pentingnya merek sebuah sepatu bagi identitas hip hop. Berdasar hasil wawancara diketahui, mereka mengenal sepatu Supra ketika memperhatikan sepatu yang dikenakan Justin Bieber. “Mmm.. oh ya itu Justin

Bieber kan suka pake sepatu Supra juga, trus Chris Brown..,” papar

SG. Demikian juga dengan Fernandez yang mengetahuinya dari Youtube.

Bisa dilihat, media memang berperan dalam menyebarluaskan produksi massal kapitalis atas aksesoris hip hop sebagai komoditi.

Media melakukan redefinisi atas konsep hip hop dengan

(28)

Kesimpulan

Dari hasil temuan data wawancara terhadap SG, Fernandez, dan Linda, dapat dilihat bagaimana kapitalis telah mengaburkan

semangat resistensi hip hop pada tahun 1970an dan memuncak pada

kekacauan sosial pada 1980an, dan mengubahnya sebagai style culture

dan komoditi semata.Merek menjadi satu-satunya penentu identitas J-Squad maupun Elevate yang mengklaim diri sebagai hip hop. Penggunaan Sepatu Supra oleh Justin Bieber memberikan efek besar bagi para hip hop dancer (terutama SG).

Sepatu dengan merek Supra dihayati personel J-Squad dan Elevate sebagai salah satu elemen konstruksi identitas hip hop yang vital. Mereka merasa lebih percaya diri dengan menggunakan sepatu Supra. Merek yang menempel tersebut telah “menahbiskan” mereka menjadi hip hop dancer.

Dengan segala kekuatannya, merek telah menggantikan resistensi sebagai identitas hip hop. Tidak ada semangat tentang resistensi pada sistem masyarakat yang lebih besar atau persoalan sosial yang disuarakan pada para personel J-Squad. Motivasi personel J-Squad menjadi hip hop dancer lebih banyak didorong karena hoby,

tren, dan motivasi finansial. Dengan demikian, counter hegemony yang disuarakan hip hop dalam rap kulit hitam pada 1980an telah menjadi hegemoni dalam bentuk baru.

(29)

Daftar Pustaka

Barker, Chris. 2004. The SAGE Dictionary of Cultural Studies. London: Sage Publications

Fiske, John (ed.). 1994. Key concepts in Communication And cultural Studies (2nd ed.). London: Routledge

Hall, Stuart. 1996. The Question of Cultural Identity. London: Sage Publications (e-book version)

Hartley, John. 2010. Communication, Cultural, & Media Studies (terj.). Yogyayakarta: Jala Sutra

Hebdige, Dick. 1976. Subculture The Meaning of Style. London: Routledge (e-book

version)

Kellner, Douglas. 2010. Budaya Media, “Cultural Studies, Identitas, dan Politik: Antara Modern dan Postmodern” (terj.). Yogyakarta: Jala Sutra

(30)
(31)

S

aya lahir dan besar di Kota Madiun. Pada kisaran tahun 1990-an, mal satu-satunya di Madiun adalah President Plaza. Saya dan kawan-kawan mempunyai ritual pergi ke sana setiap liburan cawu (catur wulan). Dengan uang saku sekadarnya, bermain boom boom car adalah keistimewaan dan

kemewahan. Pada rentang tahun 1994 – 1997, saya tinggal di kota

Kecamatan Muntilan yang tidak mempunyai mal, namun aktivitas konsumsi masih menyenangkan dengan ritual mengunjungi Toko Jago Baru. Jago Baru adalah toko kecil yang menyediakan berbagai kebutuhan, minimal kebutuhan saya terpenuhi di toko tersebut. Sekedar mengantar teman dan sambil lalu melihat ada sesuatu yang menarik pun sangat menyenangkan. Kini, saya

Sepatu dan Kisah

Rumit Tentangnya

(32)

tinggal di Surabaya (sejak 1998) dan aktivitas mengunjungi toko-mal menjadi agenda tersendiri. Tidak selalu mencari barang yang dibutuhkan, namun yang paling penting adalah refreshing.

Mal tentu saja banyak dimaknai berbeda. Beberapa orang ke mal untuk membunuh waktu, ada juga yang datang untuk mendapatkan barang/jasa yang dibutuhkan, atau sekedar

refreshing. Fenomena di Surabaya, begitu akhir pekan antrean

kendaraan mengular untuk masuk ke mal. Antrean juga mengular di meja kasir, resto hampir terisi penuh (bahkan ada yang rela antre). Setiap sudut mal penuh sesak dan tentu saja toilet. Toilet di mal rata-rata sangat nyaman dan selalu ramai, tidak saja untuk aktivitas membuang urine, namun juga untuk sekadar berkaca dan merapikan dandanan.

Lebih lucu lagi, terkadang ada bus dari luar kota parkir di lapangan parkir mal. Apakah ini berarti rombongan dari luar kota

Gambar 1

(33)

menjadwalkan kunjungan ke mal dalam agenda perjalanannya? Salah satu mal kelas high end di Surabaya adalah Grand City Mal. Kompas.com1 menurunkan artikel mengenai mal dengan

judul “Mixed Use, Ikon Pertama di kelas ‘High End’ Surabaya.”

Artikel tersebut mengulas tingginya minat masyarakat terhadap fasilitas yang mengakomodir berbagai kebutuhan masyarakat. Disebutkan, kebutuhan kaum urban dalam melakukan aktivitas seperti bekerja, belanja, dan berekreasi dalam lingkungan yang relative dekat sudah menjadi tren saat ini. Kondisi tersebut mendorong tumbuhnya mal di kota besar, termasuk Surabaya. Data terbaru per September 2011 berdasarkan temuan Harian Suara Merdeka menyebutkan, jumlah mal ada 22 buah dan hal ini membawa dampak matinya pasar tradisional.

Konsumsi: Aktivitas Rekreasi Masyarakat Kini

Sejatinya, mal (pusat perbelanjaan) adalah tempat orang menyediakan kebutuhan manusia yang nantinya akan ditukar dengan uang. Saat ini, mal bertebaran di setiap sudut kota besar. Mal tidak lagi sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan barang. Mal semakin dimaknai beragam oleh warga kota. Saya ambil contoh di Surabaya, mal terus bertambah sejak mal modern pertama dibangun di kota ini. Saat ini di Surabaya sudah ada 22 mal. Setidaknya itu yang dicatat Harian Republika. Mal-mal tersebut tersebar di berbagai penjuru kota dengan berbagai kelas dan target konsumen. Di ujung selatan Surabaya ada Cito (City of Tomorrow) yang menghadang masyarakat dari arah selatan Surabaya. Bergeser ke utara kita akan bertemu Royal Plaza, di mana sebelumnya ada Carrefour dan Giant. Di tengah kota ada Tunjungan Plaza, Surabaya Plaza (Delta), Surabaya Town Square

(34)

(Sutos), dan Grand City. Di ujung timur ada Galaxy Mal dan Pakuwon City. Di ujung barat ada Ciputra World dan Pakuwon Trade Center. Belum lagi mal sebagai penjelmaan pasar tradisional seperti Kapas Krampung Mal (dulunya Pasar Tambahrejo) dan Darmo Trade Center (dulunya Pasar Wonokromo). Di utara ada BG Junction dan Jembatan Merah Plaza. Dan masih banyak lagi yang belum tercatat.

Semua mal menggunakan istilah asing (baca: Bahasa Inggris), sekalipun nama Tunjungan Plaza yang mengambil nama jalan di situ tempo dulu. Atau Surabaya Plaza yang mau menonjolkan lokasi dimana mal itu berada. Atau juga Jembatan Merah Plaza yang menjual sisi historis peristiwa perlawanan arek Surabaya melawan Jenderal Mallaby pada pertempuran 10 November 1945 di Jembatan Merah yang berjarak sekitar 200 m dari lokasi mal tersebut. Meski telah mengusung local wisdom, namun masih menggunakan embel-embel plaza. Plaza merupakan kata asing yang berarti area umum. Plaza bisa berarti sebuah alun-alun atau lapangan luas di mana masyarakat bisa secara bebas mengakses tempat tersebut.

Mengapa hampir tak ada yang menggunakan istilah lokal seperti pasar? Penggunaan kata asing identik dengan keren, bagus, lebih modern, maju, dan lain-lain asal masih dalam artian lebih bagus dari kita punya di Indonesia. Kajian post-kolonialisme

(Little John, 2009: 768-779) mengatakan, banyak negara melalui

(35)

masyarakat ke kota dan kian pentingnya penggunaan Bahasa Inggris.

Kajian-kajian post-kolonialisme kemudian berkembang seiring dengan meredupnya tren aksi penjajahan bangsa-bangsa Eropa kepada negara Asia-Afrika dan Amerika Latin. Sejarah mencatat, negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin merupakan daerah jajahan bangsa Eropa. Kajian ini berkembang setelah beberapa tulisan ilmiah mulai masuk ke topik penjajah, daerah jajahan dan relasi antar keduanya yang tidak saja karena masalah ekonomi namun juga ke soal imperialime budaya. Frantz

Fanon (Little John, 2009: 768) sering dianggap sebagai ahli

yang mengawali kajian post-kolonialisme ini melalui tulisannya yang berjudul “Black Skin, White Mask” pada tahun 1952 yang dibukukan. Berlanjut pada Orientalisme Edward Said pada tahun

1972, yang kemudian banyak dipakai sebagai sumber mengenai

post-kolonialisme. Beberapa tokoh lainnya adalah Gayatri Spivak, Homi Bhabha, Albert Memmi dan Aime Cesaire.

(36)

kebutuhan aksesoris dipasarkan di sini. Anda dan saya hanya perlu memanjakan mata dan melelahkan kaki dalam acara

window shopping. Tunjungan Plaza terintegrasi dengan Sogo yang

merupakan jaringan mal yang berpusat di Jepang. Di berbagai kota besar di Asia, Sogo merupakan mal yang representatif sebagai tujuan belanja.

Tata lampu, arsitektur, cara display barang, cat dinding, wall

paper bahkan hingga bahan lantai yang digunakan. Khusus untuk

lantai apakah menggunakan karpet, ukuran keramik yang luas, apakah menggunakan keramik atau granit atau marmer. Semua menimbulkan kesan tertentu dan memberi rasa berbeda tentang kelas sosial yang diundang datang ke mal tersebut. Morris (1993: 394) mengatakan, menganalisa shopping centres di satu sisi melibatkan sensasi, persepsi dan peningkatan kondisi emosi, dan di sisi lain sebagai perjuangan melawan antara persepsi tersebut dengan membuat tempat yang mengundang kekaguman. Pernahkah hal ini terjadi pada Anda? Alih-alih mencari tempat yang menyediakan apa yang Anda butuhkan, tapi Anda malah tidak berhenti menikmati nuansa arsitektur, wanginya ruang, terangnya cahaya, mengkilatnya lantai, pantulan wajah Anda di cermin-cermin transparan di jendela toko, alias window shopping

yang Anda lakukan menyita seluruh pengalaman indera Anda.

(37)

barang branded) menimbulkan sensasi tersendiri. Oleh karena itu, beberapa kawan menjadi tidak nyaman jika pergi ke Galaxy Mall dengan sandal jepit, kaos oblong, tatanan rambut ala kadarnya dll. Khususnya dan spesial ini terjadi pada perempuan. Di Sutos (Surabaya Town Square), perempuan datang seperti hendak pergi kondangan. Pakai high heel, dress super keren, aksesoris yang menonjol, tatanan rambut keren, selayaknya datang ke resepsi perkawinan.

Aktivitas simbolik jauh lebih mengemuka disbanding aktivitas aktual. Haraway (1993:285) menulis dalam artikelnya,

The Cyborg Manifesto:“

The “multinational” material organization of the production and reproduction of daily life and the symbolic organization of the production and reproduction of culture and imagination seem equally implicated.

(38)

Kita semua tinggal dalam dunia penuh simbol. Segala apa yang dilakukan manusia penuh muatan makna. Dunia yang kita tinggali sudah sarat dengan makna yang tidak lagi tunggal. Symbolic

society dijelaskan dengan gamblang oleh Elchardus (2007:14)

begini: sekolah, media massa dan periklanan menciptakan budaya baru dari yang sebelumnya orang/masyarakat punya di mana komunikasi merupakan dasar dari semuanya itu. Dari situlah kemudian simbol (baru-penulis) diciptakan dan disebarkan. Masyarakat yang berada dalam era schooling, mass media dan

advertising bisa dikatakan sebagai masyarakat post-traditional,

dan melalui ketiga elemen itulah dunia simbolik diciptakan dan diproduksi ulang.

Dalam dunia simbolik itulah, pengalaman saya akan mal direpresentasikan dengan dengan baik ketika saya begitu menginginkan sepatu. Ya, SEPATU. Bukan sepatu biasa (bagi saya), namun sepatu yang dapat membawa saya ke sebuah simbol kemakmuran (bagi ukuran saya), sebuah simbol keberhasilan, dan sebuah simbol bagian dari masyarakat kota. Saya menginjakkan kaki di mal di Kota Surabaya pada tahun 1998, dan sejak saat itu, saya begitu menginginkan sepatu dengan merek KICKERS. Survei selintas, sepatu itu paling mahal di jajaran sepatu yang dipasarkan di Matahari Departement Store. 14 tahun hanya mengelus dan mencoba berbagai model sepatu Kickers, hingga akhirnya di penghujung 2012 saya memutuskan membelinya.

(39)

orangtua, bahwa anaknya yang disekolahkan dan berjuang di perantauan kini mampu membeli sepatu dengan harga setengah juta rupiah tanpa perasaan berat. Inilah pencapaian pribadi pada saya sebagai anggota symbolic societies. Gambar dibawah ini sekilas meenggambarkan bagaimana perasaan saya ketika menenteng tas SOGO dengan KICKERS di dalamnya.

Komodifikasi: Sebuah Aktifitas Simbolik

Masyarakat Konsumsi.

Saya mengambil salah satu produk saja yang dijual di mal yaitu: SEPATU. Hampir semua dari kita (manusia) mempunyai sepatu atau sederhananya adalah alas kaki. Kepemilikan ini bervariasi dalam hal model, jumlah, harga, fungsi. Dalam berbagai kesempatan kita akan melihat sekeliling kita menggunakan alas kaki, yang untuk berikutnya saya akan menggunakan konsep sepatu. Sepatu tidak saja berfungsi sebagai perlindungan, tetapi lebih daripada itu sebagai simbol status pemakai. Beberapa orang mempunyai lebih dari sepasang sepatu sesuai fungsi

Gambar 2

(40)

dan kegunaan. Beberapa orang lagi mempunyai lebih sepasang sepatu yang tidak hanya sesuai dengan fungsi dan kegunaan, tetapi sesuai tren. Beberapa lagi mempunyai lebih dari sepasang sepatu yang tidak hanya seseuai fungsi, kegunaan, tren namun juga simbol status. Dan karena bagian terakhir inilah kemudian sepatu menempati porsi yang cukup vital dalam pengukuhan status seseorang di masyarakat. Beberapa orang akan rela menukar uangnya dengan sepatu yang harganya jauh berlipat-lipat dari harga sepatu yang fungsi dan kegunaannya sama.

Kirsten Anderberg2 mencatat, hampir dari kita semua

memiliki sepatu, bahkan tidak hanya satu. Namun kita jarang memikirkan sepatu itu dengan serius. Padahal sepatu sangat politis. Banyak acara pengumpulan dana dilakukan untuk mengumpulkan dana bagi pembelian sepatu bagi anak-anak miskin.

“…The type of shoes you have, and how many, are a sign of social status. (Remember Marcos’ 1500 pairs of shoes?!) Women have endured foot binding and high heels. Some people wear wooden shoes, some wear sandals, some wear fur and skin boots. There are clown shoes, snow shoes, tap dancing shoes, Earth Shoes, and there are also shoe museums all over the world, including Seattle. Shoes have changed over the years due to new materials, such as rubber, becoming available, and due to design changes, such as the left and right shoes having different patterns…”

(41)

Alas kaki dalam hal ini sepatu seperti barang kebutuhan

manusia lainnya juga mengalami komodifikasi. Moscow (2009:127) menjelaskan komodifikasi sebagai proses transformasi

nilai guna menjadi nilai tukar, transformasi produk yang nilainya ditentukan oleh kemampuan mereka memenuhi kebutuhan individu dan sosial ke dalam produk-produk yang nilainya apa yang bisa mendatangkan pasar. Komunikasi memegang peran

penting dalam proses komodifikasi. Bagaimana usaha manusia

membuat sesuatu (baca barang/jasa dagangan) mempunyai nilai

tertentu sehingga layak dihargai tertentu. Komodifikasi adalah

akibat dari proses industrialisasi, di mana barang diproduksi dan harus terserap pasar. Oleh karena itu, tidak saja menyasar masyarakat yang mempunyai potensi ekonomi (potensial buyer) terhadap barang/jasa dagangan tersebut, namun terlebih menyasar pada kebutuhan manusia terhadap sensasi terhadap barang/jasa tersebut.

Kisah di Balik Sepatu

Anderberg juga mencatat kajian mengenai ditemukannya mummy es yang menempuh perjalanan lebih dari 40 mil dari tempat tinggalnya. Hal itu

direfleksikan dari sepatu yang

digunakan, baik secara fungsi dan material yang digunakan. Artikel Cathy Newman menjelaskan kisah di balik sepatu seperti gambar 3. Ini adalah sandal serat kayu yang ditemukan di Gua

(42)

Fort Rock di Oregon Amerika pada tahun 1938, diperkirakan usianya 10.500 tahun. Sepatu ini dipakai untuk berburu di rawa-rawa pada musim panas, dan inilah produk keluarga manusia.

Dikisahkan pula cerita di balik sepasang sepatu dari perunggu seperti dalam gambar 4. Sepatu ini merupakan sepatu anak-anak yang ditemukan di Auschwitz pada 1943. Sejarah mencatat Auschwitz sebagai kamp konsentrasi Nazi untuk bangsa Yahudi. Anak-anak adalah salah satu korban kekejaman Nazi terhadap bangsa Yahudi . Film Schlinder’s List

dan Life Is Beautiful memberi gambaran tentang kekejaman di

kamp konsentrasi. Sepasang sepatu itu mampu mengembalikan memori sejarah politik Nazi Jerman pada masa Perang Dunia I. Saat ini sepatu perunggu ini disimpan di Bata Shoe Museum Toronto Kanada.

Sex n The City: The Taste Maker of Manolo

Blahnik

Kita berada dalam masyarakat konsumsi. Segala sesuatu dapat dibeli meski seringkali tidak sesuai kebutuhan. Masyarakat menukar uangnya dengan segala sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan kelangsungan hidup mendasar sebagai manusia. Kebutuhan akan barang dan penciptaan kebutuhan

Gambar 4:

(43)

tersebut yang mungkin pada dasarnya tidak kita inginkan. Featherstone (2001:29) menyusun teori tentang budaya

konsumen berikut ini. Pertama, pandangan bahwa budaya

konsumen dipremiskan dengan ekspansi produksi komoditas kapitalis yang memunculkan akumulasi besar-besaran budaya dalam bentuk barang-barang konsumen dan tempat-tempat belanja dan konsumsi. Hal ini mengakibatkan tumbuhnya kepentingan aktivitas bersenang-senang dan konsumsi dalam masyarakat Barat kontemporer, yang walaupun disepakati oleh beberapa ahli menyebabkan adanya sifat efaltarianisme dan kebebasan individual yang lebih besar.

Kedua, pandangan yang lebih sosiologis, bahwa kepuasan yang berasal dari benda-benda berhubungan dengan akses benda-benda itu yang terstruktur secara sosial dalam suatu peristiwa yang telah ditentukan di dalamnya kepuasan dan status tergantung pada penunjukan dan pemeliharaan perbedaan dalam

kondisi inflasi. Titik perhatian di sini adalah pada cara-cara yang

berbeda di mana orang menggunakan benda-benda dalam rangka menciptakan ikatan-ikatan atau pembedaan masyarakat. Ketiga,

adanya masalah kesenangan emosional untuk konsumsi, mimpi-mimpi dan keinginan yang ditapakkan dalam bentuk tamsil budaya konsumen dan tempat-tempat konsumsi tertentu yang secara beragam memunculkan kenikmatan jasmaniah langsug serta kesenangan estetis.

Konsumsi terhadap hasil produksi disebabkan adanya produksi yang luar biasa terhadap barang dan jasa. Featherstone (2001: 129) menyitir penjelasan Baudrillard mengenai konsumsi. Baudrillard telah menyelidiki logika bentuk komoditas serta

meneliti banyaknya image dan pertumbuhan masyarakat

(44)

Produksi konsumsi dijelaskan oleh Featherstone (2001: 31) sebagai berikut ini: dalam ilmu ekonomi klasik, objek dari semua produksi adalah konsumsi dengan individu-individu memaksimalkan kepuasan mereka melalui pembelian berbagai benda yang cakupannya selalu semakin banyak, dari perspektif pengikut neo-Marxist abad keduapuluh perkembangan ini dipandang sebagai menghasilkan kesempatan yang lebih besar untuk melakukan konsumsi yang terkendali dan dapat dimanipulasikan. Lebih lanjut dikatakan, ekspansi produksi kapitalis, khususnya setelah adanya dorongan dari manajemen ilmiah dan “Fordisme” yang terjadi dalam kurun waktu pergantian abad ini, dipandang perlu untuk membangun pasar-pasar baru dan “pendidikan” publik agar menjadi konsumen melalui periklanan dan media.

Sepatu Saya: Hand Made, Home Industry atau

Mass Production?

Tendensi ke arah penyamaan, persamaan, dan imitasi di salah satu pihak dan diferensiasi, individualitas dan pembedaan

di pihak lain telah dicatat oleh George Simmel (1978) sebagai

hal terpenting dalam dinamika fashion, yang dipandang sebagai persesuaian antara kesetiaan dan absorbsi ke dalam kelompok sosial dengan diferensiasi dan pembedaan individual dari anggota

kelompok lain (Featherstone, 2001 : 275).

Selanjutnya Simmel dalam Featherstone (2001:276)

membahas mengenai fashion yang relevan dengan pemahaman

mengenai budaya konsumen. Pertama, dia memandang fashion

(45)

proyek gerakan Jugendstil di Jerman yang dihubungkan dengan “stylisasi kehidupan sehari-hari” serta “pengindahan kehidupan (beautification of life).” Keduanya jelas menunjukkan adanya hubungan erat antara seni, fashion, dan budaya konsumen dengan berbagai produser, konsumen, audiens, transmitter dan perantara dalam sektor-sektor kelas menengah yang mengembangkan

disposisi, selera, skema klasifikasi serta praktik gaya hidup yang

hampir sama, meskipun terdapat pencarian akan individualitas dan pembedaan yang tampaknya menjauhkan seniman dan gaya hidup mereka dari pekerjaan yang bergerak di bidang komersial, desain dan eceran yang sifatnya keduniawian.

Narasi yang panjang di atas, secara sederhana mengatakan tentang perkembangan dunia fashion yang begitu massif membawa dampak kultural. Masyarakat berada dalam situasi memilih untuk berbeda dari banyaknya kesamaan produk yang beredar di pasar. Inilah yang kemudian mengerucut dalam common dan uncommon

culture. Common cultures berarti adalah budaya bersama. Istilah

common cultures atau budaya bersama dijelaskan oleh Featherstone

(2001: 319) berikut ini:

“…cara yang diperjuangan Williams

(1958) untuk mendefinisikan budaya

(46)

Common cultures adalah sebuah penyeragaman budaya akibat dari produksi massal yang dibuat agen-agen produksi yang kemudian menurunkan nilai estetika dan juga harga di pasar. Dampak positif common cultures adalah solidaritas bersama. Sedangkan Bourdieu menjelaskan uncommon cultures (Featherstone, 2001: 323) melalui beberapa kelompok masyarakat yang dididik mengenai selera budaya tinggi serta mampu memanipulasi diskriminasi berbagai perbedaan yang baik, selera masyarakat umum seringkali tampak terlalu sederhana dan mudah, berkait erat dengan kesenangan yang jelas serta nafsu sensual binatang. Oleh karena itu, menurut Kant, selera murni dipandang jauh dan

tidak memihak, didefinisikan secara berlawanan dengan selera

vulgar, yang bersifat lancer, mudah, kekanak-kanakan, sederhana, dangkal dan murah-mudah dipahami dan secara kultural tidak

dapat dipesan. Lebih lanjut Bordieu menjelaskan, selera murni memerlukan penolakan, serta rasa muak terhadap kesenangan dan kenikmatan.

KICKERS yang saya punya harganya mahal dalam kacamata kemampuan ekonomi saya. Namun, dari sisi common dan uncommon cultures , sepatu saya adalah hasil produksi industri yang tidak saja memproduksi satu

piece untuk satu jenis namun

memproduksi banyak dan dipasarkan secara massal. Namun display di Sogo tempat

Gambar 5:

(47)

saya membeli sepatu itu seolah-olah mengatakan barang itu cuma satu dan cuma saya yang membeli. Rupanya sensasi itulah yang saya beli.

Dalam industri pakaian,

uncommon cultures dapat dikatakan

sebagai adi busana. Dalam dunia sepatu, sepatu Moccasin pada suku SIOUX pada tahun 1880 - 1900 dapat mengungkapkan hal ini. National Geographic Indonesia edisi September (2006: 109) mengungkapkan, sepatu bersol

manik-manik dengan jelas mengkomunikasikan kepada orang lain tentang status sosial yang lebih tinggi: “Saya tidak perlu berjalan kaki. Saya bisa naik kuda. Lebih jauh, Anda yang tak berada di atas kuda dapat melihat betapa kayanya saya, dari sol berbulu halus ini.”

Pada zaman sekarang, Manolo Blahnik menjadi simbol

uncommon cultures, sepatunya dibuat dalam jumlah sangat terbatas,

dipasarkan kepada orang terbatas dan dengan model tidak ada duanya. Yang memakainya merasa menjadi bagian bagian karya tunggal seorang maestro.

Gambar 6 menunjukkan salah satu karya Manolo Blahnik yang dimuat alam NGI September 2006, yang disebut-sebut sebagai sepatu limusin. Limusin adalah jenis mobil supermewah. Sama dengan sepatu manic Sioux, sepatu karya Manolo Blahnik dibuat dengan target pemakainya adalah kelas tertentu yang menunjukkan simbol status.

Gambar 6

(48)

Manolo dalam Sex and The City

Barthes (2003:356) menjabarkan tentang semiotika yang berkaitan dengan makna konotatif dari berbagai tanda, di mana tanda tidak pernah berdiri sendiri sebagai penanda sesuatu. Dalam salah satu episode serial televisi Sex and The City, Carrie (salah satu tokohnya) sadar ia dapat membayar uang muka apartemen di New York dengan apa yang ia habiskan untuk sepatu. Artinya, nilai uang muka apartemennya sama dengan koleksi sepatu Manolo Blahnik yang dia punya.

Myth yang akan dibangun adalah sepatu-sepatu Blahnik

sama bagus seperti seks dan “bertahan lebih lama,” setidaknya hal itu diungkapkan Madonna. Dalam sebuah karyanya (gambar 6), Blahnik mengatakan, sepatunya merupakan fantasi yang sangat indah dari kain brokat sutra, pita-pita beludru, mewah dan berdaya.

Dalam artikel tersebut Manolo Blahnik menutup sesi wawancara dengan statemen: “Ya, hanya sebuah sepatu. Tetapi jika saya memberi kesempatan kepada perempuan, meskipun hanya beberapa menit, sepatu ini membawa kegembiraan bagi seseorang. Baiklah, lalu, barangkali, ini menjadi sesuatu yang lebih dari sekedar sepatu.”

Identitas: The Joy of Shoes as A Limousine

Shoes

(49)

bentuk cetak liputan feature National Geographic Indonesia edisi September 2006 dalam judul “Kisah Sepatu” Foto sepatu berhak tinggi (high heel) di bawah ini menyita pandangan dan menggelitik pemikiran:

Artikel tersebut dibuka dengan uraian bahwa “setiap sepatu punya cerita.” Cerita tentang status, gender, etnis, agama, pekerjaan dan juga politik. Maxim Gorky (penulis Rusia) -masih dalam artikel tersebut- mengatakan, sepasang sepatu boots akan memberikan pelayanan lebih baik kepada pemimpin tertinggi sosialis daripada “black eyes,” sebuah statemen politik berkaitan dengan sepatu. Dalam konteks sosialis Rusia, pemakai sepatu

boots adalah para pegawai pemerintah, tentara, anggota parlemen,

dan semua orang yang berkaitan dengan pemerintah komunis yang berkuasa. Ketik “Russian Army” di search engine, dan Anda akan mendapatkan foto-foto tentara dengan boots.

Sepatu macam gambar di atas tidak mungkin dijual di London. Manolo Blahnik mengatakan, perlindungan hewan

Gambar 7

(50)

di Inggris tampak konyol. Inggris melarang penangkapan serigala dan menembak burung, dll. Orang-orang Inggris tidak akan membeli dan memakai sepatu macam foto di atas karena ada hiasan bulu (hewan). Namun bagi Blahnik hal tersebut menggelikan, karena orang Inggris tetap makan hewan semacam kelinci dan lainnya. Manolo Blahnik adalah desainer sepatu yang sudah berkarya lebih dari 30 tahun Dalam artikel di New York Times dikatakan, obsesi Blahnik adalah membuat sepatu setinggi mungkin dengan tumit ramping selangsing tusuk gigi. Sebuah penanda kehidupan sosialita kelas atas dan sebuah ikon dari para

fashionista (penggila fashion). Disebut-sebut sebagai sepatu yang

hanya layak menjejak limusin. Asumsi dari itu adalah pemakainya tiddak sembarangan menjejakkan tubuhnya di berbagai tempat. Limusin telah menjadi penanda lain dari sebuah kehidupan. Merayakan kegilaan terhadap sepatu dan menjadi bagian dari masyarakat limusin.

Penutup

Dirangkum dari “Setiap Sepatu Menuturkan Kisah” National Geographic Indoensia September 2006. Kaki adalah organ erotis dan sepatu adalah penutup seksualnya, tulis William A. Rossi, pakar kelainan kaki manusia dalam buku The Sex of The

Foot and Shoe. Sepatu adalah pemikat seksual terhadap kaki. Olga

(51)

Daftar Pustaka

BUKU:

Meagan Morris. Artikel “Things To Do with shopping Centres” dalam Buku: The cultural Studies. Editor Simon During. Routledge. 1993.

Encyclopedia of Communication Theory. Editor Stephen W. Littlejohn dan Karen Foss. Sage. 2009.

Vincent Moscow. The Political Economy of Communication. Sage. 2009.

Mike Featherstone. Posmodernisme dan Budaya Konsumen. Pustaka Pelajar. Jogjakarta. 2001.

EM Griffin. A First Look At Communication Theory. Fifth edition. Mc Graw Hill.

2003

Majalah

National Geographic Indonesia. September 2006.

Website:

Kompas.com.http://nasional.kompas.com/read/2009/01/14/10381315/mixed. use.ikon.pertama.di.kelas.high.end.surabaya.

Republika.com.http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/09/16/ lrm9gm-jumlah-mal-di-surabaya-berlebihan

MARK ELCHARDUS. Self-Control Notes on the emergence of a symbolic society. Paper presented at the 8th conference of the European Sociological Association,

Glasgow, 3th-6th September 2007 research network: Sociology of Culture. Vrije Universitet Brusel. http://www.vub.ac.be/TOR/main/publicaties/ downloads/t2007_37.pdf

https://publish.indymedia.org.uk/uk/servlet/OpenMir?do=getpdf&id=309433 &forIE=.pdf

National Geographic.com The Joy of Shoes. http://ngm.nationalgeographic. com/2006/09/joy-of-shoes/newman-text/

(52)
(53)

Second Life, Teknologi,

dan Identitas Cyborg

Finsensius Yuli Purnama

B

ermain game sebenarnya bukanlah hobi saya.

Apalagi game onlineyang menggunakan simulasi kehidupan dengan tokoh avatar ciptaan sendiri. Ada banyak alasan untuk itu. Di antaranya, saya lebih menyukai kehidupan yang lebih “manusiawi.” Alasan ini tentu saja sangat subjektif dan debateable. Maka, ketika diberi tugas membuat avatar dan memainkan permainan game online di www.

secondlife.com, saya sudah membayangkan berbagai kejutan menarik

(54)

Dalam tulisan ini, saya menyadari adanya keterbatasan

atau kritik terkait subjektifitas yang bisa jadi membuat tulisan

ini “bias.” Akan tetapi, terlepas dari kelemahan tersebut, perlu diperjelas bahwa intensi tulisan ini memang tidak untuk mewakili

pengalaman pemain game online Second Life, namun hendak

memotret pengalaman subjektif seseorang secara mendalam.

Ketika mendapatkan tugas menulis pengalaman bermain

dalam gameSecond Life (SL), muncul rasa keingintahuan

saya untuk memahami sejarah dan jenis-jenis game komputer. Penelusuran singkat ini bermaksud untuk mendapatkan gambaran yang cukup tepat mengenai posisi SL dalam sejarah dan jenis-jenis game komputer.

J.C. Herz (1997: 5) dalam Joystick Nationmenjelaskan, awal

game komputer dimulai pada 1962 dengan diselesaikannya

Spacewar on DEC’sPDP-1 komputer oleh Massachusetts Institute of Technology. Versi lain menyatakan,game komputer sudah dimulai pada 1958. Steven Poole (2000: 29) menulis dalam Trigger Happy: The Inner Life of Videogames,game jenis yang dipamerkan dalam fasilitas penelitian nuklir Amerika,

Brookhaven National Laboratory, merupakan game pertama

dalam sejarah game komputer.

James Merry (2000: 7-12) membedakan tiga genre utama

dari game: actiongames, adventure games, dan strategygames. Merry menyatakan, pembedaan ini penting dalam analisis narasi game

komputer. Dalam tulisan ini, analisis genre game menjadi penting

untuk mengidentifikasi objek sehingga analisis yang diberikan

tepat sasaran. Melihat karakteristik game yang ada, Second Life merupakan salah satu jenis game yang masuk genre adventure.

(55)

Second Life bukan action games yang banyak melibatkan narasi pertarungan, aksi membunuh dan menembak. SL juga tidak mempunyai narasi misi-misi tertentu yang harus diselesaikan resident sebagaimana narasi game strategi seperti Lander and Hamuraby (1960, yang oleh banyak teoritisi diklaim sebagai game strategi pertama), Microsoft’s Flight Simulator, The Sim City, atau Civilization.

Game SL lebih “natural” dan banyak melakukan simulasi atas hidup keseharian, seperti berbelanja, bersosialisasi, bekerja, dan menambah teman. Dalam sejarahnya, adventure game yang diklaim sebagai yang pertama diciptakan adalah ADVENT,

yakni pada tahun 1967 (Merry, 2000: 9). Game dengan interactive

narative ini sangat terkenal pada tahun 1980-an. Sebagaimana

adventure gamelainnya, role playing merupakan ciri khas dari game

ini.

My First Second Life

Proses penginstalan program gamesecond life tidaklah sulit bagi para pengguna internet. Saya dengan mudah menginstal program tersebut dengan satu kali coba. Pada proses penginstalan, ada penjelasan terkait game tersebut. Beberapa istilah dan kemungkinan interface ability dari avatar dijelaskan sebagai bagian dari visualisasi proses penginstalan program.

Beberapa hal yang dijelaskan dalam visualisasi installing

adalah tentang mode perpindahan tempat (walking, running,

dan teleporting), fitur-fitur untuk berkomunikasi, serta beberapa

(56)

Gambar 1

Visualisasi Proses Instal Program Second Life

Sumber: penulis

Gambar 2

Mengedit Avatar Template

(57)

Setelah menginstal, langkah pertama adalah menciptakan avatar. Ada 4 pilihan jenis avatar dalam game SL: vampire, human,

animal, dan vehicle. Keempat jenis avatar tersebut memiliki pilihan

template. Saya memilih human laki-laki berkostum koboi lengkap

dengan topi, celana jeans ketat, boot, kemeja lengan panjang, dan cambuk di pinggang.

Tidak banyak perubahan yang saya lakukan atas tempalte

tersebut. Akhirnya terbentuklah avatar saya yang siap menjadi salah satu resident dari SL. Avatar saya bernama Bleedtilldie, yang merupakan nama email saya. Saya menggunakan nama yang tidak ada hubungannya dengan identitas nama asli di KTP. Alasannya, saya ingin menjadi orang yang benar-benar berbeda dengan “aslinya” dan sekedar menikmati pengalaman virtual tersebut.

Gambar 3

Avatar Bleedtilldie saat di London City

(58)

Cyberspace dan Pengalaman Virtual Reality

Novel William Gibson yang berjudul Neuromancer (1984) dirujuk sebagai literatur yang pertama kali menggunakan istilah

cyberspace (Dodge & Kitchin,2001:1). Dalam novel tersebut

dijelaskan,cyberspace adalah “a navigable, digital space of networked

computers accessible from computer consoles; a visual, colourful, electronic”.

Secara etimologis, istilah cyber bararti “navigable space” yang berasal dari akar kata kyber (Yunani) yang berarti to navigate. Dalam perkembangannya, istilah tersebut mengalami perkembangan pemaknaan dan digunakan dalam berbagai kegiatan berbasis

computer-mediated communication.

Menilik sejarahnya, kemunculan internet bisa jadi tidak terlalu intensional untuk membentuk ruang baru yang disebut

cyberspace. Internet yang pada awal kemunculannya bernama

Gambar 4

Jaringan Awal Pengembangan ARPANET (1969)

(59)

ARPANET (Advanced Research Project Agency Network) semula dikembangkan Departemen Pertahanan USA di empat universitas di Amerika, yaitu University of Utah, UCLA, Santford Research Center, dan UC Santa barbara. Proyek ini dipandang beberapa teoritisi sebagai proyek politis Amerika untuk menandingi keberhasilan Rusia dalam bidang teknologi lain.

Internet yang pada masa awal pengembangannya lebih banyak motif politisnya mulai berkembang ke arah perkembangan teknologi yang jauh dari perkiraan awal.Teknologi internet memunculkan ruang-ruang cyber dalam bentuk world

wide web (lebih umum dikenal sebagai www), html, maupun http.

Pengembangan internet menciptakan teknologi virtual reality, yakni teknologi yang menciptakan visual, computer-generated

environtment yang interaktif dimana pengguna dapat berkeliling

dan mengeksplorasi (Dodge & Kitchin,2001:5).

Lebih lanjut, Dodge & Kitchin menyebut dua bentuk virtual reality: totally immersive environment dan screen-based. Bentuk pertama mengharuskan pengguna menggunakan semacam kaca mata untuk masuk ke dalam simulasi virtual. Peralatan ini juga mampu menerjemahkan gerakan pemain dalam simulasi virtual dalam sebuah game secara tiga dimensi dan bersifat interaktif. Jenis kedua menggunakan media screen untuk segala simulasi tindakan pemain dalam game. Jenis virtual reality yang kedua inilah yang diadopsi Second Life. Semua simulasi gerakan pemain digerakkan dengan berbasis screen. Kedua jenis virtual reality

tersebut memiliki karakteristik yang sama: inklusif, interaktif, dan interaktivitas in real time. (Dodge & Kitchin, 2001:5)

(60)

belum atau tidak bisa saya lakukan. Melakukan teleporting ke suatu lokasi yang jauh dalam hitungan detik, terbang, atau pun mendapatkan uang (sampai saat ini saya sudah punya 14 dollar AS) dengan cara sangat mudah.

Second Life, Second Rules:

Pekerjaan, Bahasa, dan Identitas

Ketika proses awal menciptakan avatar, pemain dihadapkan pada empat pilihan jenis avatar: vampir, human, animal, dan vehicle. Urutan tersebut saya buat sesuai tampilan dalam game. Muncul pertanyaan dalam diri saya, mengapa harus vampir yang ada dalam urutan pertama? Jika diasumsikan urutan tersebut dibuat secara intensional, maka saya pun dapat memunculkan asumsi-asumsi terkait urutan tersebut.

Sebuah urutan biasanya dibuat berdasarkan kriteria dan pola tertentu. Kemungkinan urutan tersebut menurut saya cuma dua, dari yang paling memenuhi kriteria diikuti yang memiliki kriteria agak kurang hingga yang tidak masuk kriteria dan sebaliknya. Maka, ketika vampirmenjadi pilihan pertama, dan vehiclemenjadi urutan keempat kemungkinannya hanya dua: dari yang paling memenuhi kriteria ke yang paling tidak masuk kriteria atau sebaliknya.

(61)

Persoalan lain yang muncul adalah identitas.Persoalan

nama, jenis kelamin, kondisi fisik, orientasi seksual merupakan

beberapa elemen identitas yang sangat bebas diciptakan. Dalam beberapa percakapan muncul persoalan tersebut. Saat

saya masuk ke arena baru, SEXY NUDE BEACH misalnya,

saya belum mempunyai teman satu pun. Nama saya menjadi bahan pengenalan dan bahan pembicaraan, begitupun saat saya menerka avatar lain dari nama yang digunakan.

Jenis kelamin juga sangat bebas ditentukan. Avatar kadang harus

bertanya untuk memastikan jenis kelamin

avatar lainnya, seperti contoh percakapan antara Sivat dan Stewie

Hitman Gryffon dalam gambar.Bahasa dalam SL memiliki kosakata khas. Istilah lol atau

laughing out laughter,

atau juga lmao (laughing

my ass of) merupakan

kosakata yang baru

saya kenal dalam game

ini. Fenomena ini mirip dengan munculnya istilah maho, sundul gan, atau kasih cendol dalam situs Kaskus.

Pembicaraan tentang seks pun menjadi sesuatu yang wajar. Bahkan berhubungan seks juga sangat dimungkinkan. Terutama

Gambar 5

Chating antara Sivat dan Stewie tentang identitas kelamin mereka

(62)

dalam kebudayaan Timur, seks merupakan sesuatu yang tabu dan hanya

dimungkinan secara normatif dibicarakan oleh pasangan suami-istri.

Namun dalam game ini, saya menemukan pengalaman b e r b e d a . Pe m b i c a r a a n tentang sex bukan sesuatu yang baik dalam format bercanda maupun ajakan serius.

Maka diskusi pun berlanjut pada persoalan apakah makna teknologi bagiku? Apakah sekadar alat yang mempermudah manusia sajakah? Atau ada ideologi di dalamnya.

Makna Teknologi bagi Saya: Technology as

Culture

Menurut saya, teknologi tidak sekedar alat yang memudahkan manusia dalam melakukan berbagai aktivitas. Teknologi mempunyai aspek pendisiplinan yang menuntut ritual penggunaan dan cara-cara berbeda dalam tiap-tiap teknologi yang berbeda. Mengutip tulisan McLuhan, “We shape our tools and

the in turn shape us.” (dalam Griffin, 2003: 343).

McLuhan dalam tulisannya menyatakan, penemuan teknologi serta merta membawa padanya perubahan budaya.

Gambar 6

Sex Convertation

(63)

Jika Marx berpendapat bahwa teknologi adalah force of production

yang menentukan perubahan sosial, maka McLuhan berpendapat bahwa mode of communication-lah yang membentuk keberadaan manusia.

Teknologi mendorong pertumbuhan peradaban manusia dan perubahan sosial. Hamersma, 1983 (via Suseno 1992: 59) menyatakan, di Eropa pemakaian mesiu, penemuan mesin cetak dan kompas menjadi tiga penemuan yang menjadi prasyarat perkembangan masyarakat modern. Penemuan mesiu menandai titik akhir kekuasaan feodal, penemuan mesin cetak mengakhiri ekslusivitas pengetahuan, dan penemuan kompas memungkinkan penjelajahan yang lebih luas.

Tehrain (1982 dalam Nugroho, 2010: 24-25) melakukan pemetaan perkembangan tersebut secara jelas. Dia menjelaskan keterkaitan antara perubahan struktur masyarakat, teknologi komunikasi, paradigma kultural, kepemimpinan elite komunikasi mobilitif, dan insitusi komunikasi akumulatif.

Tabel 1

Revolusi Komunikasi dan Perubahan Historis: Pandangan Sistematis

Struktur secara umum Teknologi Komunikasi Paradigma kultural/ epistemologis integrative Kepemimpinan elit komunikasi mobilitif Institusi/ struktur komunikasi akumulatif Masyarakat Band Pra-bicara

Magic-supernatural Orang besar Hunting bands

Masyarakat

Tribal Bicara Mitologi alam Raja/chief Tribe

Masyarakat

Agraris Tulisan

Agama:

kata-kata Kependetaan Gereja

Masyarakat Komersial

Perkotaan

(64)

Masyarakat Industri Media massa (cetak dan elektronik) Ideologi: tindakan Ideologi/ pembujuk Organisasi masa: pabrik, perusahaan, parpol, serikat buruh Masyarakat Pasca Industrial Cybernetic Teknologi: program Teknolog Perusahaan trans-nasional, birokrasi pemerintah, litbang Masyarakat Informasi Komputer-satelit Informatik: pilihan Pekerja informasi Jaringan komunikasi elektronik: data base tersentralisir, & pondok elektronik

Sumber: Tehranian (1982) dalam Nugroho, 2010: 24-25

Tehrain memetakan perkembangan masyarakat dalam tujuh tahap: masyarakat band, masyarakat tribal, masyarakat agraris, masyarakat komersial perkotaan, masyarakat industri, masyarakat pasca industri, dan masyarakat informasi. Tehrain ingin menunjukkan bahwa teknologi komunikasi telah menjadi pengubah struktur sosial dan peradaban masyarakat.

Salah satu teknologi yang paling akrab bagi manusia saat ini adalah televisi, atau lebih populer disebut TV. Mcluhan menyebut kehadiran TV yang pada awal kemunculannya (1950-an) disebut sebagai media baru tersebut sebagai media yang menciptakan

global village. Sebuah media yang menciptakan keterhubungan

antara orang-orang yang secara jarak sangat jauh telah mampu menciptakan kampung global.

Pendapat lain muncul dari Raymond Williams (1952) yang menyebut TV sebagai mobile privatization. Selain itu, TV juga telah menciptakan lalu-lintas informasi yang begitu cepat seperti jalan tol. Sebuah fenomena yang disebut Williams sebagai superhighway

information.

(65)

menjadi medium pesan. McLuhan berkata, “medium is the

message.”Maksudnya, medium itu sendiri telah menjadi pesan.

TV telah menjadi simbol status sosial tertentu, menunjukkan identitas seseorang, dan menjadi salah satu indikator modernitas masyarakat dan menjadi sahabat manusia yang paling murah. Teori Agenda Setting dari Maxwell McCombs dan Donald Shaw

pada tahun 1970-an misalnya, menyatakan, media memiliki

kekuatan mengatur agenda media menjadi agenda publik.

Lebih lanjut, TV dapat menjadi teman yang baik mengurangi kebosanan. TV dapat menjadi background noise yang berfungsi mengatur tegangan akibat keterasingan hidup. Selain itu, acara TV juga dapat menjadi penanda waktu (time maker) bagi hidup. Acara TV tertentu memberitahu kapan harus makan, tidur, dan melakukan aktivitas lainnya.

Menurut James Lull (1988: 60-72), kehadiran media akan

berpengaruh pada tingkat struktural maupun relasional. Pada tingkat struktural, media akan berpengaruh pada setting ruang. Kehadiran TV telah mengubah struktur ruangan rumah atau kamar di sebagian besar rumah tangga di Indonesia. TV yang pada era 1980-an hanya dimiliki kantor keluharan saat ini telah menjadi perabot utama rumah, bahkan kamar.

Dalam konteks lebih makro, perkembangan teknologi telah menciptakan revolusi dalam evolusi manusia (technologizing

the world) yang meliputi lima komponen, yaitu: theories, strucuture

and organization, content, audience, dan effect.

Avatar Public Sphere: Cyborg Wedding

Gambar

Gambar 1
Gambar 3 Sandal serat kayu, Fort Rock, Oregon, 8500 S.M
Gambar 4: mencatat Auschwitz sebagai kamp konsentrasi Nazi untuk Sepasang sepatu anak-anak
Gambar 5: untuk satu jenis namun Sepatu manik-manik suku SIOUX piece memproduksi banyak dan 1880-1900
+7

Referensi

Dokumen terkait

Material elemen interior yang digunakan pada pengaplikasian desain Pusat Terapi dan Sekolah untuk Anak Autis di Surabaya ditentukan berdasarkan kebutuhan dari

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat lima fase pertumbuhan pada Diaphanosoma sp, yaitu fase lag, fase eksponensial, fase stasioner, fase

Hasil pengujian secara in vivo selama 15 hari menunjukkan bahwa krim minyak jintan hitam memiliki potensi aktivitas antijerawat terhadap Propionibacterium acnes

LO.h: Calculate and interpret the value at expiration, profit, maximum profit, maximum loss, and breakeven underlying price at expiration of the following option strategies: bull

But for now, here in the Hall of Mysteries, Anduin Wrynn—no title at the moment—sat quietly and thought not of his father, or Thrall, or even Jaina, but of a world where anyone

Namun kenyataan di SMALB Negeri Pembina Pekanbaru menunjukkan bahwa pelaksanaan penilaian pendidikan jasmani bagi siswa tuna rungu belum terlaksana dengan baik, dari

Chai, chai, chai, chai, winia uwiruka, chian uwiruka, jempe uwiruka, maya uwiruka, yayu penkeutainkia penkeusayi Chai, chai, chai, chai, winia uwiruka, chian uwiruka, jempe