• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membicarakan teks yang terdapat dalam naskah-naskah karya Abdul Manaf tidak bisa dilepaskan dengan konteks sosial politik semasa. Politik semasa yang dimaksudkan adalah suasana sosial politik di jaman kolonial Belanda dan jaman kemerdekaan. Keduan-

ya ikut mewarnai sekaligus mempengaruhi lahirnya pandangan-pan- dangan ideologis Abdul Manaf dalam tulisannya.

Diketahui bahwa pada masa penjajahan, pemerintah Belanda mengerahkan beberapa orang sarjananya untuk mengadakan pene- litian tentang tarekat yang ada di Sumatera Barat. Salah seorang di antaranya adalah Dr. Ph. S. Van Ronkel. Ronkel (dalam Latief, 1992: 210) antara lain menyebutkan dalam laporannya pada tahun 1916

bahwa, bahaya dari aliran-aliran tarekat bukanlah terletak pada un- sur fanatismenya, melainkan terletak pada kepatuhan yang mutlak dari para anggotanya kepada pada syaikh yang memang menuntut kepatuhan itu sebagai haknya.

Khusus mengenai kaum Syattariyah, Ronkel menyebut-

kan bahwa, para pemimpin tarekat Syattariyah itu biasanya adalah

orang-orang yang tangguh pengetahuannya, menjadi lawan bagi

mikian, tidak jarang merupakan sesuatu yang amat berbahaya bagi pemerintahan Belanda. Apabila terdapat kejadian-kejadian tertentu yang mereka cetuskan, dapat mengganggu kelancaran pemerintahan Belanda nantinya.

Dengan adanya ancaman tersebut, kemudian pemerintah Be- landa membuat strategi khusus untuk mengantisipasi potensi per-

lawanan dari kaum tarekat di Sumatera Barat. Dalam konteks ini, setidaknya ada dua strategi yang dibuat oleh pemerintah Belada. Per- tama, mengadakan pengawasan yang ketat terhadap segala aktivitas

yang dilakukan oleh kaum tarekat (Syattariyah). Dalam hal ini pe- merintah Belanda menempatkan seorang pengawas kelas tiga yang punya latar belakang ilmu Budaya. Belanda menempatkan seorang

posthouder di Ulakan sejak tahun 1844 (Suryadi, 2004: 117 #92).

Kedua, dengan mendekati, membujuk dan memuji-muji para guru tarekat, dengan harapan agar mereka lebih memusatkan perha-

tian pada aktivitas kesuian, menjauhi urusan dunia. Dengan demiki- an, semangat jihad mereka yang sering menggangu kolonial akan dapat diredam. Sedang tokoh-tokoh tarekat yang dianggap berbaha- ya dan tidak mempan dibujuk, lalu diusir dari daerah ini atau dib- unuh dengan berbagai cara yang licik.

Untuk kasus pusat tarekat Syattariyah di Ulakan Pariman, agaknya strategi Belanda ini berhasil. Hal ini dapat dicermati pada paroh pertma abad ke-19, di mana banyak pengikut tarekat Syattari- yah di Ulakan Pariaman terpengaruh oleh gerakan pembaharu Islam di Sumatera Barat. Golongan penganut tarekat Syattariyah yang ter- pengaruh oleh ide-ide pembaharuan itu karena tidak puas dengan ulama Ulakan yang dinilai tidak memiliki komitmen untuk memer- angi Belanda. Apalagi dalam kenyataanya Ulakan sebagai salah satu pusat tarekat Syattariyah tidak pernah benar-benar menunjukkan pe-

nentangannya atau setidaknya bersikap tegas terhadap Belanda yang

dianggap kair. Boleh jadi karena sifat tarekat Syattariyah (di Ulakan) yang suka pada harmoni, menyebabkan mereka cenderung mengh- indari konfrontasi dengan Belanda (Suryadi, 2004: 117).

Kondisi di atas sangat berbeda dengan ulama-ulama tarekat Syattariyah di Koto Tangah, Padang. Di wilayah ini Belanda mendapat

perlawanan yang kuat. Gambaran perlawanan ulama tarekat Syat- tariyah tersebut dapat ditemui dalam teks Sejarah Surau Baru dan teks Sejarah Syaikh Pasebantulisan Abdul Manaf.

Dalam teks Sejarah Syaikh Surau Baru misalnya, diceritakan tentang pemberontakan rakyat Koto Tangah dan Pauh, Padang ke- pada Belanda di bawah pimpinan Pakih Mudo. Pakih Mudo adalah murid Syaikh Surau Baru yang diutus untuk mengislamkan rakyat Pauh, Lubuk Begalung dan sekitarnya. Ketika rakyat Koto Tangah dan Pauh, Padang berperang dengan Belanda yang dibantu oleh orang Kota Padang, maka Pakih Mudo mengomando rakyat Koto Tangah dan Pauh dalam peperangan itu.

Peperangan itu menyebabkan Syaikh Surau Baru ditawan

Belanda. Penawanan itu dilaksanakan dengan alasan bahwa Pakih Mudo adalah murid Syaikh Surau Baru. Perang terjadi atas koman- do dan dorongan Syaikh Surau Baru. Dalam masa tawanan itulah

Syaikh Surau Baru wafat dan tidak ada lagi yang melawan Belanda

hingga ratusan tahun kemudian, yakni perlawanan ke Belanda yang dinamakan Perang Paderi yang dipimpin oleh Imam Bonjol. Kisah ini dapat ditemukan dalam kutipan teks berikut ini.

Beginilah riwayat ringkas perjalanan hidup beliau Tuan Syaikh Surau Baru yang telah mengislamkan Koto Tangah, Pauh, dan seki- tarnya. Juga beliaulah, Syaikh Surau Baru yang mula-mula melawan penjajah Belanda yang akan menginjakkan telapak kakinya di Pantai

Minangkabau pada tahun 1658 Masehi (1076 Hijrat) yang bermak- sud menjajah Minangkabau. Terjadi berkali-kali peperangan di Pauh dan Koto Tangah antara rakyat dengan tentara Belanda yang dibantu oleh laskar Padang yang telah takluk di bawah kekuasaan kompeni Belanda. Setelah Syaikh Surau Baru wafat ditawan kompeni Belanda

barulah habis perlawanan rakyat terhadap kompeni Belanda. Maka amanlah Belanda di Padang sampai 170 tahun kemudian barulah ada

kembali perlawanan terhadap Belanda yang (di)kepalai oleh Tuanku Imam Bonjol yang dinamai Perang Paderi mulai tahun 1803 berakhir tahun 1837 (Alkhatib, t.t.: 51-52).

Selain Syaikh Surau Baru, perlawanan terhadap Belanda juga dilakukan oleh ulama tarekat Syattariyah di Koto Tangah, Padang yaitu, Syaikh Paseban. Perlawanan Syaikh Paseban. pada waktu itu adalah dengan tidak bersedia membayar pajak kepada pemerintahan Belanda di Kota Padang. Oleh karena perbuatannya tersebut, ia di- tangkap dan dipenjarakan oleh Belanda. Selain itu, pernah suatu kali Belanda dengan taktiknya akan memberikan penghargaan kepada Syaikh Paseban. Penghargaan tersebut berupa bintang jasa yang oleh

Belanda dikatakan bahwa Syaikh Paseban berhak menerima karena ia adalah ulama besar yang telah banyak berjasa bagi kaumnya. Akan tetapi, penghargaan itu ditolah oleh Syaikh Paseban. “Yang akan memberi saya bintang adalah Tuhan, tidak Belanda, “ kata Syaikh Paseban (Alkhatib, 2001: 29, 34).

Dalam konteks perlawanan tersebut, dalam naskah Sejarah Ringkas Syaikh Paseben Asyattari Rahimahullah Taala Anhu, penulisan-

nya kembali menegaskan tentang kepahlawanan Syaikh Surau Baru.

Dalam salah satu bagian teks disebutkan bahwa, Syaikh Paseban se- lalu mengadakan ziarah ke makam Syaikh Surau Baru di Batusingka, Air Dingin, Koto Tangah, Padang. Ziarah tersebut ia lakukan karena, (kedua) adalah di suatu makam Syaikh Muhammad Natsir (Syaikh

Surau Baru). Syaikh Surau Baru ini adalah orang Kota Panjang, Kota Tengah, Padang. Beliau sama pergi menuntut ilmu dengan Syaikh Burhanuddin ke Aceh kepada Syaikh Abdurrauf (Syaikh Kuala). Be- liaulah, Syaikh Surau Baru inilah yang mengislamkan Negeri Kota Tengah, Pauh, Lubuk Bagalung (Negeri yang dua puluh) dan Ne- gri Padang. (ketiga) Jasa beliau Syaikh Surau Baru, beliaulah yang

mulanya melawan Belanda di Minangkabau ini, 170 tahun (seratus tujuh puluh tahun) sebelum Tuanku Imam Bonjol. Syaikh Surau Baru

melawan Belanda waktu Belanda akan menjejakkan kakinya di Pan- tai Padang sedangkan Tuanku Imam Bonjol mengusir Belanda yang telah menduduki Minangkabau. Itu perbedaan perjuangan Syaikh Surau Baru dengan Syaikh Paseban. Beliau Syaikh Surau Baru dapat

ditawan Belanda dimasukkannya ke dalam rajam dan wafat di situ

dan Tuanku Imam Bonjol ditawan Belanda dibuangnya ke Manado

dan wafat di situ (Alkhatib, 2001: 39).

Agaknya penulis teks ini ingin mempertegas bahwa Syaikh Surau Baru, ulama tarekat Syattariyah di Koto Tangah, Padang ada-

lah benar-benar berjiwa pahlawan. Hal ini juga sekaligus memperte-

gas bahwa ulama tarekat Syattariyah di Koto Tangah, Padang selain orang alim juga anti penjajah. Oleh karenanya, pengikutnya harus menghormatinya, agar beroleh berkah.

Setelah Indonesia merdeka, Wakil Presiden Republik Indo- nesia, M. Hatta, memaklumatkan agar menumbuhkan berbagai or- ganisasi dan partai. Hal ini untuk menolak tudingan Belanda bahwa Indonesia bukanlah negera yang sah. Setelah adanya maklumat ini, maka banyaklah lahir parta-partai di negeri ini, termasuk juga di Su- matera Barat (Nasution, 2002: 899). Salah satu organisasi sosial yang berikutnya menjadi sebuah partai di Sumatera Barat adalah Persatu- an Tarbiyah Islamiyah (Perti). Pada awalnya, Perti adalah organisasi sosial yang didirikan pada tanggal 5 Mei 1930 di Candung, Bukitting-

gi. Pendirinya adalah para ulama yang terdiri dari Syaikh Sulaiman ar-Rasuli Candung, Syaikh Muhammad Abbas al-Kadi Bukittinggi, Syaikh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang dan Syaikh Abdul

Wahid Tabekgadang. Perti mengikuti aliran Ahlul Sunnah wal Ja-

maah dalam itikad dan mazhab Syai’i dalam syariat dan ibadat. Se- jak 22 Nopember organisasi sosial ini berubah menjadi partai politik dengan nama Partai Politik Islam Perti (Nasution, 2002: 899).

Kondisi seperti itu juga ikut mempengaruhi pandangan ideol- ogis tarekat Syattariyah di Koto Tangah, Padang. Dalam teks Sejar- ah Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib disebutkan bahwa, menjelang Pemilihan Umum pertama 1955, penduduk Koto Tangah sudah tujuh puluh lima persen masuk ke dalam Partai Islam Perti. Hal ini dikarenakan ulama-ulama yang berwibawa –termasuk Abdul Manaf—tarekat Syattariyah di Koto Tangah telah masuk ke dalam partai itu (Alkhatib, 2002: 47).

Dalam konteks kepartaian tersebut, Abdul Manaf pernah aktif dalam memperjuangkan Partai Islam Perti di Koto Tangah, Padang.

Menurut penuturannya, pada waktu menjelang Pemilihan Umum

pertama 1955, ia giat mengkampanyekan Partai Islam Perti. Post- er-poster dan simbol-simbol partai ia buat sendiri dan dengan biaya sendiri. Tidak hanya itu, ia juga menempelkan poster-poster itu di berbagai tempat di Koto Tangah, Padang yang dilakukannya sendiri. Hal ini ia lakukan tidak lain karena menginginkan pilihan penduduk Koto Tangah, Padang tidak salah, yakni partai Islam yang sesuai den- gan paham tarekat Syattariyah. Hal ini memang terlihat agak berlebi- han, padahal ia bukanlah pengurus atau pejabat dalam tubuh Partai Islam Perti itu.

Hal itu dimungkinkan karena Abdul Manaf benar-benar ter-

pemerintah melalui Wakil Presiden Muhammad Hatta menganjur-

kan bahwa setiap warga masyarakat untuk masuk ke dalam salah

satu partai. Jika tidak masuk ke dalam salah satu partai, maka orang

tualang ‘orang lepas, orang yang tanpa ikatan sebuah sistem aturan (pemerintah)’ namanya, dan pemerintah tidak menjamin keamanan

orang seperti itu.

Oleh karena itu, dengan banyak pertimbangan dan dari hasil pengamatan Abdul Manaf, Partai Islam Perti-lah yang sesuai dengan paham tarekat Syattariyah. Dalam hal ini ia mengatakan bahwa,

“...setelah saya selidiki beberapa partai Islam seperti Masyumi, Nahdatul Ulama, Partai Serikat Islam, dan Partai islam Perti, maka jatuhlah pilihan saya kepada Perti. Sebab

partai ini berdasarkan mazhab Syai’i dan beritikad ahlul sunnah waljamaah”(Amin, 2002: 6).

Menarik dikemukakan bahwa, menjelang Pemilihan Umum

pertama tahun 1955 —saat di mana masing-masing partai gencar ber- kampanye mencari dukungan— terjadi ketegangan hubungan antara Abdul Manaf dengan Angku Talaok akibat perbedaan pilihan partai di antara mereka (Alkhatib, 2002: 47-57). Di satu sisi, Angku Talaok bergabung dengan Partai Islam Indonesia (PII), sementara di sisi lain, Abdul Manaf menjadi anggota Partai Islam Perti. Pada awal tahun 1950-an Angku Talaok pernah diminta oleh para penganut tarekat Syattariyah di Batang Kabung dan sekitarnya untuk membantu men- gajar di beberapa surau mereka. Saat itu, yang telah lebih dahulu mengajar di surau Batang Kabung, dan beberapa surau lain di sekel- ilingnya, adalah Abdul Manaf.

Polemik tentang partai juga dialami oleh Abdul Manaf di era Orde Baru. Ia pernah bersilang pendapat dengan Angku Inyik Adam, khalifah tarekat Syattariyah dari Syaikh Paseban, yang sebet-

Amin al-Khatib sendiri ketika belajar dengan Syaikh Paseban. Saat itu, Angku Inyik Adam mengajaknya untuk masuk ke dalam partai Golkar, agar mudah mendapat bantuan dari pemerintah untuk reno- vasi makam Syaikh Surau Baru di Batusingka, Koto Tangah, Padang. Akan tetapi, ajakan itu ditolak oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin. Dalam hal ini menarik disimak penolakan ajakan untuk ma- suk ke partai Golkar oleh Angku Inyik Adam berikut ini.

“Begini Inyik, adapun Beliau ini (Syaikh Surau Baru – pen.) bukan orang partai, bukan pula ziarah bersama ini (bersyafar) tidak atas nama partai. Bersyafar ini adalah atas nama kaum muslimin, tidak dihitung partainya ... Kalau saya masuk Golkar berarti ziarah bersama (bersyafar) ini tentu Syafar orang Golkar kata orang” (Amin, 2002: 63).

Penting dikemukakan di sini bahwa, banyak dan bahkan se- bagian besar pengikut tarekat Syattariyah di Sumatera Barat yang masuk ke partai Gokar setelah Perti kembali berstatus organisasi nonpolitik. Perti mengalami perpecahan di dalam tubuh organisasin- ya dengan adanya pro dan kontra terhadap gagasan Nasakom yang dicetuskan oleh Soekarno. Kemelut yang kurang terbenahi ini sangat merugikan bagi tujuan semula organisasi. Pengelolaan bidang pen-

didikan dan dakwah seolah-olah terlupakan kalau tidak dapat dika- takan terabaikan sama sekali. Maka pada tahun 1969, Syaikh Sulaim-

an ar-Rasuli, pendiri organisasi ini yang masih hidup pada waktu

itu, mendekritkan agar kembali kepada khittah semula, yaitu status nonpol, bergerak di bidang sosial. Dekrit ini hanya diterima oleh se- bagian saja yang dipimpin oleh putranya K.H. Burhanuddin ar-Rasu- li, dan kemudian dalam menyalurkan aspirasi politiknya bergabung dengan Golkar.

Berbagai argumen muncul dari ulama-ulama tarekat Syat-

tariyah yang bergabung ke dalam partai Golkar. Bagi orang awam,

lah yang harus diterima. Bagi yang sedikit maju dan cerdas, mereka mengajukan dalil, daripada kita menumpang kapal kecil lebik baik naik kapal besar, yakni Golkar. Ada lagi alasan ulama bahwa meru- bah dan memperbaiki dari dalam jauh lebih mudah daripada mem- perbaiki dari luar. Dengan masuk ke dalam Golkar, menurut mere- ka, akan lebih mudah untuk memberikan pelajaran tarekat kepada orang-orang yang berada di dalam Golkar, yang banyak sekuler dan bercampur agamanya (Samad, 2003: 266).

Akan tetapi, ada juga ulama tarekat Syattariyah yang dengan tegas menolak bergabung dengan Golkar. Misalnya, almarhum Tu- anku Salif dari Sungai Sarik, Padang Pariaman yang lama mengajar di Batang Kabung, Koto Tangah, Padang. Menurut ulama ini, ula- ma yang mencampuradukkan diri dengan politik itu adalah khianat pada tugas keulamaannya (Samad, 2003: 268). Sangat dimungkink-

an bahwa Abdul Manaf yang juga menolak ajakan masuk ke Golkar karena terpengaruh sikap Tuanku Salif ini. Hal ini jika dikaitkan den- gan kecenderungan pendapat ulama dalam tarekat Syattariyah yang besar pengaruhnya terhadap sikap kaumnya.

Dari penjelasan di atas tampak bahwa suasana sosial-poli- tik semasa berpengaruh terhadap pandangan ideologis teks-teks yang terkandung dalam naskah-naskah karya Imam Maulana Ab- dul Manaf Amin al-Khatib. Hal ini sekaligus memperlihatkan bah-

wa, penganut tarekat Syattariyah di Koto Tangah, Padang ‘berbeda’

dengan penganut tarekat pada wilayah lain di Sumatera Barat. Jika penganut tarekat Syattariyah di wilayah lain merupakan partisan Golkar, maka penganut tarekat Syattariyah di Koto Tangah, Padang tidak berkecenderungan ke pada salah satu partai politik. Secara

sederhana dapat dikatakan bahwa, tarekat Syattariyah di Sumatera Barat adalah khasanah yang multikultur dan bukan sesuatu yang ho- mogen.

PENUTUP

Penulisan naskah yang dilakukan Abdul Manaf dan perlakukan terhadap naskah-naskah itu oleh penganut tarekat Syattariyah, khu- susnya di Koto Tangah, Padang adalah contoh-contoh praktik ideolo-

gi. Hal ini membawa pengertian bahwa di Koto Tangah, Padang bu- kan hanya ideologi Islam ‘modernis’ yang ada, tetapi praktik ideologi

tarekat Syattariah yang dianggap Kaum Tua, ‘kolot” pun tetap kuat.

Naskah-naskah itu memberikan sumbangan yang sangat berar- ti bagi kemajuan ummat, khususnya dalam membangun kepribadian dan moral. Di antara sumbangan naskah-naskah karya Abdul Manaf yang dapat dicatat adalah sebagai berikut ini. Pertama, naskah-nas- kah karya Abdul Manaf masih dibacakan di kalangan pengikut dan kaumnya meskipun penulisnya sudah meninggal dunia. Dengan de- mikian, proses penguatan spiritual melalui kearifan yang terdapat dalam naskah itu terus masih berlangsung. Kedua, naskah-naskah itu masih dijadikan rujukan untuk pengambil keputusan, tidak ha- nya masalah keagamaan tetapi juga masalah sosial budaya serta politik yang mereka hadapi. Ketiga, penghormatan terhadap guru memberikan tauladan agar murid pun harus berperilaku (beribadah) seperti sang guru: pola hidup sederhana (zuhud)dan tidak ambisius (qana’ah).

BA G I A N K E D UA

S U N T I N G A N T E K S

Kitab Riwayat Hidup Imam Maulana Abdul Manaf