• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adapun kami tatkala akan berangkat pada mulanya adalah

2 Syawal 1394 H (1974 M) yang satu motor bus banyaknya. Tetapi

sesuai dengan kata-kata orang kampung, rencana yang ada pada kita keputusan berada pada Allah, artinya Allah yang menentukan tiap-tiap sesuatu. Maka berlaku kehendak Allah yaitu beliau Anku Salip (Anku Batang Kabung) ditimpa musibah yaitu menantu beliau Anku Saghir dengan tiba-tiba meninggal dunia, tidak sakit sedikit juga, yaitu sesudah makan sahur yang bermaksud pagi-pagi akan

pergi membeli daging dengan kawannya yang tidur bersama di luar

kamar supaya jangan terlambat. Setelah hari siang dilihat oleh istri beliau masih tidur juga maka dibangunkan oleh istrinya tersebut. Istrinya terkejut karena suaminya telah meninggal. Itulah sebab keberangkatan ke Aceh pada bulan Syawal dibatalkan /66/. Pada bulan Maulud diusulkan oleh Anku Kabul kepada saya, kata beliau “Kita sampaikan juga maksud kita ke Aceh Imam”. “Bila waktunya anku?” kata saya. “Kita usahakan bulan Maulud ini”. Sepulang dari

surau saya tidur. Besoknya dikumpulkan kembali kawan-kawan

yang mau berangkat dahulu. Namun, banyak yang mengundurkan diri, sebab dana yang telah mereka sediakan tempo hari telah habis terpakai untuk memenuhi kebutuahan hidup. Tinggal empat orang yang sepakat untuk meneruskan maksud tersebut, yaitu saya sendiri, Ustad Yasin, Ustad Anku Salim, dan Anku Batang Kabung yang menjadi kepala rombongan.

Pada hari Kamis 16 Jumadil Akhir bersiap-siaplah kami

menyediakan barang-barang yang akan dibawa. Orang kampung

mendengar kami akan berangkat, berdatangan pula mengantarkan makanan berupa kue-kue dan buah-buahan untuk dimakan dalam perjalanan. Berhubung banyaknya orang yang mengantarkan makanan, terpaksalah makanan tersebut kami tinggalkan sebagian.

Pada hari Jumat 17 Jumadil Akhir bersamaan dengan 27 Juni 1975 M berkumpullah penduduk bersama pelajar Tarbiah Islamiah di Surau Gadang Batang Kabung. Pukul 9 kami meninggalkan Surau Gadang Batang Kabung menuju Lapau Andai Lima di simpang /67/ Batang Kabung menunggu motor Marsedes Bunga Setangkai yang akan kami tumpangi menuju Medan Sumatera Utara.

penduduk beserta pelajar Tarbiah Islamiah seperti orang berangkat ke makam bentuknya. Menurut perjanjian dengan sopir motor kami akan berangakat pukul 10. Namun, setelah kami tunggu sampai pukul 12 tengah hari belum juga datang motor. Oleh karena itu, kami sembahyang Jumat dahulu ke Mesjid Naral Ma’ruf. Sesudah sembahyang Jumat kami kembali ke ke kedai menunggu motor. Pukul setengah dua barulah datang motor Bunga Setangkai yang kami tungu-tunggui. Kami selain Ustad Yasin belum makan pagi, kami menaiki motor dilepas oleh penduduk beserta pelajar. Saya pandang ada pula sebagian jemaat yang melepas kami dengan perasaan sedih sebab kelihatan ada ibu-ibu yang menitikan air mata. Jam setengah empat petang kami motor sampai di Kota Jam Gadang Bukittinggi. Motor berhenti tidak lama, hanya 15 menit. Sementara motor berhenti saya pergi makan. Di kedai nasi, saya disuguhi oleh Anku Hambali nasi bungkus /68/ sebab untuk makan di kedai tidak mungkin

waktu telah habis. Setelah menaikkan penumpang motor berangkat

menuju Medan. Di dalam perjalanan itulah kami makan nasi bungkus, sedangkan Anku Salim tidak ikut makan karena tidak ada air. Pukul 05.15 menit motor sampai di Negeri Kumpulan Kabupaten Pasaman. Kebetulan sopirnya orang yang taat sembahyang, ia orang Pasaman. Setelah selesai sembahyang dan makan, pukul 06.15 menit motor melanjutkan perjalanan . Pukul 9 malam motor sampai di Panyabungan Tapanuli Selatan daerah Sumatra Utara. Di situ motor berhenti, maka kami sembahyang dan makan. Setelah motor melanjutkan perjalanan, saya melihat santri dua atau tiga orang di

tepi jalan. Awalnya saya heran, kemudian saya teringat bahwa di

Tapanuli Selatan ada pesantren yang bernama Mumathagiyah di kampung Puriru. Adapun pondok-pondok itu adalah asrama siswa laki-laki. Adapun murid perempuan asramanya terlah berjauhan dengan asrama laki-laki. Begitu pula /69/ sekolahnya, terdapat di tempat yang berjauhan. Pesantren putrid dipimpin oleh Umi Asrama Istri Syeikh Masyataqhi bernama Hj. Zahra Hanum Lubis. Oleh sebab itu, murid laki-laki tidak bisa bertemu dengan murid perempuan. Inilah pesantren terbesar di Indonesia yang mempunyai murid 9.000 orang. Pesantren dikepalai oleh Syekh Masyataqhi, ialah pendirinya. Pukul 9 kurang 15 menit motor melanjutkan perjalanan dan pukul 2 malam motor sampai di Sibolaga Tapanuli Tengah. Di Sibolga ini terdapat pelabuhan yang sangat tenang, diapit oleh dua

buah bukit. Setelah menurunkan penumpang motor melanjutkan perjalanan. Setiba di batas kota motor mulai mendaki bukit yang tinggi, jalannya berliku-liku, sehingga Kota Medan terhalang oleh

liku-liku jalan. Kemudian motor memasuki terowongan, di dalam terowongan motor terperosok terpaksa berhenti di jalan sebelah kiri,

yang mana di sebelah kiri itu terdapat jurang yang sangat dalam dan curam. /70/

Perasaan saya waktu itu ngilu-ngilu dingin, sebab saya

duduk di sebelah kiri pula, kalau sekiranya motor jatuh maka tubuh

saya akan hancur berkeping-keping. Waktu saya memandang

Gunung Sibolga sangat jauh di bawah sehingga kamupng-kampung Sibolaga kelihatan berkelip-kelip seperti bintang. Pukul 03.30 motor memasuki Kota Tarutung kota umat Kristen. Kota ini adalah ibu kota Kabupaten Tapanuli Utara. Penduduknya 90% beragama Kristen. Hanya terdapat satu mesjid di situ. Kotanya bagus diterangi lampu- lampu neon yang lembut cahayanya. Di tengah kota mengalir sungai yang cukup besar, tenang airnya. Setelah menurunkan penumpang motor melanjutkan perjalanan. Pukul 5 pagi kami sampai di kota Balingki kota umat Kristen. Motor berhenti kami turun untuk melaksanakan sembahyang subuh di situ. Setelah sembahyang kami minum kopi di kedai orang Pariaman. Setelah minum saya kembali ke atas motor, sedangkan Anku Salim minta izin mau melihat-lihat keadaan di situ. Tetapi ia lekas kembali. Saya tercengang kenapa ia lekas kembali./71/ Dia berkata, “saya jijik melihat babi berkeliaran”. Anak-anak bermain dengan anak-anak babi itu. Tapi iya, kata saya. Di sini babi sama dengan kambing pada kita. Motor berhenti di sini hanya setengah jam, kemudian meneruskan perjalanan. Pada pukul setengah tujuh pagi motor sampai di Kota Parapat, kota kecil di kaki

bukit batu. Di bawahnya terhampar Danau Toba, danau terbesar di Pulau Sumatera. Kota Parapat ini diramaikan oleh turis dalam dan luar negeri. Di Kota Parapat terdapat teluk yang tenang, di sebelah selatan berdataran rendah. Menuju ke sebelah utaranya dipagar oleh ujung bukit yang melunjur ke danau. Lajung bukit batu inilah lalunya jalan raya menuju Medan dan lajung jalan yang membelok ke Utara ada bukit kecil di tepi danau. Di situ didirikan orang gedung- gedung yang indah tempat para pelancong dalam dan luar negeri bersantai-santai dan tinggal memandang danau. Di sebelah Timur Kota Parapat terdapat bukit batu yang tidak ditumbuhi oleh sebatang

kayu pun. Jalan menuju Medan menuruti jalur bukit batu itu menuju ke Barat sampai dua jam lamanya. /72/ Sepanjang bukit batu itu dibangun orang panorama tempat orang memandang ke Danau Toba dan seluruh Tapanuli Utara. Sebab bukit itu sangat tinggi dan tidak ditumbuhi kayu. Di Kota Parapat ini motor tidak lama berhenti

Dalam perjalanan ke Pematang Siantar kami menempuh daratan luas Tapanuli Utara ini. Sampai di sini perasaan jiwa berubah dari rasa di Minangkabau. Kalau di Minangkabau ke mana kita berjalan kita bertemu dengan orang yang kita kenal dan memiliki keyakinan yang sama dengan kita yaitu Islam, sedangkan di Tapanuli yang kita temui adalah orang yang berbeda keyakinan dengan kita yaitu agama Kristen dan di kampung-kampungnya yang ada adalah

gereja. Di sana saya juga melihat di tengah sawah terdapat kuburan yang besar. Saya bertanya pada kawan di atas motor mengenai hal itu. Ia menjawab, itu menurut kepercayaan orang Kristen kuburan

yang di tengah sawah itu adalah kuburan orang bertuah dan yang dikubur di tengah sawah itu adalah orang-orang/73/ yang bertuah. Maka di kuburkan di tengah sawah itu supaya sawahnya terhindar

dari segala musuh dan penyakit serta hasilnya berlipat ganda.

Pukul 8 pagi motor kami sampai di kota Pematang Siantar, kota yang nomor dua besarnya di Sumatera Utara. Di kota ini terdapat lebih banyak gereja daripada mesjid. Di Pematang Siantar ini motor berhenti menurunkan penumpang, kemudian melanjutkan perjalanan. Pukul 9 motor sampai di Tebing Tinggi. Di sini perasaan saya kembali enak, karena di sini banyak terdapat mesjid, surau- surau dan jarang terdapat gereja. Di kiri kanan jalan menuju Medan

terdapat perkebunan kelapa sawit yang dikelilingi karet. Seperti

melihat Kota Madinah saja melihat kebun korma yang sangat luas. Pukul 9.30 motor sampai di Kota Medan.