Koto Tangah Tabing, Padang /cover/.
Bismillahirahmanirrahim. Alhamdulillahirabbil’alamin wassalatu wassalam ‘ala saidina muhammad khatimul nabi wa ‘ala alihi waashabihi ajmain. Amma ba’du adapun kemudian daripada itu maka inilah riwayat
hidup saya H. Imam Maulana ‘Abdul Munaf aminul Khatib
Mukadimah
Adapun maka saya tulis buku sejarah hidup saya ini adalah berkehendak penduduk Batang Kabung dan datang pula beberapa
mahasiswa Unand Padang yang meminta riwayat hidup saya. Itulah sebabnya saya tulis ini buku yang menguraikan riwayat hidup saya. Mudah-mudahan ada manfaat buku riwayat ini bagi anak cucu
saya di kemudian hari dan juga bagi generasi muda. Amiin yaa rabbil ‘alamiin.
Dilahirkan
Saya dilahirkan hari Sabtu tanggal 18 Agustus tahun 1922 Masehi di Kampung Batang Kabung, Koto Tangah, Padang. Ayah saya bernama Amin dan ibu saya bernama Fatihah suku Bali Mansiang. Ayah saya adalah seorang pemimpin Muhamadiyah Muara Penjalinan, Koto Tangah, Padang. Waktu berumur delapan /1/
tahun saya mulai mengaji (belajar) Surat Alif (surat ‘amma), adalah
di Muara Penjalinan pada seorang guru perempuan yang bernama Sarimakah. Enam bulan mengaji di Muara penjalinan, pindah mengaji ke Batang Kabung dengan seorang guru ahli kira’at yaitu Anku Faqih Lutan. Di situlah tamat Al-Quran.
Tahun 1930 Masehi saya masuk sekolah desa di Muara Penjalinan. Selama tiga tahun, tamat sekolah desa disambung sekolah
governemen di Tabing. Tahun 1936 Masehi saya pergi menuntut ilmu kepada Syeikh Paseban di Koto Panjang, mengaji Kitab Gundul. Di tahun itu juga, dalam berumur empat belas tahun saya telah bai’at
dengan Syeikh Paseban, menerima talqin zikir dan tarekat Syattari. Di tahun 1937 Masehi, karena Syeikh Paseban akan berangkat ke Mekah menunaikan rukun haji, maka saya mengambil tahlil darajat
pada beliau Syeikh Paseban tiga bulan beliau akan berangkat.
Syeikh Paseban meninggal di Mekah di tahun itu, yaitu tahun 1937 Masehi. Karena beliau Syeikh Paseban telah meninggal di Mekah, di tahun 1938 Masehi saya bersama seorang kawan pergi menuntut ilmu ke Nagari Batagak Bukittinggi pada Syeikh Haji Ibrahim, berguru tua pada Guru Tua Marain.
Tahun 1940 kami perai mengaji karena bulan Ramadhan hampir masuk. Kami pulang ke kampung masing-masing. Saya diminta oleh orang Pasir Sebelah membawakan sembahyang tarawih
di suraunya. Sedangkan umur saya waktu itu baru mencapai 18
tahun.
Tahun 1941 nagari rusuh Perang Dunia Kedua pecah, /2/ Jepang mengganas. Tahun 1942 Jepang menyerbu Indonesia, Belanda kalah, Jepang memerintah Indonesia. Setelah nagari agak aman, 43, saya pergi kembali melanjutkan menuntut ilmu ke Koto Baru Batas Padang Panjang. Guru besarnya juga Syeikh Haji Ibrahim.
Orang Jepang pemerintahannya sangat kejam, main bunuh
saja. Puluhan ribu mahasiswa disuruhnya kerja paksa. Lebih rakyat biasa, bersalah sedikit saja main tampar dan pukul. Mahasiswa yang
dipekerjapaksanya tidak diberinya makan nasi, malahan diberi
makan jagung atau tepung parancis. Sehingga mahasiswa itu telah
kurus-kurus sangat. Mana yang tidak bisa bekerja lagi digalinya lubang, dimasukkannya ke dalam lubang itu, ditimbunnya dengan tanah belum mati. “Tuan nanti mati juga”, katanya. Lalu ditimbunnya terus.
Begitulah keganasan Pemerintah Jepang. Tetapi, sungguh
ganas kebaikannya adapula. Sebagian mahasiswa itu dilatihnya
menjadi barisan dan laskar. Pandailah rakyat Indonesia berperang menghadapi musuh. Tahun 45 Jepang kalah, sekutu menang, Indonesia memaklumkan kemedekaan. Belanda bermaksud
hendak memerintah kembali, hingga dilawan oleh rakyat karena
pemerintahan telah terbentuk, yang berakhir dengan Perundingan Meja Bundar. Belanda menyerahkan Indonesia ke tangan Bangsa Indonesia.
Kami mengaji di Koto Baru begitu pula disuruh oleh kepala nagari bergotong-royong tiap minggu. Oleh Kepala Nagari tidak melindungi murid-murid pelajar agama oleh karena Kepala Nagari orang Muhammadiyah. Pelajar Orang Kuno namanya. Diancamnya pelajar kuno dengan gotong-royong. /3/
Begitulah keadaannya waktu itu. Kalau menjadi pejabat
orang moderen, terancamlah Kaum Kuno dibuatnya. Begitulah yang
diwarisi dari imam mazhabnya Muhammad bin Abdul Wahab.
Oleh karena itu Guru Tua kami, yaitu Tua Salif meminta ijin kepada Anku Syeikh Haji Ibrahim hendak pulang ke kampung. “Tergaduh awak-awak mengaji oleh gotong-royong tiap minggu ini.” Oleh Anku Syeikh Haji Ibrahim diberilah kami ijin pulang. Yang kata beliau, “Akupun belum tentu pula tetap di sini. Semenjak kepala nagari telah bertukar dengan yang muda, maka kurang enaklah perasaan tinggal di sini. Yang menjemput awak ke mari dahulu adalah kepala nagari yang tua yang sepaham dengan kita, yang sayang kepada pelajar-pelajar. Tetapi, Kepala Nagari sekarang benci kepada anak pelajar. Itu sebabnya disuruhnya pelajar bergotong-royong” tiap minggu.
Pernah saya dipanggil oleh Kepala Nagari itu ke kantornya.
Dia menanya saya, “Di mana pelajar sembahyang Jumat?”. Jawab
saya, “Sebahagian ada di sini, tetapi sebahagian kami berkekurangan
ongkos, kami pergi meminta sedekah. Di mana bertemu waktu
Jumat, di situlah dia sembahyang Jumat. Entah kok berlain agama
di sini dengan agama di rantau. Jawab saya kalau sama-sama Islam
tentu tidak berlain.”
Maka berangkatlah pulang ke kampungnya Tua Salif dengan dua puluh orang murid, tetapi saya tidak diijinkan. Beliau pergi dengan Tua Salif /4/ Kemudian datang murid lama beliau, yaitu Anku Lunak Samsyuddin. Setelah seminggu dia berada di Koto Baru, saya datangi dia bertanya kepadanya, “Laikah akan tetap Anku di sini?”
Jawabnya, “Belum tentu, sebab maka aku datang (ke) sini aku sakit,
sakit itu tidak ada obatnya. Yang biasanya obatnya berkhidmat saja kepada Beliau, maka penyakit saya itu sembuh saja. Kalau penyakit saya sudah sembuh, saya akan pulang.”
Setelah lima belas hari dia belum pulang, maka saya bawa
saja kitab tafsir kepadanya. Maka mengajilah saya dengan dia sampai
bulan Sya’ban. Di bulan Rajab saya kaji dengan Anku Lunak itu Kitab
a;-Dardir, yaitu kitab Mi’raj Nabi Muhammad SAW. sampai tamat.