Pada suatu malam di tahun 1955 saya adakan rapat di Surau Gadang Batang Kabung. Saya undang imam, khatib, penghulu, dan seluruh penduduk Batang Kabung. Setelah hadir semuanya maka kami saya tujukan kata saya kepada orang muda, begini kata saya: Bapak Raja Tanjung saya menghimbau, namun sebelum saya menyampaikan maksud tidak dengan menadahkan tangan, saya hanya mau dipinta, laikah mungkin? Maka menjawab kepala orang muda, “Alah sampai anku?” Bana khatib, karena kita bersama, bak kato urang tuo-tuo kato surang dibulati kato basamo dipaiyokan, maka
mamanku Khatib dahulu /39/. Jawab saya, “Insya Allah”. Maka
setelah diperiyakan, maka berkata kepala orang muda, “Tadi kata saya meminta khatib menangkokmempeiyakan, benar khatib. Tadi kata saya
nak menyampaikan maksud, tetapi sebelum menyampaikan yang dimaksud itu saya, tidak dengan mengangkat tangan namun ditunjuk rakyat, mungkin setelah mempeiyakan sepakat untuk menerima bana khatib itu. Maka menjawab saya, menyegani sungguh saya sampaikan
kepada masyarakat dan kepada seluruh kita yang hadir di sini, tujuan hamba adalah, di tahun 50 ketika saya menempati surau ini, sudah runtuh-runtuh, rusak lantainya, lah banyak yang patah. Maka saya kerjakan sendiri, dan sekarang sudah dapat dihuni kembali. Yang menjadi garin saya, menyapu, membentangkan lapik, menjadi guru, imam, khatib saya lakukan sendiri. Tidak diangkat orang tidak digaji
semua semata-mata karena Allah SWT. Setahun pertama sepakat ninik mamak mengganti dengan surau yang baru. Kesimpulannya didirikanlah surau yang baru, namun cuma sampi menegakkan tonggak yang empat. Selebihnya saya tidak tahu, ninik mamak tidak datang seorang juga melihat pembangunannya. Setelah seminggu /40/ datanglah seorang tua kepada saya anggota sarik. Dialah kepala tukang mengecek surau yang baru ini. Dia berkata kepada saya, begini katanya, “Kalau saya perhatikan ninik mamak pecah rupanya, oleh sebab itu saya minta kepada khatib tampuhi sajalah, karena jika tidak khatib tampuhi saya yakin tonggak yang empat itu akan roboh kembali, tidak akan ada Surau Gadang Batang Kabung, dan akan
hancur semuanya”. Kata orang tua itu saya jawab, dengan apa saya bangun anku? Ia menjawab, “saya lihat khatib ada mempunyai padi? Ya, jawab saya, namun itu cuma cukup untuk dimakan saja. Betul
katanya, yakinlah khatib itu akan diganti oleh Allah. Juallah empat karung, simpanlah oleh khatib untuk pembeli alat-alat yang kurang.
Sekarung saya bawa untuk makan anak istri saya, sebab saya bekerja
tidak bergaji. Yang sekarung lagi untuk makan khatib sekeluarga. Habis perkataannya, ia pergi. Maka terpaksalah saya menerima usul orang tua itu. Maka bekerjalah orang tua itu tidak digaji selama 5 tahun hingga dapat dihuni. Tiap tahun saya mengeluarkan tiga karung padi, jadi 5 tahun jadi 15 karung padi. Padi itu tidak saya minta kepada penduduk nagari, semua saya serahkan kepada Allah. Kesimpulannya selama 6 tahun saya bekerja sebagai garin tidak
diangkat orang dan tidak digaji. Saya saja yang menghidupkan wirid
di surau-surau di Batang Kabung, yaitu di Surau /41/ Pasir Kandang, Surau Pasir Gurun, Surau Pasir Sebelah. Kalau kita bawa kepada kata orang tua-tua, saya ini adalah si pungguk. Si pungguk tidak akan pernah menjadi elang. Sekarang semua saya pulangkan kepada ninik mamak Batang Kabung untuk mencari guru yang tepat untuk mengaji di surau ini. Sekian pulang kepada yang bersama”.
Maka dijawab oleh kepala orang muda, “Sudah sampai
khatib?” Sekian dahulu, kata saya. Begini khatib katanya, karena
awak bersama, maka dibawa bermusyawarah dahulu, menunggu khatib. Insya Allah jawab saya. Setelah menunggu beberapa menit, berkatalah kepala orang muda, ”Kesimpulan saja kami ambil bahwa
khatib menyarankan supaya kita mencari guru yang akan duduk
di surau ini, kami sepakat, guru yang akan dicari telah ada”. Jawab saya, “Kalau telah ada, di manakah guru itu?”. Jawab mereka, ”Khatiblah guru itu”. Jawab saya, “Bukankah telah saya katan tadi, bahwa saya adalah guru sementara, yang saya maksud adalah guru yang ditentukan”. Menjawab kepala orang muda, “Begini khatib
kalau bagi kami guru adalah khatib, namun karena orang kampung banyak, maka urusan guru kami serahkan bulat-bulat kepada khatib siapa guru yang akan duduk di surau ini”. /42/ Berkata orang tua-
tua bahwa pesan tidak dituruti dan pitaruah tidak dibunyikan. Itulah hasil rapat malam itu, yaitu sepakat mencari guru.
Maka besoknya berangkatlah saya ke Ampalu tujuan saya adalah mencari Syeikh Imam Ibrahim (Anku Ampalu Tinggi di Tujuah Koto). Sebabnya maka saya pergi mencari beliau adalah, karena surau Batang Kabung ini masih dalam tangan beliau. Beliaulah guru Surau Batang Kabung sejak jaman Jepang hingga
merdeka. Beliau berangkat meninggalkan Batang Kabung karena ada keperluan di kampung halaman beliau. Karena penyerbuan Belanda tahun 1968 beliau sama lari mengungsi dengan masyarakat. Setelah bertemu dengan beliau saya uraikan perjuangan saya menentang pemerintah yang ingin mengganti khutbah jumat yang berbahasa
Arab dengan Bahasa Latin, dan melawan camat supaya puasa melihat bulan. Kemudian saya sampaikan kepada beliau bahwa untuk membawa anku kembali ke Batang kabung tidak mungkin,
sebab anku telah menjadi khalifah Anku Ampalu. Kalau hamba mengaji kembali tidak mungkin, sebab jika saya mengaji sekurang- kurangnya tiga tahun lamanya. Kalau aku tinggalkan /43/ Batang Kabung selama tiga tahun, maka kaji aku tidak akan laku lagi, sebab Batang Kabung telah berubah menjadi Muhamadiyah, maka kaji yang anku tunjukan tidak akan diikuti lagi. Mendengar perkataan saya itu, anku termenung, kemudian beliau berkata, “Saya akan suruh Anku Lunak ke Batang Kabuang”. Beberapa hari sesudah itu datanglah Anku Lunak dengan dua orang muridnya, rupanya beliau banyak sakit, seminggu menjelang puasa beliau pulang. Telah masuk puasa beliau belum juga datang. Ditanya pada muridnya, rupanya beliau sakit. Seminggu sudah hari raya datanglah surat dari Ampalu, isinya menyuruh saya datang ke Ampalu. Setelah tepat harinya berangkatlah saya ke Ampalu. Setelah bertemu dengan Syeikh Haji
Ibrahim, saya bertanya, “Apa kabar anku?”. Jawab beliau, “Anku Lunak sakit tiap sebentar, tidak kuat ia datang ke Batang Kabung”.
Jadi bagimana anku kata saya. Anku menjawab, Si Salip datang menemui saya, ia dibawa orang Kataping menjadi guru, namun belum saya jawab, kalau dia saya bagaimana?”. Jadi anku jawab
saya, apa saya langsung menemui beliau ke sungai Sarik?” Tidak usah, biar saya yang berhitung dengan dia, tunggu sajalah di Batang Kabung, kata anku. Empat hari sesudah saya kembali dari Ampalu, pagi hari Kamis saya sedang minum kopi di kedai, berdirilah dua orang di halaman surau memandang ke dalam kedai. /44/ Mengapa
berdiri di situ? Masuklah ke dalam kedai kata saya. Jawabnya, Kami
sudah minum, kami mau bertnya, apakah ini surau Anku Khatib
Manaf? Jawab saya, minumlah dahulu, air telah dibuatkan orang.
Selesai minum ia berkata, kita tengok pak, adakah beliau tadi? Ada,
jawab saya. Maka naiklah saya ke dalam surau diikuti oleh kedua orang itu, saya duduk di mi’rab yang tinggi, ia duduk di hadapan
itu pak? Jawab saya, tadi ada dia di sini sekarang ke manalah dia.
Anku yang Khatib Manaf itu? tanyanya. Khatib Manaf jadi, tidak juga tidak apa-apa. Iya ankulah khatib Manaf itu! Apa kabar? kata saya. Kami disuruh Anku Salip ke mari mengabarkan bahwa beliau akan datang hari Senin nanti, beserta murid-muridnya. Ada kira-kira dua motor. Beliau meminta ditunggu di tepi jalan supaya tidak talonsong motor kami. Insya Allah kata saya. Maka pada hari Senin datanglah Anku Salip bersama murid-muridnya kira-kira 30 orang pukul 9 pagi./ maka duduklah mengaji Anku Salip di Batang Kabung. Mulai hari senin tanggal 29. Bulannya saya lupa karena lupa
mencatatnya waktu itu, tahun 1955 M. Setelah beberapa bulan beliau
tinggal di Batang Kabung, mulai berdatangan orang pergi mengaji dari seluruh Kabupaten Padang Pariaman. Setahun kemudian dari seluruh Minangkabau. Akhirnya berdatanganlah pelajar dari seluruh Sumatera Barat. /45/ adapun saya diangkat dan dijadikan mamak oleh seluruh pelajar. Seperti kata orang tua-tua, ditinggalkan ayah di kampung, ambil ayah di rantau, ditinggalkan mamak di kampung, diambil mamak di rantau. Didapat ayah di rantau itulah guru, didapat ibu di rantau itulah istri, mamak didapat itulah saya.
Di tahun 1965 M, pada suatu petang berkata beliau kepada saya, kalau ada tanah sebaiknya dibangun rumah sekolah yang permanen. Saya diam saja sebab tanah belum nampak oleh saya. Sehingga sampai 3 kali beliau berkata. Di antara anggota sembahyang 40 ada seorang perempuan bernama Dalimah, diimbaukan orang Mak Ampuh. Pada suatu hari ia datang kepada saya dan berkata, ambilah tanah di Parak Tanjung untuk mendirikan sekolah, tanah itu kosong saja. Maka saya kabarkan kepada anku. Setelah itu saya dan anku menemui penghulu Iyun untuk mengabarkan hal itu. Penghulu tersebut sangat setuju untuk mendirikan sekolah. Kemudian diadakan rapat pembentukan panitia yang terdiri dari: Yurnalis Buya Ghafar, /46/ Abdul Rahman Kepala Kampung, Abu Kasim penghulu dan saya sebagai penasehat. Maka Datuk Yurnalis pergi menemui Bupati ke Pariaman. Sebelum sekolah didirikan anku bertanya kepada saya, apa nama sekolah itu nanti khatib? Menurut
pendapat saya Tarbiah Islamiah, kata saya. Jawab beliau, itu cocok
benar dengan awak. Sewaktu akan meletakkan batu pertama ada halangan sedikit dari Nursyin Anku Fauzi dari Tabing. Maka diambil alih olah Arrahman, ialah yang meletakkan batu pertama, sehingga
Anku Nursyin terpaksa diam saja. Maka berdirilah sekolah Tarbiah Islamiah di Batang Kabung tahun 1966.