• Tidak ada hasil yang ditemukan

Syeikh Haji Ibrahim di Batang Kabung

Di tahun 1943 Masehi lepas puasa, beliau Syeikh Haji Ibrahim datang di Batang Kabung. Kami penduduk sangat gembira dengan kedatangan beliau itu. Sehingga kami rakyat beserta ninik mamak

meminta beliau tetap tinggal di Batang Kabung. Permintaan kami itu beliau kabulkan, maka menetaplah beliau tinggal di Batang Kabung.

Kemudian itu, berdatanganlah pelajar-pelajar dari daerah Minangkabau. Maka pada tahun itu, yaitu tahun 1943 Masehi saya diangkat leh penduduk Batang Kabung menjadi Khatib Jumat. Mengangkat khatib itu dengan mengadakan jamuan di mesjid, yang diberi gelar Khatib Mankuto.

Pada tahun 1945 Masehi Jepang Kalah, Indonesia memaklumkan kemerdekaan pada 17 Agustus tahun /5/ 1945 Masehi.

Muhammad Hatta. Oleh wakil presiden, rakyat dianjurkannya

memasuki partai. Kalau tidak memasuki partai, orang tualang namanya. Pemerintah tidak tanggung jawab keamanannya. Karena

itu bermunculanlah partai-partai. Tentu kita memasuki partai itu yang sepaham dengan kita.

Karena itu, setelah saya selidiki beberapa partai Islam seperti Masyumi, Nahdatul Ulama, Partai Serikat Islam dan Partai Islam Perti, maka jatuhlah pilihan saya kepada Perti. Sebab, partai ini

berdasarkan mazhab Syai’i dan beri’tikad ahlul sunnah waljama’ah.

Setelah saya mupakat dengan kakak saya Abdul Ghafur, maka pergilah kami menemui Buya Haji Jamaluddin yang biasanya beliau itu tetap bersembahyang Jumat di Mesjid Belakang Tansi Padang. Maka pergilah kami pada hari Jumat di bulan Rabiul Akhir 1364 Hijriah (bulan Mei 1946 Masehi) ke mesjid belakang Tansi.

Selesai sembahyang Jumat, kami temui Buya Haji Jamaluddin, lalu kami tanyakan kepadanya, “Adakah masih hidup juga Perti

sekarang Buya?” Jawabnya, “Sudah dibangun kembali, sebab kita

dianjurkan sekarang oleh pemerintah supaya memasuki partai. Kalau tidak masuk partai orang tualang namanya. Pemerintah tidak

tanggung jawab keamanan dirinya.”

“Kalau partai lain sudah banyak datang ke Batang Kabung /6/ tetapi belum kami masuki satu juga. Itulah sebab kedatangan kami.” Maka berkata Buya Haji Jamal, “Pergilah ambil kartu anggota ke Batung Tabal. Bagi-bagikan kepada rakyat. Kami dengan Anku Latif datang ke Batang Kabung hari senin ini.”

Beresok harinya, hari Sabtu kami pergi ke mengambil kartu Perti. Beresoknya, hari Minggu kami menjalani Ganting, Pasir Gurun, Pasir Kandang dan Pasir Sebelah membagi-bagikan kartu dan menyuruh datang ke Mesjid Batang Kabung hari Senin malamnya, mendengarkan penerangan dari Buya Haji Jamaluddin.

Maka pada malam hari Senin berdatanganlah penduduk ke Mesjid Batang Kabung, sehingga penuh mesjid itu. Maka tibalah Buya Haji Jamal dengan Anku Latif. Yang mula memberi pengajian adalah Anku Latif, sudah itu Buya Haji Jamaluddin memberi

penerangan berhubung kemerdekaan dan menerangkan bahwa kita

masuk partai, orang tualang namanya. Kita orang tualang ini tidak dijamin keamanannya oleh pemerintah. “Kami adalah dari Partai Islam Perti. Siapa dari Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu yang masuk Perti menunjuklah!”

Waktu itu berada di luar berdiri dekat jendela. Mendengar

pertanyaan Buya Haji Jamal itu /7/ orang banyak memandang kepada saya. Melihat saya menegakkan telunjuk, maka semua orang yang berada dalam mesjid menegakkan telunjuk semua. Dicoba menghitung oleh Buya Haji Jamal satu, dua, tiga, empat, lima kemudian kata Buya Haji Jamal, “Tidak biasa saya menghitung, suara sajalah saya dengar.” Maka diulangnya sekali lagi, “Siapa suka masuk Perti?” Gemuruh suara mengatakan suka.

Wakil-wakil partai yang berada waktu itu tercengang semua. Sebab sewaktu mereka datang ke Batang Kabung sudah memberi penerangan, dimintanya suara tidak ada seorang juga yang menunjuk.

Hanya sewaktu pemimpin Masyumi datang sesudah penerangan dimintanya suara hanya satu orang yang bersuara.

Maka berdirilah Partai Islam Perti di Batang Kabung di tahun 46 (empat puluh enam Masehi). Kemudian berdirilah Partai Islam Perti atas nama Kecamatan Koto Tangah.

Di tahun 1946 Masehi itu, menjadi kepala nagari Ustadz Ghani yang bergelar Datuk Raja Alam dari Partai Masyumi, ketua Muhammadiyah Koto Tangah. Dari itu dia bertekad hendak memuhamadiyahkan Nagari Koto Tangah. Sebab amal penduduk

Koto Tangah waktu masih kuno. Puasanya malihat bulan dahulu,

khutbah Jumatnya berbahasa Arab.

Pada tahun 1947 Masehi diadakannya rapat alim ulama di Mesjid Balai Gadang Mesjid Raya Koto Tangah yang khutbah Jumatnya /8/ berbahasa Arab. Yang diundangnya seluruh ulama Koto Tangah, tetapi kami dari Batang Kabung tidak diundangnya.

Maka berlangsunglah rapat yang hasilnya memutuskan bahwa

khutbah di seluruh mesjid di Koto Tangah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Keputusan itu mulai berlaku 15 September 1947 Masehi. Maka dikirimkannya surat ke setiap mesjid di Koto Tangah, termasuk mesjid Batang Kabung.

Mak Uniang Rasyidin. Sewaktu saya tiba di mesjid, saya dihimbau

(dipanggil) oleh Mak Uniang. Dia memberikan sepucuk surat kepada saya. Lalu saya baca, dari kepala nagari Koto Tangah, isinya mulai 15 September khutbah Jumat di seluruh mesjid di Koto Tangah, khutbah Jumatnya diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Maka saya bertanya kepada Mak Uniang, “Ini mesti dijalankan Mak Uniang?”

“Tentu iya”, jawab Mak Uniang. “Kalau mesti dijalankan ini suatu

paksaan, saya bertemu ayat dalam Quran: laa ikrahaa iddiin apa

artinya?” Jawabnya saya, “Tidak pandai mengaji, tidak tahu artinya.“

Kata saya, “Kata Allah dalam agama tidak ada paksaan. Kata Mak Uniang, “Itu betul, kita kan sudah merdeka. Merdeka berkata yang

haq dan merdeka membantah dan merdeka menyatakan perasaan, merdeka mengusul. Kalau tidak setuju itu boleh saja. Buatlah surat /9/ kalau tidak pandai membuat surat itu, saya bersedia menolong membuatkan surat itu. Mufakatlah dahulu ninik mamak.”

Maka mufakatlah kami ninik mamak yang sepakat membuat surat yang isinya mengusulkan khutbah Jumat di Mesjid Batang Kabung tetap Bahasa Arab. Keputusan ninik mamak itu disampaikan kepada Mak Uniang Rasyiddin. Dialah yang akan membuat surat kepada Kepala Nagari. Tidak berapa hari sudah surat itu masuk, saya dan kakak saya Buya Abdul Ghafur pagi-pagi kira-kira pukul setengah delapan pagi sedang berada di mesjid sedang mengurus barang-barang yang dipinjam malamnya. Karena malam itu kami mengadakan Partai Islam Perti, tiba opas kepala nagari memberikan surat. Saya baca menyuruh datang ke kantor. Kata saya kepada opas

itu, “Tunggu sebentar, kami mengurus barang-barang ini dahulu.” Kata opas itu, “Jangan tidak datang pula nanti!” “Insya Allah kami

tiba,” jawab saya.

Selesai pekerjaan kami, maka kami pergi ke kantor Kepala Nagari. Kami disuruh masuk ke kamar kerjanya. Pintu ditutupnya,

opas-nya tegak menyandar ke pintu itu dengan pistol di tangan. Saya duduk berhadapan dengan Kepala Nagari.