• Tidak ada hasil yang ditemukan

Al-Qur’an adalah sebuah aksi komunikatif (Comunicative act) yang

memiliki tujuan tertentu. Umat Islam meyakini al-Qur’an sebagai kalam Tuhan. Al-Qur’an ditujukan, pada awalnya, kepada kalangan tertentu, yaitu penduduk Makkah dan Madinah pada abad ke-7 M. Oleh karena itu, aksi komunikatif al- Qur’an sangat berkait konteks spesifik tempat kejadian pertamanya, serta hubungan antara Sang pemberi Kalam (Tuhan) dan para penerima pertamanya (Nabi Muhammad dan generasi sahabat). Meski pesan al-Qur’an terus-menerus diaktualisasikan dan direaktualisasi sepanjang generasi Muslim pasca Nabi Muhammad, konteks-konteks yang baru itu tetap terhubungakan dengan konteks pewahyuan pertama.119

Epistimologi pendekatan kontekstual yang di bangun Abdullah Saeed ini, mengantarkan penulis untuk bisa lebih menjabarkan mengenai konsep

117 Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemah..., hlm 516.

118

Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nur,..., hlm 3918.

berhubungan baik anatara Muslim dengan Non-Muslim sesuai yang terjadi saat ini.Kebobrokan moral manusia terjadi karena manusianya itu sendiri. Sebagai alat bantu mengembalikan moral itu dengan baik, Saeed menerapkan beberapa prinsip bahwa setiap peristiwa itu terjadi karena ada sebab yang mengawalinya, kemudian dari peristiwa tersebut Saeed mengembalikan lagi dengan teks awal atau ajaran al- Qur’an sehingga akan terjadi analisis kejadian dan mendapat solusi yang terbaik. Prinsip-prinsip Saeed dalam membangun hubungan yang Toleran antara Muslim dengan Non-Muslim yang paling menonjol yaitu kembali lagi pada fitrah manusia di ciptakan untuk saling mengenal, menghargai, berbuat baik dan berlaku adil dengan siapa pun itu tanpa melihat perbedaan ras, suku, bangsa, bahkan agama sekalipun.

Konteks ini (QS. al-Hujurat:13), pada mulanya turun karena terjadi peristiwa seorang budak yang hitam melakukan adzan diatas Ka’bah. Namun ada seorang yang merasa tidak pantas akan hal tersebut. Sehingga turunlah ayat ini (S. 49:13) sebagai penegasan bahwa dalam Islam tidak ada diskriminasi sesama manusia, baik dari segi suku, bangsa, ras, serta agama. Kemudian turunnya (QS. al-Mumtahanah:8) berkenaan dengan peristiwa yang menegaskan bahwa Allah tidak melarang berbuat baik kepada orang yang tidak memusuhi agama Allah.

Melalui ajaran dan pilar tadi, Islam mendorong para pengikutnya agar bersikap toleran dengan pengikut agama lain dan bersikap positif terhadapnya, karena Allah SWT telah menjadikan manusia sebagai khalifah yang mempunyai tanggung jawab kolektif untuk membangun bumi ini, baik secara moril dan materil.

Hubungan tidak harmonis antar Muslim dengan Non-Muslim telah melahirkan sejumlah salah pengertian, opini yang keliru dan pernyataan yang berisi provokasi dan penyebar sikap kebencian dan permungsuhan terhadap Islam. Islam dituduh sebagai agama teroris, mengandung ajaran membunuh orang secara membabi buta dan merupakan ancaman keberlangsungan kebudayaan moderen. Ini disebabkan percampur –adukkan Islam sebagai agama yang berdasarkan al- Qur’an dan Hadis dengan aksi segelintir orang Islam yang tidak bertanggung jawab. Sehingga hal tersebut memicu umat lain atau Non-Muslim menumbuhkan sisi-sisi kebencian dalam dirinya yang kemudian merusak hubungan baik antara kelompok. Dari sini, terlihat urgensi topik prinsip hubungan muslim dengan non- muslim dalam Islam untuk menjelaskan petunjuk Allah SWT dan utusan-Nya Nabi Muhammad SAW tentang hal tersebut. Bagaiman para sahabat Nabi dan umat Islam dari masa ke masa menerapkan prinsip dan nilai Illahi dalam menciptakan kehidupan yang damai di tengah-tengah masyarakat yang berbeda agama, budaya, ras, suku dan bangsa.

Hubungan Muslim dengan orang lain ini dijelaskan Allah SWT dalam al-

Qur’an dan melalui utusannya Nabi Muhammad SAW. Dimana harus terjalin atas

dasar nilai persamaan, toleransi, keadilan, persaudaraan kemanusiaan.

Persamaan dan keadilan itu ibarat dua sisi uang logam yang bila salah satu sisinya hilang, sisi yang lain tidak ada artinya. Stabilitas sosial dan masyarakat tidak akan tercapai bila keduanya menjadi sirna. Untuk itu, suatu keharusan memberlakukan keadilan dan kebaikan kepada semua orang tanpa melihat perbedaan suku, ras, bangsa, serta agama sekalipun.

Bahkan al-Qur’an tidak hanya sekedar menghimbau umat Islam agar bersikap toleran yang dianggap sebagai syarat mutlak bagi kehidupan yang damai, tetapi meminta komitmen mereka agar saling mengenal, menghargai, berbuat baik dan adil. Bukan dalam arti dapat menerima orang lain saja, tetapi harus menghormati budaya, kepercayaan, dan perbedaan peradabannya. Hal yang dimaksud firman Allah surat al-Hujurat ayat 13 dan al-Mumtahanah ayat 8.

Al-Qur’an setelah memberi petunjuk tata karma pergaulan dengan sesama

muslim, ayat di atas telah menguraikan prinsip dasar hubungan antar manusia. Karena itu, ayat dia atas tidak lagi tidak lagi berbicara kepada orang-orang yang beriman, tetapi kepada semua manusia. “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi

Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. ..” (QS. Al-Hujurat [49]: 13)

Diciptakannya manusia di dunia ini, Allah telah memerintahalan kepada makhluknya agar saling kenal-mengenal, membantu, dan saling melengkapi. Hal itu dikuatkan dengan Firman Allah SWT: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya

Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”(QS. al-Mumtahanah[60]: 8)

Kaum Muslimin diperbolehkan berdamai dengan musuh-musush yang mereka kehendaki jika terpaksa harus melakukannya dan perdamaian tersebut menghasilkan kemaslahatan-kemaslahatan yang tidak merekatemukan jika tidak

dengan cara ini, karena Rasulullah SAW sendiri berdamai dengan penduduk Makkah di perdamaian Hudaibiyah, berdamai dengan orang-orang Najran dengan syarat mereka menyerahkan sejumlah uang kepada beliau, berdamai dengan orang-orang Bahrain dengan syarat mereka membayar jizyah dla jumlah tertentu kepada beliau, dan berdamai dengan Ukaidar Daumah kemudian beliau melindungi darahnya dengan syarat ia membayar jizyah kepada beliau.120

Dengan hal tersebut, maka untuk membangun hubungan yang harmonis perlu pengorbanan akan hal itu. Seseorang harus mampu membangun rasa nyaman orang lain terhadap diri kita, begitu pula sebaliknya. Sehingga menumbuhkan rasa simpatik terkait dalam hal ini yaitu berkaitan hubungan harmonis antara Muslim dengan Non-Muslim pada saat ini.

Dokumen terkait