• Tidak ada hasil yang ditemukan

Acacia mangium Wild

25

Oleh : Aris Sudomo26

ABSTRAK

Pemuliaan pohon dalam pembangunan hutan tanaman Acacia mangium sebagai penyedia kayu untuk bahan baku industri pulp tentunya mempunyai peranan penting dalam usaha meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi pulp dan kertas. Seiring kebijakan revitalisasi industri dengan kebutuhan bahan baku pulp yang terus meningkat maka upaya pembangunan hutan tanaman pulp menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan kehutanan. Teknik budidaya tanaman kehutanan yang diterapkan selama ini sebagian besar hanya berorientasi pada produktivitas/riap kayu tanpa memperhatikan kualitas serat seperti sifat fisik dan kimia kayu sebagai bahan baku pulp. Oleh karena itu teknik budidaya hutan tanaman yang dapat meningkatkan produktivitas dan menghasilkan kayu pulp berkualitas tinggi sangat penting dilakukan. Pemuliaan pohon dalam pembangunan hutan tanaman diharapkan dapat menghasilkan kayu dengan produktivitas tinggi dengan kualitas sesuai untuk bahan baku pulp dan berdampak positif terhadap lingkungan. Pengelolaan hutan tanaman lestari untuk menghasilkan bahan baku berupa kayu pulp berkualitas yang didukung IPTEK dalam proses pembuatan akan dihasilkan produksi pulp dan kertas yang mampu bersaing di pasaran dalam negeri maupun eksport pada era pasar bebas dan ekolabel. Potensi seleksi pohon dalam progam pemuliaan pohon untuk kerapatan kayu yang tinggi maupun rendah hendaknya berdasarkan tujuan yang diinginkan yaitu sebagai bahan baku pulp. Oleh karena itu progam pemuliaan pohon hendaknya tidak hanya memperhatikan parameter produktivitas tetapi dilengkapi dengan parameter kualitas yaitu sifat fisik dan kimia kayu sebagai bahan baku pulp.

Kata kunci : Acacia mangium, kualitas serat, hutan tanaman, pemuliaan pohon, pulp

I. PENDAHULUAN

Hutan Tanaman Indonesia (HTI) terutama penghasil kayu pulp/ kayu serat merupakan prioritas pembangunan kehutanan saat ini seiring dengan kebijakan revitalisasi kehutanan dengan kebutuhan bahan baku pulp yang terus meningkat. Indonesia merupakan produsen pulp peringkat 9 dunia dengan jumlah produksi 5,587 juta m3 yang merupakan 3,02 % dari total produksi dunia. Produksi ini 40,16% dieksport karena Indonesia merupakan eksportir pulp ranking 5 dunia (FAO, 2004 dalam Mindawati, 2007). Peningkatan produksi selama 22 tahun sebesar 2800 % (FAO, 2004 dalam Mindawati, 2007) dan dari tahun 80-an sampai tahun 2000 hampir 700 %, (CIFOR, 2002 dalam Mindawati, 2007). Kebutuhan pulp 50 kg perkapita/tahun dengan jumlah penduduk dunia 6 milliar maka kebutuhan pulp dunia sebesar 300 juta m3/tahun dengan harga US $ 500/ m3 (Iskandar, 2006 dalam Mindawati, 2007).

Dengan kapasitas terpasang 6,28 - 6,45 juta ton/tahun dan penggunaan 82% sehingga riil produksi 5,2 - 5,5 juta ton/tahun, diperlukan bahan baku sebesar 26 juta m3/tahun sedangkan pasokan dari HTI sekitar 7,7 juta m3/tahun. Hal ini berarti ada ketimpangan supply dan demand ataukurang bahan baku sebesar 18,3 juta m3/tahun. Luasan ini dapat dipenuhi dengan pembangunan hutan tanaman kurang lebih seluas 1,2 juta ha (Pusinfo, 2005 dalam Mindawati, 2007). Laju kerusakan hutan di Indonesia yang mencapai 1,08 juta hektar per tahun menyebabkan luasan hutan yang telah rusak kurang lebih 60 juta ha, sementara hutan tanaman setiap ha dapat memproduksi kurang lebih 100-150 m3 setara dengan 30 ton pulp. Dengan kondisi iklim yang kondusif untuk menanam pohon sehingga bahan baku dapat berkelanjutan maka pembangunan hutan tanaman mempunyai prospek yang bagus (Daveresan dalam Mindawati, 2007).

Hutan tanaman Acacia mangium sekarang ini memainkan peran yang sangat penting di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya dalam menyediakan material kayu untuk industri pulp dan kertas (Arisman, 2002). Jenis Acacia mangium berdasarkan uji spesies mampu tumbuh dengan baik sehingga telah dikembangkan di beberapa Hutan Tanaman Industri (HTI) di Sumatra dan Kalimantan. Menurut Soeseno (2000), jenis-jenis kayu yang digunakan untuk bahan baku pulp dan kertas adalah Acacia

mangium, Acacia auriculiformis, Acacia crassicarpa, Eucalyptus pellita, Eucalyptus deglupta, Gmelina arborea, Pinus merkusii dan Bastar. Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) telah dirancang di luar

Pulau Jawa sejak dekade 1980-an. Progam pembuatan hutan tanaman yang diperkenalkan oleh pemerintah ini, luasan totalnya akan mencapai 6,2 juta ha, menggunakan spesies cepat tumbuh salah satunya Acacia mangium dengan tujuan pokok sebagai penghasil kayu untuk bubur kertas. Apabila target luasan ini dapat terpenuhi dengan perkiraan riap adalah 15 m3/tahun, maka diharapkan tekanan terhadap hutan alam akan banyak berkurang (Soeseno, 2000; Na’iem, 2004). Hingga tahun 2000, hutan tanaman yang dibangun di luar Jawa khususnya Sumatera dan Kalimantan diperkirakan seluas 2,5 juta ha (Departemen Kehutanan, 2000). Beberapa permasalahan dalam pembangunan hutan tanaman saat ini antara lain rendahnya produktivitas biomassa, menurunnya produktivitas pada daur berikutnya, daur tanaman yang masih terlalu panjang, dan beralihnya fungsi peruntukan seperti Acacia mangium untuk komoditi pertukangan. Menurut Hardiyanto (2005), ketidaksesuaian antara jenis dengan tapak (site) dan terjadinya penurunan kesuburan tanah karena teknik budidaya yang rendah, merupakan faktor lain yang menyebabkan kurang optimalnya produktivitas hutan tanaman.

Dalam era pasar bebas kedepan, kualitas produksi sangat penting untuk mampu bersaing dalam pasaran internasional. Selain itu prinsip ekolabel mempersyaratkan kelestarian sumber daya alam dalam pengelolaan hutan. Oleh karena itu peran pemuliaan pohon menjadi vital. Dengan pemuliaan pohon akan terjadi peningkatan produktivitas dan dihasilkan kayu yang berkualitas tinggi untuk bahan baku pulp dengan input biaya pemeliharaan seoptimal mungkin dan berdampak positif terhadap lingkungan.

25

Makalah pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Kupang. Kupang, 13 Desember 2007

26

Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011

Prosiding Kupang 12 November 2007

43

II. KUALITAS KAYU Acacia mangium Wild

Menurut Arifin et al. (2005), kayu dari fast growing spesies termasuk Acacia mangium sesuai untuk pembuatan pulp karena selalu mempunyai dinding sel yang tipis dan lebar lumen yang lebar. Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), khususnya jenis Acacia mangium dengan benih hasil pemuliaan telah diterapkan di beberapa HTI di Indonesia. Meskipun demikian parameter-parameter kualitas kayu seperti sifat fisik dan kimia kayu belum banyak mendapat perhatian dalam progam pemuliaan. Variasi kualitas serat kayu dapat terjadi di dalam hutan alam, hutan tanaman dan diantara keduanya.Variasi kualitas serat dapat menjadi dasar dalam seleksi pohon dalam progam pemuliaan pohon. Perbandingan kualitas serat kayu Acacia mangium dari hutan alam dengan hutan tanaman dapat dilihat di Tabel 1.

Tabel 1. Dimensi serat kayu mangium (Acacia mangium) dari hutan alam dan hutan tanaman

Dimensi Serat Asal Kayu

(micron) Alam Tanaman

Panjang 950,00 934,10

Diameter 16,357 16,000

Tebal dinding 3,197 2,300

Lebar Lumen 9,923 11,412

Sumber : Pasaribu & Roliadi, 1990 dalam Malik et al., (2002)

Parameter kualitas diukur dalam hal kerapatan, keseragaman lingkaran tumbuh, persen kayu bebas mata kayu, selulosa, dan perbandingan antara serat dan pembuluh. Kandungan lignin diperlukan pada pulp untuk pembuatan kertas mekanik tetapi tidak diperlukan untuk pembuatan kertas kimia. Lignin dibutuhkan pada kayu dengan tujuan konstruksi karena dapat meningkatkan kekerasan/kekuatan kayu, tetapi tidak dibutuhkan di dalam industri kertas karena lignin sangat sulit dibuang dan produk kertas menjadi agak coklat karena sifat aslinya dan pengaruh oksidasi. Karena sulit dihilangkan, maka diperlukan zat pemutih/ penggelentang yang banyak dan tentu menambah biaya proses produksi. Mutu dan kualitas bahan baku pembuat kertas pada umumnya ditentukan berdasarkan lima macam indikator, yaitu bilangan runkel (runkel ratio), kekuatan lipat (felting power), bilangan elastisitas (flexibility ratio), koefisien ketegaran (coefficient of rigidity) dan bilangan Muhlsteph (Muhlsteph ratio). Atas dasar lima indikator tersebut ditambah dengan indikator panjang serat, maka suatu jenis kayu dapat ditentukan kelas kualitas seratnya. Sifat-sifat kayu yang baik untuk bahan baku pulp adalah serat yang lebih panjang dari pada rata-rata jenis, tebal dinding sel memenuhi 2 w/l < 1, berat jenis dasar lebih rendah dari pada rata-rata jenis, persentase serabut lebih besar dari pada pembuluh, jari-jari dan parenkhim, kadar ekstratif rendah, kadar selulosa tinggi dari pada rata-rata jenis dan kadar hemiselulosa cukup. Berat jenis kayu merupakan nilai perbandingan berat suatu kayu terhadap volume air yang sama dengan kayu tersebut, karena kayu mempunyai rongga-rongga maka berat jenisnya dapat dianalogikan dengan kerapatan kayu. Serat panjang menghasilkan kertas kuat dengan kekuatan sobek tinggi dan dalam batas yang lebih rendah memberikan kekuatan tarik, tembus dan lipat yang tinggi. Serat yang semakin rapat maka kandungan lignin dan selulosa tinggi. Selulosa merupakan zat penyusun serat yang dibutuhkan di dalam pembuatan pulp dan kertas, menentukan kekuatan ikatan kertas, sedangkan lignin merupakan zat yang keras, lengket, kaku dan mudah mengalami oksidasi (Haygreen dan Boyer, 1996; Haroen et al., 1997; Simon, 1988; Soenardi, 1974).

Sifat kimia kayu seperti Acacia mangium mempuyai kandungan selulosa tinggi dan lignin yang rendah sehingga sesuai untuk bahan baku pulp seperti disajikan pada Tabel 2.

Tindakan silvikultur memang bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kayu pulp tetapi kurang efektif bila dibandingkan dengan progam pemuliaan pohon. Hal ini dikarenakan banyak sifat fisik dan kimia kayu yang bersifat diwariskan daripada pengaruh lingkungan. Para ahli silvikultur mengubah kualitas kayu dengan beberapa perlakuan antara lain jarak tanam, rasio tajuk aktif dan kecepatan pertumbuhan, serta

Tabel 2. Hasil analisis kimia kayu mangium (Acacia mangium) dari Sesayap, Kalimantan

Komponen Kimia Kadar (%)

Lignin 19,7% Holo-sellulosa 69,4% Alfa-sellulosa 44,0% Pentosan 16,0% Abu 0,68% Kelarutan o Alk Benzen 5,6% o Air Panas 9,8% o NaoH 1% 14,8%

Sumber : The Persons, Whitemore Organization (1984) dalam Malik et

al., (2002).

melalui pemuliaan pohon. Pengaruh kenaikan kecepatan pertumbuhan akibat seleksi, jarak tanam, pemupukan dan irigasi biasanya mengakibatkan pengurangan panjang trakeid, serat kayu, persentase selulosa, diduga persentase kayu akhir dan berat jenis tetapi kenaikan bisa terjadi dalam persentase lignin, lebar lingkaran tahun, volume dan persentase kayu awal. Oleh karena itu progam pemuliaan pohon menjadi sangat vital untuk menghasilkan kayu pulp berproduktivitas tinggi dan berkualitas dengan melakukan tahapan-tahapan dimulai dari seleksi pohon sehingga dihasilkan populasi produksi yang berkualitas dengan input biaya pemeliharaan relatif lebih rendah.

44

III. KOMPONEN PEMELIHARAAN PADA HTI Acacia mangium

Pada tegakan Acacia mangium digunakan jarak tanam 2 m x 3 m atau 2 m x 2 m di HTI wilayah Riau dengan daur 7 tahun. Menurut Lazuardi (2005), biaya dan teknis pembuatan jarak tanam 2,5 m x 2,5 m dan 3 m x 3 m merupakan jarak tanam paling optimum di Riam Kiwa, Kalimantan Selatan untuk daur 6 tahun. Tajuk aktif–tinggi pohon yang tersisa pada tegakan Acacia mangium sebesar 60%. Pemangkasan cabang dilakukan sebelum tanaman berumur 6 bulan sehingga belum tinggi, sebab jika tanaman sudah tinggi kegiatan ini memerlukan biaya yang lebih besar. Jarak tanam yang rapat juga merupakan alternatif untuk meminimalkan percabangan. Jarak tanam rapat akan menyebabkan cabang-cabang bawah mati pada pohon intolerant dan memacu pertumbuhan meninggi karena persaingan perolehan cahaya yang ketat sehingga batang pohon berkompetisi mencapai posisi ketinggian dominan. Lignin biasanya terakumulasi pada titik-titik percabangan maka usaha mengurangi percabangan menjadi hal yang perlu dilakukan untuk menghasilkan kayu pulp berkualitas. Pertumbuhan awal yang cepat karena jarak tanam yang lebar menyebabkan penurunan panjang serat dan berat jenis kayu, menghasilkan mata kayu yang besar dan lebih merata. Berat jenis yang menurun karena pertumbuhan awal cepat disebabkan oleh meningkatnya porsi kayu awal. Tajuk hidup pohon merupakan posisi tempat auksin dan karbohidrat diproduksi, dan keberadaan serta kelimpahan materi ini berpengaruh kuat pada perluasan kayu muda dan proporsi kayu awal terhadap kayu akhir. Ukuran cabang mempunyai heritabilitas paling rendah yaitu 0,3 dan rasio tajuk aktif dapat dikontrol langsung oleh pangkasan cabang selain dengan jarak tanam rapat (Daniel et al., 1995).

Pemangkasan cabang merupakan upaya untuk menghasilkan batang tanpa cacat mata kayu (knot), sehingga meningkatkan kualitas batang. Pemangkasan cabang-cabang yang merupakan tajuk aktif perlu dilakukan untuk mendorong pertumbuhan tinggi sehingga dihasilkan batang lurus. Pada kayu bengkok/condong atau banyak cabang besar, kandungan lignin dalam batang kayu umumnya meningkat hampir 5% (Kasmudjo, 1999). Pemangkasan cabang juga dilakukan agar tidak terjadi pertumbuhan menggarpu (forking). Penghilangan tajuk aktif mempengaruhi fotosintesa sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu diperlukan pengaturan tajuk aktif yang tersisa sehingga tercapai titik optimal antara kebutuhan fotosintesa dengan beban percabangan untuk pertumbuhan batang. Dengan pengaturan jarak tanam yang rapat akan terjadi pruning alami pada jenis intoleran tetapi jika rotasi tidak panjang, cabang-cabang mati bagian bawah biasanya tetap melekat pada pohon.

Penunggalan batang yang tumbuh lebih dari satu (multistem) perlu dilakukan agar dihasilkan tegakan satu batang dengan pertumbuhan dan kualitas kayu lebih bagus. Pada Acacia mangium tindakan ini dilakukan sebelum tanaman berumur 3 bulan sehingga batang belum tumbuh besar dan kegiatan

singling lebih mudah dilakukan. Pertumbuhan tanaman dengan batang lebih dari satu menyebabkan

batang-batang tersebut rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Kualitas kayu batang tunggal juga relatif lebih baik karena seluruh energi tersalurkan pada batang tersebut sehingga pertumbuhannya optimal. Pertumbuhan batang lebih dari satu juga lebih banyak memerlukan waktu dalam kegiatan pemanenan sehingga menimbulkan biaya yang lebih besar. Tindakan singling perlu dilakukan sedini mungkin agar tidak terlambat menghasilkan batang tunggal berkualitas. Pada jenis Acacia mangium yang dikembangkan di HTI-pulp tidak terdapat kegiatan penjarangan, kecuali konversi fungsi menjadi kayu pertukangan.

Pemupukan pada tegakan A.mangium dilakukan pada saat penanaman dan dilakukan lagi pada tanaman berumur 6 bulan. Pemupukan bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan tanaman sehingga dapat meningkatkan produktivitas. Kebanyakan sifat-sifat pohon dikendalikan oleh gen dan lingkungan. Pertumbuhan diameter sebenarnya lebih kuat dipengaruhi oleh faktor lingkungan daripada faktor genetik karena pertumbuhan diameter tanaman merupakan fungsi dari ruang tumbuh. Pertumbuhan tinggi tanaman sering dianggap sebagai fungsi kesuburan tanah. Meningkatnya kesuburan tanah akan mengakibatkan kandungan sellulosa meningkat, berkurangnya lignin dan berat jenis kayu. Kenaikan volume produksi akibat kecepatan pertumbuhan biasanya lebih besar daripada mengimbangi setiap kemungkinan perubahan yang tak diinginkan dalam karakteristik kualitas kayu yang diproduksi (Wright

dalam Soeseno, 1985; Soerianegara, 1970; Daniel et al.,1995; Haroen et al., 1997)

Menurut Haroen et al. (1997), semakin tua umur tanaman terlihat dari kecenderungan meningkatnya kadar α-sellulosa, kadar ekstraktif dan lignin. Pada jenis Acacia mangium, serat dengan bilangan runkel terbaik diperoleh dari tanaman berumur 5 dan 7 tahun. Menurut Muliah (1976), makin tua umur pohon menyebabkan berat jenis makin besar. Hal ini disebabkan makin tua umur kayu, susunan serat makin rapat. Siarudin (2005) menjelaskan bahwa pada kayu lunak berlingkaran jelas (distinct ring softwood) yang berumur sama namun tumbuh dengan kecepatan berbeda menunjukkan kerapatan yang relatif seragam. Sebaliknya pada diameter sama yang dihasilkan dari pohon dengan umur berbeda didapatkan kerapatan lebih rendah pada umur yang lebih muda sebagai akibat porsi juvenil tinggi. Hubungan berat jenis dan kadar air kayu menurut umur tanaman Acacia mangium disajikan dalam Tabel 3 sedangkan komposisi kimia kayunya disajikan dalam Tabel 4.

Pengaruh umur pohon terhadap kualitas kayu menjadi dasar dalam penentuan daur optimal untuk menghasilkan bahan baku pulp berkualitas. Penentuan daur optimal di mana kualitas kayu yang dihasilkan sudah mencapai titik maksimal dan tidak mengalami

Tabel 3. Berat jenis dan kadar air kayu mangium (Acacia mangium) menurut umur tanaman KA (%) Umur (tahun) BJ basah BJ kering udara BJ kering

oven Basah Kering udara

10 0,95 0,52 0,42 125,4 18

9 0,90 0,51 0,42 112,9 16,4

7 0,84 0,50 0,41 98,6 18,0

5 0,86 0,49 0,41 111,1 17,6

4 0,79 0,47 0,38 99,9 18,8

Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011

Prosiding Kupang 12 November 2007

45

Tabel 4 . Komposisi kimia kayu mangium (Acacia mangium)

Komponen Kimia 6 7 10 11 12 6 2) 63) 74) 1. Sellulosa 52,12 50,69 50,58 50,53 50,82 53,07 57,55 63,02 2. Lignin 29,81 29,67 29,22 29,22 28,51 29,50 32,12 26,72 3. Pentosan 16,69 17,08 17,14 17,14 17,84 16,45 16,92 14,88 Alkohol benzena 6,77 6,25 4,81 4,38 4,90 3,7 5,53 3,98 NaoH 1% 16,48 16,25 17,19 18,94 16,30 14,04 12,40 10,52 Air dingin 3,44 4,85 4,58 4,5 3,87 2,53 2,70 4,36 Air Panas 4,74 5,50 5,28 5,43 4,81 4,51 3,30 6,00 5. Abu 0,49 0,83 0,56 0,31 0,46 1,28 0,73 0,87 6. Silika 0,14 0,46 0,12 0,06 0,16 0,73 0,24 0,38

Sumber : Siagian et al., 1999 dalam Malik et al., 2002

peningkatan lagi menjadi hal penting untuk penentuan daur ekonomis. Daur optimal di PT Musi Hutan Persada, Sumatra Selatan untuk Acacia mangium sudah turun menjadi 6 tahun dengan menggunakan benih berkualitas hasil dari progam pemuliaan pohon.

IV. KONTRIBUSI PUMULIAAN POHON

Dalam pandangan industri, efisiensi dapat diperoleh jika silvikulturis dapat meningkatkan keseragaman dan mengurangi variasi yang biasanya terjadi dalam karakteristik kualitas kayu. Karakteristik kualitas kayu dan keseragaman lebih efektif diperoleh dengan progam pemuliaan pohon dengan cara menyeleksi sifat yang dapat diturunkan dengan baik, seperti berat jenis, panjang trakeida, sudut percabangan dan serat terpuntir serta pohon-pohon yang cepat tumbuh. Hasil dari pemuliaan pohon adalah benih berkualitas untuk pembangunan hutan tanaman yang mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas kayu sebagai bahan baku pulp.

Benih berkualitas unggul dapat dihasilkan dari kebun benih, untuk itu diperlukan langkah pemuliaan pohon untuk mendapatkannya. Pemuliaan atau seleksi genetik merupakan langkah yang efektif untuk mendapatkan kayu berkualitas. Hal ini didasarkan pada indikator kualitas kayu seperti berat jenis, sudut mikrofil, panjang serat dan lain sebagainya yang diyakini bersifat diwariskan (inherited) dengan tingkat sedang hingga kuat (Zobel dan Talbert, 1984). Potensi seleksi pohon dalam progam pemuliaan pohon untuk kerapatan kayu yang tinggi maupun rendah hendaknya berdasarkan tujuan yang diinginkan. Berat jenis merupakan satu di antara karakteristik kualitas kayu yang paling dapat diwariskan dengan kisaran heritabilitas luas antara 0,5 dan 0,8 tergantung pada jenisnya (Elliot, 1970 dalam Daniel et al., 1995). Selanjutnya Hardiyanto (2005) melaporkan bahwa heritabilitas individu pohon untuk berat jenis kayu sangat tinggi yaitu 0,81 sedangkan Fielding, 1967 dalam Daniel et al., 1995 melaporkan bahwa heritabilitas arti luas untuk panjang trakeid sekitar 0,7. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa progam pemuliaan pohon untuk memperoleh sifat yang diinginkan akan lebih akurat daripada usaha manipulasi lingkungan untuk menghasilkan kayu pulp berkualitas tinggi.

A. Pengadaan Materi Dasar Genetik

Progam pemuliaan pohon dimulai dengan eksplorasi dan pengadaan benih dari sebaran alaminya. Sebaran alami Acacia mangium adalah di Papua Nugini Oriomo, Queensland-Australia, Maluku dan Irian. Perolehan genetik akan di dapat lebih cepat, lebih murah dan lebih besar melalui penggunaan spesies yang tepat dan penggunaan provenan-provenan yang terbaik dalam spesies tersebut. Hal ini dikarenakan variabilitas sifat kayu dalam satu spesies dapat terjadi pada: (1) satu individu/pohon; (2) antar pohon; dan (3) antar populasi dari satu spesies yang tumbuh pada daerah yang berbeda (Zobel dan Talbert, 1984).

Seleksi individu yang superior berdasarkan sifat-sifat sesuai tujuan peruntukannya merupakan langkah awal dalam pemuliaan pohon. Sifat-sifat yang dipilih disesuaikan dengan tujuan peruntukan pengembangan hutan tanaman penghasil bahan baku pulp berkualitas. Sifat-sifat yang lebih banyak dipengaruhi faktor genetik merupakan parameter yang lebih akurat. Pemilihan pohon berdasarkan indikator sifat fisik dan kimia mempunyai kelebihan karena pada dasarnya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor genetik. Fenotipe yang diamati selain pertumbuhan pohon adalah sifat fisik dan kimia kayu dari setiap pohon plus sehingga diharapkan mempunyai keunggulan dari segi riap dan kualitas kayu. Sifat-sifat tersebut di antaranya kelurusan batang, Sifat-sifat fisik kayu (berat jenis, panjang serat) dan Sifat-sifat kimia kayu (kandungan selulosa, lignin dan ekstraktif). Kelurusan batang dikendalikan lebih kuat oleh faktor genetik daripada sifat tinggi dan diameter. Sifat kelurusan batang pohon sangat diwariskan dan kayu berasal dari batang bengkok bernilai lebih rendah daripada kayu berbatang lurus (Smith dan Zobel dalam Soeseno, 1985; FAO dalam Soeseno, 1985).

B. Pembangunan Hutan Tanaman Klon

Pembangunan hutan tanaman yang berasal dari meteri klon telah terbukti menghasilkan materi yang relatife seragam pada tegakan Acacia mangium. Klon yang diambil biasanya berasal dari stek pucuk yang diambil dari pohon plus. Pengambilan materi dari pohon plus dengan cara vegetatif bertujuan untuk menghasilkan hasil perbanyakan yang sama sifatnya dengan induk. Kelemahan dari perhutanan klon adalah dengan keanekaragaman genetik yang rendah menyebabkan hutan tanaman rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Oleh karena itu parameter ketahanan terhadap hama dan penyakit perlu disertakan dalam progam seleksi pohon plus. Dan untuk menghasilkan kualitas kayu yang baik untuk bahan baku pulp hendaknya parameter sifat fisik dan kimia disertakan dalam seleksi pohon plus. Selain itu perhutanan klon diduga mempunyai efek pematangan (maturation) akibat penggunaan materi yang sudah tua secara terus menerus.

Dalam pandangan industri, efisiensi dapat diperoleh jika para ahli silvikultur dapat meningkatkan keseragaman kayu dan mengurangi variasi yang biasanya terjadi dalam karakteristik kualitas kayu (Daniel

46