• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosiding. Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Kupang. Kupang, 13 Desember 2007 ISBN. Prosiding Kupang, 12 November

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Prosiding. Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Kupang. Kupang, 13 Desember 2007 ISBN. Prosiding Kupang, 12 November"

Copied!
179
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Prosiding Kupang, 12 November 2007

| 2

DEPARTEMEN KEHUTANAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM 2009

Prosiding

Prosiding

Prosiding

Prosiding

Ekspose

Hasil-Hasil

Penelitian

BPK Kupang

Kupang, 13 Desember 2007

ISBN

(3)

3

Tim Penyunting

Koordinator : Ir. Sulistyo A. Siran, M.Sc Ketua : Prof. Dr. Ir. Hendi Suhaendi, M.S Anggota : Dr. Pratiwi

Dr. Murniati Sekretariat : Drs. Haryono

(4)

Prosiding Kupang, 12 November 2007

| 4

Kata Pengantar

Ekspose ini diselenggarakan di tengah maraknya issue keru-sakan lingkungan, illegal logging, dan perubahan iklim global. Kon-disi tersebut merupakan peluang sekaligus tantangan untuk me-ningkatkan daya saing kiprah institusi di bidang IPTEK Kehutanan dalam pengelolaan hutan lestari untuk kesejahteraan masyarakat. Terkait dengan hal tersebut maka BPK Kupang sebagai salah satu UPT Badan Litbang Kehutanan menyelenggarakan Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Kupang pada tanggal 13 Desember 2007 di Kupang.

Sejumlah makalah yang mempunyai relevansi telah dipapar-kan dalam acara ini. Makalah tersebut merupadipapar-kan hasil penelitian, kajian dan pemikiran dari peneliti BPK Kupang, Balai Besar Kon-servasi Sumber Daya Alam NTT, BP DAS Benain-Noelmina, Fo-rum DAS, dan Universitas Cendana.

Buku prosiding yang disusun ini merangkum seluruh maka-lah dan hasil diskusi yang berkembang selama berlangsungnya ekspose. Dari hasil diskusi tersebut diharapkan informasi dan teknologi yang sudah dikembangkan dapat dimanfaatkan oleh ja-jaran kehutanan di daerah dan masyarakat sebagai salah satu upaya pelestarian sumberdaya hutan di Indonesia.

Kepada Tim Penyunting, kami ucapkan terimakasih. Mudah-mudahan prosiding ini bermanfaat.

Kepala Pusat

Litbang Hutan dan Konservasi Alam,

Ir. Adi Susmianto, M.Sc. NIP. 19571221 198203 1 002

(5)

5 LAPORAN PANITIA PENYELENGGARA

EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN BPK KUPANG Kupang, 13 Desember 2007

Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua

Yang terhormat:

Bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan atau yang mewakili Bapak Wakil Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur

Bapak Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur Bapak Rektor Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Kupang Bapak Kepala Bappeda Provinsi Nusa Tenggara Tim ur Bapak Kepala Bapedalda Provinsi Nusa Tenggara Timur Bapak Kepala Balitbangda Provinsi Nusa Tenggara Timur

Bapak Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten se Nusa Tenggara Timur

Bapak Kepala UPT Departemen Kehutanan di NTT Bapak-Ibu pimpinan instasi terkait

Para teman-teman dari Widyaiswara, konsorsium dan LSM Bapak Ibu hadirin dan para undangan yang kami hormati.

Puji syukur kepada Tuhan Maha Esa, karena hanya atas tuntunan-Nya lah kita berada dalam keadaan sehat wal' afiat dan dapat bersama-sama hadir di ruangan ini. Kami mengucapkan selamat datang pada Acara Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Kupang

Hadirin yang saya hormati,

Kami atas nama Panitia Penyelenggara mengucapkan terima kasih kepada Bapak, Ibu dan hadirin sekalian yang telah berkenan meluangkan waktu untuk menghadiri acara pembukaan Ekspose Hasil-hasil penelitian ini dan selanjutnya mengikuti seluruh rangkaian acara ekspose ini. Perkenankanlah kami menyampaikan laporan singkat penyelenggaraan acara ekspose ini sebagai berikut :

Latar Belakang dan Dasar Pelaksanaan

Penyelenggaraan Ekspose ini dilatarbelakangi oleh keinginan yang kuat dari segenap jajaran yang ada di Balai Penelitian Kehutanan Kupang untuk lebih meningkatkan peran-sertanya dalam pembangunan kehutanan di seluruh wilayah pelayanannya.

(6)

Prosiding Kupang, 12 November 2007

| 6

Kita semua telah menyadari betapa parahnya kerusakan hutan pada saat ini, Informasi laju kerusakan hutan baik melalui media informasi elektronik, media cetak maupun. yang kita hadapi secara visual setiap saat. Illegal logging dan kebakaran hutan menjadi tudingan penyebab, Mengapa seakan-akan kita tidak memiliki teknik untuk membangun dan memelihara hutan dengan baik? Sebagai instansi Penelitian kami berpendapat bahwa bukanlah terletak pada teknologinya sendiri tetapi pada suasana lingkungan sosial ekonomi yang kurang kondusif terhadap pelaksanaan praktek teknologi yang benar. Teknologi itu bukannya tidak ada. Adalah suatu kenyataan bahwa pekerjaan menanam, pemeliharaan masih dianak-tirikan dan , ditempatkan pada posisi yang tidak dipentingkan dibandingkan dengan kegiatan penebangan/eksploitasi. Lebih mudah menebang daripada menanam, sikap ini bukanlah yang benar, karena untuk memperoleh hutan dengan produktivitas yang tinggi, teknik-teknik penanaman harus dijalankan dengan baik.

Adapun dasar dari penyelenggaran ekspose ini adalah : SK Kepala Balai Penelitian Kehutanan Kupang Nomor : SK. 1320/VIII/BPKK-2/2007 tanggal 19 November 2007 tentang panitia Ekspose Hasil-hasil Penelitian Kehutanan Tahun 2007.

Maksud dan Tujuan

Ekspose hasil-hasil penelitian ini merupakan forum/media komunikasi antara para peneliti dengan pengambil kebijakan dan para praktisi, pelaksana, pelaku pembangunan hutan dan kehutanan. Adapun tujuan dari ekspose ini antara lain :

1. Menyebarluaskan dan menginformasikan temuan paket-paket teknologi dan kebijakan-kebijakan di bidang kehutanan dalam rangka mendukung jalannya pembangunan kehutanan di wilayah ini,

2. Memperoleh masukan-masukan dari instansi terkait yang dapat digunakan untuk peningkatan dan pemantapan program penelitian.

3. Mempererat komunikasi dan kerjasama penelitian diantara lembaga–lembaga yang bergerak dibidang riset dan pengembangan serta peran serta masyarakat di sekitar hutan. Waktu dan Tempat

Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Kupang dilaksanakan pada tanggal 13 Desember 2007, bertempat di Hotel Kristal Jln. Timor Raya No. 59. Pasir Panjang, Kupang - NTT.

(7)

7 Peserta

Jumlah peserta yang direncanakan pada kegiatan ini yaitu 100 orang yang terdiri dari :

1. Para Eselon II dan III serta IV lingkup Dinas Kehutanan Provinsi, Kota dan Kabupaten di Daerah Nusa Tenggara Timur.

2. Jajaran Litbang Kehutanan, Para Kepala Balai dan Kepala Seksi Unit Pelaksana Teknis Provinsi NTT.

3. Para Eselon II dan III lingkup Pemda Provinsi Nusa Tenggara Timur.

4. Para Rektor dan Dekan lingkup perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Kupang.

5. Para Penyuluh, widyasuara, peneliti dan konsorsium, LSM, tokoh adat dan tokoh masyarakat di Kupang.

Materi/Makalah yang Dipresentasikan

Materi yang dipersentasikan terdiri dari hasil-hasil penelitian Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana, Balai Besar KSDA NTT, Dinas Kehutanan Provinsi NTT, BP DAS Benain Noelmina dan Forum DAS NTT.

Sumber Dana

Sumber dana kegiatan ini adalah dari DIPA Balai Penelitian Kehutanan Kupang Tahun Anggaran 2007.

Demikian Laporan kami, Selanjutnya kami mohon agar Bapak Gubernur NTT berkenan memberikan arahan serta membuka araca ini secara resmi.

Kupang, 13 Desember 2007 Ketua Panitia,

Ir. Tigor Butar Butar, M.Sc. NIP. 710006094

(8)

Prosiding Kupang, 12 November 2007

| 8

SAMBUTAN

KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua. Yang terhormat,

Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur Pimpinan DPRD Provinsi Nusa Teggara Timur Saudara Rektor Universitas Nusa Cendana Saudara Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTT Saudara Kepala Badan Litbang Daerah Provinsi NTT Saudara Ketua Bappeda Provinsi NTT

Saudara Kepala Bapedalda Provinsi NTT

Saudara-saudara Kepala Dinas Kehutanan Kota dan Kabupaten Provinsi NTT

Saudara-saudara Kepala UPT Departemen Kehutanan lingkup Provinsi NTT

Bapak/ibu peserta dan hadirin sekalian

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga memampukan kita sekalian untuk hadir di sini pada acara ekspose hasil-hasil penelitian dan pengembangan kehutanan dalam keadaan sehat walafiat.

Saya menyambut baik acara ekspose ini karena merupakan media komunikasi bagi para peneliti dan pengambil kebijakan serta praktisi untuk saling mengkomunikasikan ide-ide dan pengalaman dalam rangka meningkatkan kapasitas masing-masing dalam mendukung pelayanan terhadap negara dan masyarakat.

Hadirin yang saya hormati,

Harapan saya dari forum ini dapat tercipta suatu komunikasi, hubungan kerjasama yang harmonis sehingga terjalin hubungan yang erat antara para peneliti, pengguna, praktisi dan penentu kebijakan pembangunan khususnya di wilayah Nusa Tenggara Timur ini. Betapapun akuratnya hasil-hasil penelitian yang dihasilkan oleh para peneliti tidak akan bermakna bila tidak disosialisasikan kepada para pengguna. Menurut hemat saya,

(9)

9 hasil-hasil penelitian harus mampu mendukung setiap program pembangunan yang dilaksanakan termasuk memberikan terobosan alternatip dalam meningkatkan keberhasilan pembangunan. Karena itu, penyelenggaraan ekspose hasil-hasil penelitian kehutanan merupakan momentum strategis dan memiliki urgensi yang tinggi dengan beberapa alasan sebagai berikut: 1. Masalah kerusakan hutan dan lahan di negara kita dewasa ini

telah mencapai tingkatan yang sangat memprihatinkan, sehingga bangsa kita akan terus menghadapi masalah bencana alam banjir, tanah longsor, erosi tanah dan kekeringan yang menimbulkan dampak kerugian materi maupun non materi yang tidak ternilai bagi negara, pemerintah dan masyarakat.

2. Upaya rehabilitasi hutan dan lahan pada kenyataannya tidaklah mungkin dilaksanakan dengan pendekatan sektoral oleh pemerintah, melainkan memerlukan dukungan peran serta masyarakat dan segenap komponen bangsa termasuk lembaga yang bergerak di bidang riset dan pengembangan. 3. Bencana alam yang dirasakan oleh sebagian besar wilayah

Indonesia merupakan cerminan perlunya revitalisasi konsep pembangunan yang berbasis pada azas konservasi dan kelestarian sumberdaya hutan dan lahan. Dalam hal ini lembaga riset memiliki peran strategis dalam mengawal, memandu dan mendorong proses pembangunan yang sedang berjalan.

Saudara-saudara para hadirin yang berbahagia

Masalah kerusakan hutan dan lahan di Indonesia sesungguhnya telah berlangsung sejak lama yang ditunjukkan oleh makin besarnya angka laju kerusakan hutan yang saat ini telah mencapai 2,83 juta hektar/tahun di dalam kawasan hutan dan 0,68 juta hektar/tahun di luar kawasan hutan. Dampak krisis moneter dan ekonomi, euforia reformasi dan tuntutan otonomi daerah telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap laju deforestasi di Indonesia.

Saudara-saudara sekalian yang saya hormati

Berbagai upaya pemerintah dalam mengendalikan lahan kritis dan kerusakan hutan telah dilaksanakan sejak lama di Indonesia, namun demikian tingkat keberhasilannya tidak pernah dapat mengimbangi laju kerusakan yang terjadi pada setiap periode waktu tertentu. Kenyataan ini lebih memprihatinkan lagi bila kecenderungan deviasi yang terjadi antara laju rehabilitasi dengan laju deforestasi yang makin lama makin membesar. Hal ini mengindikasikan bahwa tanpa upaya terobosan yang serius untuk

(10)

Prosiding Kupang, 12 November 2007

| 10

melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan di berbagai DAS kritis dan prioritas, maka masa depan hutan di Indonesia akan segera habis.

Komitmen pemerintah dari tingkat pusat sampai daerah untuk melaksanakan lima kebijakan prioritas Departemen Kehutanan di era rehabilitasi dan konservasi merupakan salah satu indikator penentu keberhasilan pembangunan sektor kehutanan. Lima kebijakan prioritas kehutanan meliputi : pemberantasan illegal logging, penanggulangan kebakaran hutan, restrukturisasi sektor kehutanan, rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan dan penguatan desentralisasi kehutanan. Tanpa keselarasan, sinkronisasi dan keharmonisan dalam implementasi kebijakan pada tataran operasional antara unit kerja di pusat dan daerah, tujuan kita untuk melestarikan hutan tidak akan tercapai.

Hadirin yang saya hormati,

Dalam dekade terakhir ini khususnya di NTT besarnya kerusakan hutan tidak diimbangi dengan besarnya laju penanaman. Karena itu, dukungan iptek dalam rangka meningkatkan keberhasilan rehabilitasi lahan menjadi pilihan paling bijaksana untuk menghasilkan ramuan teknologi yang lebih sesuai dengan kondisi biofisik dan karakteristik wilayah semi arid di NTT.

Kita paham bahwa peran iptek memegang peranan penting dalam mendukung pembangunan di segala bidang. Tidak dapat dipungkiri, banyak bangsa-bangsa lain menjadi bangsa yang maju dan kuat karena penguasaan terhadap iptek sekalipun sumberdaya alamnya sangat terbatas. Penguasaan iptek sangat bergantung pula pada ketajaman dan kemampuan lembaga riset melakukan analisis dan mengaitkan program penelitian yang berbasis pada kepentingan pengguna (user). Karena itu, dalam mendukung pembangunan sektor kehutanan di Nusa Tenggara Timur, Badan Litbang Kehutanan memberikan perhatian yang cukup serius untuk meningkatkan kajian-kajian yang berkaitan dengan teknologi rehabilitasi lahan, rekayasa sosial budaya dan kearifan lokal maupun teknologi hasil hutan non kayu. Guna mendukung hal tersebut, forum ini merupakan kesempatan yang sangat baik untuk saling membagi pengalaman dan melakukan sinkronisasi kegiatan, sehingga para peneliti dapat merumuskan program-program penelitian yang tepat sasaran, tepat guna dan mampu memberikan solusi yang efektif dan efisien terhadap berbagai persoalan sektor kehutanan di Nusa Tenggara Timur. Hadirin sekalian,

(11)

11 Saya berharap diskusi ini mampu menghasilkan rumusan yang komprehensif dan integratif yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan penyempurnaan kebijakan pembangunan sektor kehutanan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan lindungan dan petunjuk-Nya sehingga acara ini dapat berjalan dengan lancar.

Selanjutnya kami memohon agar Bapak Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur berkenan memberi arahan sekaligus membuka secara resmi acara Ekspose hasil-hasil Penelitian ini secara resmi. Semoga tuhan memberkati kita semua.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Kupang, 13 Desember 2007 Kepala Badan,

(12)

Prosiding Kupang, 12 November 2007

| 12

SAMBUTAN WAKIL GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR

Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua. Yang terhormat,

Ketua DPRD Provinsi NTT

Saudara Rektor Universitas Nusa Cendana Saudara Kepala Badan Litbang Kehutanan Bapak/ibu peserta dan hadirin sekalian

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan berkat-Nya kepada kita semua sehingga dapat hadir di sini pada acara ekspose hasil-hasil penelitian dan pengembangan kehutanan dalam keadaan sehat walafiat. Saya menyambut baik acara ekspose ini karena merupakan media komunikasi bagi para peneliti dan pengambil kebijakan serta praktisi untuk saling mengkomunikasikan pikiran dan pengalaman dalam rangka meningkatkan kapasitas masing-masing dalam mendukung pelayanan terhadap masyarakat di Nusa Tenggara Timur.

Hadirin yang saya hormati,

Harapan saya dari forum ini diciptakan suatu komunikasi, hubungan kerjasama yang harmonis sehingga terjalin hubungan yang erat antara para peneliti, pengguna, praktisi dan penentu kebijakan pembangunan khususnya di Nusa Tenggara Timur. Betapapun akuratnya hasil-hasil penelitian yang dihasilkan oleh para peneliti tidak akan bermakna bila tidak disosialisasikan kepada para pengguna. Hemat saya, hasil-hasil penelitian harus

mampu mendukung setiap program pembangunan yang

dilaksanakan termasuk memberikan terobosan alternatip dalam meningkatkan keberhasilan pembangunan, khususnya di sektor kehutanan. Karena itu, penyelenggaraan ekspose hasil-hasil penelitian kehutanan merupakan momentum strategis dan memiliki urgensi yang tinggi dengan beberapa pertimbangan :

4. Masalah degradasi hutan dan lahan di NTT telah mencapai tingkatan yang sangat memprihatinkan bahkan menuju proses

(13)

13 penggurunan (desertification). Hal ini menyebabkan terjadinya berbagai bencana alam seperti banjir, tanah longsor, erosi tanah, kekeringan dan penyimpangan iklim yang menimbulkan kerugian materi maupun non materi yang tidak ternilai bagi pemerintah dan masyarakat.

5. Upaya rehabilitasi hutan dan lahan pada kenyataannya tidaklah mungkin dilaksanakan dengan pendekatan sektoral oleh pemerintah, melainkan memerlukan dukungan peran serta masyarakat dan segenap komponen bangsa termasuk lembaga yang bergerak di bidang riset dan pengembangan. 6. Potensi sumberdaya hutan di Nusa Tenggara Timur sangat

terbatas, sehingga memerlukan dukungan teknologi untuk mengembangkan potensi hasil hutan non kayu seperti madu, seedlak dan gaharu.

7. Bencana alam yang dirasakan oleh sebagian besar wilayah Indonesia merupakan cerminan perlunya revitalisasi konsep pembangunan yang berbasis pada azas kelestarian sumberdaya hutan dan lahan. Dalam hal ini lembaga riset memiliki peran strategis dalam mengawal, memandu dan mendorong proses pembangunan yang sedang berjalan di Nusa Tenggara Timur.

Saudara-saudara para hadirin yang berbahagia

Masalah kerusakan hutan dan lahan di Nusa Tenggara Timur sesungguhnya telah berlangsung sejak lama dengan indikasi makin besarnya angka laju kerusakan hutan. Dampak krisis moneter dan ekonomi, euforia reformasi dan tuntutan otonomi daerah telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap laju deforestasi. Menilik laju deforestasi tersebut di atas, kiranya dapat dikemukakan beberapa faktor pendorong degradasi hutan dan lahan yaitu : a. terjadinya illegal logging; b. perambahan hutan; c. perladangan berpindah (shifting cultivation); d. penebangan hutan yang tidak terkendali (over cutting); e. perumputan yang tidak terkendali (over grazing); f. pemanfaatan hutan yang berlebihan (penambangan, industri, pemukiman, pertanian, perkebunan, dll) dan g. Pemanfaatan lahan tanpa memperhatikan metode konservasi tanah dan air secara bijaksana.

Saudara-saudara sekalian yang saya hormati

Berbagai upaya pemerintah dalam mengendalikan lahan kritis dan kerusakan hutan telah dilaksanakan, tetapi di sadari tingkat keberhasilannya tidak pernah dapat mengimbangi laju kerusakan yang terjadi pada setiap periode waktu tertentu. Kenyataan ini sangat memprihatinkan bahkan kontraproduktif, terlebih jika

(14)

Prosiding Kupang, 12 November 2007

| 14

diamati kecenderungan deviasi yang terjadi antara laju rehabilitasi dengan laju deforestasi yang makin lama makin membesar. Hal ini mengindikasikan bahwa tanpa upaya terobosan yang serius untuk melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan di berbagai DAS kritis dan prioritas, maka masa depan hutan di NTT akan segera habis.

Komitmen pemerintah dari tingkat pusat sampai daerah untuk melaksanakan lima kebijakan prioritas Departemen Kehutanan di era rehabilitasi dan konservasi merupakan salah satu indikator penentu keberhasilan pembangunan sektor kehutanan. Lima kebijakan prioritas kehutanan meliputi : pemberantasan illegal logging, penanggulangan kebakaran hutan, restrukturisasi sektor kehutanan, rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan dan penguatan desentralisasi kehutanan. Tanpa keselarasan, sinkronisasi dan keharmonisan dalam implementasi kebijakan pada tataran operasional antara unit kerja di pusat dan daerah, tujuan kita untuk melestarikan hutan tidak akan tercapai.

Hadirin yang saya hormati,

Pemerintah sangat menaruh perhatian terhadap

pembangunan sektor kehutanan di Nusa Tenggara Timur yang sebagian besar wilayahnya beriklim kering (semi arid). Perkembangan degradasi lahan di Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu indikasi meningkatnya tekanan terhadap lahan. Luas wilayah NTT mencapai 4.735.000 ha dengan luas kawasan hutan sebesar 1.808.990 ha (38.21 % dari luas daratan). Sampai saat ini luas lahan kritis di NTT telah mencapai 2.109.496 ha (44.55 % dari luas daratan). Luas lahan kritis dalam kawasan hutan 661.680 ha dan di luar kawasan hutan 1.447.816 ha. Laju lahan kritis selama 20 tahun terakhir seluas 15.163 ha per tahunnya, sedangkan luas tanaman RHL selama 20 tahun terakhir 3.615 ha, sehingga perbandingan antara laju degradasi dengan upaya penanaman adalah 4 : 1. Karena itu, dukungan iptek dalam rangka meningkatkan keberhasilan rehabilitasi lahan menjadi pilihan paling bijaksana untuk menghasilkan ramuan teknologi yang lebih sesuai dengan kondisi biofisik dan karakteristik wilayah semi arid.

Kita paham bahwa peran iptek memegang peranan penting dalam mendukung pembangunan di segala bidang. Tidak dapat dipungkiri, banyak bangsa-bangsa lain menjadi bangsa yang maju dan kuat karena penguasaan terhadap iptek sekalipun sumberdaya alamnya sangat terbatas. Penguasaan iptek sangat bergantung pula pada ketajaman dan kemampuan lembaga riset melakukan analisis dan mengaitkan program penelitian yang berbasis pada kepentingan pengguna (user). Karena itu, dalam

(15)

15 mendukung pembangunan sektor kehutanan di Nusa Tenggara Timur, Badan Litbang Kehutanan memberikan perhatian yang cukup serius untuk meningkatkan kajian-kajian yang berkaitan dengan teknologi rehabilitasi lahan, rekayasa sosial budaya dan kearifan lokal maupun teknologi hasil hutan non kayu. Guna mendukung hal tersebut, forum ini merupakan kesempatan yang sangat baik untuk saling membagi pengalaman dan melakukan sinkronisasi kegiatan, sehingga para peneliti dapat merumuskan program-program penelitian yang tepat sasaran, tepat guna dan mampu memberikan solusi yang efektif dan efisien terhadap berbagai persoalan sektor kehutanan di Nusa Tenggara Timur.

Hadirin sekalian,

Pemerintah daerah menyadari bahwa pembangunan memerlukan dukungan riset dan pengembangan untuk merancang pendekatan pembangunan. Karena itu, pembagunan sektor kehutanan di NTT membutuhkan dukungan riset dan pengembangan yang mampu memberikan solusi terhadap seluruh aspek sosial budaya dan teknis yang berkaitan dengan sektor kehutanan.

Di masa yang akan datang, Pemerintah Provinsi NTT akan mendukung kebijakan pembangunan yang berbasis pada hasil Penelitian dan Pengembangan. Untuk mendukung kebijakan tersebut, Lembaga riset harus pro aktif memberikan masukan terhadap berbagai kebijakan pembangunan yang akan dilaksanakan. Ekspose hasil-hasil Litbang Kehutanan seperti ini belum cukup untuk mendorong pembangunan di NTT tanpa adanya dukungan kebijakan dari pemerintah daerah untuk menerapkan hasil-hasil penelitian pada setiap pelaksanaan pembangunan pada instansi teknis terkait. Karena itu, Pemerinrah Daerah akan memperkuat Kehadiran Badan Litbang Daerah Provinsi di NTT untuk meningkatkan fungsi koordinasinya dengan lembaga-lembaga riset yang berada di bawah naungan Departemen/perguruan tinggi. Melalui Litbang Daerah diharapkan terjadi koordinasi, sinkronisasi dan penajaman program riset yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan di NTT.

Hadirin yang saya hormati,

Saya berharap diskusi ini mampu menghasilkan rumusan yang komprehensif dan integratif yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan penyempurnaan kebijakan pembangunan sektor kehutanan khususnya di Nusa Tenggara Timur. Akhirnya saya mengucapkan selamat berdiskusi dan berkarya di forum ini.

(16)

Prosiding Kupang, 12 November 2007

| 16

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan lindungan dan petunjuk-Nya sehingga acara ini dapat berjalan dengan lancar.

Dengan mengucapkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa dan memohon tuntunan-Nya saya nyatakan “ Ekspose hasil-hasil Penelitian Kehutanan” secara resmi dibuka. Semoga Tuhan selalu memberkati kita semua.

Kupang, 13 Desember 2007 Wakil Gubernur NTT

(17)

17

Rumusan

Berdasarkan arahan dari Bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan, arahan dari Bapak Gubernur Nusa Tenggara Timur, presentasi dari para pemakalah dan dari hasil diskusi Ekspose Hasil-hasil Penelitian Kehutanan maka untuk sementara dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki lahan kritis yang cukup luas dan setiap tahun terus bertambah. Hal ini antara lain disebabkan tekanan penduduk terhadap lahan cukup tinggi tanpa memperhatikan aspek konservasi, rendahnya keberhasilan program revegetasi dan kurangnya masukan teknologi tepat guna. Disamping itu kondisi biofisik lahan NTT yang didominasi oleh tanah marginal, bersolum tipis, tanah berbatu, iklim kering yang panjang, curah hujan rendah menyebabkan lahan rentan terhadap degradasi serta mempunyai daya pulih alami yang rendah.

2. Hampir 45% dari luas daratan NTT berupa lahan kritis. Luas lahan kritis dalam kawasan hutan 661.680 ha dan di luar kawasan hutan 1.447.816 ha. Laju lahan kritis selama dua dekade terakhir mencapai 15.163 ha/tahun, sedangkan luas tanaman Rehabilitasi Hutan dan Lahan sangat rendah yaitu hanya mencapai sekitar 3.615 ha/tahun. Perbandingan antara laju degradasi dengan upaya penanaman dalam hal ini adalah sekitar 4 : 1.

3. Kunci keberhasilan pembangunan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) selain pada perencanaan yang akurat dan handal juga terletak pada pengendalian yang konsisten dan harus mengacu pada permasalahan di atas. Untuk mendukung pelaksanaan pembangunan di bidang RLKT maka partisipasi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan, peran serta kelembagaan seperti koperasi dan LSM perlu ditingkatkan. Upaya Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah dilaksanakan melalui pendekatan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang bersifat menyeluruh dan terpadu antara berbagai sektor pembangunan dan disiplin ilmu. Untuk itu, maka pengelolaan dan pengembangannya diarahkan untuk mempertahankan keberadaan dan keseimbangan yang dinamis melalui berbagai usaha perlindungan, rehabilitasi dan pemeliharaannya.

4. Salah satu alternatif dalam mengendalikan peningkatan lahan kritis seperti studi kasus pada DAS Benain adalah upaya pengembangan pertanian lahan kering dengan pola campuran atau agroforestry. Peluang degradasi lahan akan meningkat apabila tidak tersedianya pola pemanfaatan sumberdaya

(18)

Prosiding Kupang, 12 November 2007

| 18

hutan, tanah dan air yang ramah lingkungan. Pola pengembangan agroforestry dapat memberikan manfaat secara seimbang antara aspek ekonomi, ekologi dan sosial. 5. Berdasarkan kondisi spesifik wilayah di NTT, ada dua pilar

utama yang perlu dijadikan acuan dalam meningkatkan keberhasilan lahan kritis secara revegetasi, yakni aspek teknik dan aspek sosial ekonomi budaya masyarakat. Secara teknis melaui pemilihan dan pengelolaan jenis tanaman yang sesuai dengan tuntutan teknik silvikultur yang intensif melalui pemupukan, penggunaan mikoriza, bahan penyerap air dan pola tanam yang tepat. Secara sosial ekonomi perlu melibatkan masyarakat melalui pola partisipatif.

6. Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang mengalami kerusakan dapat dilakukan melalui pendekatan pola partisipatif masyarakat. Pola pendekatan partisipatif yang dipilih haruslah merupakan pola yang mempertimbangkan kepentingan multi pihak dengan tetap memperhitungkan keseimbangan diantara semua aspek dari fungsi, dan jasa lingkunan dari kawasan hutan. Pola terbaik adalah pola yang mampu memberdayakan masyarakat desa hutan sehingga dapat tumbuh mandiri dan

berkeadilan dalam pengambilan keputusan dan

melaksanakannya secara konsisten.

7. Masyarakat lokal memiliki peran strategis dalam mendukung kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Inisiatif masyarakat lokal seperti konsep Lende Ura yang merupakan sebuah filosofi kehidupan masyarakat di Sumba Barat memandang hutan sebagai jembatan datangnya hujan yang mendorong masyarakat menghargai setiap komponen sumberdaya alam yang berpengaruh terhadap proses terjadinya hujan, sehingga masyarakat tidak melakukan penebangan liar, menghindari kebakaran hutan dan lahan, pemeliharaan daerah tangkapan air melalui budidaya pertanian lahan kering campuran serta pemanfaatan hasil hutan non kayu. Karena itu konsep semacam Lende Ura ini perlu ditularkan, dikembangkan dan disebarluaskan.

8. Rehabilitasi lahan di NTT salah satunya dapat menggunakan jenis kayu putih dengan pengembangan sistem tumpangsari dengan tanaman pangan. Tanaman kayu putih dapat menghasilkan daun kayu putih yang bermanfaat sebagai bahan baku minyak kayu putih yang berpotensi menigkatakan kesejahteraan rakyat, yang pada gilirannya diharapkan dapat menciptakan dan menimbulkan kesadaran diri pada masyarakat untuk melakukan rehabilitasi. Sedangkan tanaman tumpang sarinya diharapkan dapat menjaga ketahanan pangan.

(19)

19 9. Cendana merupakan salah satu jenis potensial untuk rehabilitasi lahan. Upaya pengembangan cendana melalui kearifan masyarakat lokal di lahan masyarakat, Kabupaten Sumba Barat telah berhasil dengan baik. Beberapa faktor yang mendukung keberhasilan pengembangan cendana adalah adnya kesadaran yang tinggi dari masyarakat secara swadaya dalam penanaman cendana. Penanaman cendana dilakukan melalui cabutan yang berasal dari biji yang tumbuh secara alami dengan pola tanam campuran di bawah kebun kelapa. 10. Dalam rangka kegiatan rehabilitasi lahan dengan revegetasi

perlu dikembangkan jenis tanaman pakan burung paruh bengkok asli NTT yang keberadaannya telah terancam punah akibat adanya kerusakan habitat dan pemanfaatan yang tidak terkendali. Tanaman pakan ini adalah untuk memenuhi jumlah konsumsi dan gizi pakan burung paruh bengkok untuk menunjang konservasi satwaliar di habitat aslinya

11. Pengembangan jenis tanaman pestisida nabati untuk rehabilitasi lahan perlu dilakukan. Walihu (Litsea cubeba PERS.) adalah jenis flora hutan yang potensial perlu dilakukan. Jenis ini memiliki kandungan senyawa kimia aktif yaitu Cubebene dan Caryophylene oxide. Walihu bersifat racun ditunjukkan dengan nilai LC50 sebesar 0,15 pada ekstrak

Aseton dan 0,22 pada ekstrak n-Heksan sehingga bisa digunakan sebagai pestisida nabati.

12. Hutan rakyat mempunyai peranan penting dalam menjaga keberlangsungan daya dukung hutan dalam rehabilitasi lahan. Kondisi sosial-budaya dan kepemimpinan lokal mempunyai peranan kuat dalam pengembangan HR. Pengorganisasian pengelolaan HR tergolong masih rendah, walaupun permintaan masyarakat untuk mengembangkan HR cukup tinggi. Pengembangan HR dengan mengkombinasikan tanaman kehutanan, perkebunan, pangan, dan peternakan nampaknya akan memberikan nilai lebih bagi perekonomian keluarga.

13. Permasalahan yang terkait dalam pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKM) adalah: aspek teknis terkait dengan

menentukan pola tanam yang produktif dan

berkesinambungan; permasalahan aspek kelembagaan terkait dengan kurang aktifnya lembaga-lembaga pengelola HKm; permasalahan kebijakan terkait dengan sering berganti-ganti kebijakan, dan optimalisasi penerapan hukum adat dalam penyelesaian masalah HKm. Aspek teknis, kelembagaan dan kebijakan serta isu-isu yang berkembang terkait dengan

pengelolaan HKm secara umum diharapkan akan

(20)

Prosiding Kupang, 12 November 2007

| 20

mengakumulasikan kepentingan konservasi, produksi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

14. Sementara itu pengelolaan kawasan konservasi saat ini menjadi sangat komplek walaupun regulasinya cukup lengkap, namun dalam pelaksanaan dihadapi berbagai kendala dan hambatan baik dari dalam maupun dari luar. Hambatan dari dalam antara lain adalah kuantitas dan kualitas SDM aparat yang bergerak dalam bidang organisasi yang mengelola kawasan konservasi, ditambah masalah minimnya sarana pengelolaan kawasan dan biaya operasional pengelolaan kawasan. Hambatan dari luar adalah kebijakan publik ditingkat lokal yang tidak mendukung di era otonomi telah menimbulkan banyak kerusakan kawasan konservasi.

15. Kawasan Mutis merupakan kawasan yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai lokasi ekowisata. Namun demikian pemanfaatan kawasan ini sebagai lokasi ekowisata belum optimal karena arus kunjungan wisata ke kawasan tersebut masih rendah dan manfaat ekonomi yang diterima oleh masyarakat sekitar masih rendah. Pengelolaaan ekowisata di kawasan tersebut belum dikelola secara profesional. Berbagai langkah diperlukan untuk mengembangkan ekowisata di kawasan tersebut. antara lain: penunjukan pengelola, penataan kawasan ekowisata, peningkatan promosi wisata .

Kupang, 13 Desember 2007

Tim Perumus,

Ir. Sigit Baktya Prabawa, MSc. Ir. I Komang Surata

(21)

21

Daftar Isi

Kata Pengantar ... Daftar Isi ... Laporan Panitia Penyelenggara ...

Sambutan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan

hutanan... Sambutan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur ... Rumusan ...

Bidang Konservasi dan Rehabilitasi

1. Lahan Kritis dan Solusi Penanganannya di Provinsi Nusa Tenggara Timur

I Komang Surata...

2. Rehabilitasi Hutan dan Konservasi Sumberdaya Alam di Nusa Tenggara Timur

Luhut Sihombing…...

3. Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan dalam Pengelolaan DAS di Nusa Tenggara Timur

Antonius Toding Patandianan...

4. Rehabilitasi dengan Jenis Tanaman yang Memiliki Keunggulan Komparatif di Nusa Tenggara Timur

Sumardi, Tigor Butar Butar, dan Bayu Adrian Victorino...

5. Ragam Jenis Flora Beracun Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur

Dani Sulistiyo Hadi ...

6. Kesesuaian Antara Kondisi Lahan dengan Jenis-jenis Pohon Hutan

Yelin Adalina ...

7. Variasi dan Palatabilitas Pakan pada burung Paruh Bengkok di Penangkaran Oilso Kupang

Kayat ...

8. Rehabilitasi Hutan dan Lahan Berbasis Agroforestry pada Daerah Aliran Sungai Benain di Timor

Gerson ND Njurumana ...

9. Jenis dan Sifat Tanah di Beberapa Tempat di Bali dan Nusa Tenggara

M. Hidayatullah dan Mansyur………..

Bidang Hasil Hutan Bukan Kayu

(22)

Prosiding Kupang, 12 November 2007

| 22

Nabati di Nusa Tenggara Timur

Dani Sulistiyo Hadi ...

11. Kajian Pengembangan Ekowisata di Mutis

Rahman Kurniadi ...

12. Pengendalian Parasit dan Predator Kutu Lak

Sujarwo Sujatmoko………..………..

Bidang Silvikultur

13. Kontribusi Pemuliaan Pohon dalam Pembangunan Hutan Tanaman Acacia mangium

Aris Sudomo...

14. Kajian Intensifikasi Hutan Tanaman untuk Penghasil Biofuel sebagai Alternatif Solusi Krisis Energi

Aris Sudomo dan Pipin Permadi ...……….

15. Kajian Sistem Silvikultur Hutan Rakyat

Aris Sudomo ………..………

Bidang Sosial Ekonomi

16. Hutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok: Tinjauan Aspek Teknologi, Kelembagaan, dan Kebijakan

Eko Pujiono ...

17. Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Kegiatan Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Kritis

L. Michael Riwu Kaho dan Bayu A. Victorino………

18. Kondisi Pengembangan Hutan Rakyat di Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan

Ida Rachmawati ……….

19. Dinamika Peran Kepemimpinan Lokal dalam Pengelolaan Hutan di Pulau Yamdena, Maluku Tenggara Barat

Budiyanto Dwi Prasetyo………..……..

25. Nilai Ekonomi Sumberdaya Air: Studi Kasus Desa Santong, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat

Eko Pujiono ...

Lampiran Jadwal Acara Daftar Peserta

(23)

23

Bidang

KONSERVASI DAN

REHABILITASI LAHAN

(24)

Prosiding Kupang, 12 November 2007

| 24

LAHAN KRITIS DAN SOLUSI PENANGANANNYA

DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

1

Oleh : I Komang Surata2

ABSTRAK

Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki lahan kritis yang cukup luas dan setiap tahun terus bertambah. Hal ini disebabkan tekanan penduduk terhadap lahan cukup tinggi tanpa memperhatikan aspek konservasi, rendahnya keberhasilan program revegetasi (reboisasi dan penghijauan), dan kurangnya masukan teknologi tepat guna. Disamping itu kondisi biofisik lahan yang didominasi oleh tanah marginal bersolum tipis, tanah berbatu, iklim kering yang panjang, curah hujan rendah menyebabkan lahan rentan terhadap degradasi dan mempunyai daya pulih alami rendah. Untuk mengatasi permasalahan ini maka perlu dilakukan rehabilitasi lahan kritis, salah satunya dengan cara revegetasi (penghijauan dan reboisasi). Berdasarkan kondisi spesifik wilayah di NTT ada dua pilar utama yang perlu dijadikan acuan dalam meningatkan keberhasilan lahan kritis secara revegetasi yaitu: aspek teknik peningkatan keberhasilan tanaman atau produktifitasnya dan aspek sosial ekonomi budaya masyarakat. Secara teknis keberhasilan tanaman dalam bentuk penghijauan atau reboisasi dapat ditingkatkan yaitu dengan pemilihan jenis dan pengelolaan jenis tanaman yang sesuai dengan daerah setempat. Penanaman dilakukan secara intensif melalui pemupukan, penggunaan mikoriza, bahan penyerap air dan pola tanam yang tepat. Kegiatan ini perlu melibatkan masyarakat melalui pola partisipatif.

Kata kunci : Lahan kritis, revegetasi, teknologi tepat guna, produktivitas

I.

PENDAHULUAN

Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan wilayah kepulauan dengan jumlah pulau seluruhnya adalah 566 pulau. Dari jumlah tersebut hanya 42 pulau saja yang ditempati manusia, sedangkan sisanya sebanyak 524 pulau hanya merupakan tempat persinggahan para nelayan. Pulau Flores, Sumba, Timor , Alor, Pantar, Lomblen, Solor, Adonara, Rote dan Sabu adalah pulau-pulau utama, dimana sebagian besar

1

Makalah pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Kupang. Kupang, 13 Desember 2007 2

(25)

25 penduduknya bermukim (Balai Penelitian Kehutanan Ku-pang,1993).

Wilayah NTT memiliki lahan kritis yang cukup luas dan dari tahun ke tahun terus bertambah. Hal ini karena karakteristik alami biofisik wilayahnya yang kurang menguntungkan dan tekanan penduduk terhadap lahan cukup tinggi. Wilayah ini secara periodik mengalami iklim kering, solum tanah tipis dan berbatu, curah hujan rendah dan topografinya sebagian besar curam sampai dengan sangat curam. Iklimnya dipengaruhi oleh iklim monsoon, sebagai akibat pemanasan di Asia dan Australia. Hutannya sendiri disebut dengan hutan monsoon (Monk et al., 1997). Dengan demikian wilayah ini sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan dan mempunyai daya pulih yang rendah.

Disamping itu dengan bertambahnya jumlah dan aktifitas penduduk terhadap lahan yang sebagian besar mempunyai mata pencaharian pokok beternak dengan pola penggembalaan liar dan bertani secara tradisional dengan pola perladangan berpindah dan sistim tebas bakar merupakan gangguan utama yang mempercepat penurunan produktivitas dan kualitas sumber daya lahan sehingga muncul lahan-lahan kritis. Disamping itu dengan semakin meningkatnya perambahan hutan untuk keperluan lahan pertanian, peternakan, pengambilan kayu pertukangan dan kayu bakar akan mempercepat degradasi hutan.

Untuk mengatasi atau mengurangi kerusakan lahan, maka perlu dicari upaya perbaikan yaitu melalui kegiatan rehabilitasi lahan, salah satunya dengan revegetasi (penghijauan /reboisasi). Tujuannya tidak saja memperbaiki hutan-hutan yang rusak dan tidak produktif akan tetapi dapat mengurangi erosi permukaan dan mempertahankan kesuburan tanah. Dalam jangka panjang diharapkan dapat memperbaiki iklim mikro, memulihkan biodiversitas, dan meningkatkan kondisi lahan ke arah yang lebih produktif.

Dalam kenyataannya untuk melakukan kegiatan rehabilitasi lahan dengan revegetasi di daerah semi arid menghadapi permasalahan terutama rendahnya tingkat keberhasilan tumbuh tanaman. Hal ini disebabkan oleh pemilihan dan pengelolaan jenis yang kurang sesuai dengan teknik silvikultur akibat kondisi biofisik lahan yang kurang menguntungkan. Oleh karena itu untuk merehabilitasi lahan kritis maka perlu melakukan penelitian uji jenis yaitu menentukan jenis pohon yang paling sesuai dan menguntungkan dengan teknik silvikultur jenis tersebut di lokasi penanaman.

Mengkaji berbagai pengalaman kegiatan rehabilitasi lahan melalui penghijauan dan reboisasi, keberhasilan pelaksanaannya selain dipengaruhi aspek teknis juga dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat. Berbagai kegiatan menunjukkan hasil yang

(26)

Prosiding Kupang, 12 November 2007

| 26

kurang memuaskan karena minimnya upaya pemberdayaan masyarakat. Hal ini berakibat munculnya permasalahan sosial ekonomi yang dapat berakibat pada kegagalan pelaksanaan kegiatan reboisasi dan penghijauan . Oleh sebab itu dalam kegiatan ini perlu melibatkan masyarakat melalui pola partisipasi masyarakat.

Dalam makalah ini diuraikan tentang lahan kritis di NTT, penyebab dan teknik penanganannya melalui kegiatan revegetasi/pembuatan hutan tanaman dengan pemilihan dan pengelolaan jenis yang sesuai serta kegiatannya melalui pendekatan sosial masyarakat.

II.

KONDISI BIOFISIK WILAYAH NTT

A. Letak, Luas dan Topografi

Secara geografis NTT terletak di antara 80 - 120 LS dan 1180 -1250 Bujur Timur. Luas daratan dan lautan masing-masing sekitar 47.349,9 Km2 dan 200.000 Km2. Wilayah NTT memiliki topografi yang didominasi oleh kelas kelerengan datar sampai dengan curam (Tabel 1), dimana kelas kelerengan sangat curam seluas 1.409.765 (>40%) umumnya terdapat di pegunungan.

Tabel 1. Luas masing-masing kelerengan pada beberapa pulau besar di NTT

Luas Setiap Kelerengan ( Ha)

No Letak/ lahan Datar (0-8%) Landai (8-15%) Agak Curam (15-25%) Curam (25-40%) Sanga t curam (>40% ) 1 P. Timor dan sekitarnya 475.902 588.313 520.209 49.723 5.935 2 P. Alor dan Pantar 28.922 20.810 78.627 133.18 0 24.921 3 P.Flores dan sekitarnya 426.809 341.225 537.779 319.59 5 81.722 4 P. Sumba 324.563 223.988 273.150 263.70 0 19.899 Jumlah 1.256.1 97 1.174.3 36 1.409.765 766.19 8 132.47 7 Sumber : Dinas Kehutanan NTT (1987)

(27)

27 B. Geologi dan Jenis Tanah

Secara geologis, pulau-pulau di NTT terbentuk secara vulkanis dengan tanah yang relatif subur (Pulau Komodo, Flores, Adonara, Solor, Lembata, Pantar dan Alor). Sedangkan yang lainnya terbentuk karena terangkatnya dasar laut dan tanahnya

berbatu karang (Pulau Sumba, Sawu, Rote, Semau dan Timor) (Maryono, 1996).

Berdasarkan klasifikasi tanah Pusat Penelitian Tanah (1989) jenis tanah di tiga pulau besar yang terdapat di NTT dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Pulau Sumba didominasi oleh Mediteran dengan bentuk wilayah merupakan pegunungan lipatan dan dataran serta volkan, menyebar di bagian tengah dan memanjang dari Barat sampai ke Timur; sebagian Litosol dengan bentuk wilayah dataran volkan, serta sebagian Grumusol dengan bentuk wilayah lembah.

2. Pulau Timor memiliki tanah kompleks dengan bentuk wilayah merupakan pegunungan lipatan serta sebagian kecil bentuk wilayah dataran volkan.

3. Pulau Flores, didominasi oleh Mediteran dengan bentuk wilayah merupakan dataran volkan, sebagian tanah kompleks dengan bentuk wilayah pegunungan serta sebagian kecil Latosol, Regosol, Andosol, dan Alluvial dengan bentuk wilayah berupa dataran.

Secara keseluruhan luasan jenis tanah yang terdapat di daratan NTT (Dinas Kehutanan Propinsi NTT, 1992) sebagai berikut:

1. Aluvial terdapat di P. Timor dan Flores mencakup 2,5% daratan NTT

2. Regosol : Luas 2,38% daratan NTT terdapat di Flores

3. Grumusol : Luas 3,25% daratan NTT terdapat di P. Timor dan Sumba

4. Andosol: 0,66% dari luas daratan NTT terdapat di P. Flores 5. Latosol : 8,07 % dari luas daratan NTT terdapat di P. Rote,

Timor, dan Flores

6. Tanah kompleks : 31,37% dari luas daratan NTT terdapat di P. Rote, Timor, Flores dan Komodo.

7. Mediteran : 52,23% dari daratan NTT terdapat hampir di seluruh pulau kecuali P. Rote dan Komodo.

(28)

Prosiding Kupang, 12 November 2007

| 28

C. Iklim

Nusa Tenggara Timur memiliki tipe ikilm B-F menurut klasifikasi iklim Schmidt and Ferguson (1951), dimana lebih dari 90 % wilayahnya beriklim D-F. Curah hujan bekisar antara 500-3000 mm/tahun dengan jumlah hari hujan 30-130 hari/tahun dan suhu maksimum rata-rata tahunan 31,60 C dan suhu minimum 21,50C.

Kelembaban terendah terjadi pada musim Timur yaitu pada bulan Mei - Oktober dengan kecepatan angin rata-rata 30 km/jam. Sedangkan kelembaban maksimum terjadi pada musim Barat pada bulan November - Maret dengan kecepatan angin 11-19 km/jam (Dinas Kehutanan NTT, 1988).

Bila mengacu kepada klasisifikasi iklim Thornwaite berdasarkan indikator vegetasi yang ada, tampaknya wilayah NTT ini termasuk tipe iklim sub humid (bukan semi arid) karena secara periodik mengalami iklim savana kering (mixed savana dan

grassland) (Monk et al., 1997).

D. Kawasan Hutan

Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 89/KPTS-II/83) luas kawasan hutan di Propinsi NTT adalah 1.667.962 Ha atau 35% dari luas daratan wilayah NTT. Dari luasan tersebut, 677.601 Ha diantaranya berfungsi sebagai Hutan Lindung, 116.511 Ha Hutan Suaka alam, 15.378 Ha Hutan Wisata dan 358.402 Ha Hutan Produksi (Dinas Kehutanan NTT, 1988). Jika dipresentasikan menurut kerapatan tegakan, maka dari luasan di atas + 14,65% berhutan lebat, + 66,46% merupakan hutan jarang/rawang dan selebihnya + 18,89% adalah lahan kritis. Tipe hutan di propinsi NTT umumnya merupakan hutan musim (monsoon forest) yaitu seluas 1.538.645 Ha ( 92%) dan hutan hujan tropika seluas 129.317 Ha (8%) (Balai Penelitian Kehutanan Kupang, 2000). Hutan hujan umumnya tersebar di Wanggameti (P. Sumba), Gunung Mutis dan Gunung Timor (P. Timor) dan Pegunungan Ranaka di Pulau Flores. Kawasan hutannya sebagian besar terdiri dari hutan savanna dengan vegetasi padang rumput dan secara sporadis di lembah-lembah dan di pegunungan yang agak tinggi ditumbuhi vegetasi yang agak subur. Jenis flora setempat yang penting yang bernilai ekonomi tinggi seperti jenis cendana (Santalum album), kayu merah (Pterocarpus indicus), ampupu (Eucalyptus urophylla), kesambi (Schleicera oleosa), asam (Tamarindus indicus) serta

(29)

29 secara alami banyak ditumbuhi pohon savana seperti kasuarina (Casuarina junghunniana), dan hue (Eucalyptus alba).

III. LAHAN KRITIS DI NTT

A. Luas Lahan Kritis di NTT

Luas lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan di Propinsi NTT pada tahun 1999 dan 2004 disajikan pada Tabel 2. Menurut Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Benain Noelmina (2004) diketahui bahwa lahan kritis di NTT yang berada di dalam dan di luar kawasan hutan tahun 2004 cukup luas yaitu 2.864.653 ha (60,05 %) menyebar di 12 kabupaten. Apabila dibadingkan dengan data tahun 1999 maka luas lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan sebesar 1.424.399 ha (30,08 %) (Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Benain Noelmina,1999). Jadi selama lima tahun terakhir telah terjadi peningkatan lahan kritis yang cukup luas yaitu sebesar 1.440.254 ha (30,42 %) atau kecepatannya 6,08 % per tahun. Hal ini berarti telah terjadi degaradasi lahan yang cukup luas dan kegiatan reboisasi dan penghijauan belum mampu menurunkan jumlah lahan kritis di NTT. Tabel 2. Luas lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan pada tahun

1999 dan 2004 di Provinsi NTT

NO Kabupaten Luas wilayah (Ha)

Luas lahan kritis 1999*

(Ha)

Luas lahan kritis 2004**

(Ha)

1 Kupang 733.860 191.243 422.524

2 Timor Tengah

Selatan 394.700 161.271 272.908

3 Timor Tengah Utara 266.970 107.845 156.105

4 Belu 244.560 32.275 206.706 5 Alor 286.470 106.912 128.850 6 Flores Timur 307.920 105.038 175.891 7 Sikka 173.190 115.742 141.671 8 Ende 204.660 60.775 120.115 9 Ngada 303.790 90.936 219.988 10 Manggarai 713.640 80.879 308.444 11 Sumba Barat 405.190 116.150 389.117 12 Sumba Timur 700.050 255.342 322.333 Jumlah 4.735.000 1.424.399 2.864.653

Sumber : * Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tunas Benain Noelmina (1999)

(30)

Prosiding Kupang, 12 November 2007

| 30

Spesifikasi penilaian lahan kritis dapat dilihat dari penurunan/kerusakan fisik dan kimiawi suatu lahan. Pada dasarnya akan lebih cepat dan mudah dilakukan melalui pengamatan terhadap jenis dan pertumbuhan vegetasi yang tumbuh di atasnya. Hasil dari kesuburan fisik dan kimia tanah menentukan jenis-jenis vegetasi yang tumbuh pada tanah bersangkutan. Sebagai gambaran, penyebaran vegetasi savana campuran dan padang rumput di NTT dapat dilihat pada Tabel 3.

Spesifikasi kerusakan lahan yang terdegradasi dapat dinilai dari indikator vegetasinya yang berbentuk savana campuran dan padang rumput di atasnya. Bila ditelusuri lebih lanjut ternyata tanah tersebut memiliki solum tipis, berada di atas batuan padas dimana batuan ini seringkali muncul di permukaan tanah. Vegetasi yang mendominasi lahan-lahan yang terdegradasi di wilayah NTT menurut kriteria ini berjumlah 70,42 % yang terdiri dari savana campuran 29,04 % dan padang rumput 41,38 %.

Tabel 3. Sebaran savana dan padang rumput di wilayah NTT

Savana Padang rumput

No Daratan (Pulau) Luas (Km2) % Terhadap luas daratan Luas (Km2) % Terhadap luas daratan 1 Komodo, Flores, dan Lomblen 2.948 12,85 989 4,99 2 Sumba 521 4,81 2.466 22,77

3 Timor, Alor, Semau

dan Rote 1.786 11,38 2.140 13,63

Jumlah 5.255 29,04 5.595 41,38

Sumber : Monk et al.,1997

B. Penyebab Perluasan Lahan Kritis

Lahan kritis adalah lahan yang telah mengalami kerusakan (degradasi) secara berulang sehingga kemampuannya menurun sampai tingkat marginal. Proses ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling mempengaruhi secara bersamaan. Faktor-faktor tersebut antara lain aktivitas manusia, biofisik wilayah (topografi, vegetasi, iklim, waktu, dan keadaan tanahnya sendiri).

Aktifitas manusia yang terjadi seperti penggembalaan ternak secara berlebih mengakibatkan penurunan populasi vegetasi secara drastis. Ternak banyak memakan permudaan alam ataupun hutan tanaman sehingga merusak vegetasi. Di sisi lain injakan kaki

(31)

31 ternak menghasilkan ground pressure yang memadatkan tanah (soil compaction) yang menghambat pertumbuhan tanaman. Akibatnya lahan menjadi lebih terbuka dan proses pemiskinan hara berlangsung kemudian dipercepat oleh: erosi hujan maupun kikisan angin. Disamping itu kegiatan pembakaran padang rumput untuk mendapatkan rumput muda menurunkan kesuburan tanah dan menyebabkan kebakaran hutan.

Kegiatan usaha tani tanpa mengindahkan faktor-faktor kelestarian lingkungan seperti pada tanah berbatu, lereng curam dan jenis tanah yang peka erosi dan longsor akan mempercepat terjadinya degradasi lahan. Sementara itu pada lahan-lahan yang kemiringannya tinggi (curam) penduduk bercocok tanam dengan cara membuka lahan secara tebas bakar tanpa melakukan upaya-upaya untuk menghindari erosi.

Tanpa disadari oleh penduduk, pola penggembalaan dan bertani seperti itu memiskinkan hara tanah sehingga produktivitas (hasil) terus berkurang. Akibat lanjut dari penurunan produktivitas lahan ini adalah pendapatan petani berkurang. Dampak akhirnya adalah input hara untuk menjaga kesuburan tanah sangat minimal.

Usaha tani dengan sistim tebas bakar akan mempercepat degradasi lahan. Cara berladang ini banyak diterapkan petani tradisionil pada sistim Amarasi. Perladangan ini salah satu cara sederhana dan murah yang sesuai dengan tingkat pengetahuan dan kemampuan sebahagian besar masyarakat petani di NTT. Iklim yang kering dan kondisi tanah marginal telah mengantarkan masyarakat pada suatu kondisi sistem bertani subsisten (usaha-usaha pertanian yang hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau hanya untuk konsumsi keluarga sehari-hari). Penggunaan input teknologi tinggi yang dapat digunakan sebagai langkah peningkatan produtivitas lahan, sekaligus sebagai upaya mengurangi lahan kritis masih merupakan cara yang mahal untuk diterapkan oleh masyarakat, walaupun masyarakat umumnya maklum bahwa api dapat menjadi faktor malapetaka bagi lingkungan hidupnya.

Perambahan hutan yang terjadi akibat illegal logging dan perluasan lahan untuk kegiatan perladangan mempercepat degradasi hutan. Seperti diketahui bahwa daerah kering savana mempunyai daya pulih yang rendah setelah mengalami gangguan dari konversi hutan. Hal ini disebabkan kondisi tanah yang kurang subur/tanah berbatu dan iklim kering, sehingga hutan akan membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar untuk pulih kembali.

(32)

Prosiding Kupang, 12 November 2007

| 32

C. Kendala Penanggulangan Lahan Kritis

Rehabilitasi lahan kritis untuk perbaikan mutu lingkungan hidup dan produktivitas lahan merupakan kebutuhan dasar bagi wilayah NTT guna meningkatkan fungsi produksi dan fungsi konservasi tanah dan air pada sebahagian besar wilayahnya. Upaya-upaya yang dilakukan adalah revegetasi antara lain reboisasi dan penghijauan melalui program pengembangan Hutan Kemasyarakatan (HKM), hutan rakyat, dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Upaya–upaya ini belum memberikan hasil yang sesuai dengan harapan karena berbagai hambatan. Hambatan ini dapat bersifat alamiah maupun teknis yang dapat dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu : kendala biofisik, kendala sosial budaya dan kendala teknis.

1. Kendala biofisik:

a. Variasi, fluktuasi tipe iklim, hampir lebih dari 90 % bertipe iklim D-F

b. Jenis tanah, tingkat kesuburan yang rendah yang bervariasi tiap daerah

2. Kendala sosial budaya:

a. Usaha peternakan yang dilaksanakan masyarakat petani di pedesaan masih dilakukan secara tradisional dengan sistim pengembalaan lepas

b. Teknik pengerjaan lahan pertanian oleh petani dengan pola tebas bakar seringkali menimbulkan kebakaran pada kawasan hutan yang telah direboisasi dan mempercepat penurunan kesuburan tanah

c. Pola pertanian yang diterapkan oleh petani masih bersifat tradisional, yaitu dengan berladang berpindah sehingga seringkali mendesak petani untuk membuka lahan pertanian baru dalam kawasan hutan secara illegal

d. Masih rendahnya tingkat partisipasi masyarakat terhadap kegiatan revegetasi dan kelestarian hutan

3. Kendala teknis:

a. Perencanaan belum berdasarkan pada fakta dan data yang kongkrit mengenai situasi, kondisi, lapangan, disamping minimnya kualitas sumberdaya manusia perencana di tiap daerah TK II

b. Prestasi kerja aparat Dinas Kehutanan maupun tenaga kerja harian di lapangan belum maksimal sehinggga output yang dihasilkan belum maksimal

c. Teknik silvikultur yang diterapkan belum memadai, seperti mutu benih yang digunakan seringkali tidak memenuhi standar benih berkualitas. Kualitas/kuantitas semai dan tanaman yang dihasilkan sangat rendah sehingga

(33)

33 mempengaruhi tingkat keberhasilan tanaman di lapangan. Teknik penanaman tanaman yang sering digunakan di lapangan masih sangat sederhana sehingga tingkat keberhasilannya rendah

d. Belum tersedianya pola rehabilitasi daerah kritis yang menyeluruh dan terpadu yang mencakup seluruh komponen ekosistem daerah aliran sungai

e. Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada belum ditindak lanjuti dengan instruksi-instruksi untuk merealisasikan berbagai petunjuk teknis yang diberikan.

IV. SOLUSI PENANGANAN LAHAN KRITIS

Rehabilitasi lahan merupakan perbaikan mutu lingkungan hidup melalui revegetasi (penghijauan dan reboisasi) yang merupakan kebutuhan dasar bagi wilayah NTT untuk meningkatkan fungsi produksi dan fungsi konservasi tanah dan air pada sebagian besar wilayahnya. Berdasarkan kondisi spesifik wilayah kering di NTT, ada dua pilar utama yang dijadikan acuan penanganan lahan kritis yaitu aspek teknik peningkatan keberhasilan tanaman/produktifitas, dan aspek sosial ekonomi budaya masyarakat. Keberhasilan menemu-kenali kedua pilar utama ini akan merupakan langkah awal dalam penentuan strategi penanggulangan degradasi lahan sesuai dengan kondisi spesifik wilayah dan kemampuan masyarakat yang ada di dalamnya. A. Aspek Teknis

Wilayah savana di NTT memiliki tingkat kesulitan tinggi dan memerlukan waktu yang lama untuk diupayakan menjadi wilayah produksi berbasis komoditi hasil hutan tanaman yang bernilai ekonomi tinggi. Hal ini disebabkan oleh akumulasi berbagai aspek antara lain, keragaman sistem lahan yang tinggi, iklim yang kering, dan tanah berbatu dan bersolum tipis.

Hasil analisis aspek fisik wilayah NTT dan Maluku oleh Departemen Transmigrasi (1989) menemukan 145 sistem lahan yang memiliki luasan kecil dan bersifat lokal. Dari jumlah sistem lahan yang ada, 63 % dijumpai di wilayah Nusa Tenggara dan Maluku Tenggara, dan 68 % dari daratan NTT merupakan sistem lahan yang peka erosi. Pada kondisi sistem lahan yang kurang menguntungkan ini, hanya 31 % wilayah NTT yang layak menjadi lahan usaha pertanian (termasuk perkebunan). Oleh sebab itu, penentuan program rehabilitasi lahan di NTT bersifat lokal spesifik yang memerlukan penanganan khusus, waktu yang relatif panjang dan biaya yang besar.

(34)

Prosiding Kupang, 12 November 2007

| 34

Peluang peningkatan keberhasilan rehabilitasi lahan dan peningkatan produktifitas lahan di wilayah NTT mungkin masih terbuka lebar, karena histori wilayah savana di NTT terbentuk dari akumulasi tingkat gangguan manusia dalam kurun waktu yang panjang akibat dari pertanian/perladangan tebas bakar dan penggembalaan liar. Monk et al.,1997 berpendapat bahwa tingkat kesulitan dalam mensiasati savana menjadi lahan yang berproduktifitas tinggi sangat tergantung pada sejarah terbentuknya savana. Kesulitan rehabilitasi akan sangat tinggi jika savana yang ada merupakan vegetasi klimaks awal dari suatu wilayah. Namun, harapan peningkatan produktifitas savana masih terbuka apabila savana tersebut terbentuk akibat aktifitas manusia, dan sepanjang tanah yang ada belum mengalami kerusakan yang parah. Berbagai hasil penelitian upaya peningkatan keberhasilan penanaman dan peningkatan produktifitas lahan dalam upaya rehabilitasi lahan yang telah dilakukan meliputi pemilihan jenis tanaman, pengelolaan jenis tanaman dan aspek sosial budaya. 1. Pemilihan Jenis Tanaman

Serangkaian penelitian uji jenis telah dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan Kupang untuk mendapatkan jenis-jenis tanaman yang sesuai untuk rehabilitasi lahan kritis/degradasi. Dengan berbagai keterbatasan yang ada, program penelitian hanya dilakukan di Pulau Timor dan Sumba.

Hasil penelitian kesesuaian jenis pada berbagai kondisi tempat tumbuh di pulau Timor (Kabupaten Kupang) yaitu di daerah Sono (Grumusol), Nautaus (Mediteran), dan Tanini (Litosol) yang mempunyai bahan induk tanah kapur dan vulkan, curah hujan 1423 mm/th, mempunyai 4 bulan basah dan 8 bulan kering yang disajikan pada Tabel 4, dan di Kabupaten TTU dengan jenis tanah mediteran disajikan pada Tabel 5.

(35)

35 Tabel 4. Rata-rata tinggi, diameter dan persen tumbuh pohon pada uji jenis umur 1,5 tahun setelah tanam di Sono, Nautaus dan Tanini Kabupaten Kupang

No Jenis pohon (Jenis tanah) Tinggi (m) Diameter (cm) Hidup (%) Ranking A Sono (Grumusol) 1 Eucalyptus urophylla 83,67 1,18 43,67 10 2 Acacia mangium 130,02 1,17 58,00 12 3 Acacia auriculiformis 269,77 1,83 91,33 2 4 Tectona grandis 203,44 1,25 80,67 5 5 Santalum album 82,87 1,19 27,40 13 6 Sweitenia macrophylla 135,07 0,84 33,67 14 7 Dalbergia latllifolia 143,66 1,54 96,50 3 8 Gmelina arborea 256,12 3,59 90,33 1 9 Enterolobium cyclocarpum 196,18 1,77 73,67 4 10 Pericopsis moniana 44,13 1,06 44,67 15 11 Cassia siamea 137,94 1,48 58,67 11 12 Sterculia foetida 81,58 1,57 95,00 8 13 Pterocarpus indicus 157,47 1,17 85,05 7 14 Ochroma bicolor 180,98 1,19 63,33 9 15 Acacia holocericia 188,07 1,14 85,67 6 B Nautaus (Mediteran) 1 Eucalyptus urophylla 117,95 1,33 29,50 12 2 Acacia mangium 150,77 1,23 64,29 11 3 Acacia auriculiformis 187,78 1,36 76,72 5 4 Tectona grandis 128,90 1,48 41,66 9 5 Santalum album 38,58 0,95 31,01 15 6 Sweitenia macrophylla 84,80 1,15 42,00 13 7 Dalbergia latifolia 186,58 1,60 80,95 3 8 Gmelina arborea 156,61 2,24 93,64 2 9 Enterolobium cyclocarpum 145,63 1,70 84,33 4 10 Pericopsis moniana 44,86 0,46 66,27 11 11 Cassia siamea 77,58 0,76 84,67 7 12 Sterculia foetida 58,03 0,65 81,33 8 13 Pterocarpus indicus 66,03 1,17 85,50 6 14 Ochroma bicolor 138,75 1,79 32,85 10 15 Acacia holocericia 309,49 1,93 83,65 1 C Tanini (Litosol) 1 Eucalyptus urophylla 316,49 1,41 16,66 8 2 Acacia mangium 241,38 1,96 40,00 7 3 Acacia auriculiformis 315,88 2,05 79,33 2 4 Tectona grandis 99,18 1,64 40,50 12 5 Santalum album 55,71 1,18 23,00 14 6 Sweitenia macrophylla 162,05 1,43 43,78 11 7 Dalbergia latifolia 187,92 1,50 91,00 6 8 Gmelina arborea 274,83 2,61 91,67 1 9 Enterolobium cyclocarpum 305,80 2,63 91,00 3

(36)

Prosiding Kupang, 12 November 2007

| 36

No Jenis pohon (Jenis tanah) Tinggi (m) Diameter (cm) Hidup (%) Ranking 10 Pericopsis moniana 56,71 0,67 32,87 15 11 Cassia siamea 45,77 2,57 39,67 10 12 Sterculia foetida 34,34 2,34 95,00 13 13 Pterocarpus indicus 81,49 1,04 76,66 5 14 Ochroma bicolor 153,39 1,23 73,67 9 15 Acacia holocericia 315,68 1,76 66,00 4 Sumber : Surata (2006)

Tabel 5. Rata-rata tinggi, diameter, persen hidup uji jenis pohon reboisasi umur 2,5 tahun di Banamblaat Kab. TTU

No Jenis tanaman Tinggi

(Cm) Diameter (Cm) Hidup (%) Ran-king 1 Santalum album 228,33 1,68 24 7 2 Sesbania grandiflora 461,81 4,31 64 1 3 Sterculia foetida 145,12 1,62 64 6 4 Pterocarpus indicus 40,77 0,63 74 8 5 Gliricidia maculate 175,41 1.74 80 2 6 Cassia siamea 136.37 1.48 76 4 7 Acacia oraria 90,20 1,30 20 10 8 Leucaena leucocephala 134,00 0,78 86 5 9 Tamarindus indica 17,38 0,51 32 11 10 Acacia auriculiformis 256,78 1,81 66 3 11 Anacardium occidentale 35,75 0,77 64 9 12 Eucalyptus urophylla 30,00 0,95 4 12 Sumber : Surata (1998)

Jenis pohon yang mempunyai kesesuaian tumbuh

baik pada tiga jenis tanah Grumusol, Mediteran, dan

Litosol di pulau Timor adalah: gemelina (Gmelina

arborea),

Acacia

auriculiformis,

sengon

buto

(Enterolobium cyclocarpum), Acacia holocericea, kayu

merah (Pterocarpus indicus), nitas (Sterculia foetida),

johar (Cassia siamea), turi (Sesbania grandiflora),

gamal

(Gliricidia

maculata),

Lamtoro

(Leucaena

leucocephala)

dan

jambu

mente

(Anacardium

ocidentale). Sedangkan jati (Tectona grandis) hanya

dijumpai pada jenis tanah Grumusol.

Berdasarkan penggolongan tingkat pertumbuhan

tinggi dan diameter maka delapan jenis pohon tersebut

di atas jenis yang cepat tumbuh yaitu : gemelina

(37)

37

cyclocarpum), turi (Sesbania grandiflora), gamal

(Gliricidia

maculata)

dan

lamtoro

(Leucaena

leucocephala),

sedangkan

jenis

dengan

tingkat

pertumbuhan sedang antara lain jati (Tectona grandis),

Acacia holocericea, Acacia auriculiformis, dan jambu

mente (Anacardium ocidentale) dan jenis yang tingkat

pertumbuhannya lambat (jenis lambat tumbuh) antara

lain kayu merah (Pterorocarpus indicus), nitas

(Sterculia foetida) dan sono keling (Dalbergia latifolia).

Hasil penelitian uji jenis di lokasi Hambala di

Kabupaten

Sumba

Timur,

pulau

Sumba

yang

mempunyai jenis tanah Litosol, bahan induk batu

kapur, curah hujan 768 mm/th , yang mempunyai tiga

bulan basah dan sembilan bulan kering disajikan pada

Tabel 6.

Tabel 6. Rata-rata tinggi, diameter dan persen tumbuh pohon uji jenis pada umur 10 tahun

No Jenis pohon Tinggi

(m) Diameter (cm) Hidup (%) Ranking 1 Acacia oraria 3,410 4,4 51,14 6 2 Sesbania grandiflora 4,392 7,6 5,08 4 3 Cassuarina junghunniana 8,717 6,8 57,69 1 4 Albizia procera 1,727 3,3 2,91 15 5 Albizia lebbeck 2,911 3,7 0,12 12 6 Enterolobium cyclocarpum 6,281 6,1 0,24 5 7 Albizia falcataria 2,283 3,7 0,28 13 8 Melia azedarach 1,909 3,4 0,03 16 9 Caliandra calotyrsus 3,821 4,2 0,01 8 10 Albizia saponaria 1,461 3,0 0,03 17 11 Albizia sinensis 2,985 4,3 0,07 11 12 Albizia lebbekioides 1,506 3,2 0,15 18 13 Dalbergia latifolia 1,417 2,9 56,31 14 14 Gmelina arborea 4,807 6,2 52,12 3 15 Acacia auriculiformis 4,832 6,1 56,32 2 16 Adenantera paponia 3,003 4,3 0,02 10 17 Intsia bijuga 2,889 5,1 0,03 7 18 Cassia siamea 2,621 4,8 0,19 9 Sumber : Surata (2002)

Gambar

Tabel  1.   Luas  masing-masing  kelerengan pada  beberapa pulau  besar  di  NTT
Tabel 2.  Luas lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan pada  tahun  1999 dan 2004 di Provinsi NTT
Tabel 3.  Sebaran savana dan padang rumput di wilayah NTT
Tabel 5. Rata-rata tinggi, diameter, persen hidup uji jenis pohon reboisasi  umur 2,5 tahun  di  Banamblaat  Kab
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengelolaan perencanaan pembelajaran fisika di SMP N 1 Magelang dilakukan dalam bentuk penyusunan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran dan telah dilaksanakan sebelum

Dalam skripsi ini yang berjudul FUNGSI MANAJEMEN PEMBELAJARAN DALAM EFEKTIVITAS BELAJAR MENGAJAR PAI SISWA KELAS VII DI SMP MUHAMMADIYAH 10 SURAKARTA TAHUN

Fase penjelasan konsep, yaitu siswa berdiskusi di dalam kelompoknya masing- masing untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam LKS II, menarik kesimpulan dari

• Komplikasi adalah kondisi yang tidak ditemukan saat admisi, yang kemudian muncul selama pasien dalam perawatan, atau merupakan akibat dari suatu prosedur atau pengobatan

Pada buku ajar yang digunakan tidak terjadi miskonsepsi, pada materi katabolisme karbohidrat, tetapi bahan ajar yang digunakan masih terdapat pengetahuan yang kurang

Secara garis besar sumber pencemaran yang dihasilkan oleh industri pulp Secara garis besar sumber pencemaran yang dihasilkan oleh industri pulp dan kertas ini dapat dibagi dalam

dan Kasus Lama. Tahapan reuse adalah menggunakan kembali informasi atau pengetahuan yang telah tersimpan pada basis kasus untuk memecahkan masalah kasus. merupakan

“Bilamana orang ramai berselisih pendapat mengenai sesuatu, mereka akan melihat apa yang dilakukan oleh ‘Umar, maka mereka akan mengambil daripadanya.” Ibn al-Musayyab, “Aku