BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK DAGANG
A. Konvensi-Konvensi Internasional
Secara keseluruhan konvensi Internasional di bidang merek dimulai pada tahun 1883 dengan ditanda-tanganinya The Paris Convention for the Protection of Industrial Property (selanjutnya disebut konvensi Paris) yang merupakan salah satu konvensi intelektual pertama dan terpenting. Awalnya konvensi ini ditandatangani oleh 11 negara peserta, kemudian bertambah hingga tahun 1976 berjumlah 82 negara, dan Indonesia termasuk didalamnya. Dalam Konvensi Paris, terminologi HKI meliputi: paten, utility model, industrial design, trademarks, service marks, trade names, indications of source or appellation of origin, dan repression of unfair competition (Pasal 1 Provision of the Paris Convention for the Protection of Industrial Property 1967, mentioned in the TRIPs Agreement,WIPO, Geneva).
Salah satu tujuan Konvensi Paris adalah untuk mencapai unifikasi di bidang perundang-undangan merek sedapat mungkin, dengan harapan agar tercipta satu macam hukum tentang merek atau cap dagang yang dapat mengatur soal-soal merek secara seragam di seluruh dunia. Ada 3 (tiga) hal penting yang diatur dalam Konvensi Paris ini, yaitu national treatment, yang artinya bahwa setiap warga negara peserta
Konvensi Paris bisa mengklaim negara peserta lainnya, agar ia diperlakukan sama dengan warga negaranya sendiri, dalam hal pemberian perlindungan merek, Priority rights, yaitu hak-hak prioritas yang diberikan keapda setiap warga negara peserta konvensi untuk mendaftarkan mereknya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pendaftaran mereknya di negara peserta konvensi Paris, dan
registration yang merupakan harmonisasi secara global sehubungan dengan pendaftaran merek bagi setiap peserta Konvensi Paris.36
2. Perjanjian Madrid
Perjanjian Internasional lainnya mengenai merek adalah Perjanjian Madrid (Madrid Agreement) tahun 1891 yang direvisi di Stockholm pada tahun 1967. Pasal 1, 2, 3 Perjanjian Madrid ditentukan bahwa Perjanjian Madrid berhubungan dengan perjanjian hak merek dagang melalui pendaftaran merek dagang Internasional, yang berdasarkan pendaftaran di negara asal. Pendaftaran Internasional tersebut memungkinkan diperolehnya perlindungan merek dagang di seluruh negara anggota peserta Perjanjian Madrid melalui satu pendaftaran saja.
Permohonan pendaftaran merek internasional harus berdasarkan pada satu atau lebih pendaftaran pada Negara Protocol dimana Pemohon tinggal, berbisnis atau berkewarganegaraan. Permohonan tersebut harus diajukan melalui Kantor Merek Negara tersebut. Kantor Merek akan memeriksa detail dari permohonan internasional tersebut termasuk kesamaannya dengan aplikasi atau pendaftaran pada Negara
36
Dwi Rezeki Sri Astarini, Penghapusan Merek Terdaftar, (Bandung: PT. Alumni, 2009), hal. 62.
tersebut selanjutnya mengirim ke WIPO International Bureau (IB). IB tidak melakukan pemeriksaan substantif. IB hanya melakukan pemeriksaan formalitas termasuk juga biaya, pengklasifikasian merek berdasarkanNice Agreement.
Apabila ada ketidaksesuaian maka IB akan memberitahukan Kantor Merek Negara asal dan atau Pemohon, dan memberikan waktu untuk perbaikan. Apabila tidak ada ketidaksesuaian atau perbaikan sudah dilakukan maka IB akan mendaftar merek tersebut pada International Register, memberitahukan Kantor Merek Negara asal dan mengirim sertifikat pendaftaran pada pemegang. IB juga akan mempublikasikan pendaftaran pada Berita Resmi WIPO atas merek internasional dan mengirim detail ke Negara-negara tujuan. Masing-masing Negara tujuan akan memeriksa International Registration berdasarkan Undang-Undang Mereknya masing-masing.
Apabila ada keberatan atau oposisi maka Negara tujuan akan memberi tahu IB yang akan menyampaikan kepada Pemegang Merek. Selanjutnya penyelesaian akan diteruskan dengan melalui bantuan agen merek lokal. Berdasarkan Madrid Protocol, Kantor Merek harus mengeluarkan penolakan dalam jangka waktu 12 bulan dengan pilihan perpanjangan 6 bulan. Apabila tidak ada penolakan dalam 12 atau 18 bulan maka merek harus mendapatkan perlindungan. Biaya PendaftaranBiaya pendaftaran untuk lebih dari 3 kelas adalah US$ 497 untuk merek hitam putih dan US$699 untuk merek berwarna. Biaya tambahan untuk masing-masing Negara tujuan adalah US$ 55 kecuali Negara tujuan menentukan biaya sendiri yang tentunya tidak boleh melebihi
biaya pendaftaran langsung ke Negara tersebut. Untuk kelas barang dan jasa yang didaftarkan lebih dari 3 maka masing-masing kelas lebihnya akan dikenakan US$ 55.
Tujuan yang hendak dicapai dari Perjanjian Madrid adalah mempermudah cara pendaftaran merek-merek di berbagai negara dan juga menghindarkan pemberitahuan asal barang secara palsu. Indonesia sendiri sampai saat ini belum masuk sebagai anggota Perjanjian Madrid.
Tentunya dengan diratifikasinya Madrid Protocol maka pendaftaran merek international akan lebih hemat. Hal ini menimbulkan harapan bahwa merek-merek nasional akan dapat mudah masuk ke pasar internasional. Namun harus disadari walaupun biaya pendaftaran merek internasional menjadi lebih murah tetapi ‘merek’ merupakan biaya kecil apabila dilihat dari scope untuk orbit ke pasar internasional. Masih ada besarnya biaya ekspor barang ke luar negeri yang harus dipikirkan, biaya pemasaran/tempat penjualan, biaya promosi, dll. Biaya-biaya lainnya ini tentunya sangat besar untuk mempertahankan agar merek yang didaftarkan di Negara lain ini tetap tergolong merek yang digunakan.
Madrid Protocol memiliki prinsip ketergantungan pada pendaftaran di Negara asal. Untuk 5 (lima) tahun pertama mengikuti pada tanggal efektif dari pendaftaran internasional, keberlakuan dan cakupan dar pendaftaran di Negara lain akan tergantung pada nasib dari permohonan atau pendaftaran di Negara asal. Misalnya saja ada pembatasan, penolakan final atau abandonment di Negara asal, atau pembatalan, pencabutan pada Negara asal dalam jangka waktu 5 tahun, maka akan memiliki efek yang sama pada pendaftaran internasional dan pada pendaftaran di
Negara-negara anggota Madrid Protocol. Termasuk juga untuk abandonment, pembatalan atau semacamnya pada pendaftaran nasional yang terjadi sesudah masa 5 tahun dimana proses terjadi selama periode 5 tahun.
Konsep ketergantungan ini sering menjadi central attack (dimana muncul peran dari pihak ketiga). Pendaftaran baru bebas dari kutukan ini apabila telah melewati masa 5 tahun. Namun diberikn kesempatan untuk melakukan transformasi dimana diijinkan untuk mentransformasi pendaftaran internasional menjadi pengajuan permohonan individual yang harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan dari pembatalan atas pendaftaran internasional. Tentunya dengan sistem ketergantungan ini maka akan merugikan pemilik merek apabila pendaftaran merek di Negara asal mengalami hambatan karena berdampak pada Negara-negara lainnya.
Dengan diratifikasinya Madrid Protocol maka tentunya pasal yang menyatakan bahwa semua pendaftaran HKI harus melalui Konsultan HKI akan dikesampingkan. Maka pendaftaran melalui Madrid Protocol dapat dilakukan langsung ke Kantor Merek melalui IB. Tentunya Konsultan HKI akan kehilangan pendapatan melalui pendaftaran secara significant mengingat Negara yang telah meratifikasi Madrid Protocol sudah cukup banyak yakni lebih dari 80 negara. Termasuk juga hilangnya pemasukan dariservice renewal. Apabila dikatakan bahwa Konsultan HKI akan mendapatkan kenaikan melalui proses litigasi belum tentu dapat terbukti benar mengingat sejauh ini penolakan terhadap merek tidak terlalu banyak dibandingkan dengan aplikasi yang masuk sebagaimana digambarkan dalam data
statistic 2001, 2002, 2003 dimana total penolakan adalah sebesar 10% dari permohonan pendaftaran merek yang masuk.
Kantor Merek tidak terlalu mengalami kerugian kecuali angka pendaftaran merek menjadi turun. Karena apabila aplikasi tetap jumlahnya, biaya juga tidak lebih besar dibandingkan permohonan melalui nasional. Yang pasti pekerjaan kantor merek menjadi jauh lebih banyak karena harus langsung berkorespondensi dan merespons secara lebih cepat kepada IB. Hal ini akan meyebabkan Kerugian bagi Pemerintah, karena dengan pendapatan yang berkurang pada Konsultan HKI akan berdampak pada penerimaan pajak oleh pemerintah.37
3. TRIPs- WTO
Perjanjian mengenai pembentukan World Trade Organization (WTO) ditandatangani tanggal 15 April 1994 di Marakesh sebagai hasil konkret perundingan putaran uruguay yang dimulai pada tahun 1986. Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan sistem perdagangan Internasional yang lebih bebas dan adil dengan tetap memperhatikan kepentingan-kepentingan khusus negara berkembang. Salah satu topik yang dibahas dalam putaran Uruguay adalah TRIPs (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Propertu Rights) atau aspek dagang yang terkait dengan HKI.38 Sebagai salah satu bagian persetujuan pembentukan WTO, TRIPs
37
Belinda Rosalina, Madrid Protocol: Untung dan Ruginya Meratifikasi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2008), hal. 3.
38
Normin Pakpahan,Pengaruh Perjanjian WTO dan Pembentukan Hukum Nasional, (Jurnal Hukum Bisnis, Volume 3, 1998), hal. 41-42.
telah memicu perubahan yang sangat fenomenal dalam perkembangan sistem perlindungan HKI di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Persetujuan TRIPs menentukan standar-standar Internasional tertentu bagi penegakan yang bersifat perintah dan mengharuskan Negara anggota menyediakan perangkat kerja hukum yang efektif untuk melindungi hak-hak kekayaan intelektual, termasuk didalamnya merek. Setiap negara anggota memiliki kewajiban internasional untuk memasukkan TRIPs ke dalam hukum nasional tentang hak kekayaan intelektual. Untuk itu, Indonesia beberapa kali mengubah, menambah dan melengkapi ketentuan di dalam Undang-Undang Merek sebagai konsekuensi Indonesia meratifikasi TRIPs-WTO. Beberapa ketentuan merek yang diatur dalam persetujuan TRIPs cukup banyak yang telah diadopsi dalam Undang-Undang Merek Indonesia, diantaranya seperti lisensi dan indikasi geografis.
Secara keseluruhan, TRIPs telah mempengaruhi dan membantu terciptanya suatu kecenderungan yang umum ke arah penyempurnaan perundang-undangan merek. TRIPs berguna sebagai suatu kesempatan positif bagi suatu negara untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan nasional.