BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HAL MEREK
B. Penyelesaian Sengketa Merek Dagang Asing yang mempunya
1. Penyelesaian Hukum Perdata
Sebagai aturan umum, pada saat pemilik merek dapat membuktikan bahwa mereknya telah dilanggar maka pengadilan akan memerintah pelanggar untuk memberi kompensasi kepada pemilik merek atas kerugian yang nyata-nyata diderita sebagai akibat adanya pelanggaran.82 Sanksi yang diberikan berdasarkan gugatan pemilik merek karena adanya pelanggaran merek yang terjadi. Dalam KUH Perdata Pasal 1365 telah diatur tentang perbuatan melanggar hukum tersebut yaitu:
“Bahwa terhadap tiap-tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seseorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Sejalan hal tersebut, di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Pasal 76 ayat 1 disebutkan bahwa: Pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan berupa ganti rugi dan/atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut. Gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan Niaga (Pasal 76 ayat 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001). 82
Budi Santoso, Butir-Butir Berserakan Tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual, Desain Industri, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hal. 145.
Dari rumusan yang terdapat pada KUH Perdata dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 dapat diketahui bahwa si penggugat atau si pemilik merek terdaftar dalam gugatannya dapat meminta adanya ganti kerugian dan penghentian pemakaian merek oleh si tergugat atau si pelaku pemalsu merek.
Ganti rugi terbagi atas 2 (dua) bagian, yaitu:83 a. Ganti rugi Material
Ganti kerugian material 3 (tiga) kali lipat atas kerugian yang nyata-nyata diderita sebagai akibat pelanggaran, keuntungan yang didapat Tergugat atas pelanggaran (biasanya dikenakan bila pelanggaran dengan sengaja pada barang atau jasa yang saling bersaing pada pasar yang sama), biaya pengacara.84
Oleh karenanya ganti kerugian material yaitu kerugian yang nyata dapat dinilai dengan uang. Misalnya: Akibat dari pemakaian merek oleh pihak yang tidak berhak tersebut menyebabkan produknya menjadi sedikit terjual karena konsumen telah membeli produk yang palsu.
b. Ganti rugi Immaterial
Yaitu tuntutan ganti rugi yang disebabkan karena adanya kerugian secara moril bagi pihak yang berhak. Misalnya: Mutu dari barang yang palsu mempunyai kualitas yang rendah sehingga konsumen tidak mau membeli produk dari pemegang hak yang sebenarnya lagi.
Selanjutnya gugatan atas pelanggaran merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dapat diajukan oleh penerima lisensi merek terdaftar baik secara sendiri maupun secara bersama-sama dengan pemilik merek yang 83
Saidin,Op.cit, hal. 304-305.
bersangkutan (Pasal 77 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001). Kemudian menurut Pasal 78 ayat 1 dalam rangka mencegah kerugian yang lebih besar akibat terjadinya pelanggaran merek tersebut pemilik merek terdaftar atau penerima lisensi merek selaku Penggugat dapat memerintahkan Tergugat pengguna merek tersebut untuk menghentikan produksi, peredaran, atau perdagangan barang atau jasa yang menggunakan merek tersebut tanpa hak.
Sehubungan dengan masalah gugatan ganti rugi dalam hal lisensi ini, si lisensi dapat juga mengajukan gugatan ganti rugi kepada si pemilik merek terdaftar (si pemberi lisensi). Akan tetapi gugatan ganti rugi ini berbeda dengan gugatan ganti rugi seperti yang telah diuraikan di atas. Gugatan ganti rugi dalam hal lisensi ini tidak dikategorikan sebagai peristiwa perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad, pasal 1365 KUH Perdata) dan ketentuan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 seperti disebut di atas.
Gugatan ganti rugi ini dapat dikategorikan ke dalam peristiwa wanprestasi, karena didasarkan atas adanya ingkar janji dan si pemberi lisensi (pemberi merek terdaftar), karena lisensi ini terjadi berdasarkan adanya ingkar janji (wanprestasi) ini mengacu kepada ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata, yaitu: Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Oleh karena sepanjang mengenai tuntutan ganti rugi yang didasarkan kepada kedua peristiwa di atas yaitu perbuatan melawan hukum dan perbuatan wanprestasi tersebut berlaku pula ketentuan yang termuat dalam KUH Perdata. Dalam hal ini KUH Perdata berfungsi sebagai Lex Generalis (peraturan yang bersifat umum), sedangkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 berfungsi sebagai Lex Speciallis (peraturan yang bersifat khusus).85
2. Penyelesaian Hukum Pidana
Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 dinyatakan bahwa sifat tindak pidana merek dikategorikan sebagai delik aduan karena pada prinsipnya aspek perdata dalam masalah merek lebih ditonjolkan dibanding aspek pidananya sehingga dimungkinkan terjadinya proses perdamaian diantara pada pihak dalam hal terjadinya kasus tindak pidana merek.
Selain itu dalam prakteknya selama ini penindakan terhadap pelanggaran hak atas merek lebih banyak dilakukan setelah adanya pengaduan dari pemilik merek sehingga selalu dituntut adanya keaktifan dari pemilik merek terdaftar tersebut jika mereknya dirugikan oleh pihak lain. Penyidikan bila terjadinya tindak pidana merek dilakukan oleh penyidik POLRI dan dapat dilakukan juga oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Direktorat Jenderal HKI sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
85
Ari Purwadi, Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan Konsumen, (Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga), hal. 305.
Pada prakteknya mengenai siapa yang melakukan penyidikan tindak pidana merek tergantung pada siapa pemilik merek terdaftar yang mereknya dilanggar membuatkan pengaduan. Berdasarkan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001:
“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”.
Berdasarkan Pasal 91 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001:
“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa yang sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000.000,- (delapan ratus juta rupiah).”
Berdasarkan Pasal 92 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001:
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang pada pokoknya dengan indikasigeografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
(3) Terhadap pencatuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukkan bahwa baranng tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan indikasi geografis, diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi-asal pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).”
Berdasarkan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001:
(1) Barangsiapa memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
Berdasarkan Pasal 95 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001:
“Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 merupakan detik aduan.”
Sistem perlindungan merek di Indonesia dapat memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum bagi pihak-pihak yang telah mendaftarkan mereknya, namun yang perlu diperhatikan dengan tegas adalah pada saat pelaksanaan atau prakteknya. Dilihat dari perlindungan hukum yang ada maka sehubungan dengan perkara merek yang ada, perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada pemilik merek tedaftar adalah mengajukan gugatan pembatalan merek mengingat berdasarkan sistem konstitutif yang dianut oleh Undang-Undang Merek Indonesia, perlindungan hukum diberikan kepada pendaftar merek yang pertama.
Sistem ini lebih menjamin adanya kepastian hukum karena pendaftar merek diberikan sebuah sertifikat sebagai tanda bukti pendaftaran dan bukti atas hak merek, sekaligus dianggap sebagai pemakai pertama dari merek tersebut dan merek yang akan didaftar akan lebih mudah pembuktiannya daripada merek yang tidak didaftar karena pemakai akan mengalami kesulitan untuk membuktikan dirinya sebagai pemakai pertama karena tidak terdapat akta-akta dan surat-surat yang dapat diajukan sebagai bukti otentik dalam pemeriksaan pengadilan.86
3. Penyelesaian Hukum Administrasi Negara
Apabila terjadi pelanggaran terhadap hak milik intelektual dalam hal ini hak merek, maka negara juga bisa menggunakan kekuasaan untuk melindungi pemilik hak merek terdaftar melalui kewenangan administrasi negaranya, yaitu melalui:
a. Penanganan oleh Pabean
Konvensi Paris dalam Pasal 9 memuat ketentuan yang memungkinkan barang- barang yang memakai merek dagang secara tidak sah yang dimiliki warga negara dari negara peserta Konvensi Paris, bisa disita waktu diimpor masuk ke negara peserta lain atau sekurang-kurangnya diadakan larangan terhadap impor barang-barang yang bersangkutan atau identitas dari orang yang membuatnya, atau pedagang barang itu, dapat dilakukan tindakan serupa.
86
Pipin Syarifin dan Debah Jubaedah, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia,
Dalam TRIPs ditentukan bahwa Badan Administrasi Pabean memiliki kewenangan:
1) Badan ini mempunyai kewenangan atas inisiatif sendiri (ex officio) menunda pelepasan barang-barang yang telah terbukti melakukan pelanggaran di bidang hak milik intelektual (Pasal 58).
2) Berwenang memerintahkan pemusnahan barang-barang hasil pelanggaran hak milik intelektual dan melarang agar barang-barang tersebut tidak diekspor kembali (Pasal 59).
b. Penanganan oleh Badan Standard Industri
Barang-barang yang memakai merek yang tanpa hak dapat diduga tidak memiliki kriteria standard industri yang telah ditetapkan baik komposisinya maupun kualitasnya. Dengan demikian barang tersebut dapat dikatakan berada di bawah standard (inferior Quality Goods or Service). Penggunaan merek yang tanpa hak tersebut juga adalah usaha untuk mengelabui para konsumen. Tindakan semacam ini adalah merupakan salah satu objek pengawasan dari badan standard industri yang dalam hal ini dapat mengeluarkan keputusan untuk melarang barang-barang tersebut beredar karena tidak terjamin keamanannya dan sekaligus juga merugikan konsumen serta pemilik merek yang bersangkutan.
c. Pengawasan Oleh Badan Standard Periklanan
Pengawasan periklanan dengan kewenangan dapat mengawasi situasi persaingan yang ada di pasaran melalui kode etik periklanan. Dengan
demikian sedini mungkin dapat dicegah pelanggaran terhadap hak merek orang lain. Pengawasan periklanan ini bisa juga melarang iklan merek yang menyesatkan konsumen, sehingga para konsumen dapat dihinarkan dari kerugian.87
Sanksi secara administrasi dimana dilakukan penghapusan dan pembatalan merek dari Daftar Umum Merek yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal HKI dapat dilakukan dengan cara:
1) Penghapusan Merek
Merek yang telah terdaftar pada Direktorat Jenderal HKI dapat dihapus (invalidation) dari Daftar Umum Merek berdasarkan permohonan pemilik merek yang bersangkutan dan juga penghapusan pendaftaran merek tersebut dapat dilakukan oleh prakarsa Direktorat Jenderal HKI. Penghapusan dilakukan atas prakarsa Direktorat Jenderal HKI apabila (Pasal 61):
a) Merek tidak digunakan (non use) selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir, kecuali apabila ada alasan yang dapat diterima oleh Direktorat Jenderal.
b) Merek digunakan untuk jenis barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan jenis barang atau jasa yang dimohonkan pendaftaran
87
termasuk pemakaian merek yang tidak sesuai dengan merek yang didaftar.
Untuk penghapusan pendaftaran merek atas prakarsa sendiri tidak ditentukan oleh Undang-Undang karena merupakan hak dari pemilik merek terdaftar tersebut sedangkan penghapusan merek atas prakarsa pihak ketiga dapat diajukan berdasarkan Pasal 61 ayat 2 yang dilakukan dengan mengajukan gugatan HKI Pengadilan Niaga. Penghapusan pendaftaran merek dilakukan oleh Direktorat Jenderal HKI dengan mencoret merek tersebut dari Daftar Umum Merek, kemudian diberitahukan secara tertulis kepada pemilik merek atau kuasanya dengan menyebutkan alasan penghapusan merek tersebut (Pasal 65) serta diumumkan dalam Berita Resmi Merek. Sejak tanggal pencoretan dari Daftar Umum Merek, sertifikat merek yang bersangkutan dinyatakan tidak berlaku lagi dan mengakibatkan berakhirnya perlindungan hukum atas merek yang bersangkutan.
2) Pembatalan Merek
Untuk pembatalan terhadap merek berdasarkan Pasal 68 ayat 1 mengatakan gugatan pembatalan terhadap merek dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan-alasan dalam Pasal 4, 5, dan 6. Pembatalan merek terdaftar hanya dapat dilakukan oleh pihak yang berkepentingan atau pemilik merek, baik dalam bentuk permohonan kepada Direktorat Jenderal HKI atau gugatan kepada Pengadilan Niaga.
Pihak-pihak yang berkepentingan: a) Jaksa
b) Yayasan atau lembaga di bidang konsumen c) Majelis lembaga keagamaan
Gugatan pembatalan diajukan kepada Pengadilan Niaga dan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pendaftaran dan gugatan pembatalan dapat dilakukan tanpa batas waktu apabila merek yang bersangkutan bertentangan dengan moralitas, agama, kesusilaan atau ketertiban umum (Pasal 69). Pembatalan merek dilakukan oleh Direktorat Jenderal HKI dengan mencoret merek tersebut dari Daftar Umum Merek dan diberitahukan secara tertulis kepada pemilik merek atau kuasanya dengan menyebutkan alasan pembatalan serta diumumkan dalam Berita Resmi Merek kemudian merek dan sertifikat merek yang bersangkutan dinyatakan tidak berlaku lagi (Pasal 71).
Dalam Penyelesaian Sengketa Merek Dagang Asing “TOAST BOX” No: 02/ Merek/2011/PN.Niaga/Medan yang mempunyai Persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek Terdaftar, Majelis Hakim menggunakan Penyelesaian Hukum secara:
a) Administrasi Negara, yaitu:
1) Menyatakan pendaftaran merek TOAST BOX Tergugat (Frangky Chandra) No. IDM000173048 yang dikeluarkan oleh Direktorat Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia batal demi hukum;
2) Memerintahkan Direktorat Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk menghapus merek TOAST BOX No. IDM000173048 tanggal 11 Agustus 2008 yang terdaftar atas nama Tergugat dari daftar umum merek.
b) Perdata, yaitu:
Membebankan biaya perkara yang timbul dalam perkara ini kepada Tergugat (Frangky Chandra) sebesar Rp 426.000,- (empat ratus dua puluh enam ribu rupiah).