• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK DAGANG

B. Pelaksanaan Prinsip First To File dalam Penyelesaian

02/Merek/2011/PN. Niaga/Medan.

Untuk memenuhi komitmennya sebagai salah satu Negara anggota Konvensi Paris dan penanda tangan Perjanjian TRIPS, pemerintah Indonesia sejak 1997 telah melakukan beberapa kali perubahan terhadap UU Merek dan melengkapinya dengan pasal-pasal yang memberi wewenang kepada otoritas terkait yakni Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Dirjen HKI), dalam hal ini Direktorat Merek, untuk melindungi merek terkenal dengan menolak permohonan pendaftaran merek yang mengandung persamaan baik pada pokoknya maupun secara keseluruhan dengan merek terkenal milik pihak lain terutama untuk barang dan/atau jasa sejenis. Dalam UU Merek yang saat ini berlaku, kewenangan melindungi merek terkenal tersebut diberikan melalui Pasal 4, Pasal 6 ayat (1) huruf b dan Pasal 6 ayat (2).

Baik Konvensi Paris maupun Perjanjian TRIPS tidak memberi definisi yang baku mengenai kriteria merek terkenal ini. Masing-masing Negara anggota bebas merumuskan kriteria untuk menentukan apakah sebuah merek dapat dikategorikan sebagai merek terkenal. Mengenai hal ini, UU Merek dalam Penjelasannya melengkapi ketentuan pada Pasal 6 ayat (1) huruf b sebagai berikut:

62

“Penolakan Permohonan yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan Merek terkenal untuk barang dan/atau jasa yang sejenis dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai Merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Di samping itu, diperhatikan pula reputasi Merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran Merek tersebut di beberapa negara. Apabila hal-hal di atas belum dianggap cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survei guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya Merek yang menjadi dasar penolakan.“

Terkait pelaksanaan Pasal 4, dan Pasal 6 ayat (1) huruf b oleh Dirjen HKI, bagi pemilik merek terkenal yang dapat menunjukkan bukti-bukti keterkenalan mereknya, UU Merek menyediakan mekanisme pembatalan pendaftaran merek melalui pengadilan niaga dan oposisi (Pengajuan Keberatan), apabila merek terkenal mereka terlanjur didaftarkan atau diajukan permohonan pendaftarannya di Indonesia oleh pihak lain yang beriktikad buruk.

Indonesia sebagai negara peserta dalam Konvensi Paris wajib menjamin adanya perlindungan yang efektif dalam hukum nasional terhadap tindakan-tindakan

unfair competition yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya. Hal ini diharapkan akan dapat mencegah atau menekan segala tindakan yang menimbulkan

unfair competition. Adapun mengenai tindakan-tindakan yang dianggap sebagai

Unfair competition menurut pasal 10 bis Konvensi Paris, yaitu meliputi segala tindakan yang menciptakan comfusion, adanya pernyataan menyesatkan (false allegation) untuk mendiskritkan kompetitornya, serta adanya indikasi atau pernyataan bahwa setiap tindakan atau praktek yang bertentangan dengan praktek di dalam

kegiatan perdagangan yang jujur dianggap sebagaiunfair competition (dishonest practice).63

Sampai saat ini, Indonesia belum mempunyai suatu peraturan perundang- undangan yang mengatur secara khusus mengenai unfair competition dalam kaitan dengan pemakaian merek. Namun demikian untuk menangani kasus unfair competition saat ini dapat mendasarkan pada ketentuan yang termuat dalam aturan hukum pidana (criminal provision) dan aturan perdata (civil provision) yaitu :64

1. Pasal 382 bis KUHP

"Barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau atau seorang tertentu diancam jika perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi konkuren-konkurennya atau konkuren-konkuren orang lain karena persaingan curang dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus rupiah ".

2. Pasal 1365 BW

"Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut."

3. Pasal 2 Undang- Undang Perlindungan konsumen No. 8 tahun 1999

“Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.”

63

Zen Umar Purba, Latar Belakang Perubahan UU Tentang Kekayaan Hak Intelektual,

(Mahkamah Agung RI dan Pusat pengkajian Hukum , 2004), hal. 15

Gugatan atas kasusunfair competitionyang mendasar pada ketiga ketentuan hukum di atas berada di lingkungan peradailan umum. Sedangkan untuk perkara- perkara merek (dalam lingkup Pengadilan Niaga) yang mengandung unsur unfair competition, para Hakim untuk mengisi kekosongan hukum yang ada dengan mendasarkan pertimbangan hukumnya pada UU Merek Pasal 69 ayat 2 yang menyatakan bahwa :

"Gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas waktu apabila merek yang bersangkutan bertentangan dengan moralitas, agama, kesusilaan dan ketertiban umum".

Karena dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa:

"pengertian bertentangan dengan moralitas, agama, kesusilaan, atau ketertiban umum adalah apabila penggunaan tanda tersebut dapat menyinggung perasaan, kesopanan, ketentraman, atau keagamaan dari khalayak umum atau dari golongan masyarakat tertentu (penjelasan pasal 5 huruf a), termasuk pula dalam pengertian yang bertentangan dengan ketertiban umum adalah adanya itikad tidak baik ".

Masalahunfair competitionini berkaitan erat dengan unsur itikad tidak baik, Bertitik tolak dari penjelasan pasal 57 ayat 2 UU Merek No. 19 Tahun 1992 yang sudah diadopsi menjadi pasal 69 ayat 2 dalam UU Merek No.15 Tahun 2001, dimana dinyatakan pengajuan gugatan pembatalan tanpa batas waktu, terdiri dari dua alasan:65

1. Berdasarkan alasan bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, dan

65

M. Yahya Harahap, Tinjauan Merek secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 19 tahun 1992, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 584- 585.

2. Berdasarkan alasan itikad tidak baik (bad faith).

Sulit untuk menentukan definisi yang pasti dan konkret akan pengertian itikad tidak baik. Dari pendekatan teori dan praktek terdapat pengertian yang sangat luas. Misalnya, meniru, memproduksi atau mencontoh maupun membonceng kemasyuran merek orang lain menurut versi pasal 6 bis konvensi paris, dianggap sebagai perbuatan "Pembajakan" (pirate) secara itikad tidak baik. Setiap orang tahu, itikad tidak baik "(bad faith) merupakan lawan kata dari "itikad baik" (good faith) .Secara umum, jangkauan pengertian itikad tidak baik, meliputi perbuatan "penipuan" (fraud). Termasuk juga rangkaian yang "menyesatkan" (misleading) orang lain. Meliputi juga tingkah laku yang mengabaikan kewajiban hukum untuk mendapat keuntungan. Atau bisa juga diartikan melakukan perbuatan yang tidak dibenarkan secara sadar untuk mencapai suatu tujuan yang tidak jujur (dishonesthy purpose).

Dalam pengkajian Merek, setiap perbuatan peniruan, reproduksi, mengkopi, membajak atau membonceng kemasyuran merek orang lain, dianggap perbuatan pemalsuan (fraud), Penyesatan (deception,misleading), dan memakai merek orang lain tanpa hak (unauthorized use). Setiap perbuatan Pemalsuan, penyesatan atau memakai merek orang lain tanpa hak, secara harmonisasi dalam perlindungan merek, dikualifikasi sebagai : Persaingan curang (unfair competition), Serta dinyatakan sebagai perbuatan mencari kekayaan secara tidak jujur (unjust enrichment).66

66

Dalam perkara No: 02/Merek/2011/PN. Niaga/Medan, yang terjadi antara BreadTalk Pte.Ltd selaku penggugat, yang beralamat di 171 Kampong Amat, #05- 03/04, KA Foodlink, Singapura 368330 yang diwakili oleh Mr. Aw Wee Kiat dengan Tuan Frangky Chandra selaku Tergugat yang bertempat tinggal di Pasar Pelita RT.002/002, Kampung Pelita, Lubuk baja, Batam, Indonesia, dijelaskan dalam Surat Gugatan bahwa Pihak BreadTalk telah memiliki perlindungan merek TOAST BOX di negara asalnya Singapura, setidak-tidaknya sejak tanggal 27 September 2005 yang merupakan desain Mr. Thomas Tan dan memperluas peredarannya ke negara-negara lain, di tahun 2006 membuka outlet pertamanya di Thailand, tahun 2007 membuka outlet di Malaysia dan Filipina dan juga akan membuka outlet di Indonesia, saat ini Penggugat telah mencapai 14 outlet di Singapura, 3 outlet di Malaysia dan 1 outlet masing-masing di Thailand dan Filipina.

Sebagai Keseriusan Penggugat untuk membuka outlet di Indonesia, pada tanggal 24 April 2008 Penggugat telah mendaftarkan merek TOAST BOX dan TOAST BOX & Logo pada Direktorat Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk:

a) Kelas 30 yaitu (Hasil-hasil roti dan makanan yang dipanggang; campuran makanan untuk membuat hasil-hasil makanan yang dipanggang; sedia-sediaan untuk membuat hasil-hasil roti; roti; roti kecil-kecil; roti kismis; biskuit; kue- kue; kue kering; gula-gula; donat; adonan terigu untuk membuat berbagai macam kue; kue pai (manis ataupun asin); wafer; kue bapel (waffle); kopi buatan; minuman dengan bahan dasar coklat; minuman dengan bahan dasar

kakao; minuman dengan bahan dasar kopi; minuman dengan bahan dasar selain minyak-minyak sari untuk penyedap rasa dan aroma; minuman dengan bahan dasar teh; andewi (pengganti kopi); minuman coklat dengan susu; kokoa; minuman kokoa dengan susu; kopi; kopi yang disangrai; minuman kopi dengan susu; penyedap rasa dan aroma kopi; sedia-sediaan tumbuh- tumbuhan untuk digunakan sebagai pengganti kopi; es teh; serbat (es); sorbet (es); teh.)

b) Kelas 43 yaitu (Mengatur penyediaan makanan; mengatur penyediaan minuman; kafetaria; pelayanan kafetaria; jasa boga (makanan & minuman); pelayanan jasa boga untuk rumah makan; pelayanan jasa boga untuk sedia- sediaan makanan; pelayanan jasa boga untuk penyediaan makanan; pelayanan jasa boga untuk sedia-sediaan makanan bagi turis-turis; pelayanan jasa boga yang disediakan untuk rumah makan; pelayanan konsultasi berkaitan dengan makanan; pelayanan konsultasi berkaitan dengan penyajian makanan; pelayanan pemasakan makanan; penyediaan makanan; pelayanan keramahtamahan (makanan dan minuman); penyediaan makanan dan minuman; penyajian makanan dan minuman di food court; kios makanan siap saji dan rumah makan; pemberian informasi berkaitan dengan rumah makan; pemberian informasi berkaitan dengan penyediaan makanan dan minuman; pelayanan rumah makan untuk pemberian makanan siap saji; rumah makan; pelayanan kafetaria swalayan; pelayanan penyediaan makanan dan minuman).

Dengan No. Agenda J002008014764 dan No. Agenda J002008014765.

Permohonan Pendaftaran Merek Penggugat untuk Kelas 30 telah dikabulkan oleh Direktorat Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan telah didaftarkan pada tanggal 21 Desember 2009 dengan No. Pendaftaran IDM000230206 dan No. Pendaftaran IDM000230207, hal ini membuktikan bawah Penggugat adalah memang merupakan pemilik atas merek Toast Box. Penggugat pada tanggal 4 Juni 2008 telah mengajukan keberatan atas pengajuan permohonan pendaftaran merek Toast Box untuk kelas 43 yang diajukan oleh Joenani pada tanggal 5 Oktober 2006 dengan No. Agenda D00.2006.033189 yang telah diumumkan dalam Berita Resmi Merek No. 25/III/A/2008, pada tanggal 5 Maret 2008 dan keberatan tersebut telah dikabulkan oleh Direktorat Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan menolak permohonan yang diajukan Joenani, hal ini juga membuktikan dan memperkuat bahwa Penggugat adalah pemilik atas merek Toast Box.

Tergugat telah mengajukan permohonan merek pada Direktorat Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia pada tanggal 16 Januari 2007 untuk kelas 43 dengan No. Agenda J002007001306 dengan bentuk dan huruf yang sama dengan merek Toast Box yang digunakan oleh Penggugat sejak tahun 2005 di Singapura dan telah dikabulkan pada tanggal 11 Agustus 2008 dengan no. IDM000173048. Bahwa, Tergugat berdomisili di Batam sangat masuk akal dan tidak mengada-ada bahwa

Tergugat telah melihat dan mengamati merek Toast Box milik Penggugat di Singapura yang telah mempunyai reputasi yang baik dan menjadi bisnis yang maju di Singapura dan sekitarnya sehingga tidak diragukan lagi Tergugat dengan itikad tidak baik/buruk telah menjiplak/ meniru merek Toast Box milik Penggugat dan mendaftarkannya di Direktorat Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dan hal ini jelas melanggar ketentuan Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001 pasal 4 yang berbunyi:” Merek tidak dapat didaftarkan atas dasar permohonan yang diajukan Pemohon yang beritikad tidak baik”.

Penggugat pada tanggal 6 Juli 2010 telah mengajukan sanggahan atas akan ditolaknya Permohonan Pendaftaran Merek Toast Box untuk kelas 43 yang diajukan pada tanggal 24 April 2008 dengan No. Agenda J002008014764 karena persamaan dengan merek Toast Box yang didaftarkan oleh Tergugat. Tetapi hingga saat gugatan diajukan, sanggahan Penggugat belum mendapat tanggapan dari Direktorat Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Adapun yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim Pengadilam Niaga adalah adanya bukti-bukti yang kuat yang dapat mendukung dalil gugatan penggugat bahwa penggugat merupakan pemilik satu-satunya merek Toast Box dan Tergugat adalah pemohon merek Toast Box yang beritikad tidak baik/ beritikad buruk. Sehingga dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Hakim menyatakan pendaftaran merek Toast Box Tergugat No. IDM000173048 yang dikeluarkan oleh Direktorat Merek

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia batal demi hukum. Oleh karena Gugatan Penggugat dikabulkan seluruhnya maka biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada Tergugat yaitu sebesar Rp 426.000,- (empat ratus dua puluh enam ribu rupiah).

Berkaitan dengan kasus merek Toast Box yang terjadi antara BreadTalk Pte.Ltd selaku penggugat, dengan Tuan Frangky Chandra selaku Tergugat memperluas perlindungan hukum merek tersebut, yaitu mencakup perlindungan hukum bagi merek terkenal baik untuk barang yang sejenis maupun bukan. Pengadilan mendasarkan pandangannya dengan prinsip iktikad baik. Ada niat yang tidak baik (iktikad buruk) untuk membonceng ketenaran merek orang lain.

Dalam memutuskan perkara ini Hakim juga menggunakan Undang-Undang Merek Nomor 15 tahun 2001 sebagai dasar hukum. Sehingga dapat dipastikan bahwa Hakim menggunakan sistem pendaftaran konstitutif dalam memutuskan perkara. Prinsip penerimaan merek dalam Undang-Undang ini adalah first to file, artinya siapapun yang mendaftar lebih dahulu akan diterima pendaftaraannya, dalam kasus ini pendaftar pertama merupakan BreadTalk. Beberapa kemungkinan dapat terjadi setelah masuknya pendaftaran pertama.

Selain kasus tersebut di atas, telah banyak ditemukan kasus mengenai prinsip

first to file antara lain kasus K-Link Sendirian Berhad yang berkedudukan di Kuala Lumpur, Malaysia yang adalah pemakai pertama merek “KINOTAKARA” yang digunakan untuk merek bagi produk kesehatan (kelas barang No. 5) berupa koyo tempel. Merek dagang “KINOTAKARA” ini terdaftar di beberapa negara lain seperti

Malaysia, India dan Indonesia sendiri sejak 2001. Namun pada 27 Desember 2002 merek tersebut telah terdaftar di Dir.Jen. HKI atas nama PT Royal Body Care Indonesia dengan nomor agenda DOO.2002.10804.00807 untuk kelas barang yang sama. Kondisi seperti ini sangat merugikan K-Link sebagai pemilik merek KINOTAKARA dan sungguh sangat menyesatkan masyarakat.

Kedua kasus diatas telah memberi kita pengalaman yang berharga, bahwa tidak semua pemilik merek yang telah terdaftar merupakan pemilik yang sah atas merek terdaftar tersebut, banyak dari mereka mendaftarkan merek pihak lain dengan itikad buruk. Hal ini sangat merugikan pemilik merek beritikad baik yang merupakan pihak paling berhak atas merek yang telah didaftarkan tersebut. Disisi lain tindakan demikian ini dapat menimbulkan kerancuan dan penyesatan.

Dalam hal demikian, pendaftar kemudian (notabene pengguna merek sebenarnya) harus melakukan Penyelesaian khusus dengan pendaftar pertama. Hal- hal seperti ini lah yang menjadi permasalahan utama dalam sistem pendaftaran konstitutif. Bentrokan antara keadilan dan kepastian hukum terjadi pada sistem konstitutif pendaftaran merek. Dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum, ada hak-hak perseorangan yang tidak terpenuhi. Namun, dalam sejarah pengaturan perlindungan merek di Indonesia, sistem pendaftaran konstitutif memang merupakan pilihan sistem yang paling baik, karena dapat mewujudkan kepastian hukum yaitu pemberian sebuah sertifikat kepada pendaftar merek sebagai tanda bukti pendaftaran dan bukti atas hak merek, sekaligus dianggap sebagai pemakai pertama dari merek tersebut dan merek yang akan didaftar akan lebih mudah pembuktiannya daripada

merek yang tidak didaftar karena pemakai akan mengalami kesulitan untuk membuktikan dirinya sebagai pemakai pertama karena tidak terdapat akta-akta dan surat-surat yang dapat diajukan sebagai bukti otentik dalam pemeriksaan pengadilan.

Prinsip penting yang dijadikan sebagai pedoman berkenaan dengan proses pendaftaran merek adalah perlunya iktikad baik atau good faith dari pendaftar. Dengan prinsip ini hanya pendaftar yang beriktikad baiklah yang akan mendapat perlindungan hukum. Hal ini membawa konsekuensi bahwa direktorat merek Depkumham juga berkewajiban secara aktif untuk menolak suatu pendaftaran merek bilamana secara nyata ditemukan adanya kemiripan atau peniruan dengan suatu merek yang telah terlebih dahulu didaftarkan dengan iktikad baik.

Dengan demikian, unsur formalitas tenggang waktu pendaftaran dalam penerapannya harus memperhatikan pula motivasi dan situasi dari pihak yang mengajukan pendaftaran dengan pertimbangan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Prinsip-prinsip tersebut antara laingood faith,reciprocitydanright priority.67

Di berlakukannya prinsip-prinsip hukum tersebut berarti pihak Indonesia secara konsekuen telah menerapkan kerangka hukum yang termuat dalam Paris Convention, dan Stockholm Act 1967, yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Indonesia No. 24 tahun 1979. Untuk itulah badan peradilan di Indonesia dalam menyelesaikan sengketa bidang merek, baik yang berskala nasional

67

O. C. Kaligis,Teori dan Praktek Hukum Merek Indonesia,(Bandung: PT. Alumni, 2008), hal. 14.

maupun yang berskala internasional harus secara tepat menerapkan patokan-patokan dari prinsip-prinsip hukum tersebut.

Hal ini terbukti dari putusan Mahkamah Agung RI No. 3485K/Pdt/1992 dalam perkara GUCCI, dimana Mahkamah Agung RI secara tegas menerapkan Pasal 6 bis ayat 3 Konvensi Paris, yang mengatur bahwa tuntutan pembatalan merek yang didaftarkan dengan iktikad tidak baik, tidak terikat tenggang waktu. Selanjutnya, pertimbangan hukum ini ditindak lanjuti secara nyata oleh pemerintah dalam rangka melengkapi pelaksanaan Undang-Undang No. 21 Tahun 1961, dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M. 03- HC.0201 Tahun 1991, yang menegaskan bahwa permohonan pendaftaran merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya maupun pada keseluruhannya dengan merek terkenal milik pihak lain, ditolak untuk didaftar dalam daftar umum.

Salah satu prinsip hukum baru dari isi keputusan Menteri tersebut adalah semakin dipertegas bahwa melalui pendaftaran akan menciptakan suatu hak atas merek yang bersangkutan, sedangkan pihak lain tidak dibenarkan untuk mempergunakannya. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari orang lain yang tidak berhak atas penggunaan merek dari luar negeri dengan jalan tidak menerima pendaftaran yang dilakukan oleh pemohon merek di Indonesia terhadap merek yang sudah terkenal di luar negeri. Pada keadaan tertentu ada kalanya pemilik merek luar negeri lalai atau belum mendaftarkan mereknya di Indonesia, dengan resiko mereknya telah didaftar oleh pihak lain untuk produk yang sama.

Pada 6 bis ayat 3 Konvensi Paris memuat perlindungan hukum kepada pemilik merek, yang menyatakan bahwa tidak ada jangka waktu yang ditentukan untuk meminta pembatalan dari merek yang didaftarkan dengan iktikad tidak baik (mendaftarkan merek yang telah ada) atau larangan untuk memakai merek terdaftar tersebut jikalau dipakainya dengan iktikad buruk. Berdasarkan persoalan-persoalan yang muncul dalam sengketa, timbul prinsip-prinsip hukum yang dapat diambil yang kemudian diselaraskan dengan konvensi-konvensi di bidang merek untuk akhirnya dituangkan dalam peraturan perundang-undangan tentang merek di Indonesia.

Untuk merek terkenal, Departemen Kehakiman RI mengeluarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.03.HC.020.1 tahun 1991, tentang penolakan permohonan pendaftaran merek terkenal atau merek yang mirip dengan merek terkenal milik orang lain atau milik badan lain. Peraturan ini dapat dianggap sebagai penetapan prinsip dari Pasal 4 ayat 1 Konvensi Paris mengenai Principle Right of Priority(hak prioritas).

Pengertian hak prioritas menurut hukum adalah hak utama untuk dilakukan, yang berarti apabila orang asing mengajukan permintaan pendaftaran merek di Indonesia, untuk memperoleh “filling data” pemilik merek yang sama dengan cara memberikan perlindungan kepadanya berupa hak prioritas untuk didaftarkan. Tujuan utama pemberian hak priritas kepada pemilik orang asing memperoleh pendaftaran, yaitu melindungi merek orang asing di Indonesia di Indonesia dari pembajakan atau pemboncengan.

Hak prioritas adalah hak pemohon untuk mengajukan permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam Paris Convention for Protection of Industrial Property atau Agreement Establishing the World Trade Organization

untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan di negara asal merupakan tanggal prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkanParis Conventiontersebut.

Perlindungan tersebut hanya bisa efektif dengan jalan memberi hak prioritas kepada pemilik merek orang asing tersebut. Dengan demikian, dalam hal terjadi persaingan untuk memperoleh pendaftaran antara pemilik merek orang asing dan pemilik merek domestik mengenai merek orang asing dan pemilik merek domestik mengenai merek dari jenis barang dan kelas yang sama harus diberi rangka utama kepada orang asing.

Undang-Undang Merek secara tegas mengatur pendaftaran merek dengan hak prioritas (Pasal 11 s.d Pasal 12). Dengan demikian, acuan penerapan pendaftaran merek dengan hak prioritas adalah antara lain:68

1. Perlakuan pemberian perlindungan hukum yang sama

Hukum merek suatu negara harus memberi perlindungan yang sama terhadap pemilik merek orang asing, sebagaimana perlakuan perlindungan yang diberikan kepada pemilik merek warga negara sendiri.

68

2. Berdasarkan asas Resiprositas

Menegakkan asas pemberian perlakuan yang sama atas hak prioritas, artinya kesediaan, kerelaan memberi perlindungan yang sama terhadap pelayanan permintaan pendaftaran dengan hak prioritas terhadap pemilik merek orang asing harus berdasarkan asas timbal balik. Asas Resiprositas dengan sendirinya bercorak multilateral terhadap semua negara anggota peserta Konvensi Paris, artinya jika pemohon bukan dari negara anggota peserta Konvensi Paris, kantor