• Tidak ada hasil yang ditemukan

Korupsi ini membuat Indonesia menjadi seperti

tidak berdaya, maka

upaya-upaya pemberantasan

korupsi harus betul-betul

dilakukan secara sinergis,

tidak bisa hanya KPK

sendiri, kepolisian sendiri,

kejaksaan sendiri, tapi harus

ditanggulangi

bersama-sama.

íè ÛÜËÕßÍ× ÕÛËßÒÙßÒ ÛÜ×Í× ïñîððç

DUA HAL UTAMA yang menjadi priori-tas penataan dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu kuantitas dan kualitas UPT. Dari segi kuantitas, strategi pe nambahan BDK dalam kerangka men dekatkan layanan pada penggu na diklat menjadi pilihan BPPK. Sementara dari segi kua-li tas, penajaman atas fungsi-fungsi da-lam bisnis proses menjadi sasaran pe-nataan.

Mendekatkan layanan pada

peng-лµ¿²¾¿®«ô Ü»²°¿-¿®

¼¿² б²¬·¿²¿µ

guna diklat sebagai tujuan uta ma pe-nambahan BDK dimaksud kan un tuk memberikan layanan terbaik pa da stakeholders melalui kemuda han akses layanan yang semakin de kat. Selain itu, hal ini juga dimaksud kan untuk mendis-tribusikan kenaikan beban kerja yang secara relatif ma sih terakumulasi pada beberapa BDK tertentu, serta langkah antisi patif terhadap potensi kenaikan be ban kerja sebagai konsekuensi ke-bijakan desentralisasi penyelengga raan diklat.

Adanya potensi diklat keuangan negara yang berasal dari Departemen Keuangan sendiri, Kementerian/Lemba-ga lainnya, BUMN/D dan Pemda berimp-likasi pada peningkatan volume/beban kerja diklat. Di samping itu, diberlakukan-nya ke ten tuan-ketentuan baru dalam pe ng e lolaan keuangan dan kekayaan ne gara membuka kesenjangan kom pe-tensi yang menuntut pemenuhan akan perancangan diklat-diklat baru dan juga

peningkatan volume diklat. Pe rubahan konteks yang dihadapi ins titusi pemer-intah tersebut me mer lukan persiapan sumber daya yang mumpuni sebagai pelaksana inti kegiatan pengelolaan keuangan dan kekayaan negara. Hal ini pada akhirnya membuka peluang kebu-tuhan akan sosialisasi maupun pelatihan keuangan dan kekayaan negara pada Kementerian/Lembaga, BUMN/D dan Pemda.

Melalui dasar pemikiran men de-katkan layanan pada pengguna diklat ini, BPPK menilai bahwa keberadaan beberapa BDK tidak cukup memenuhi kebutuhan BPPK untuk melaksana-kan strategi dimaksud, misalnya untuk wilayah Kalimantan, Sumatera, serta Bali dan Nusa Tenggara. Untuk wilayah Kalimantan, saat itu hanya dilayani oleh BDK di Balikpapan. Balai ini memiliki wilayah kerja empat propinsi, yaitu limantan Timur, Kalimantan Selatan, Ka-limantan Tengah dan KaKa-limantan Barat. Mengingat kondisi transportasi – baik darat, laut maupun udara – seringkali menjadi kendala bagi calon peserta diklat dari Kalimantan Barat dan Kalim-antan Tengah, maka BPPK memandang perlu didirikannya balai di Pontianak, yang akan melayani diklat untuk kedua wilayah ini. Hal serupa juga terjadi pada wilayah Sumatera. Meskipun wilayah ini dilayani oleh dua BDK yang berlokasi di Medan dan Palembang, kedua balai ini

Õ»«¿²¹¿²æ

л³¾»²¬«µ¿² Þ¿´¿· Ü·µ´¿¬

Õ»«¿²¹¿² øÞÜÕ÷ ¾¿®«

¼·´¿²¼¿-· ±´»¸ µ»-¿¼¿®¿²

¿¬¿- °»®«¾¿¸¿² ´·²¹µ«²¹¿²

»µ-¬»®²¿´ ¼¿² ·²¬»®²¿´ô

§¿²¹ ³»²«²¬«¬ ÞÐÐÕ «²¬«µ

¾»®¬·²¼¿µ ®»-°±²-·º ¼¿´¿³

³»²¿¬¿ «²·¬ó«²·¬ µ»®¶¿²§¿ô

¬»®³¿-«µ ÞÜÕò

ÑÔÛØæ ÙßÒÌ× Ô×Í ßÎÇßÜ×

ö÷

¼¿² Óò ÒËÎÕØßÓ×Ü

öö÷

ÛÜËÕßÍ× ÕÛËßÒÙßÒ ÛÜ×Í× ïñîððç íç belum cukup memadai untuk

mewujud-kan konsep kedekatan dengan penggu-na diklat karepenggu-na wilayah tengah Sumat-era masih belum terwakili. Disamping itu, beban kerja saat itu dan potensi perkembangan kebutuhan diklat untuk wilayah Sumatera mencapai seperlima dari seluruh kegiatan BPPK di daerah. Oleh karena itu, pendirian BDK di Peka-nbaru semestinya dapat menjadi priori-tas. Di wilayah lain, yaitu Bali dan Nusa Tenggara, kondisi seperti di atas juga terjadi. Saat itu, wilayah tersebut dilayani oleh BDK IV Malang yang juga menang-gung seperlima beban penyelenggaraan kegiatan di daerah.

Secara umum, beban kerja seluruh BDK diproyeksikan akan bertambah besar pada tahun 2009. Tambahan be-ban kerja yang cukup signifikan dari luar unit BPPK juga berasal dari pelimpahan PPAKP Sekretariat Jenderal Departemen Keuangan yang selama ini dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal, Direktorat Jen-deral Perbendaharaan dan BPPK secara ad hoc. Potensi tambahan beban kerja yang lain di masa mendatang bagi BDK pada umumnya adalah Diklat Keuangan Daerah dan Diklat Penilai bagi pegawai Pemerintah Daerah.

Dasar pemikiran lain yang mengarah pada pembentukan BDK baru adalah kenyataan bahwa beban kerja delapan BDK saat itu. Dari data yang ada, dike-tahui bahwa BDK I Medan dan BDK II Palembang menanggung 22,5% beban kerja penyelenggaraan diklat BPPK, dan BDK IV Malang memikul 20,0% lain-nya. Hal ini diperkuat dengan tinjauan terjadinya ketimpangan pada potensi sebaran pegawai Departemen Keuan-gan yang merupakan pengguna utama diklat BPPK. Analisis yang dilakukan memperhatikan juga terjadinya be-berapa kali perubahan dan pemekaran propinsi yang ada di wilayah kerja BDK serta pertimbangkan potensi beban kerja wilayah, maka diperlukan penataan ulang wilayah kerja.

Selanjutnya, penataan fungsi-fungsi BDK yang dilakukan melalui penajaman dan penambahan fungsi baru, direfleksi-kan dengan penambahan satu jabatan eselon IV untuk memangku tugas dan fungsi baru tersebut. Langkah ini meru-pakan kesatuan dari agenda revitalisasi

BPPK. Tujuannya adalah merevitalisasi fungsi dan meningkatkan kinerja BDK melalui sinkronisasi struktur dan fungsi antara unit kerja BPPK di tingkat Pusat dan UPT. Fungsi baru yang akan di-‘implantasi’-kan pada UPT adalah fungsi-fungsi yang telah dibentuk dan diimple-mentasikan di unit-unit Pusat, antara lain TIK; pengembangan SDM Diklat; dan evaluasi kinerja yang komprehensif.

Selain untuk mempertajam fungsi-fungsi antar unit kerja di lingkungan BDK, penataan tersebut juga dimak-sudkan agar beban kerja antar unit kerja menjadi lebih berimbang. Pemikiran ini didasarkan pada hasil Analisis Beban Kerja pada BDK, yang menunjukkan bahwa telah terjadi kelebihan beban kerja pada jabatan-jabatan tertentu. Dengan penataan ini, diharapkan dapat membentuk keharmonisan kerja, yang merupakan kunci terwujudnya aliran pekerjaan menuju pencapaian tujuan organisasi. ïò Þ¿´¿· Ü·µ´¿¬ Õ»«¿²¹¿² Ó»¼¿² Ù»¼«²¹ Õ»«¿²¹¿² Ò»¹¿®¿ Ö´²ò п²¹»®¿² Ü·°±²»¹±®± íð ßô Ì»´°ò ðêïóìëëëííéô Ú¿¨ò ðêïóìëëëííé îò Þ¿´¿· Ü·µ´¿¬ Õ»«¿²¹¿² п´»³¾¿²¹ Ö´ò Í«µ¿¾¿²¹«² ×× Õ»½ò Í«µ¿®¿³·ô Ì»´°ò ðéïïóìïèìðé íò Þ¿´¿· Ü·µ´¿¬ Õ»«¿²¹¿² DZ¹§¿µ¿®¬¿ Ö´ò ͱ´± Õ³òïï Ы®©±³¿²¬¿²· Õ¿´¿-¿² Í´»³¿² DZ¹§¿µ¿®¬¿ ëëëéïô Ì»´°ò ðîéìóìçêîïçô Ú¿¨ò ðîéìóìçéîíë ìò Þ¿´¿· Ü·µ´¿¬ Õ»«¿²¹¿² Ó¿´¿²¹ Ö´ò ߸³¿¼ Ç¿²· ˬ¿®¿ Ò±ò îðð Ó¿´¿²¹ êëïîêô Ì»´°ò ðíìïóìçïëîéô Ú¿¨ò ðíìïóìçîîëï ëò Þ¿´¿· Ü·µ´¿¬ Õ»«¿²¹¿² Þ¿´·µ°¿°¿² Ù»¼«²¹ Õ»«¿²¹¿² Ò»¹¿®¿ Ö´ò ߸³¿¼ Ç¿²· êèô Ì»´°ò ðëìîóìîðîèëô Ú¿¨ò ðëìîóììïïéð êò Þ¿´¿· Ü·µ´¿¬ Õ»«¿²¹¿² Ó¿µ¿--¿® Ö´ò ߸³¿¼ Ç¿²· Ò±òï Ó¿µ¿--¿® Í«´¿©»-· Í»´¿¬¿²ô Ì»´°ò ðìïïóíïîèððô Ú¿¨ò ðìïïóíïîëðë

Meskipun baru dibentuk, beberapa BDK baru tersebut sudah mulai melaku-kan aktifitas baik aktifitas penunjang se perti persiapan sarana dan prasarana mau pun aktifitas utama seperti penye-leng garaan diklat atau program diploma ke uangan. Dengan fasilitas yang masih ter batas, beberapa BDK baru tersebut su-dah menyelenggarakan program diplo ma keuangan I spesialisasi Bea dan C u kai.

Dengan adanya tambahan 3 BDK tersebut, maka BPPK sudah memiliki 11 BDK yang siap melayani permintaan unit pengguna baik di lingkungan men Keuangan maupun di luar Departe-men Keuangan dalam bidang pengem-bangan sumber daya Keuangan Negara. Berikut ini adalah alamat BDK-BDK di BPPK: éò Þ¿´¿· Ü·µ´¿¬ Õ»«¿²¹¿² Ý·³¿¸· Ö´ò ο§¿ Ù¿¼±¹ Þ¿²¹µ±²¹ ïïï Ý·³¿¸· Þ¿²¼«²¹ Ö¿©¿ Þ¿®¿¬ô Ì»´°ò ðîîóêêëîêíêô Ú¿¨ò ðîîóêêëìêéð èò Þ¿´¿· Ü·µ´¿¬ Õ»«¿²¹¿² Ó¿²¿¼± Ö´ò Ó¿°¿²¹»¬ ÕÓ ðôë п²·µ· Ó¿²¿¼±ô Ì»´°æðìíïóèïìïèîô Ú¿¨æ ðìíïóèïìïèì çò Þ¿´¿· Ü·µ´¿¬ Õ»«¿²¹¿² лµ¿²¾¿®« Ö´ò Ö»²¼®¿´ Í«¼·®³¿² Ò±ò îìé лµ¿²¾¿®«ô η¿« ïðò Þ¿´¿· Ü·µ´¿¬ Õ»«¿²¹¿² Ü»²°¿-¿® Ö´ò Õ«-«³¿¿¬³¿¶¿ Ò±ò ïç λ²±²ô Ü»²°¿-¿®ô Þ¿´·ô Ì»´° æ ðíêïóîììîðíô Ú¿¨ æ ðíêïóîììîðí ïïò Þ¿´¿· Ü·µ´¿¬ Õ»«¿²¹¿² б²¬·¿²¿µ Ö´ò Í«´¬¿² ß¾¼«®®¿¸³¿² Ò±ò íï б²¬·¿²¿µô Õ¿´·³¿²¬¿² Þ¿®¿¬ô Ì»´° æ ðëêïóéêðîîçô éíîêîîô Ú¿¨ æ ðëêïóéêðîîç Penulis adalah:

*) Kasubbag Organi sasi -Sekretariat BPPK dan

**) Kasubbid Program dan Teknologi Informasi; -Pusdiklat Bea dan Cukai

ìð ÛÜËÕßÍ× ÕÛËßÒÙßÒ ÛÜ×Í× ïñîððç

Keuangan Negara

Dari sisi bahasa, “keuangan” memiliki arti segala sesuatu yang terkait dengan uang. Sedangkan uang berarti alat tu-kar-menukar/transaksi. Ditinjau dari segi peraturan perundang-undangan, ternya-ta keuangan memiliki arti yang jauh lebih luas daripada sekedar sesuatu yang terkait dengan uang. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mendefinisikan keuangan Neg-ara sebagai “..semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelak-sanaan hak dan kewajiban tersebut”.

Dilihat dari definisi dan cakupannya, dapat diketahui bahwa Keuangan Neg-ara memiliki posisi yang strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Tidak satu pun institusi/lembaga Negara/Pemerintah yang terlepas dari peran Keuangan Negara. Posisi strategis Keuangan Negara paling tidak terdapat pada dua hal yaitu dalam mewujudkan kemakmuran rakyat dan menjaga

keutu-Õ»«¿²¹¿² Ò»¹¿®¿ô

Í»¾«¿¸ б-·-·

ͬ®¿¬»¹·-ÑÔÛØæ ßÝØÓßÌØÓßØÓß ÍËÞÛÕßÒö÷

han Negara Kesatuan Republik Indone-sia (NKRI).

Posisi Stategis Wujudkan Kemakmuran Rakyat

Setiap organisasi yang didirikan ten-tu memiliki ten-tujuan yang hendak dicapai. Demikian juga dengan didirikannya NKRI. Keinginan dan tuntutan rakyat akan terwujudnya tujuan tersebut tidak ber-henti. Rakyat telah lama mengidamkan keamanan, kesejahteraan, kecerdasan, dan ketertiban dunia. Guna mencapai tujuan-tujuan tersebut diperlukan ber-bagai sumber daya yang salah satunya adalah Keuangan Negara. Peran Keuan-gan Negara guna mewujudkan berbagai tujuan tersebut tidak dapat dielakkan.

Ditinjau dari urgensinya dalam mewujudkan tujuan negara, Keuangan Negara memiliki posisi yang sangat strategis. Konstitusi Negara kita, Un-dang-Undang Dasar 1945, secara sadar mengatur khusus hal ini dalam Bab VIII, Hal Keuangan. Salah satu pasal dalam bab tersebut, yakni Pasal 23 ayat (1) me-nyebutkan:

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelo-laan keuangan Negara ditetapkan set-iap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan ber-tanggung jawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bukan merupakan satu-satunya cakupan keuangan Negara. Na-mun APBN merupakan bentuk opera-sional Keuangan Negara dalam setiap tahunnya. APBN juga merupakan kebi-jakan nyata pemerintah dalam mewujud-kan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tujuan Negara sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 semuanya bermuara pada terwujudnya kemakmu-ran rakyat.

APBN secara nyata dan terbuka menuangkan segala program dan keg-iatan yang dilaksanakan Pemerintah dalam waktu satu tahun. Sesuai dengan penjelasan Pasal 16 ayat (4) Undang-Undang Keuangan Negara, anggaran dialokasikan untuk berbagai fungsi yang diemban pemerintah (klasifikasi

fung-ÛÜËÕßÍ× ÕÛËßÒÙßÒ ÛÜ×Í× ïñîððç ìï

sional), yaitu: fungsi pelayanan umum, ketertiban dan keamanan, ekonomi, ling-kungan hidup, perumahan dan fasilitas, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, dan fungsi perlindungan sosial. Fungsi-fungsi yang ada tersebut merupakan manifestasi dan bentuk riil dari upaya mewujudkan kemakmuran rakyat. Di samping dirinci berdasarkan fungsinya, anggaran juga dialokasikan menurut organisasi kementerian/lem-baga (klasifikasi organisasi). Dengan klasifikasi organisasi ini maka dapat di-pastikan kementerian/lembaga mana yang berhak/wajib melaksanakan angg-aran yang telah dialokasikan. Selain ber-wenang untuk melaksanakan anggaran,

kementerian/lembaga bersangkutan

juga berkewajiban untuk mempertang-gungjawabkan anggaran yang dikelola-nya. Hal ini selaras dengan pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa anggaran harus dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebagai tin-dak lanjut dari Bab VIII UUD 1945 juga menempatkan tujuan negara sebagai hal yang ingin dicapai melalui APBN. Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Keuan-gan Negara secara tegas menyebutkan bahwa “Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pe-merintah dalam rangka mewujudkan tujuan bernegara. Hal ini menunjukkan bahwa penyusunan Rancangan APBN harus memperhatikan partisipasi/ ke-hendak rakyat dan mengarah pada terwujudnya tujuan negara. Efektivitas Keuangan Negara dalam mencapai tu-juan negara sangat bergantung pada pola pengelolaannya. Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara telah melakukan perubahan pola pengelolaan Keuangan Negara. Hal ini dimaksudkan agar pengelolaan Keuangan Negara da-pat lebih efektif dan efisien dalam men-capai tujuan negara.

Terdapat banyak perubahan

men-dasar dalam pengelolaan Keuangan Negara jika dibandingkan dengan pola sebelumnya. Di antara perubahan yang cukup mendasar tersebut adalah pen-delegasian kekuasaan Presiden kepada Menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga teknis. Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 17 tahun 2003 ten-tang Keuangan Negara, pendelegasian kewenangan Presiden di bidang pen-gelolaan keuangan terasa lebih banyak diterima oleh Menteri Keuangan. Menteri Keuangan sangat dominan dalam per-encanaan, pelaksanaan, pencairan, dan pertanggungjawaban anggaran. Seolah-olah Menteri Keuangan dipandang

seba-gai “pemilik” uang negara. Karena Men-teri Keuangan sebagai “pemilik” dana maka dialah yang melakukan perenca-naan, pengujian tagihan negara, dan memerintahkan pembayaran terhadap tagihan pada negara. Selanjutnya Men-teri Keuangan pula yang harus memper-tanggungjawabkan seluruh anggaran melalui pengajuan RUU Perhitungan Anggaran Negara (PAN). Sementara itu, kementerian/lembaga pada waktu itu hanya sebagai pihak yang bertugas meminta pembayaran atas alokasi ang-garan yang diperuntukkan baginya. Be-rawal dari cara pandang tersebut, maka kementerian/lembaga hanya berhak menerbitkan Surat Permintaan Pemba-yaran (SPP), sedangkan Menteri Keuan-gan berwenang untuk memerintahkan

pembayaran melalui penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM). Pihak yang berwenang untuk memerintahkan tentu secara psikologis memiliki kedudukan lebih kuat daripada pihak yang hanya berwenang untuk meminta.

Cara pandang yang berbeda dia-nut pada Undang-Undang No. 17 tahun 2003. Undang-undang ini dan peraturan perundangan lanjutannya justru mende-legasikan kewenangan yang lebih besar kepada kementerian/ lembaga selaku pengguna anggaran/barang. Para peng-guna anggaran dianggap seolah-olah sebagai “pemilik” dana anggaran. Kar-ena para pengguna seolah-olah seba-gai “pemilik” anggaran, maka merekalah yang berwenang untuk menyusun ren-cana anggaran (Renren-cana Kerja dan Ang-garan Kementerian/Lembaga), menyusun dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA/ DPA), dan memerintahkan pembayaran. Saat ini, para pengguna anggaranlah yang berwenang untuk memerintahkan pem-bayaran melalui penerbitan Surat Perin-tah Membayar (SPM). Pihak kementerian/ lembaga yang sebelumnya hanya berhak untuk meminta pembayaran, sekarang berwenang untuk memerintahkan pem-bayaran atas anggaran yang dikelolanya.

Kementerian/lembaga sebagai pihak yang melaksanakan anggaran guna me-layani kebutuhan masyarakat sesuai den-gan tugas dan fungsinya dianggap lebih tahu akan kebutuhannya. Rencana ang-garan (RKA-KL) yang disusunnya tentu lebih tepat sasaran dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dari sini dapat diharapkan pengelolaan Keuangan Negara di tiap-tiap kemen-terian/lembaga dapat lebih efektif dan efisien dalam mewujudkan sebesar-be-sar kemakmuran rakyat.

Delegasi kewenangan yang lebih be-sar kepada kementerian/lembaga juga diikuti dengan keharusan untuk mem-pertanggungjawabkan sendiri anggaran yang dikelolanya. Setiap kementerian/ lembaga wajib menyampaikan Lapo-ran Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL) kepada rakyat (DPR) melalui au-dit BPK. LKKL dari setiap kementerian/ lembaga diaudit dan diberi opini oleh BPK. Dari sini diharapkan pertanggung-jawaban setiap kementerian/lembaga terhadap anggaran yang dikelolanya

Õ»³»²¬»®·¿²ñ´»³¾¿¹¿

-»¾¿¹¿· °·¸¿µ §¿²¹

³»´¿µ-¿²¿µ¿²

¿²¹¹¿®¿² ¹«²¿

³»´¿§¿²· µ»¾«¬«¸¿²

³¿-§¿®¿µ¿¬ -»-«¿·

¼»²¹¿² ¬«¹¿- ¼¿²

º«²¹-·²§¿ ¼·¿²¹¹¿°

´»¾·¸ ¬¿¸« ¿µ¿²

µ»¾«¬«¸¿²²§¿ò

ìî ÛÜËÕßÍ× ÕÛËßÒÙßÒ ÛÜ×Í× ïñîððç

lebih akuntabel jika dibandingkan den-gan pertanggungjawaban anggaran yang hanya terfokus pada Kementerian Keuangan selaku wakil Pemerintah. Posisi Strategis Jaga Keutuhan NKRI

Bagi Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dengan berbagai latar be-lakang suku dan budaya, memang tidak mudah untuk mempersatukannya. Sem-boyan “Bhineka Tunggal Ika” memang tepat untuk menggambarkan kemaje-mukan masyarakat Indonesia. Adanya berbagai perbedaan latar belakang suku dan budaya, kadang-kadang memun-culkan upaya disintegrasi bangsa yang dimanfaatkan oleh sebagian kelompok. Lahirnya era reformasi yang kemudian memunculkan tuntutan adanya otono-mi daerah yang lebih besar dan nyata, jika tidak disikapi dengan arif juga da-pat menimbulkan bibit-bibit disintegrasi. Dengan lahirnya Undang-Undang No-mor 32 tentang Pemerintahan Daerah, kini Pemerintah Pusat hanya melak-sanakan tugas di bidang pertahanan, keamanan, politik luar negeri, kehaki-man, fiskal-moneter, dan agama. Selain dari enam bidang tersebut sudah diser-ahkan kepada Pemerintah Daerah.

Bagaimana halnya dengan bidang Keuangan Negara? Keuangan Negara justru merupakan bidang yang men-ghubungkan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Bidang Keuangan Negara memiliki spesifikasi tersendiri jika dibandingkan dengan bidang yang diserahkan kepada Pe-merintah Daerah ataupun bidang yang masih dipegang oleh Pemerintah Pusat. Bidang pertahanan dan keamanan, mis-alnya, secara tegas merupakan bidang yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, sedangkan Pemerintah Daerah tidak melaksanakannya. Demikian juga dengan bidang yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah, bidang pendidi-kan misalnya, Pemerintah Pusat tidak melakukan campur tangan dalam mana-jemen pelayanan pendidikan kepada masyarakat untuk pendidikan sampai dengan SLTA, kecuali hal-hal tertentu dalam rangka standardisasi pendidikan secara nasional. Sementara itu untuk pendidikan tinggi tetap dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. Letak spesifikasi

bidang Keuangan Negara jika diband-ingkan dengan bidang lain adalah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah sama-sama melaksanakannya. Keuangan negara tidak hanya diseleng-garakan oleh Pemerintah Pusat, tetapi juga oleh Pemerintah Daerah. Hal ini berakibat adanya keterkaitan yang erat antara Pusat dan Daerah. Untuk men-gatur hal ini bahkan telah diterbitkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam UU Keuangan Negara juga secara jelas disebutkan pada Pasal 22 ayat (1) bah-wa “Pemerintah Pusat mengalokasikan

dana perimbangan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan Undang-Undang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daer-ah”. Ayat ini menegaskan bahwa Pemer-intah Pusat tidak dapat melepaskan ke-wajibannya untuk memberikan sebagian dana APBN kepada APBD. Sementara itu, APBD juga akan mengalami kesuli-tan jika tidak mendapatkan alokasi dana perimbangan dari APBN. Dalam prak-tiknya, APBD secara tegas memasukkan “dana perimbangan” sebagai salah satu dari pendapatan Pemerintah Daerah. Bahkan pada kebanyakan daerah, dana perimbangan merupakan pendapatan yang paling dominan jika dibandingkan dengan pendapatan asli daerah dan lain-lain pendapatan yang sah. APBD memi-liki ketergantungan yang cukup besar terhadap APBN. Sementara itu sumber-sumber pendapatan APBN yang berupa pajak, non pajak, ataupun sumber daya alam berada di wilayah daerah. Den-gan demikian, antara APBN dan APBD

memiliki keterkaitan yang sangat erat. Cakupan keuangan negara seba-gaimana telah di sebutkan sebelumnya, antara lain juga menyebutkan penerimaan daerah dan pengeluaran daerah. Hal ini menandakan bahwa aturan pengelolaan keuangan negara juga sampai pada pen-gelolaan penerimaan dan pengeluaran daerah yang dilaksanakan melalui APBD. Pengelolaan keuangan daerah tidak dapat dilepaskan dan dipisahkan dari pengelolaan Keuangan Negara secara keseluruhan. Keuangan daerah merupa-kan subsistem dari pengelolan Keuangan Negara. Pemerintah Daerah memang te-lah memiliki otonomi yang lebih luas dan nyata. Namun dalam pengelolaan keuan-gannya tidak boleh menyimpang dari undang-undang yang mengatur menge-nai pengelolaan Keuangan Negara. Hal ini bukan dimaksudkan untuk mengebiri substansi otonomi daerah tersebut, tapi demi efektivitas pencapaian kemakmu-ran rakyat. Penjelasan Umum Undang-Undang Perbendaharaan Negara secara tegas menyebutkan:

“Pengelolaan Keuangan Negara se-bagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indone-sia Tahun 1945 perlu dilaksanakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemak-muran rakyat, yang diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Neg-ara (APBN) dan AnggNeg-aran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Baik APBN maupun APBD keduanya sama-sama sebagai instrumen untuk mewujudkan kemakmuran rakyat yang adil dan merata. Keduanya juga sama-sa-ma bagian dari Keuangan Negara. Lebih dari itu, APBN dan APBD juga merupa-kan instrumen nyata untuk tetap men-jaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Efektivitas Posisi Strategis Keuangan Negara

Posisi strategis keuangan negara tidak terbantahkan baik dalam upaya mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat maupun upaya menjaga kesatuan negara dan bangsa. Pertanyaan berikut-nya adalah bagaimana mengefektifkan posisi strategis tersebut dalam mewujud-kan tujuan bernegara. Guna menjawab

Þ¿·µ ßÐÞÒ ³¿«°«²

ßÐÞÜ µ»¼«¿²§¿

-¿³¿ó-¿³¿ -»¾¿¹¿·

·²-¬®«³»² «²¬«µ

³»©«¶«¼µ¿²

µ»³¿µ³«®¿² ®¿µ§¿¬

§¿²¹ ¿¼·´ ¼¿² ³»®¿¬¿ò

ÛÜËÕßÍ× ÕÛËßÒÙßÒ ÛÜ×Í× ïñîððç ìí pertanyaan tersebut, peran semua

ele-men bangsa baik di tingkat pusat mau-pun daerah sangat dibutuhkan. Jangan sampai posisi strategis tersebut justru menjadi bumerang dan kontraproduk-tif terhadap pencapaian kemakmuran rakyat dan pemeliharaan keutuhan bang-sa dan negara.

Berbagai tindakan yang merugikan Keuangan Negara harus dicegah dan selalu diwaspadai. Korupsi yang

dilaku-kan di tingkat pusat (APBN) ataupun di tingkat daerah (APBD) merupakan salah satu dari tindakan yang menodai efektiv-itas posisi dan peran strategis Keuangan Negara dalam mewujudkan kemakmuran rakyat. Demikian juga halnya jika terjadi “perebutan” Keuangan Negara ataupun perimbangan keuangan antara Pemerin-tah Pusat dan PemerinPemerin-tah Daerah yang tidak adil. Tidak mustahil hal tersebut da-pat memicu tumbuhnya benih-benih

dis-integrasi bangsa. Dukungan dari semua pihak yang terkait dalam pengelolaan keuangan negara, baik di tingkat pusat maupun daerah sangat dibutuhkan. Ke-makmuran dan keutuhan bangsa adalah dambaan seluruh rakyat negeri ini. Semo-ga segera terwujud dan selalu terpelihara, amin.

Dokumen terkait