• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. KONDISI UMUM

4.2. Kota Yogyakarta (Propinsi D.I. Yogyakarta)

Kota Yogyakarta terletak di Pulau Jawa, 500 km ke arah selatan dari DKI Jakarta, Ibukota Negara Republik Indonesia. Secara historis, Kota Yogyakarta berawal dari sebuah Kota Istana atau Kota Keraton yang bernama Ngayogyakarta Hadiningrat yang terletak di daerah agraris pedalaman Jawa yang dibangun pada tahun 1756 oleh Sultan Hamengkubuwono I (Pangeran Mangkubumi). Pendirian kota ini dilakukan setelah terjadi peristiwa Palihan Nagari atau Pembagian Dua Kerajaan (Surakarta-Yogyakarta) pada tahun 1755 sebagai hasil perjanjian Giyanti.

Pada awal perkembangannya, permukiman di Kota Yogyakarta cenderung memusat pada poros besar selatan-utara. Permukiman berupa kampung tempat tinggal penduduk lambat laun tumbuh di sekitar poros yang melintasi istana dari alun-alun utara, Jalan Malioboro, dan hingga ke Tugu. Tempat-tempat permukiman itu lazim disebut sebagai kampung dan namanya diberikan sesuai dengan tugas dan pekerjaan dari penduduk yang menempatinya. Pada awal abad ke-20 pola permukiman penduduk dan struktur kota tampak semakin memusat dan padat. Kota Yogyakarta dikenal memiliki karakter khas yang mewarnai kehidupan masyarakatnya.

Negara Indonesia merdeka pada tahun 1945, tetapi pada tahun 1946-1949 Negara Indonesia masih berjuang mengusir para tentara sekutu. Pada saat itu, Yogyakarta memegang peranan penting dalam kemerdekaan dan dikenal sebagai Kota Revolusi. Selama tahun 1946-1949, Kota Yogyakarta menjadi ibukota Negara Republik Indonesia dan istana Sultan Hamengkubuwono IX menjadi markas besar tentara Republik Indonesia. Setelah masa kemerdekaan hingga sekarang, Kota Yogyakarta tumbuh besar dan bertambah luas karena terjadi aglomerasi wilayah.

Dengan karakter masyarakatnya yang ramah, serta terdapat salah satu pusat pemerintahan tradisional Jawa dengan keunikan budayanya, menjadikan kota ini menjadi kota yang didominasi kegiatan pendidikan dan pariwisata. Setiap tahun aktivitas pendidikan dan pariwisata terus meningkat dan mendorong pembangunan fasilitas-fasilitas pendukung pendidikan dan pariwisata.

Berkembangnya pendidikan dan pariwisata di Kota Yogyakarta menyebabkan pertumbuhan penduduk juga semakin meningkat. Hal ini berdampak pada semakin tingginya jumlah permukiman dan ruang terbuka pun semakin menyusut. Hingga sekarang, Kota Yogyakarta mengalami perubahan demografis, sosial, ekonomi, dan politik. Perubahan demografis dan sosial-ekonomi telah menjadi faktor penting dalam membawa dinamika perubahan tata ruang Kota Yogyakarta dari masa ke masa.

4.2.2 Letak Geografis dan Batas Administrasi

Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan merupakan satu-satunya daerah tingkat II yang berstatus kota disamping empat daerah tingkat II lainnya yang berstatus kabupaten. Kota Yogyakarta terletak pada 7° 49’ 26” - 7° 15’ 24” Lintang Selatan dan 110° 24’ 19” - 110° 28’ 53” Bujur Timur pada ketinggian rata-rata 114 m dpl. Sebagai ibukota Provinsi DIY, Kota Yogyakarta menjadi sentra kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya. Kota Yogyakarta berbatasan dengan wilayah kabupaten lain yang ada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu:

• Utara : Kabupaten Dati II Sleman

• Timur : Kabupaten Dati II Bantul dan Kabupaten Sleman • Selatan : Kabupaten Dati II Bantul

• Barat : Kabupaten Dati II Bantul dan Kabupaten Sleman

Secara spasial, wilayah administrasi Kota Yogyakarta dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Peta Admistrasi Kota Yogyakarta (sumber: P4W, Bogor)

Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah paling kecil dibanding daerah tingkat II lainnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu 3250 Ha (32,5 km2) atau 1,02% luas wilayah propinsi. Secara administratif pemerintahan, wilayah kota Yogyakarta terdiri dari 14 wilayah kecamatan dan 45 kelurahan. Kecamatan yang terluas adalah kecamatan Umbulharjo kemudian diikuti oleh Kecamatan Gondokusuman dan Kota Gede.

Wilayah Kota Yogyakarta terbagi dalam lima bagian kota dengan pembagian sebagai berikut:

1. Wilayah I, terletak pada ketinggian ± 91 m – 117 m diatas permukaan laut (dpl) rata-rata. Yang termasuk dalam wilayah ini adalah adalah sebagian Kecamatan Jetis, Kecamatan Gedongtengen, Kecamatan Ngampilan, Kecamatan Keraton, dan Kecamatan Gondomanan.

2. Wilayah II, terletak pada ketinggian ± 97 m – 114 m dpl. Kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah ini adalah Kecamatan Tegalrejo dan sebagian Kecamatan Wirobrajan.

3. Wilayah III, terletak pada ketinggian ± 102 m – 130 m dpl. Yang termasuk ke dalam wilayah ini adalah Kecamatan Gondokusuman, Kecamatan

Danurejan, Kecamatan Pakualaman, dan sebagian kecil Kecamatan Umbulharjo.

4. Wilayah IV, terletak pada ketinggian ± 75 m – 102 m dpl. Yang termasuk ke dalam wilayah ini adalah sebagian Kecamatan Mergangsan, Kecamatan Umbulharjo, Kecamatan Kota Gede.

5. Wilayah V, terletak pada ketinggian ± 83 m – 102 m dpl. Yang termasuk ke dalam wilayah ini adalah Kecamatan Wirobrajan, Kecamatan Mantrijeron, sebagian Kecamatan Gondomanan, dan sebagian Kecamatan Kecamatan Mergangsan.

4.2.3 Topografi

Secara umum, kota yogyakarta merupakan dataran rendah dengan kemiringan relatif sama yaitu sekitar 0,5% - 2%, kecuali di beberapa tempat terutama di daerah pinggiran sungai. Ketinggian wilayah dari permukaan laut hingga 199 m di atas permukaan laut dimana sebagian wilayahnya (luas kurang lebih 1657 ha) terletak pada ketinggian kurang dari 100 m dan sisanya 1593 ha berada pada ketinggian antara 100-199 m.

4.2.4 Hidrologi

Terdapat 3 sungai yang melintasi kota Yogyakarta, yaitu Sungai Gajah Wong yang mengalir di bagian timur kota, Sungai Code di bagian tengah dan Sungai Winongo di bagian barat kota. Ketiga sungai ini merupakan drainase utama Kota Yogyakarta

Wilayah kota Yogyakarta merupakan bagian dari daratan kaki fluvio vulkanik merapi yang mempunyai air tanah dan permukaan cukup melimpah dengan kedalaman air tanah antara 0,5 m – 20 m. Semakin ke hilir permukaan air tanah semakin dangkal dan tercemar. Pencemaran air kebanyakan disebabkan oleh praktek-praktek sanitasi yang buruk baik pada lingkungan permukiman maupun non permukiman. Potensi sumber daya air yang menonjol berasal dari curah hujan dan air tanah.

4.2.5 Geologi dan Tanah

Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang berada di dataran lereng Gunung Merapi (fluvia vulcanic foot plain) yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis muda. Sejalan dengan perkembangan perkotaan dan permukiman yang pesat, lahan pertanian di Kota Yogyakarta setiap tahun mengalami penyusutan.

4.2.6 Iklim

Tipe iklim “AM dan AW”, curah hujan rata-rata 2,012 mm/tahun dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2 °C dan kelembaban rata-rata 74,7%. Angin pada umumnya bertiup angin muson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220° bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah ± 90° - 140° dengan rata-rata kecepatan 9,5 – 29,7 km/jam.

4.2.7 Kependudukan

Pertambahan penduduk Kota Yogyakarta dari tahun ke tahun cukup tinggi. Menurut BPS Kota Yogyakarta pada akhir tahun 2007 tercatat bahwa jumlah penduduk Kota Yogyakarta sebanyak 543.917 dengan tingkat kepadatan rata-rata 16735 jiwa/km2. Untuk data pertumbuhan penduduk selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Jumlah Penduduk Kota Yogyakarta Tahun 2000-2007

Sumber: Yogyakarta Dalam Angka 2006-2007, *)SUPAS International

Population Survey

Tahun Jumlah Penduduk (jiwa) Kepadatan Penduduk (Jiwa/Ha) 2000 497.699 15.313 2001 503.954 15.506 2002 510.404 15.704 2003 516.937 15.905 2004 523.554 16.109 2005*) 530.256 16.315 2006*) 537.043 16.524 2007*) 543.917 16.735

4.2.8 Sosial Ekonomi

Bagi masyarakat Kota Yogyakarta, sektor pariwisata merupakan sebuah industri. Oleh karena itu, perkembangan sektor pariwisata di Kota Yogyakarta telah melibatkan sektor-sektor ekonomi lainnya, seperti sektor perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan, komunikasi, sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan, serta sektor-sektor jasa lainnya. Kontribusi sektor-sektor itu dalam PDRB mencapai 78,6% dari seluruh kegiatan perekonomian Kota Yogyakarta. Dalam transformasi struktural, Kota Yogyakarta menunjukkan mekanisme transformasi dari agrikultural ke sektor jasa, dimana jasa menjadi leading sector yang dominan.

Gambar 8. RTH Kota Yogyakarta: RTH di sekitar Gedung Agung Yogyakarta (kiri); (b) Lahan Pertanian di Kota Yogyakarta (kanan)

4.3. Kota Medan (Propinsi Sumatera Utara)

Dokumen terkait