• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

B. Tinjauan Umum Tentang Kredit

6. Kredit bermasalah

Secara umum ada tiga faktor yang menyebabkan kredit bermasalah yaitu:

a. Kondisi ekonomi makro

b Kondisi dan alokasi sumber dana c. Kondisi internal perbankan

Yang termasuk dalam kondisi ekonomi makro adalah pertumbuhan ekonomi, kestabilan harga dan stabilitas ekonomi makro serta tingkat distorsi dalam bidang perekonomian. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi mencerminkan pula tingginya tingkat pengembalian terhadap investasi (rate of return of investment). Dilihat secara umum, maka sejak dilakukannya deregulasi, tingkat pengembalian investasi di Indonesia cukup tinggi, yaitu sekitar 25-29%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat suku bunga yang berlaku sekarang, maka investasi di Indonesia sangat menguntungkan sehingga tidak ada alasan bagi perusahaan mengalami kesulitan dalam membayar kembali hutangnya.

Begitu pula dengan tingkat inflasi, walaupun dalam beberapa tahun terakhir terjadi sedikit lonjakan, praktis tingkat inflasi di Indonesia masih dapat terkendali, sehingga dapat menjaga kestabilan daya beli masyarakat. Kestabilan daya beli ini tercermin dari relatif tinggi dan stabilnya tingkat pertumbuhan ekonomi masyarakat, sekitar 4-6% per tahun.

55)

Yang menjadi masalah dalam kondisi ekonomi makro ini adalah fluktuasi yang tajam dari suku bunga yang dikaitkan dengan ketersediaan sumber dana. Sejak Tahun 1986, tampaknya telah terjadi penurunan kredibilitas kebijakan pemerintah yang tercermin dari dua hal. yaitu besarnya selisih tingkat bunga di dalam dan luar negeri dan makin pendeknya jangka waktu jatuh tempo terhadap penurunan dana deposito. Artinya masyarakat kurang percaya terhadap sustainability dari kebijakan ekonomi makro oleh pemerintah dalam jangka panjang. Penurunan ini dapat dimengerti mengingat tampaknya pemerintah dalam menjalankan kebijakan moneternya

selalu melakukan dari sisi ekstrim satu ke ektrim lainnya.56

Pada Tahun 1988, pemerintah melakukan deregulasi dalam sektor keuangan sehingga menyebabkan sektor keuangan di Indonesia sangat liberal bahkan apabila dibandingkan dengan negara-negara industri sekalipun. Tetapi pada saat pemerintah menyadari bahwa ekspansi kreditnya telah berlebihan, sehingga pemerintah melakukan kebijakan uang ketat dengan menutup kran kredit secara ketat tanpa memberikan kesempatan bagi dunia usaha untuk melakukan langkah penyesuaian. Ibarat mobil yang telah lari dengan kecepatan 150 KM/Jam direm tiba-tiba sehingga dapat

menyebabkan mobil terbalik jika tidak dikendalikan dengan baik.57

Dikaitkan dengan kesediaan dana investasi yang dalam jangka pendek, maka perubahan tingkat bunga yang tiba-tiba akan menyebabkan perusahaan mengalami kesulitan. Saat proyek tersebut dianalisa dengan tingkat bunga yang rendah, maka akan banyak proyek yang layak untuk dibiayai. Tetapi karena jangka waktu kredit yang tersedia maksimum hanya

56

S. Mantayborbir dan Iman Jauhari, 2004, op. cit., hal. 44.

57

dua tahun, maka perusahaan terpaksa melakukan roll-over kredit dengan tingkat bunga baru yang sudah tinggi. Akibatnya proyek yang marjinal tingkat kelayakannya akan dinyatakan gugur dengan sendirinya.

Keadaan ini diperburuk lagi dengan kenyataan bahwa terjadi overpricing dan investasi karena: (1) biaya tinggi atau (2) fungibility (penyalahgunaan) kredit, penyalah gunaan kredit yang menjurus pada overpricing, disebabkan karena munculnya biaya birokrasi untuk mendapatkan kredit khususnya pada bank-bank pemerintah. Sehingga akan menguntungkan jika meminta kredit dalam jumlah besar, berarti biaya “tidak resmi” pun cukup memadai. Sementara itu, di pihak birokrasi dalam memberikan perizinan sering membuat biaya investasi menjadi lebih mahal. Seringkali perusahaan terpaksa membangun pabrik di atas kapasitas yang tidak ideal karena jika tidak maka akan keluar biaya tambahan untuk mendapatkan.

Terakhir masih banyak distorsi dalam perekonomian yang menyebabkan peluang dan ruang gerak usaha di Indonesia cenderung terbatas, karena bidang usaha yang menguntungkan telah tertutup dan dikuasai oleh kelompok tertentu.

Dana yang diperoleh jangka waktunya semakin pendek yang disertai dengan investasi yang jangka waktu makin panjang, sehingga menyulitkan perusahaan dalam melakukan analisis kelayakan terhadap proyek dengan baik kecuali jika terjadi kestabilan tingkat bunga dalam jangka panjang. Mismacht ini akan terasa lebih parah jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa perkembangan alokasi kredit sektoral, terlihat bahwa alokasi kredit tidak sejalan dengan perubahan struktural. Yang lebih mengkhawatirkan lagi

adalah membengkaknya perhitungan bunga dalam pemberian kredit ke arah sektor yang dikualifikasikan sebagai sektor “lain-lain”. Dalam sektor ini termasuk pinjaman untuk real estate, pinjaman untuk kredit mobil yang semuanya tergolong kredit konsumtif dan spekulatif. Pengalaman dinegara-negara lain menunjukkan bahwa pemberian kredit pada real estate telah mendorong terjadinya krisis keuangan.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan

alokasi kredit pada sektor ini sebagai berikut:58

Pertama, sebagian dari kenaikan yang terjadi selama dalam Tahun 1990 merupakan bagian dari kebijakan pemerintah yang mensyaratkan ketentuan 20% dari kredit harus disalurkan pada golongan ekonomi lemah. Kredit konsumtif ini harus memenuhi syarat yang ditentukan dalam ketentuan.

Kedua, sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa dalam tahun 1988 telah mendorong peningkatan yang luar biasa dalam mobilisasi dana. Akibatnya perbankan mengalami kelebihan dana dan sukar menyalurkan pada proyek-proyek yang produktif. Kredit konsumtif ini merupakan pos yang mudah dan cepat dalam penyaluran dana.

Ketiga, kenaikan harga tanah di beberapa kota besar umpamanya di jakarta selama masa periode 1989-1990, sehingga telah mendorong kreditur/bank dalam menyalurkan dananya untuk mendorong pembelian tanah, baik langsung maupun melalui perusahaan groupnya. Misalnya alokasi kredit menimbulkan peningkatan risiko dalam sektor finansial yang merupakan faktor yang mendorong munculnya krisis dalam sektor finansial yang pada gilirannya dapat mengeliminir keuntungan yang dihasilkan dari reformasi dalam sektor keuangan.

Dari sisi internal perbankan terdapat beberapa perkembangan menarik yang terjadi sejak tahun 1991, yaitu menurunnya tingkat keuntungan walaupun biaya non operasi perbankan telah mengalami penurunan. Penurunan ini tidak hanya terjadi pada Bank Pemerintah, tetapi juga terjadi pada bank swasta. Hanya bank asing dan bank campuran yang dapat mempertahankan marjin keuntungannya.

58

Penurunan performance kreditur/bank ini mencerminkan adanya peningkatan interest risk sebagai akibat dari mismacht porfolio (sumber dana dan alokasi dana) dari kreditur/bank tersebut. Pola pemberian pinjaman kepada perusahaan yang tidak qualified telah mengakibatkan kenaikan non performance asset (non performing asset) meliputi tiga kategori: tunggakan bunga dan pembayaran cicilan lebih dari 6 (enam) bulan, terjadinya tunggakan bunga hingga 27 (dua puluh tujuh) bulan. Kenaikan non performance asset ini memberikan pengaruh terhadap biaya provisi sebagai bagian dari marjin perbankan. Kecenderungan yang terakhir ini dapat mendorong terjadinya krisis dalam sektor keuangan. Gejala ini terlihat dan meledak sejak kasus Bank Summa serta tingginya

kredit macet di berbagai bank di Indonesia.59

Hubungan kreditur/bank pemerintah dengan nasabah debitur senantiasa didasari keinginan untuk jangka panjang. Keinginan ini bukan saja terhadap nasabah debitur penyimpan dana, tetapi juga dengan nasabah debitur pemohon kredit. Oleh karena itu bank pemerintah dalam berhubungan dengan nasabah debitur selalu berkeinginan bahwa nasabah debitur akan dapat membayar kembali kreditnya, baik terhadap hutang pokok maupun perhitungan bunganya. Dengan demikian bank tidak pernah menginginkan bahwa kredit yang diberikan kepada nasabah debitur pada akhirnya akan menjadi macet. Namun tidak mustahil bahwa setelah kredit diberikan oleh kreditur/ bank kepada nasabah debitur bisa mengalami ketidak lancaran.

Setelah kredit diberikan kepada nasabah debitur, maka bank seharusnya dapat memantau penggunaan atas fasilitas kredit tersebut demi kelancaran terhadap pelak-sanaan kegiatan usahanya.

Pemantauan terhadap penggunaan kredit oleh kreditur/bank adalah untuk memastikan bahwa:

59

Sjahrir, Persoalan Ekonomi Indonesia, Moneter, Perkreditan dan Neraca Pembayaran, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal. 186-89

a. Kredit digunakan oleh nasabah debitur sesuai dengan tujuan penggunaan kredit sebagaimana diperjanjikan di dalam perjanjian kredit.

b. Kredit dapat ditarik secara bertahap sesuai jadwal sebagaimana di dalam perjanjian kredit.

c. Kredit ditarik sesuai dengan batas izin tarik yang ditentukan di dalam perjanjian kredit.

Sedangkan pemantauan kreditur/bank atas kelan-caran nasabah debitur dalam membayar kredit adalah untuk memastikan bahwa angsuran pokok dan perhitungan bunga bank dapat dibayar oleh nasabah debitur sesuai dengan jangka waktu sebagaimana ditentukan di dalam perjanjian kredit.

Penggunaan kredit yang menyimpang dari tujuan yang telah diperjanjikan, akan dapat mengakibatkan kredit menjadi macet. Kredit untuk modal kerja apabila dipakai oleh nasabah debitur untuk investasi adalah contoh dari penyimpangan dalam penggunaan kredit. Terlambatnya pembayaran terhadap angsuran pokok maupun perhitungan bunga merupakan indikator bahwa kredit menjurus kepada kredit macet. Sebelum kredit menjadi macet sama sekali, maka dapat ditetapkan kriteria untuk menentukan suatu kredit itu macet.

Untuk dapat mengetahui lancar atau tidak (macet) suatu kredit, dapat digunakan ukuran tingkat kolektibilitasnya. Yang dimaksud dengan kolektibilitas adalah kelancaran dalam melakukan pembayaran angsuran atas hutang pokok dan perhitungan bunganya. Kolektibilitas ditentukan oleh

faktor-faktor sebagai berikut:60

60

a. Ketetapan waktu dalam melakukan pembayaran angsuran terhadap hutang pokok dan bunganya;

b. Sudah atau belum lewat/berakhirnya jangka waktunya;

c. Hasil penilaian terhadap kemampuan dan kemauan nasabah debitur dalam melakukan pembayaran angsuran dan pelunasan atas hutang pokok dan bunganya

Hukum yang mengatur tentang piutang negara yang macet, khususnya kredit macet dapat dilihat dalam Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR tanggal 12 Nopember 1998 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/6/PBI/2002 tanggal 6 September 2002 jo Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Kualitas Aktiva Produktif, yang membagi kredit bank ke dalam 5 kategori, yaitu:

1. Kredit lancar (pass)

2. Kredit dalam perhatian khusus (special mention) 3. Kredit kurang lancar (substandard)

4. Kredit diragukan (doubtful) 5. Kredit macet (loss)

Masing-masing golongan kriterianya adalah sebagai berikut: 1. Kredit lancar (pass), yaitu:

a. Pembayaran tepat waktu, perkembangan rekening baik dan tidak ada tunggakan serta sesuai dengan persyaratan kredit.

b. Hubungan nasabah debitur dengan kreditur/bank baik dan nasabah debitur selalu menyampaikan informasi keuangan secara teratur dan akurat.

2. Kredit dalam perhatian khusus (special mention), yaitu:

a. Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga sampai 90

hari

b. Jarang mengalami cerukan dan/atau over draft

c. Hubungan nasabah debitur dengan kreditur/bank baik dan nasabah debitur selalu menyampaikan informasi keuangan secara teratur dan masih akurat.

d. Dokumentasi kredit lengkap dan pengikatan jaminan hutang kuat/sempurna.

e. Pelanggaran terhadap perjanjian kredit yang tidak prinsipil. 3. Kredit kurang lancar (substandard), yaitu:

a. Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah

melampaui 90 hari sampai dengan 120 hari.

b. Terdapat cerukan dan/atau over darft yang berulang kali khususnya untuk menutupi kerugian operasional dan kekurangan arus kas.

c. Hubungan nasabah debitur dengan kreditur/bank memburuk dan

informasi keuangan tidak dapat dipercaya.

d. Dokumentasi kredit kurang lengkap dan pengikatan jaminan hutang yang lemah

e. Pelanggaran terhadap persyaratan pokok kredit.

f. Perpanjangan kredit untuk menyembunyikan kesulitan keuangan. 4. Kredit diragukan (doubtful), yaitu:

a. Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 120 hari sampai dengan 180 hari.

b. Terjadi cerukan dan/atau over draft yang bersifat permanen khususnya untuk menutupi kerugian operasional dan kekurangan arus kas.

c. Hubungan nasabah debitur dengan kreditur/bank semakin memburuk dan informasi keuangan tidak objektif atau tidak dapat dipercaya. d. Dokumentasi kredit tidak lengkap dan pengikatan agunan yang lemah. e. Pelanggaran yang prinsipil terhadap persyaratan pokok dalam

perjanjian kredit. 5. Kredit macet (loss), yaitu:

a. Terdapat tunggakan pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari.

b. Dokumentasi kredit dan atau pengikat agunan tidak sempurna bahkan tidak ada sama sekali.

Dalam praktek, ukuran untuk menentukan suatu kredit itu dinyatakan macet, pada tiap-tiap bank tidak sama. Meskipun demikian, pada dasarnya dapat ber-pedoman pada peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 2/PMK.01/1977 Tentang Pelaksanaan Penyelesaian Piutang Negara yang macet. Dalam Pasal 3 Peraturan tersebut, ditegaskan bahwa kapan suatu piutang negara dinyatakan macet, yaitu:

(1) Untuk kredit jangka pendek, selambat-lambatnya 3 bulan sesudah jatuh tempo.

(2) Untuk kredit jangka menengah dan panjang, meskipun pinjaman itu belum melampaui jangka waktu, akan tetapi terdapat tunggakan pembayaran sebanyak-banyaknya tiga kali terhadap hutang pokok dan perhitungan bunga sehingga berdasarkan penilaian yang wajar dari pihak bank, bahwa nasabah debitur tidak akan dapat melunasi hutang pokok dan bunganya, maka kredit tersebut dapat digolongkan sebagai kredit macet.

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 376/KMK.01/1998 tanggal 31 Juli 1998 Tentang Pengurusan Piutang Negara, menyebutkan bahwa piutang macet adalah piutang yang sampai pada suatu saat sejak piutang tersebut jatuh tempo namun tidak dilunasi oleh nasabah debitur/penanggung hutang sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan, perjanjian atau sebab apapun yang menimbulkan piutang tersebut. Oleh karena itu kredit macet adalah kata majemuk, dan bila dipisah menurut kata dasarnya adalah: “kredit” artinya membayar suatu hutang

dengan angsuran, dan “macet” artinya berhenti.61

Sehubungan dengan uraian di atas dan beberapa pengertian kredit macet atau piutang macet, maka pada sektor pembangunan ekonomi terus ditempuh kebijaksanaan yang menyangkut perkreditan sebagai upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat ekonomi lemah. Karena itu, kreditur/ bank dalam memberikan kredit kepada nasabah debitur, baik dari segi prosedural maupun dari makna yang terkandung di dalamnya adalah upaya dalam rangka meningkatkan kualitas hidup rakyat yang pada akhirnya akan bermuara pada pencapaian cita-cita bangsa Indonesia yaitu masyarakat adil dan makmur baik materiil maupun spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Selanjutnya menurut tingkatannya piutang macet itu dibagi dalam dua tingkatan yaitu:

1. Piutang macet yang karena adanya ketentuan intern dari instansi itu sendiri yang masih mungkin untuk diselesaikan dulu secara intern.

61

Bahar, Abdoel, Penyelesaian Kredit Macet Melalui Badan Urusan Piutang dan Lelang

Negara. Makalah seminar yang diselenggarakan oleh Badan Musyawarah Perbankan Daerah Sumut,

2. Piutang Macet sama sekali yang setelah ketentuan intern dilaksanakan namun masih juga tidak terselesaikan, baik untuk sebagian maupun untuk seluruh jumlah piutang, dan oleh karenanya penyelesaian selanjutnya diharuskan/diwajibkan untuk diserahkan kepada pihak lain (dulu kepada Pengadilan Negeri, sekarang kepada PUPN melalui KP2LN). Pengertian piutang macet tersebut di atas, erat sekali hubungannya dengan ketentuan waktu kapan kredit macet tersebut harus diserahkan kepada PUPN melalui KP2LN.

Di dalam Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960 tidak dijumpai istilah piutang macet atau kredit macet. Pengertian piutang macet dapat dipedomani dari penjelasan Pasal 4 Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960. Yaitu Piutang Negara pada tingkat pertama pada prinsipnya dapat diselesaikan oleh instansi-instansi pemerintah dan badan-badan Negara yang bersangkutan

Dalam hal Piutang Negara yang berasal dari kredit perbankan, jika mengacu pada penjelasan Pasal 4 Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960, maka upaya penyelesaian secara intern dapat dilakukan oleh bank sesuai dengan ketentuan kolektibilitas kredit Perbankan yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.26/4/BPPP tanggal 29 Mei 1993 sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/147/KEP/DIR tanggal 12 Nopember 1998 jo Peraturan Bank Indonesia No.4/6/PBI/2002 tanggal 6 September 2002 jo Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Kualitas

Aktiva Produktif. Namun upaya intern yang dilakukan apabila tidak memberikan hasil yang menggembirakan maka piutang negara macet tersebut untuk selanjutnya dapat diserahkan kepada PUPN melalui KP2LN.

D. Sistem Pengurusan Piutang Negara Macet

Dokumen terkait