• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Piutang Negara

Istilah piutang timbul karena adanya perjanjian utang piutang diantara dua orang atau lebih subjek hukum. Subjek hukum ini adalah baik pribadi (perseorangan) maupun badan hukum. Jadi perjanjian utang piutang ini boleh saja dilakukan oleh satu orang atau lebih dengan satu orang atau lebih lainnya, atau satu orang atau lebih dengan satu badan hukum atau lebih, atau satu badan hukum dengan satu badan hukum lainnya.

Jika subjek hukum ini telah mengadakan suatu perjanjian utang piutang maka timbullah hak dan kewajiban diantara keduanya. Dalam ilmu

hukum, subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban.5 Dengan kata

lain timbullah hubungan hukum . Hubungan hukum adalah hubungan yang terhadapnya hukum melekatkan “hak” pada satu pihak dan melakukan

kewajiban pada pihak lainnya.6 Piutang adalah “hak untuk menerima

pembayaran.”7 Sedangkan utang adalah “kewajiban yang dinyatakan atau

dapat dinyatakan dalam jumlah uang.”8

Dalam hubungan antara manusia selalu terdapat dua sisi produk perbuatan, yaitu hutang dan piutang. Hutang adalah produk perbuatan dilihat dari sisi pihak yang memperoleh pinjaman sejumlah uang, sedangkan piutang adalah produk perbuatan dilihat dari sisi pihak yang memberi

5

Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, 1997, Alumni, Bandung, hal.35.

6

Mariam Darus Badrulzaman, et.all, Kompilasi Hukum Perikatan, 2001, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 1.

7

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1994 tentang Jaminan Fidusia, pasal 1 point 3.

8

pinjaman sejumlah uang. Hubungan hukum ini disebut hutang-piutang.9 Dalam hubungan hutang-piutang pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan utang piutang tertentu disebut kreditur, pihak yang berutang dalam

suatu hubungan utang-piutang tertentu disebut debitur.10

Dalam hubungan hutang-piutang, kreditur berkewajiban menyerahkan

sejumlah uang kepada nasabah debitur untuk diguna-kannya selama jangka waktu tertentu, sedangkan kewajiban nasabah debitur untuk mengembalikan sejumlah uang yang dipinjamkan itu pada waktu tertentu di kemudian hari atau setelah jangka waktu tertentu berakhir. Dalam hubungan hutang piutang, yang lebih dikenal adalah kreditur/bank karena piutang yang dimilikinya itu adalah harta kekayaan yang dapat ditagih. Dalam hukum harta kekayaan, setiap piutang dapat dialihkan dan kreditur bebas mengalihkannya kepada pihak lain. Cara pengalihan piutang memang diatur oleh undang-undang.

Menurut ketentuan Pasal 613 KUH Perdata, penyerahan akan

piutang-piutang atas nama (op naam) dan kebendaan tak bertubuh lainnya dan dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Pengalihan piutang itu kemudian diberitahukan kepada nasabah debitur. Pengalihan piutang atas tunjuk (aan toonder) dilakukan dengan penyerahan suratnya, pengalihan piutang atas pengganti (aan order) dilakukan dengan endosemen dan penyerahan suratnya. Berdasarkan ketentuan pasal ini dapat diketahui bahwa dengan mengalihkan surat bukti piutang kepada pihak lain, maka piutangnya juga beralih.

9

S. Mantayborbir, Iman Jauhari dan Agus Hari Widodo, Hukum Piutang dan Lelang Negara di

Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004, hal. 16.

10

lihat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Atas Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

Setiap harta kekayaan yang berupa piutang selalu dibuktikan secara tertulis. Bukti tertulis tersebut tergantung pada jenis hutang piutang yang menjadi dasarnya. Bagi kreditur, surat piutang merupakan bukti bahwa dia berhak atas tagihan yang tersebut di dalamnya. Sedangkan bagi nasabah debitur, surat itu merupakan bukti pengakuan hutang yang wajib dibayarnya. Karena ada bukti yang sah ini, maka setiap orang tidak ragu dan akan menerima pengalihannya dari kreditur. Penerimaan surat piutang berarti penerimaan harta kekayaan berupa tagihan.

Dengan memperhatikan uraian di atas, dapat dirumuskan bahwa yang

dimaksud dengan “piutang adalah harta kekayaan berupa tagihan sejumlah uang yang dibuktikan dengan surat yang dimiliki oleh pemegangnya

berdasarkan perjanjian hutang piutang”.11 Perjanjian tersebut dapat berupa

penyimpanan uang di kreditur/bank, pinjam meminjam uang, penyetoran uang pada suatu badan hukum, jual beli barang, jual beli surat berharga. Dalam hukum harta kekayaan, setiap surat yang memuat tagihan sejumlah uang disebut surat berharga.

Berdasarkan jenis hutang piutang tersebut, maka piutang dapat digolongkan menjadi empat macam, yaitu:

(a) Piutang yang timbul karena penyimpanan uang pada kreditur/ bank, disebut piutang simpanan pada kreditur/bank;

(b) Piutang yang timbul karena penyetoran uang penyertaan modal pada badan hukum seperti pada perseroan terbatas, koperasi, disebut piutang investasi pada badan hukum.

(c) Piutang yang timbul karena jual beli surat berharga, disebut piutang surat berharga pasar modal (SBPM), atau piutang surat berharga pasar uang (SBPU).

(d) Piutang yang timbul karena jual beli barang atau pinjam-meminjam

uang, disebut piutang kredit.12

11

S. Mantayborbir, Iman Jauhari dan Agus Hari Widodo, 2004, Op. Cit., hal. 17.

12

Abdulkadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hal. 139-141.

2. Pengertian Piutang Negara

Dari pengertian piutang tersebut di atas, maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa piutang negara berarti hak negara untuk menerima pembayaran.

Dalam dunia perbankan, pihak yang mempunyai piutang disebut kreditur sedangkan pihak yang mempunyai utang disebut nasabah debitur. Istilah ini berbeda dalam pengurusan piutang negara. Dalam pengurusan

piutang negara, kreditur disebut dengan istilah penyerah piutang 13 dan

debitur disebut dengan istilah penanggung utang.14

Dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960, yang dimaksud dengan Piutang Negara atau hutang kepada negara adalah “jumlah uang yang dibayar kepada negara atau badan-badan baik yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara berdasarkan peraturan, perjanjian

atau sebab apapun.15 Dari bunyi pasal tersebut di atas tidak dijelaskan apa

yang dimaksud dengan piutang negara. Namun dalam Penjelasan Pasal 8 dari undang-undang tersebut dijelaskan apa yang dimaksud dengan piutang negara.

Dengan piutang Negara dimaksudkan hutang yang:

a. langsung terhutang kepada Negara dan oleh karena itu harus dibayar kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;

b. terhutang kepada badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik Negara, misalnya Bank-Bank Negara, PT PT Negara, Perusahaan-Perusahaan Negara, Yayasan Perbekalan dan Persediaan, Yayasan Urusan Bahan Makanan dan sebagainya.

13

Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, Pasal 9.

14

Lihat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 300/KMK.01/2002 tentang

Pengurusan Piutang Negara, pasal 1 point 7 yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan

penyerah piutang adalah instansi pemerintah, lembaga negara atau badan usaha yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh negara atau dimiliki Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang menyerahkan pengurusan piutang negara.

15

Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, Bab II pasal 8.

Dari bunyi Pasal 8 dan penjelasan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang PUPN tersebut di atas dapatlah dipahami bahwa piutang negara dapat dikelompokkan atas dua jenis yaitu Piutang Negara Perbankan dan Piutang Negara Non Perbankan.

Piutang Negara Perbankan yaitu kredit macet bank-bank pemerintah seperti BTN, BNI, Bank Mandiri, BRI maupun Bank Pemerintah Daerah misalnya Bank Sumut.

Piutang Negara Non Perbankan berupa tagihan dari lembaga atau instansi atau badan pemerintah selain bank seperti tagihan macet Telkom, tagihan Perusahaan Listrik Negara (PLN), tuntutan ganti rugi dan lain-lain.

Selain dari kedua jenis piutang tersebut di atas, ada juga piutang negara yang berasal dari pajak masyarakat. Namun hutang pajak masyarakat ini diselesaikan bukan melalui PUPN melainkan melalui Undang-Undang Penagihan Pajak Negara. Hal ini dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor .49 Prp Tahun 1960 bahwa “hutang pajak tetap merupakan piutang negara, akan tetapi diselesaikan tersendiri dengan Undang-undang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa.

B. Tinjauan Umum Tentang Kredit

Dokumen terkait