• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENGAKUAN HAK ULAYAT

2. Kriteria Adanya Hak Ulayat

Menyinggung masalah hak ulayat tidak lepas dari asas-asas yang terkandung dalam UUPA salah satu di antaranya, asas pada tingkatan tertinggi, bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi maksudnya bukan memiliki hak atas tanah, melainkan hanya sekedar menguasainya saja. Menurut Boedi Harsono,25

23

Ibid., h. 15 24

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Simposium Undang-Undang Pokok Agraria dan

Kedudukan Tanah-Tanah Adat Dewasa Ini, Bina Cipta, Bandung, 1978, h. 59.

25

pengertian penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga beraspek perdata dan beraspek publik. Penggunaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dari umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan menyewa yang menguasainya secara fisik. Atau tanah tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya, berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik kepadanya. Dalam Hukum Tanah kita dikenal juga penguasaan yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Kreditor pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan, tetapi penguasaannya secara fisik tetap ada pada yang empunya tanah.

Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” di atas dipakai dalam aspek perdata. Pengertian “dikuasai” dan “menguasai” dipakai dalam aspek publik, seperti yang dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA. Pengertian “penguasaan” dipakai dalam arti yuridis, baik penguasaan yang beraspek perdata maupun publik. Pengertian “Hak Penguasaan Atas Tanah” Dalam tiap Hukum Tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai “hak penguasaan atas tanah”. Dalam UUPA misalnya diatur dan sekaligus ditetapkan tata jenjang Nasional kita, yaitu :

1. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik;

2. Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam Pasal 2, semata-mata beraspek publik;

3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal 3 beraspek perdata dan publik.

4. Hak perorangan/individual, semuanya beraspek perdata, terdiri atas :

a. Hak-hak atas Tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, yang disebut dalam Pasal 16 dan 53;

b. Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan Pasal 49.

c. Hak Jaminan atas Tanah yang disebut “Hak Tanggungan” dalam Pasal 25, 33, 39, dan 51.

Hal ini secara jelas dijabarkan dalam Pasal 2 UUPA, bahwa perkataan “dikuasai” di sini bukan berarti “dimiliki” akan tetapi pengertian yang memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat untuk pada tingkatan tertinggi:

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa;

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;

c. menentukan dan mengatur hubungan–hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Hak menguasai dari negara tersebut di atas ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti terwujud kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kekuasaan negara tersebut mengenai semua bumi, air, dan ruang angkasa, baik yang sudah dihaki maupun yang tidak. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai di situlah batas kekuasaan negara tersebut. Kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh.

Atas dasar hak menguasai dari negara tersebut, negara dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai, atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu badan penguasa (departemen, jawatan, atau daerah swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing.

Dalam pelaksanaannya, hak menguasai dari negara tersebut dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Dalam kaitannya dengan hak ulayat, diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat untuk dipergunakan sebagai pedoman dalam Daerah melaksanakan urusan pertanahan khususnya dalam hubungan dengan masalah hak ulayat masyarakat hukum adat yang nyata-nyata masih ada di daerah yang bersangkutan, dengan penjelasan sebagai berikut :

1. Mengenai muatan pokok dan maksud dikeluarkannya peraturan.

Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Undang-undang Pokok Agraria). Kebijaksanaan tersebut meliputi :

a. Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1);

b. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan Pasal 5);

c. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan Pasal 4);

Maksud dikeluarkannya peraturan ini adalah untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat, dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional.

Pengaturan lebih lanjut mengenai hal-hal di atas diwenangkan kepada Daerah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai dengan maksud Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan dengan demikian akan lebih mampu menyerap aspirasi masyarakat setempat.

2. Mengenai pengertian hak ulayat

Pasal 3 Undang-undang Pokok Agraria menetapkan bahwa “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” masih tetap dapat dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat itu “menurut kenyataannya masih ada”.

Hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, didefinisikan sebagai “kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.”

Hak Ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan Hukum Adat dan dikalangan masyarakat hukum adat di berbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda, merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya. Hak Ulayat mengandung 2 unsur. Unsur pertama adalah unsur hukum

perdata, yaitu sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia suatu kekuatan Gaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup (lebensraum) seluruh warga masyarakat hukum adat itu. Unsur kedua adalah unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut, baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga atau “orang luar”.

Subyek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat, baik yang merupakan persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal (teritorial), maupun yang didasarkan pada keturunan (genealogis), yang dikenal dengan berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya suku, marga, dati, dusun, nagari dan sebagainya. Apabila ada orang yang seakan-akan merupakan subyek hak ulayat, maka orang tersebut adalah ketua atau tetua adat yang memperoleh pelimpahan kewenangan dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subyek hak ulayat, melainkan petugas masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan kewenangan yang bersangkutan dengan hak ulayat.

3. Mengenai kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat

Tanda-tanda yang perlu diteliti untuk menentukan masih adanya hak ulayat meliputi 3 unsur, sebagaimana Pasal 2 Ayat (2) Permenag 5/1999) yaitu :

a. unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,

b. unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan

c. unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Penelitian mengenai ketiga unsur tersebut dan penentuan masih adanya hak ulayat dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikut sertakan pihak-pihak yang berkepentingan dan pihak-pihak yang dapat menyumbangkan peranannya secara obyektif, yaitu antara lain para tetua adat, para pakar adat, wakil Lembaga Swadaya Masyarakat dan wakil instansi yang bertanggung jawab mengenai pengelolaan sumber daya alam (misalnya instansi Kehutanan, Pertambangan dan sebagainya apabila tanah ulayat itu diperkirakan meliputi tanah yang ada hutan atau bahan tambangnya).

Penelitian tersebut dapat dilakukan

a. pada waktu dihadapi permasalahan yang untuk menyelesaikannya diperlukan penentuan mengenai masih ada atau sudah tidak adanya hak ulayat, misalnya

apabila bidang tanah yang bersangkutan diperlukan untuk pembangunan baik dalam rangka pelaksanaan program Pemerintah maupun dalam rangka investasi oleh perusahaan, atau

b. sebelum ada permasalahan di atas, dalam rangka upaya untuk memperoleh informasi mengenai status lengkap tanah-tanah di suatu daerah tertentu.

Selanjutnya dalam rangka memastikan masih adanya tanah ulayat tersebut, keberadaannya perlu dinyatakan dalam peta pendaftaran tanah dengan mencantumkan suatu tanda kartografi yang sesuai. Sekiranya pada kenyataannya batas-batas tanah yang bersangkutan dapat ditentukan menurut tata cara penentuan batas dalam pelaksanaan pendaftaran tanah, batas tersebut dapat digambarkan pada peta dasar pendaftaran tanahnya dan dicatat pula dalam daftar tanah yang ada. Semua itu perlu diatur sesuai dengan keadaan masing-masing daerah dalam Peraturan Daerah. yang dimaksudkan dalam Pasal 6. Ketentuan yang demikian sebenarnya tidak cukup, sebab berdasarkan Pasal 19 UUPA jo PP No. 24 Tahun 1997 bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang telah dicabut oleh PP No. 24 Tahun 1997. Pendaftaran tanah hak ulayat mengalami suatu kendala, karena sebagaimana Pasal 9 PP No. 24 Tahun 1997 bahwa Obyek pendaftaran tanah meliputi: bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak

guna bangunan dan hak pakai; tanah hak pengelolaan; tanah wakaf; hak milik atas satuan rumah susun; hak tanggungan; tanah Negara.

4. Mengenai pelaksanaan hak ulayat oleh masyarakat hukum adat

Hak ulayat memberikan kewenangan tertentu kepada masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya yang sumber, dasar pelaksanaan, dan ketentuan tata cara pelaksanaannya adalah hukum adat yang bersangkutan. Kewenangan tersebut meliputi hak penguasaan tanah oleh para warganya (Pasal 4 ayat 1 huruf a) dan pelepasan tanah untuk keperluan “orang luar” (Pasal 4 ayat 1 huruf b). Mengingat hukum adat itu bersifat dinamis, maka hak penguasaan tanah yang diperoleh menurut hukum adat oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan apabila dikehendaki boleh didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut Undang-undang Pokok Agraria. Dengan demikian tujuan “meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan hukum dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan” sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Pokok Agraria akan dapat terwujud secara alamiah dan bertahap.

Dalam pada itu dapat dipastikan bahwa pada waktu dikeluarkannya Peraturan Daerah yang mengatur hak ulayat nanti akan terdapat bidang- bidang tanah yang sudah dipunyai perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang-undang Pokok Agraria atau sudah diperoleh menurut ketentuan dan tata cara yang berlaku walaupun haknya secara administratif belum diperoleh. Berdasarkan pemikiran bahwa bidang-bidang tanah ini sudah diperoleh secara sah, yaitu dengan membeli atau membebaskannya dari hak-hak dan kepentingan yang ada

di atasnya, maka pelaksanaan hak ulayat atas bidang-bidang tanah ini dikecualikan (Pasal 3 UUPA).

Menurut prinsip Hukum Adat yang diakui eksistensinya oleh Undang-Undang Agraria intensitas hubungan seseorang dengan tanah akan menentukan tebal tipis haknya atas tanah tersebut. Makin lama dan intensif hubungan seseorang dengan tanah, makin tebal haknya atas tanah tersebut. Djojodiguno “teori mulur-mungkret” Supomo “inividualis-sering proces”). Secara kultural, rakyat Indonesia acapkali disebut sebagai masyarakat “oral cultural”.26 Dokumen atau catatan tertulis sebagai bukti suatu hak bukanlah sesuatu yang penting. Bukti yang kuat adalah hubungan konkret seperti tanaman dan pengetahuan dari anggota masyarakat hukum sekitarnya. Sistem girik bukanlah asli budaya Indonesia. Girik adalah sistem administrasi Hindia Belanda untuk kepentingan perpajakan. Kemudian, diterima (resepsi) sebagai bukti pemilihan atas tanah. Begitu pula pengertian “tanah dikuasai negara” Dalam praktek, negara atau pemerintah diberi wewenang untuk memberikan hak tanah kepada siapapun tanpa menghiraukan hubungan yang telah ada antara rakyat dengan tanah. Praktek semacam ini sangat kolonialistik dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Asas “domein” pada masa kolonial masih ada batas, yaitu dibedakan antara “vrijlandsdomein” dan “onvrinlandsdomein”. Terhadap “onvrijlandsdo-mein” pemerintah koloniali tidak akan memberikan kepada pihak lain karena di atas tanah tersebut diakui hak masyarakat atas tanah seperti hak ulayat dan

26

lain-lain. Sebaliknya, di masa merdeka, lebih-lebih setelah ada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Dalam kenyataan pengertian hak negara menguasai tanah bergeser seperti “domein” pada masa kolonial. Bahkan, lebih. Pemerintah atas nama negara berkuasa penuh menyerahkan atau memberikan hak atas sebidang “tanah negara”, tanpa harus menghiraukan hak-hak yang secara sosio-kultural ada pada rakyat. Hukum menjadi bentuk formal di tangan para penguasa. Satu hal pokok yang dilupakan. Begitu pula dari sudut Undang-Undang Dasar. Hak negara menguasai tanah adalah untuk kepentingan rakyat. Sangat tepat ungkapan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 karena itu tidak boleh dipilah atau dipisahkan dikuasai negara itu “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kalau tanah, sebidang tanah telah dipergunakan rakyat, maka tercapailah salah satu tujuan penguasaan negara atas tanah, yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jadi, negara atau pemerintah harus mengutamakan (mendahulukan) hak rakyat atas tanah daripada kepentingan lain yang datang kemudian. Inilah inti paham “tanah dikuasai negara”.

Apabila para hakim memperhatikan dan menerapkan dengan sungguh-sungguh asas-asas yang terkandung dalam ketentuan Pasal II Aturan Peralihan, maka dekolonialisasi kaidah-kaidah warisan masa kolonial dapat diselesaikan lebih cepat tanpa menunggu pembaharuan peraturan perundang-undangan. Pada tataran tertentu, putusan-putusan hakim yang mengamputasi kaidah-kaidah warisan masa kolonial dapat lebih penting dari peraturan perundang-undangan. Putusan hakim yang bersifat konkret langsung menyentuh kenyataan yang ada akan segera menghidupkan rasa keadilan, dibandingkan peraturan perundang-undangan yang abstrak dan masih perlu

diuji keterandalannya. Hal ini sejalan dengan fungsi hakim sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang menyebutkan: “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,mengikuti dan memahami nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Dalam kaitan dengan penerapan peraturan perundang-undangan hakim dapat menjalankan fungsi-fungsi berikut:

(1) Menjamin peraturan perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil. Apabila penerapan peraturan perundang-undangan akan menimbulkan ketidakadilan, hakim wajib berpihak pada keadilan dan mengenyampingkan peraturan perundang-undangan.

(2) Sebagai “dinamisator” peraturan perundang-undangan. Hakim dengan menggunakan metode penafsiran, konstruksi, dan berbagai pertimbangan sosiokultural berkewajiban menghidupkan peraturan perundang-undangan untuk memenuhi kebutuhan nyata masyarakat.

(3) Melakukan “koreksi” terhadap kemungkinan kekeliruan atau kekosongan peraturan perundang-undangan. Hakim wajib menemukan bahkan menciptakan hukum untuk mengoreksi atau mengisi peraturan perundang-undangan.

(4) Melakukan “penghalusan” terhadap peraturan perundang-undangan. Tanpa penghalusan, peraturan perundang-undangan akan begitu keras sehingga tidak mewujudkan keadilan atau tujuan tertentu secara wajar.

Dokumen terkait