• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : PENGAMBILAN HAK ULAYAT UNTUK

3. Upaya Hukum Masyarakat Hukum Adat Bila Ganti

Masyarakat pemegang hak atas tanah adat tanah ulayat dirugikan oleh pemerintah setempat, yang berarti terjadi perselisihan antara masyarakat/rakyat dengan pemerintah. Pada kondisi yang demikian ini masyarakat atau rakyat perlu

mendapatkan suatu perlindungan hukum. Perlindungan hukum, yang berarti perbuatan untuk memberikan perlindungan dari segi peraturan perundang-undangan. Pengertian perlindungan hukum bagi rakyat menurut Philipus M. Hadjon berkaitan dengan rumusan yang dalam kepustakaan berbahasa Belanda berbunyi “rechtsbescherming van de burgers tegen de overheid dan dalam kepustakaan berbahasa Inggris legal protection of the individual in relation to acts of

administrative authorities”.35

Dalam rumusan perlindungan hukum bagi rakyat tersebut Philipus M. Hadjon sengaja tidak dicantumkan terhadap pemerintah atau terhadap tindak pemerintahan dengan pertimbangan dan alasan berikut :36

- Istilah rakyat sudah mengandung pengertian sebagai lawan dari istilah pemerintah. Istilah rakyat pada hakekatnya berarti yang dipemerintah (the

governed, geregeerde). Dengan demikian, istilah rakyat mengandung arti yang

lebih spesifik dibandingkan dengan istilah-istilah dalam bahasa asing, seperti :

volks, people, peuple.

- Dicantumkannya terhadap pemerintah atau terhadap tindak pemerintahan dapat menimbulkan kesan bahwa ada konfrontasi antara rakyat sebagai yang diperintah dengan pemerintah sebagai yang memerintah. Pandangan yang demikian tentunya

35

Philipus M. Hadjon, Op. cit, h. 1. 36

bertentangan dengan falsafah hidup negara kita, yang memandang rakyat dan pemerintah sebagai partner dalam usaha mewujudkan cita-cita hidup bernegara. Hal ini berarti bahwa perlindungan hukum terhadap rakyat ini ada kaitannya dengan suatu tindakan pemerintah yang bisa melakukan perbuatan secara sewenang-wenang atau melampaui wewenang yang ada padanya.

Prinsip didahulukan karena atas dasar prinsip, baru dibentuk sarananya, karena tanpa dilandaskan pada prinsip, pembentukan sarana menjadi tanpa arah. Dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat (di Indonesia), menurut Philipus M. Hadjon landasan pijaknya adalah Pancasila sebagai dasar Ideologi dan dasar falsafah negara. Konsepsi perlindungan hukum bagi rakyat di Barat bersumber pada konsep-konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan konsep-konsep rechtsstaat dan the rule of law. Konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia memberikan isinya dan konsep rechtsstaat dan the rule of law menciptakan sarananya, dengan demikian pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia akan subur dalam wadah rechtsstaat atau the rule of law, sebaliknya akan gersang di dalam negara-negara diktator atau totaliter.37

Dengan menggunakan konsepsi Barat sebagai kerangka pikir dengan landasan pihak pada Pancasila, prinsip perlindungan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat hukum yang berdasarkan Pancasila. Pengakuan dan perlindungan terhadap

37

harkat dan martabat manusia dikatakan bersumber pada Pancasila, karena pengakuan dan perlindungan terhadapnya secara instrinsik melekat pada Pancasila dan seyogianya memberi warna dan corak serta isi negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Negara hukum yang berdasarkan pada Pancasila saya namakan Negara Hukum Pancasila. Dengan penamaan yang demikian mungkin ada yang mempermasalahkan, kalau demikian apakah terhadap hak-hak asasi juga diberi nama hak-hak asasi Pancasila. Jawabannya, tidak perlu karena pengakuan akan harkat dan martabat manusia bukan hanya berdasar tetapi bersumber pada Pancasila.

Apabila dikaitkan dengan kasus yang menimpa masyarakat masyarakat NTB selaku pemegang hak ulayat yang diambil secara paksa untuk lapangan udara sehingga mendapat perlawanan dari masyarakat setempat. Merupakan suatu bukti telah terjadi pelanggaran terhadap rakyat selaku pemegang hak atas tanah ulayat. Kerugian akibat pengambialihan tanah ulayat secara paksa oleh pemerintah setempat merupakan suatu bukti telah terjadinya pelanggaran terhadap hak rakyat atas tanah, sehingga perlu penanganan.

Mekanisme penanganan sengketa tersebut lazimnya diselenggarakan dengan pola sebagai berikut :

1. Pengaduan

Dalam pengaduan ini biasanya berisi hal-hal dan peristiwa-peristiwa yang menggambarkan bahwa pemohon/pengadu adalah yang berhak atas tanah sengketa dengan lampirannya bukti-bukti dan mohon penyelesaian disertai

harapan agar terhadap tanah tersebut dapat dicegah mutasinya, sehingga tidak merugikan dirinya.

2. Penelitian

Terhadap penanganan tersebut kemudian dilakukan penelitian baik berupa pengumpulan data/administratif maupun hasil penelitian fisik di lapangan (mengenai penguasaannya). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut beralasan atau tidak untuk diproses lebih lanjut.

Jika ternyata terdapat dugaan kuat, bahwa pengaduan tersebut dapat diproses, maka lebih lanjut diselesaikan melalui tahap tentang kemungkinan dilakukan pencegahan mutatis mutandis menyatakan tanah tersebut dalam sengketa.

Namun apabila pengaduan tersebut tidak mengadung alasan-alasan yang kuat atau masalahnya terlalu prinsipil dan harus menempuh proses lembaga atau instansi lain, maka kepada yang bersangkutan diberitahukan hal-hal tersebut dan ternyata dinyatakan bahwa pengaduan tidak atau belum dapat dipertimbangkan. 3. Pencegahan Mutasi (Status Quo)

Sebagai tindak lanjut dari penyelesaian sengketa tersebut di atas, kemudian baik atas dasar petunjuk atau perintah atasan maupun berdasarkan prakarsa Kepala Kantor Agraria yang bersangkutan terhadap tanah sengketa, dapat dilakukan langkah-langkah pengamanan berupa pencegahan/penghentian untuk sementara terhadap segala bentuk perubahan (mutasi).

Maksud dari pada pencegahan adalah menghentikan untuk sementara segala bentuk perubahan. Kegunaannya yang pertama adalah untuk kepentingan

penelitian di dalam penyelesaian sengketa (status quo) oleh karena kalau tidak demikian, penyelesaian sengketa akan mengalami kesulitan di dalam meletakkan keputusannya nanti. Misalnya, tanah yang dalam keadaan sengketa diperjualbelikan sehingga keputusannya akan merugikan pihak pembeli yang beritikad baik.

Kegunaannya yang kedua adalah untuk kepentingan pemohon sendiri, sebab apabila tidak dilakukan penghentian sudah barang tentu pengaduan tersebut tidak akan ada gunanya.

Istilah-istilah sehubungan dengan pencegahan kita mengenal istilah “pembeslahan”., biasanya dalam kaitannya dengan proses di pengadilan. “Penyegelan” yang lazimnya dipergunakan oleh instansi Kepolisian atau Kejaksaan untuk keperluan penyidikan dan istilah “pemblokiran” yaitu istilah yang lazim digunakan oleh masyarakat umum yang maksud dan artinya adalah sama dengan pencegahan mutasi.

Yang berwenang untuk menyatakan atau memerintahkan pencegahan mutasi menurut ketentuan peraturan yang berlaku adalah :

a. Menteri Dalam Negeri ic. Direktur jenderal Agraria

b. Instansi pengadilan sehubungan dengan penetapan suatu sita terhadap tanah (PP No. 24 Tahun 1997)

c. Secara tidak langsung instansi lain yang berkepentingan dengan perizinan bangunan atau instansi penyidikan (Kepolisian, Kejaksaan). Yang terakhir di dalam menempatkan pemblokiran atau pembeslahan seyogyanya

memberitahukan hal tersebut kepada instansi Agraria, akan tetapi seiring hal itu jarang dilaksanakan sehingga sering menimbulkan kesulitan penyelesaian. Syarat-syarat untuk dapat dilakukan pencegahan untuk menjamin kelancaran pemeriksaan atau penelitian :

a. Terdapat alasan yang sah, misalnya si pemohon atau pengadu akan terancam haknya, apabila tidak dilakukan pencegahan.

b. Demi kepentingan hukum perlu dilakukan pencegahan untuk menjamin kelancaran pemeriksaan atau penelitian.

Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, misalnya si pengadu ternyata tidak mempunyai kepentingan terhadap tanah yang bersangktuan, maka pengaduan tersebut harus dijawab dengan memberikan pertimbangan penolakan.

4. Musyawarah

Langkah-langkah pendekatan terhadap para pihak yang bersengketa sering berhasil di dalam usaha penyelesaian sengketa (dengan jalan musyawarah).

Tindakan ini tidak jarang menempatkan pihak instansi pemerintah yaitu Direktur Jenderal Agraria untuk menempatkan dirinya sebagai mediator di dalam menyelesaikan sengketa secara kekeluargaan.

Untuk itu diperlukan sikap tidak memihak serta tidak melakukan tekanan-tekanan, akan tetapi tidak berarti bahwa mediator tersebut harus bersikap pasif. Pihak Agraria harus mengemukakan beberapa cara penyelesaian, menunjukkan kelemahan-kelemahan serta kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul, yang dikemukakan kepada para pihak.

Musyawarah ini apabila dilakukan, harus pula memperhatikan tata cara formal seperti surat pemanggilan, berita acara atau notulen rapat, akta atau pernyataan perdamaian yang berguna sebagai bukti bagi para pihak maupun pihak ketiga. Hal-hal semacam ini biasanya kita temukan dalam akta perdamaian, baik yang dilakukan di muka hakim maupun di luar pengadilan atau notaris.

5. Penyelesaian Melalui Pengadilan

Apabila usaha-usaha musyawarah tersebut mengalami jalan buntu, atau ternyata ada masalah-masalah prinsipiil yang harus diselesaikan oleh instansi lain yang berwenang, misalnya pengadilan, maka kepada yang bersangkutan disarankan untuk mengajukan masalahnya ke pengadilan.

Hal tersebut di atas tidak menutup kemungkinan bagi instansi agraria untuk dapat memutuskan sengketa dengan mengeluarkan sesuatu keputusan administrasi sesuai dengan kewenangan yang ada berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jadi pada umumnya sifat dari sengketa ini adalah karena adanya pengaduan yang mengandung pertentangan hak atas tanah maupun hak-hak lain atas suatu kesempatan/prioritas atau adanya suatu ketetapan yang merugikan dirinya.

Pada akhirnya penyelesaian tersebut, senantiasa harus memperhatikan/selalu mendasarkan kepada peraturan yang berlaku, memperhatikan keseimbangan kepentingan-kepentingan para pihak, menegakkan keadilan hukumnya serta penyelesaian ini diusahakan harus tuntas.

6. Pembatalan Hak Atas Tanah

Sebagaimana diketahui di dalam Ilmu Hukum, yang dimaksud dengan hak pada hakikatnya adalah suatu kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang terhadap sesuatu benda maupun orang, sehingga di antaranya menimbulkan hubungan hukum. Jadi apabila seseorang memperoleh hak atas tanah, maka terhadap orang tersebut telah melekat kekuasaan atas tanah tersebut dengan dibatasi kewajiban yang diperintahkan oleh hukum. Pembatalan pada dasarnya adalah suatu perbuatan yang bermaksud memutuskan, menghentikan atau menghapuskan sesuatu hubungan hukum.

Di dalam hukum (peraturan) kita mengenal ajaran kebatalan (nietigheid, nulliteit) yaitu yang membedakan antara pengertian:38

1) Kebatalan mutlak dari suatu perbuatan atau juga disebut kebatalan demi hukum, yaitu suatu perbuatan harus dianggap batal meskipun tidak diminta oleh sesuatu pihak atau tidak perlu dituntut secara tegas (disebut absolute

nietigheid).

2) Kebatalan nisbi, adalah suatu kebatalan perbuatan yang terjadi apabila diminta oleh orang tertentu. Jadi ada syarat bagi orang tersebut untuk memohon/menuntut secara tegas disebut relatief nietigheid). Biasanya tuntutan yang diajukan oleh salah satu pihak karena cacat hukum (paksaan, kekeliruan, penipuan dan lain-lain). Pembatalan nisbi ini terdiri atas batas atas

38

kekuatan sendiri (nietig van rechtswege), dimana kepada hakim dimintakan agar menyatakan batal (nietig verklaard). Misalnya, perbuatan tersebut dikemudian hari ternyata mengandung cacat.

3) Dapat dibatalkan (vernietigbaar) dimana hakim akan membatalkan, apabila terbukti perbuatan tersebut mengandung hal-hal yang menyebabkan batal. Misalnya, paksaan, kekeliruan, penipuan dan lain-lain.

Di dalam buku BW pada Pasal 1320 jo Pasal 1337 dinyatakan suatu persetujuan mengakibatkan batal apabila mengandung paksaan, penipuan, kekhilafan, ketidak cakapan si pembuat dan tanpa sebab (causa tak halal).

Sedangkan mengenai kebatalan dalam arti “nietif heid” (nulliteit) diberikan dalam hal:39

a. kebatalan sebagaimana ditegaskan oleh undang-undang atau kebatalan resmi (textuela of formela nulliteit), yaitu kebatalan yang didalilkan oleh pembuat undang-undang secara tegas sebagai akibat tidak ditaatinya ketentuan peraturan.

b. Kebatalan pokok hakiki atau yang sebenarnya (essentiele, substantief, vertrek

nulliteit) yang karena sifat masalah dan kepentingan suatu peraturan walaupun

tidak dinyatakan secara tegas oleh hakim adalah batal.

39

Di atas telah diuraikan bahwa dengan diberikannya hak/diperolehnya hak (atas tanah) tersebut apabila seseorang, maka terjalinlah hubungan hukum antara pemegang hak tersebut dengan tanahnya.

Perolehan hak tersebut dapat dibedakan dalam hal :40

a. Orang tersebut memperoleh haknya secara originair. Misalnya, okupasi, membuka hutan, pemberian hak dari pemerintah.

b. Pemberian dengan cara derivatief, yaitu memperoleh haknya karena peralihan hak. Misalnya dengan jual beli, tukar menukar, hibah dan lain-lain.

Menurut sistem Pendaftaran Tanah yang dicabut oleh UUPA dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, maka stelsel yang digunakan dalam administrasi pendaftaran tanah kita adalah stelsel negatif.

Di dalam stelsel ini terkandung pengertian bahwa tanda bukti hak (sertifikat) yang dipegang seseorang belum menunjukkan orang tersebut sebagai pemegang hak yang sebenarnya.

Dengan perkataan lain tanda bukti terkuat atas tanah, oleh sertifikat tersebut setiap waktu dapat dibatalkan apabila ‘ternyata ada pihak lain yang dapat membuktikan secara hukum bahwa ia adalah pemilik yang sebenarnya.

Lain halnya di dalam sistem yang positif, yaitu tanda bukti hak seseorang atas tanah adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Apabila ternyata terdapat

40 Ibid.

bukti yang cacat, menunjukkan cacat hukum dari perolehan hak tersebut, maka ia tidak dapat menuntut pembatalan, kecuali tuntutan pembayaran ganti kerugian. Berdasarkan ketentuan UUPA Pasal 2 yang memberikan wewenang hak menguasai negara terhadap bumi, air dan ruang angkasa khususnya tanah, tersirat di dalamnya mengatur hubungan hukum seeorang terhadap tanah yang dalam hal ini adalah termasuk pemutusan hubungan atau pembatalan hak seseorang atas tanah.

Terlepas dari masalah penyelesaian sengketa pertanahan sebagaimana tersebut di atas, warga masyarakat Nusa Tenggara Barat selaku pemegang hak atas tanah adat atau ulayat yang akan digunakan sebagai landasan pacu pesawat atau lapangan terbang tetap mempertahankan hak-haknya tersebut. Kecuali pemerintah menunjukkan etiket yang baik dalam hal prosedur pelepasan atau pembebasan hak atas tanah, yang dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, misalnya memberikan suatu penjelasan kepada masyarakat pemegang hak atas tanah adat mengenai kepentingan umum dan penentuan mengenai harga ganti kerugian atas tanah yang terkena pembebasan tersebut.

BAB IV PENUTUP

Dokumen terkait