• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : PENGAMBILAN HAK ULAYAT UNTUK

2. Perlindungan Hukum Pemegang Tanah Ulayat …

Perlindungan hukum, yang berarti perbuatan untuk memberikan perlindungan dari segi peraturan perundang-undangan. Pengertian perlindungan hukum bagi rakyat menurut Philipus M. Hadjon berkaitan dengan rumusan yang dalam kepustakaan berbahasa Belanda berbunyi “rechtsbescherming van de burgers tegen de overheid dan dalam kepustakaan berbahasa Inggris legal protection of the individual in

relation to acts of administrative authorities”.29

Dalam rumusan perlindungan hukum bagi rakyat tersebut Philipus M. Hadjon sengaja tidak dicantumkan terhadap pemerintah atau terhadap tindak pemerintahan dengan pertimbangan dan alasan berikut :30

- Istilah rakyat sudah mengandung pengertian sebagai lawan dari istilah pemerintah. Istilah rakyat pada hakekatnya berarti yang dipemerintah (the

governed, geregeerde). Dengan demikian, istilah rakyat mengandung arti

yang lebih spesifik dibandingkan dengan istilah-istilah dalam bahasa asing, seperti : volks, people, peuple.

- Dicantumkannya terhadap pemerintah atau terhadap tindak pemerintahan dapat menimbulkan kesan bahwa ada konfrontasi antara rakyat sebagai yang diperintah dengan pemerintah sebagai yang memerintah. Pandangan yang demikian tentunya bertentangan dengan falsafah hidup negara kita, yang memandang rakyat dan pemerintah sebagai partner dalam usaha mewujudkan cita-cita hidup bernegara.

Hal ini berarti bahwa perlindungan hukum terhadap rakyat ini ada kaitannya dengan suatu tindakan pemerintah yang bisa melakukan perbuatan secara sewenang-wenang atau melampaui wewenang yang ada padanya.

29

Philipus M. Hadjon, Op. cit, h. 1. 30

Prinsip didahulukan karena atas dasar prinsip, baru dibentuk sarananya, karena tanpa dilandaskan pada prinsip, pembentukan sarana menjadi tanpa arah. Dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat (di Indonesia), menurut Philipus M. Hadjon landasan pijaknya adalah Pancasila sebagai dasar Ideologi dan dasar falsafah negara. Konsepsi perlindungan hukum bagi rakyat di Barat bersumber pada konsep-konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan konsep-konsep rechtsstaat dan the rule of law. Konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia memberikan isinya dan konsep rechtsstaat dan the rule of law menciptakan sarananya, dengan demikian pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia akan subur dalam wadah rechtsstaat atau the rule of law, sebaliknya akan gersang di dalam negara-negara diktator atau totaliter.

Dengan menggunakan konsepsi Barat sebagai kerangka pikir dengan landasan pihak pada Pancasila, prinsip perlindungan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat hukum yang berdasarkan Pancasila. Pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dikatakan bersumber pada Pancasila, karena pengakuan dan perlindungan terhadapnya secara instrinsik melekat pada Pancasila dan seyogianya memberi warna dan corak serta isi negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Negara hukum yang berdasarkan pada Pancasila saya namakan Negara Hukum Pancasila. Dengan penamaan yang demikian mungkin ada yang mempermasalahkan, kalau demikian apakah terhadap hak-hak asasi juga diberi nama

hak-hak asasi Pancasila. Jawabannya, tidak perlu karena pengakuan akan harkat dan martabat manusia bukan hanya berdasar tetapi bersumber pada Pancasila.

Perlindungan hukum bagi pemegang hak adat atas tanah ulayat tidak lepas dari ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tegas negara mengakui dan memberikan pengakuan dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat termasuk hak-hak tradisionalnya. Hal ini merupakan bukti komitmen dan upaya dari negara untuk mengembalikan hak-hak masyarakat adat (termasuk hak ulayat) yang selama ini terpinggirkan. Sangat disayangkan pengakuan terhadap hak ulayat lebih pada law in book, karena pelaksanaannya tidak jarang terbentur pada persyaratan diakuinya keberadaan hak ulayat itu sendiri yang mengharuskan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara. Pada tataran praktek pemanfaatan tanah hak ulayat untuk kepentingan pembangunan maupun investor melalui pola penguasaan tanah melalui Hak Guna Usaha (HGU) berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat pemegang hak ulayat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996, HGU bisa ditetapkan pada tanah-tanah selain tanah yang dikuasai langsung oleh Negara melalui mekanisme pelepasan hak dan pengeluaran status kawasan. Hal ini merupakan perluasan pemberian alas HGU berdasar UUPA.

Dalam praktek, penetapan HGU melalui mekanisme pelepasan hak justru didahului dengan paksaan dan klaim sepihak dari Negara, dengan mengabaikan transparansi, akuntibilitas, dan peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan soal alokasi sumber-sumber agraria. Masalah ini juga terjadi dalam pola pengeluaran status

kawasan hutan untuk alokasi tanah HGU. Penetapan tanah HGU di wilayah ini dapat dipastikan menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal, baik soal penguasaan maupun masalah pengerjaan tanahnya. Terakhir, penetapan HGU di kawasan hutan ini menimbulkan masalah lingkungan yang parah.

Ketentuan Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945 merupakan komitmen negara dalam mengakui dan menghormati hak milik perorangan, termasuk hak warganegara atas tanah. Namun hak atas tanah yang berlaku di Indonesia tidak bersifat mutlak, artinya tidak sepenuhnya dapat dipertahankan terhadap siapapun oleh pemegang hak. Dalam kondisi tertentu dimana kepentingan negara menghendaki, maka pemegang hak atas tanah harus rela melepaskan haknya untuk kepentingan yang lebih besar. Jika ditilik dari konstitusi, UUD 1945 telah menggariskan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. UUPA, sebagai peraturan dasar yang menjadi acuan dari keberadaan berbagai peraturan perundangan bidang pertanahan juga mengakui prinsip-prinsip yang menggariskan bahwa negara menjamin hak-hak masyarakat atas tanahnya dan memberikan pengakuan atas hak-hak atas tanah yang ada di masyarakat.

Hal ini menunjukan bahwa tugas negara untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum bagi warganya termasuk dalam melindungi hak-hak warga negara atas tanah. Hal ini Pemerintah, kemudian diperkuat dan dilegitimasi oleh Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 yang di dalamnya mengamanatkan kepada pemerintah untuk melakukan berbagai hal baik menyangkut upaya penataan, penguasaan, pemilikan, penggunaan, peruntukkan, dan penyediaan tanah yang

semuanya diletakan dalam kerangka membangun kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan.

Terkait dengan kewenangan pemerintah untuk mengatur penggunaan, peruntukkan dan penyediaan tanah maka hak-hak privat yang terkristalisasi dalam berbagai hak sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 UUPA harus tunduk pada peraturan-peraturan yang didasarkan pada hak menguasai dari negara atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Termasuk dalam hal ini hak milik atas tanah warga dapat diambil alih atau dicabut haknya guna pemenuhan kebutuhan atas tanah yang diperuntukkan bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum.

Mengingat pengambilalihan tanah menyangkut hak-hak individu atau masyarakat, maka pengambilalihan tanah harus memperhatikan prinsip keadilan sehingga tidak merugikan pemilik asal. Salah satu prinsip dasar dari pengambilalihan tanah yang universal adalah ‘no private property shall be taken for public use without

just and fair compensation”, artinya proses pengambilalihan tanah dilakukan dengan

kompensasi yang jujur dan adil. Namun demikian dalam prakteknya prinsip-prinsip tersebut sering terabaikan dan pemerintah selaku penyelenggara negara lebih mengedepankan kekuasaannya dengan menggunakan tameng Hak Menguasai Negara dan kepentingan umum.

Upaya menjembatani kepentingan rakyat atas tanahnya dan pemenuhan kebutuhan tanah untuk kegiatan pembangunan telah dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah

bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagai pengganti Keppres No.55 Tahun 1993. Pada awalnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 menuai kontroversi yang bersumber pada definisi kepentingan umum yang terlalu luas dan jaminan kompensasi bagi masyarakat yang tanahnya diambil alih untuk kegiatan pembangunan demi kepentingan umum. Namun dengan dikeluarkannya Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Perpres No. 36 Tahun 2005, definisi kepentingan umum relatif lebih tegas dan berkepastian hukum, yaitu dengan berkurangnya jenis kepentingan umum dari 21 (duapuluh satu) menjadi 7 (tujuh) jenis serta penegasan pembatasan pengadaan tanah untuk kepentingan umum terbatas pada kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemda yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemda. Hal penting lainnya yang patut digarisbawahi, dalam Perpres tersebut tidak lagi dimungkinkan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum melalui mekanisme pencabutan hak atas tanah. Artinya pemerintah memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk tidak mengambilalih hak tanahnya secara paksa melainkan melaui mekanisme pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang dilakukan melalui musyawarah dan kesepakatan para pihak yang berkepentingan.

Pada dasarnya masyarakat tidak keberatan jika tanah miliknya harus diambilalih untuk kepentingan pembangunan yang tujuannya adalah untuk kesejahteraan bersama, Namun praktek-praktek pengambilalihan tanah selama ini seringkali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk keuntungan sendiri

dengan berkedok ‘kepentingan umum”, telah menciptakan keraguan pada masyarakat setiap kali ada kegiatan pengambilalihan tanah untuk kepentingan umum.

Hal ini terlihat dari hasil jajak pendapat yang dimuat oleh media harian Kompas, yang menyoroti sikap masyarakat terkait dengan masalah pembebasan tanah demi kepentingan umum. Sebagai sebuah langkah kebijakan publik, terlihat bahwa pada dasarnya upaya penggunaan lahan privat untuk tujuan kepentingan umum yang dilakukan pemerintah diakui publik berada di atas kepentingan individu. Oleh karena itu, meski diiringi ekspresi keengganan yang menonjol, publik tak menafikan upaya pembebasan tanah demi kepentingan umum. Sebagian besar responden (66 persen) menyatakan setuju dan hanya 30 persen responden yang tidak setuju. Namun sebagian besar respondern menyatakan keberatan jika harus mengalihkan tanahnya untuk swasta kecuali dengan ganti rugi yang memadai sebagaimana yang dikehendaki responden.31

Permasalahan pertanahan merupakan hal yang harus segera ditangani karena pemanfaatan tanah merupakan masalah lintas sektoral yang perpengaruh terhadap perkembangan pembangunan. Untuk itu perlu segera dilakukan penataan kembali sektor pertanahan melalui program Gerakan Pembaharuan Agraria Nasional yang merupakan gerakan terpadu antar berbagai program yang akan merestrukturisasi penggunaan, pemanfaatan penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria, terutama tanah yang mampu menjamin keadilan dan peningkatan kesejahteraan

31

rakyat. Pembaruan agraria menjadi prasyarat untuk mencapai keadilan sosial dan pembangunan berkelanjutan. Untuk itu, sangat diperlukan pemikiran ulang transformasi agraria melalui pendekatan pembaruan agraria sebagai sarana strategis pembangunan berkelanjutan yang berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Hal yang turut berperan penting dalam pembaruan agraria adalah sinkronisasi peraturan perundangan dan kebijakan yang terkait dengan maslaah agraria khususnya tanah, yaitu dengan mencabut peraturan yang bertentangan atau melakukan revisi atau dengan membuat aturan yang mengacu pada konstitusi. Konstitusi menjadi dasar dalam melakukan penataan kembali hukum agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip menghormati hak asasi manusia dan supremasi hukum yang mengakomodasi hukum adat, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mewujudkan keadilan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.

Hal yang dirasa belum sinkron adalah dalam hal mengartikan tanah untuk kepentingan umum. Sebagaimana disebutkan oleh Pasal 18 UUPA, bahwa “untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”. Pengertian hak-hak atas tanah dapat dicabut, mengandung maksud bahwa hak-hak atas tanah sebagaimana Pasal 16 UUPA, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa dan lainnya dapat dicabut dari pemegang haknya.

Mengenai pemegang hak atas tanah tersebut dapat dimiliki oleh orang perseorangan, badan hukum maupun tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat atau tanah ulayat, disertai dengan penggantian kerugian yang layak dan menurut peraturan perundang-undangan.

Hal yang selama ini masih menimbulkan suatu permasalahan yaitu mengartikan kepentingan umum. Sebagaimana yang terjadi di Nusa Tenggara Barat, pemerintah setempat akan membangun lapangan terbang yang tentunya membutuhkan lahan pertanahan yang luas sebagai landasan pacu pesawat. Hak atas tanah yang akan digunakan sebagai pembangunan lapangan terbang adalah tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat atau tanah-tanah ulayat. Pemerintah setempat mengartikan bahwa pembangunan landasan pacu pesawat atau lapangan terbang.termasuk kepentingan umum, sehingga masyarakat adat wajib melepaskan hak atas tanah tersebut, namun masyarakat keberatan terutama mengenai prosedur dan besarnya ganti kerugian.

Perihal pengertian untuk kepentingan umum hak atas tanah dapat dicabut sebagaimana disebutkan oleh Pasal 18 UUPA, masih menimbulkan suatu perbedaan persepsi dalam mengartikan untuk kepentingan umum tersebut.

Menurut Perpres No. 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, pengertian kepentingan umum sebagai suatu hal yang abstrak, mudah dipahami secara teoritis tetapi menjadi sangat kompleks ketika diimplementasikan. Pemberian makna kepentingan umum tampaknya seiring sejalan dengan orientasi kebijakan pemerintah. Ketika orientasinya

lebih difokuskan pada pertumbuhan ekonomi, maka kepentingan umum cenderung didefinisikan secara luas. Sebaliknya, bila pertumbuhan ekonomi tidak menjadi fokus, kepentingan umum cenderung didefinisikan secara sempit.32

Huybers mendefinisikan kepentingan umum sebagai “kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan yang memiliki ciri-ciri tertentu, antara lain menyangkut perlindungan hak-hak individu sebagai warga negara dan menyangkut pengadaan serta pemeliharaan sarana publik dan pelayanan publik”.33 Kepentingan umum dapat dijabarkan melalui dua cara. Pertama, berupa pedoman umum yang menyebutkan bahwa pengadaan tanah dilakukan berdasarkan alasan kepentingan umum melalui berbagai istilah. Karena berupa pedaman, hal ini dapat mendorong eksekutif secara bebas menyatakan suatu proyek memenuhi syarat kepentingan umum. Kedua, penjabaran kepentingan umum dalam daftar kegiatan. Dalam praktik kedua cara itu sering ditempuh secara bersamaan.34

Melalui perpres, makna kepentingan umum telah bergeser Kepentingan Umum sebagai kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat tidak dibatasi dengan tiga kriteria seperti keppres sehingga membuka penafsiran yang longgar. Contoh pergeseran makna itu adalah dimasukkannya “jalan tol” dalam salah satu kegiatan yang bersifat kepentingan umum. Keppres tidak memuat hal itu. Mudah dipahami

32

Maria S.W., Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005, h. 106-107.

33

Ibid., h. 107.

34

bahwa bacaan tiga kriteria kepentingan umum dihapuskan dalam perpres karena hal itu tidak dapat diaplikasikan untuk proyek jalan tol.

Dalam UU No. 38/2004 tentang Jalan (18 Oktober 2004) dan PP No. 15/2005 tentang Jalan Tol (21 Maret 2005) jelas bahwa jalan tol berbeda dengan jalan umum (jalan provinsi, kabupaten/kota, desa) karena spesifikasi teknisnya, pengguna dan kewajiban membayar pemakaian, dan pendanaan serta pengusahaannya dapat dilakukan oleh badan usaha milik swasta yang sudah tentu harus memperoleh pengembalian investasi dan keuntungan yang wajar.

Dihapusnya tiga kriteria ini menjadi rancu ketika perpres membedakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum oleh pemerintah/pemerintah daerah melalui perpres, sedangkan untuk pihak swasta pengadaan tanah dilakukan dengan cara jual beli, tukar-menukar, dan sebagainya. Tidak dimungkiri bahwa pembangunan jalan tol memerlukan dana besar yang tidak sepenuhnya dapat ditanggung pemerintah dan pelaksanaannya harus sesuai jadwal. Tetapi janganlah pertimbangan ini dicoba diatasi melalui perpres dengan risiko mengaburkan makna kepentingan umum dan nilai-nilai keadilan. Jika perpres tetap dipertahankan, sulit ditepis anggapan bahwa perpres ini dijadikan instrumen untuk legitimasi kepentingan tertentu.

Ke depan perlu dipikirkan bahwa pengadaan tanah jangan hanya dilihat dari hasilnya, tetapi juga prosesnya. Seyogyanya untuk setiap kegiatan pembangunan, baik yang dilakukan pemerintah/pemerintah daerah atau pihak swasta, sepanjang hal itu berdampak terhadap penurunan kesejahteraan sosial ekonomi pemegang hak atas tanah, tata caranya haus diatur dalam UU. Mengingat perpres ini bermasalah, baik

dari segi substansi maupun wadahnya serta berpeluang tidak berlaku secara sosiologis, maka perlu ditunda pemberlakuannya. Untuk mencegah kekosongan hukum, Keppres Mo. 55/1993 diberlakukan kembali untuk sementara waktu sampai dengan terbentuknya undang-undang tentang pengadaan tanah. Benar bahwa setelah berlakunya UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, penerbitan keppres tidak lagi dimungkinkan (Pasal 7). Namun, Keppress No. 55/1993 yang semestinya tetap berlakau bila tidak diganti dengan perpres yang bermasalah ini, dapat diberlakukan kembali dengan mambaca keputusan presiden sebagai peraturan presiden sesuai Pasal 56 UU No. 10/2004.

Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian yaitu mengenai “ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”, pemerintah sebagai pihak yang mengambil kebijakan dengan berlandaskan kepentingan umum, kadangkala mengabaikan hak-hak rakyat pemegang hak atas tanah tersebut. Merujuk pada Pasal 7 Perpres No. 36/2005, bahwa pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah. Penghormatan terhadap hak-hak atas tanah tentunya juga kepada pemegang haknya. Oleh karena itu mengenai pelepasan dan pembebasan tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat atau tanah ulayat juga harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang benar dan penentuan ganti kerugian yang layak. Sesuai dengan Pasal 7 Perpres No. 36 Tahun 2005 bahwa Panitia pengadaan tanah bertugas: mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan; mengadakan penelitian mengenai

status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan, dan dokumen yang mendukungnya; menaksir dan mengusulkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan, memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap muka, media cetak maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah, mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi Pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi, menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda- benda lain yang ada di atas tanah, membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten. Selanjutnya Pasal 8 Perpres No. 36 Tahun 2005 menentukan Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah dalam rangka memperoleh kesepakatan mengenai: pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di lokasi tersebut; bentuk dan besarnya ganti rugi. Musyawarah dilakukan di tempat yang ditentukan dalam surat undangan. Kemudian Pasal 9 Perpres No. 36 Tahun 2005 menentukan Musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah bersama panitia pengadaan tanah, dan

instansi Pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah. Dalam hal jumlah pemegang hak atas tanah tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif, maka musyawarah dilaksanakan oleh panitia pengadaan tanah dan instansi Pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dengan wakil-wakil yang ditunjuk di antara dan oleh para pemegang hak atas tanah, yang sekaligus bertindak selaku kuasa mereka. Penunjukan wakil atau kuasa dari para pemegang hak harus dilakukan secara tertulis, bermaterai cukup yang diketahui oleh Kepala Desa/Lurah atau surat penunjukan/kuasa yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Musyawarah dipimpin oleh ketua panitia pengadaan tanah. Oleh karena itu jika maksud pemerintah Nusa Tenggara Barat untuk membangun landasan pacu lapangan terbang dengan mengambil hak-hak atas tanah milik masyarakat adat dengan alasan untuk kepentingan umum, namun karena adanya penolakan akhirnya timbullah korban masyarakat pemegang hak, yang berarti bahwa pelepasan dan pembebasan tanah tersebut dilakukan tidak sesuai dengan prosedur yang benar, yang berakibat masyarakat dirugikan.

3. Upaya Hukum Masyarakat Hukum Adat Bila Ganti Rugi Yang Ditentukan

Dokumen terkait