• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga TESIS PERLINDUNGAN HUKUM MASYARAKAT HUKUM ADAT PEMEGANG HAK ULAYAT. Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga TESIS PERLINDUNGAN HUKUM MASYARAKAT HUKUM ADAT PEMEGANG HAK ULAYAT. Oleh"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PERLINDUNGAN HUKUM MASYARAKAT HUKUM

ADAT PEMEGANG HAK ULAYAT

Oleh

WAHYU ARSYANTUTI, S.H. NIM 030610128 – N

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA

(2)

LEMBAR PERSETUJUAN

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL: JUMAT, 30 JANUARI 2009

Oleh: Pembimbing

SUMARDJI, S.H., M.Hum

NIP . 131 470 994

Mengetahui

Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Tesis ini diuji oleh Panitia Penguji Tesis Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya

Pada hari : Jumat, 30 Januari 2009

Panitia Penguji Tesis :

Ketua : Prof. Dr. Eman Ramelan, S.H., MS.

Anggota : 1. Sumardji, S.H., M.Hum.

(4)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya kepada saya sehingga penulisan tesis berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM MASYARAKAT HUKUM ADAT PEMEGANG HAK ULAYAT”, dapat saya selesaikan.

Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Magister Kenotariatan dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga Program Pasca Sarjana. Saya menyadari bahwa selesainya penulisan tesis ini tidak lepas dari bantuan, pengarahan, bimbingan serta dorongan yang begitu besar dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini, perkenankanlah saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. Muchammad Zaidun, S.H., M.Si., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga;

(5)

3. Bapak Prof. Dr. Eman Ramelan, S.H., M.S., selaku Ketua Penguji Tesis serta dosen yang telah membagi ilmu dan memberi bantuan kepada saya sehingga saya dapat mengikuti ujian tesis;

4. Bapak Urip Santoso, S.H., M.H, selaku Penguji Tesis serta dosen yang telah membagi ilmu kapada saya;

5. Bapak Prof. Dr. H. Basuki Rekso Wibowo, S.H., M.S., selaku Ketua Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya;

6. Seluruh Dosen Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang telah memberikan wawasan, ilmu serta teori-teorinya;

7. Mbak Emi, Bapak Amir dan seluruh karyawan-karyawati Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang setiap saat bekerja untuk membantu mengatur program perkuliahan;

(6)

9. Ibuku, terima kasih atas dukungan materi dan doanya sehingga aku dapat memperoleh gelar magister, Tawon (yang ipk-nya lagi turun) dan dodot (yang selalu tanya kapan aku ujian tesis);

10. Adhie, I hope we loving together forever , terima kasih menemani dan memberi dukungan sampai hari ini sehingga aku dapat memperoleh gelar magister dan mbak Rara yang senang kalo diajak nganter kuliah (We are my sweet family);

11. Temen-temenku kuliah Ayu, Mbk Joice, Mbk diah, Mbk oxy (thanx telah menemani dan memberiku semangat selama aku sidang tesis); 12. Bapak Amir Fatah, Drs, M. Hum, selaku Director of Pinlabs yang telah

memberiku bantuan dengan meluangkan waktu untuk memberi lagi aku materi grammar sampai aku dapat lulus test elpt sehingga aku dapat mengikuti sidang tesis serta terima kasih atas nasehatnya;

13. Pak Edi, yang telah membantu dalam penyelesaian tesis saya ini dan Mas Wahib yang telah membantuku mengetik tesis ini;

(7)

Harapan saya semoga tesis ini bermanfaat bagi yang membacanya terutama almamater tercinta Universitas Airlangga.

Surabaya, 6 Pebruari 2009 Penulis,

(8)

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL………. LEMBAR PERSETUJUAN………... LEMBAR PENGESAHAN……….………….. KATA PENGANTAR……….………….. DAFTAR ISI………... BAB I : PENDAHULUAN………..

(9)

BAB II : PENGAKUAN HAK ULAYAT ... 1. Dasar Pengaturan Hak Ulayat …... 2. Kriteria Adanya Hak Ulayat... 3. Penentuan Adanya Hak Ulayat……….

BAB III : PENGAMBILAN HAK ULAYAT UNTUK

KEPENTINGAN PEMBANGUNAN ……… 1. Proses Pembebasan/Pelepasan Hak Ulayat ….……. 2. Perlindungan Hukum Pemegang Tanah Ulayat ….. 3. Upaya Hukum Masyarakat Hukum Adat Bila Ganti

(10)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan ini, tanah mempunyai hubungan yang erat sekali dengan manusia. “Setiap orang tentu memerlukan tanah bukan hanya dalam kehidupannya, untuk matipun manusia masih memerlukan tanah. Jumlah luas tanah yang dapat dikuasai oleh manusia sangat terbatas sekali, sedangkan jumlah manusia yang berhajat dengan tanah semakin lama semakin bertambah”.1 Kondisi yang tidak seimbang antara persediaan tanah dengan kebutuhan akan tanah itu telah menimbulkan berbagai persoalan dan kasus-kasus persengketaan tanah yang memerlukan penyelesaian yang baik, benar dan memberikan perlindungan serta kepastian hukum juga keadilan.

Mengenai pertanahan, sebelum lahirnya hukum agraria kolonial, di Indonesia telah berlaku sistim hukum adat, hukum barat dan hukum tanah swapraja. Kebutuhan akan hukum agraria yang menjamin kepastian dan perlindungan hukum hak-hak masyarakat dirasakan sangat mendesak, dan sejak 24 September 1960 ditetapkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau sering disebut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang ini lahir setelah melalui proses yang cukup lama, menganut unifikasi hukum dan berdasarkan

1

Soehadi, Penyelesaian Sengketa Tentang Tanah Berlakunya Undang-Undang Pokok

(11)

hukum adat. Menurut Boedi Harsono, hukum adat dijadikan sumber utama dan merupakan hukum aspiratif, dalam arti jika sesuatu hal belum diatur dalam peraturan maka yang berlaku hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA.2

Hukum tanah adat merupakan hukum asli, mempunyai sifat yang khas, dimana hak-hak perorangan atas tanah merupakan hak pribadi akan tetapi didalamnya mengandung unsur kebersamaan, yang dalam istilah modern disebut “fungsi sosial”, seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang Pokok Agrarian Pasal 6. Hukum adat merupakan sumber utama undang-undang pokok agraria atau hukum pertanahan Indonesia, walaupun hukum adat merupakan dasar dari UUPA tetapi permasalahan terhadap hak kepemilikan atas tanah dalam masyarakat adat di Indonesia telah ada sejak jaman penjajahan Belanda.

Tanah-tanah dikuasai oleh masyarakat hukum adat dikenal dengan hak ulayat, karena hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat adat. Mengenai hak ulayat masyarakat adat diatur dalam Pasal 3 UUPA, yaitu: “dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksananan hak ulayat dan pelaksanaan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak

2

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang

Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaan, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1999,

(12)

boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”. Hal ini berarti bahwa isi Pasal tersebut merupakan pengakuan keberadaan hak (hak ulayat) masyarakat hukum adat.

Berbagai kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah sampai saat ini masih dalam taraf “pengakuan” terhadap hak atas tanah ulayat masyarakat hukum adat, tetapi belum memberikan “perlindungan” yang selayaknya terhadap hak atas tanah ulayat dalam masyarakat adat. Namun demikian, diakui bahwa beberapa kebijakan pemerintah mulai ada upaya memberi pengakuan dan perlindungan (terbatas) terhadap hak tanah ulayat pada masyarakat adat, antara lain : TAP MPR No. XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 41),TAP MPR No. IX Tahun 2001, tentang Pembaruan Agraria, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan UUD 1945 yang diamandemen. Kebijakan ini sampai sekarang belum dibuatkan UU atau kebijakan lain sebagai pelaksanaan ketetapan MPR. Selanjutnya muncul Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 5 tahun 1999 yang mengakui dan memberikan perlindungan atas tanah rakyat dan adat (ulayat).

(13)

Di antara hak-hak atas tanah menurut UUPA, hak milik merupakan hak yang terkuat dan terpenuh.3 Dimana menurut Pasal 23 UUPA setiap peralihan hak milik juga harus didaftarkan karena pendaftaran tersebut merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai sahnya peralihan dan pembebasan hak tersebut, selain itu dalam Pasal 19 UUPA mengatakan bahwa pendaftaran tanah diperuntukkan untuk menjamin kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah yang lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor. 24 Tahun 1997 (selanjutnya disingkat PP No. 24 Tahun 1997) tentang pendaftaran tanah.

Untuk memberikan perlindungan terhadap Warga Negara yang benar-benar mempunyai hak atas tanah tersebut, maka Negara mengaturnya di dalam UUPA, dimana dalam Pasal 26 ayat (1) UUPA mengatakan bahwa “Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Namun kenyataan yang terjadi, banyak tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat (hak ulayat) diambil oleh pemerintah dengan cara-cara kekerasan.

Dari latar belakang yang ditentukan maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut

3

(14)

a. Bagaimana Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria memberikan pengakuan terhadap tanah hak ulayat ?

b. Bagaimana perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat yang tanah hak ulayatnya diambil untuk kepentingan pembangunan ?

2. Tujuan Penelitian

2.1. Mengetahui pengakuan terhadap tanah hak ulayat oleh UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

2.2. Memahami dan menganalisis bagaimana perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat yang tanah hak ulayatnya diambil untuk kepentingan pembangunan

3. Manfaat Penelitian

3.1. Bagi penulis, dapat menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan dari yang selama ini diperoleh secara teoritis dikembangkan pada pengetahuan praktis yang berhubungan dengan kewenangan menguasai tanah hak ulayat.

(15)

4. Kajian Pustaka

Sistem hukum tanah pada saat kolonial berkuasa mengandung dualisme hukum. Pertama bagi penduduk pribumi berlaku hukum adat, sedangkan yang kedua bagi golongan lainnya berlaku hukum Barat, karena pada masa penjajahan, sistem hukum pertanahan yang dijalankan pemerintah menganut dan berorientasi pada sistem hukum Belanda dan Eropa. Akan tetapi, pada kenyataan kepentingan golongan Bumi Putera selalu dalam posisi yang lemah bahkan tidak menjamin adanya kepastian hukum bagi hak-hak rakyat atas tanah dan mengabaikan keberadaan hukum (masyarakat) adat termasuk hak kepemilikan tanah adat (ulayat).

Dalam Konsepsi hukum tanah adat yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat Indonesia, yang mengedepankan keseimbangan antara “kepentingan bersama” dengan “kepentingan perseorangan”. Pemilikan dan pemanfaatan tanah harus memperhatikan keselarasan.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat untuk dipergunakan sebagai pedoman dalam Daerah melaksanakan urusan pertanahan khususnya dalam hubungan dengan masalah hak ulayat masyarakat hukum adat yang nyata-nyata masih ada di daerah yang bersangkutan, dengan penjelasan sebagai berikut : 4

4

(16)

Mengenai muatan pokok dan maksud dikeluarkannya peraturan. Peraturan ini

memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Undang-undang Pokok Agraria).

Kebijaksanaan tersebut meliputi :

a. Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1);

b. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan Pasal 5);

c. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan Pasal 4);

Maksud dikeluarkannya peraturan ini adalah untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat, dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional.

Pengaturan lebih lanjut mengenai hal-hal di atas kewenangannya dilimpahkan kepada Daerah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 6 ), sesuai dengan maksud Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan dengan demikian akan lebih mampu menyerap aspirasi masyarakat setempat.

(17)

adat” masih tetap dapat dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat itu “menurut kenyataannya masih ada”.

Hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, didefinisikan sebagai “kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.”

(18)

warganya sendiri maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga atau “orang luar”.

Subyek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat, baik yang merupakan persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal (teritorial), maupun yang didasarkan pada keturunan (genealogis), yang dikenal dengan berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya suku, marga, dati, dusun, nagari dan sebagainya. Apabila ada orang yang seakan-akan merupakan subyek hak ulayat, maka orang tersebut adalah ketua atau tetua adat yang memperoleh pelimpahan kewenangan dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subyek hak ulayat, melainkan petugas masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan kewenangan yang bersangkutan dengan hak ulayat.

Mengenai kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat Tanda-tanda yang perlu diteliti untuk menentukan masih adanya hak ulayat meliputi 3 unsur, yaitu: 5

a. unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,

5

(19)

b. unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan

c. unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Penelitian mengenai ketiga unsur tersebut dan penentuan masih adanya hak ulayat dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikut sertakan pihak-pihak yang berkepentingan dan pihak-pihak yang dapat menyumbangkan peranannya secara obyektif, yaitu antara lain para tetua adat, para pakar adat, wakil Lembaga Swadaya Masyarakat dan wakil instansi yang bertanggung jawab mengenai pengelolaan sumber daya alam (misalnya instansi Kehutanan, Pertambangan dan sebagainya apabila tanah ulayat itu diperkirakan meliputi tanah yang ada hutan atau bahan tambangnya).

(20)

berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas tanah tersebut. Ada juga yang termasuk hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaannya.

Hak Ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah di haki oleh seseorang maupun yang belum. Dalam lingkungan Hak Ulayat tidak tanah sebagai “res nullius”. Umumnya batas wilayah Hak Ulayat masyarakat hukum adat teritorial tidak dapat ditentukan secara pasti.

Masyarakat Hukum Adatlah, sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya, yang mempunyai Hak Ulayat, bukan orang seorang.

Hak Ulayat mempunyai kekuatan berlaku ke dalam dan ke luar. Ke dalam berhubungan dengan para warganya. Sedang kekuatan berlaku ke luar dalam hubungannya dengan bukan anggota masyarakat hukum adatnya, yang disebut “orang asing” atau “orang luar”.6

Kewajiban yang utama Penguasaan adat yang bersumber pada Hak Ulayat ialah memelihara kesejahteraan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat hukumnya, menjaga jangan sampai timbul perselisihan mengenai penguasaan dan pemakaian tanah dan kalau terjadi sengketa ia wajib menyelesaikan. Berhubung dengan tanggung-jawabnya mengenai kesejahteraan masyarakat hukumnya maka

6

(21)

pada asasnya Penguasa adat tidak diperbolehkan mengasingkan seluruh atau sebagian tanah wilayahnya kepada siapa pun. 7

Obyek Hukum Tanah adalah hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud dengan hak penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.

Hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional, adalah :8

1. Hak bangsa Indonesia atas tanah. 2. Hak menguasai dari negara atas tanah. 3. Hak ulayat masyarakat hukum adat. 4. Hak-hak perseorangan, meliputi :

a. Hak-hak atas tanah. b. Wakaf tanah hak milik

c. Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan) d. Hak milik atas satuan rumah susun.

7 Ibid. 8

(22)

Dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu : perlindungan hukum yang prevenif dan perlindungan hukum yang represif. Pada perlindungan hukum yang preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Dengan demikian, perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukm yang preventif sangat besar artinya bagi bagi tindak pemerintahan yang didasrkan kepada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didsarkan pada diskresi.9

5. Metode Penelitian a. Pendekatan Masalah

Pembahasan dalam penulisan ini dilakukan dengan pendekatan yaitu Statute

Approach, Canseptual. Statute Approach yaitu pembahasan didasarkan atas peraturan

perundang-undangan yang mengikat, dalam hal ini UUPA dan Peraturan Pelaksanaannya serta hukum adatnya yang ada kaitannya dengan materi yang dibahas.

9

(23)

Canseptual Approach yaitu suatu pendekatan dengan cara membahas pendapat para sarjana sebagai landasan pendukung pembahasan tesis .

b. Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum yang dipakai dalam penulisan tesis ini terdiri dari:

- Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat dalam hal ini peraturan perundang-undangan, dalam hal ini UUPA beserta peraturan pelaksanaannya serta peraturan lainnya sebagai pelengkap yang ada kaitannya dengan materi yang dibahas.

- Bahan hukum sekunder, berupa pendapat para sarjana hukum yang tertuang dalam literatur maupun bahan perkuliahan. Seluruh bahan hukum dikumpulkan melalui sistem telaah dengan cara membaca, mempelajari, diidentifikasi kemudian mengklasifikasikannya sehingga diperoleh informasi yang ada relevansinya dengan masalah yang dibahas.

c. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

(24)

Dimaksudkan dilakukan cara tersebut guna diperoleh kejelasan dari seluruh permasalahan.

d. Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

Langkah pengumpulan bahan hukum dalam tulisan ini adalah melalui

studi kepustakaan, yaitu diawali dengan inventarisasi semua bahan hukum yang terkait dengan pokok permasalahan, kemudian diadakan klasifikasi bahan hukum yang terkait dan selanjutnya bahan hukum tersebut disusun dengan sistematisasi untuk lebih mudah membaca dan mempelajarinya.

(25)

6. Pertanggungjawaban Sistematika

Pertama-tama sistematika penulisan ini diawali Bab I, dengan judul bab Pendahuluan, berisi gambaran umum permasalahan, sebagai pengantar pembahasan bab berikutnya. Sub babnya terdiri atas latar belakang dan rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Lalu Bab II, dengan judul bab pengakuan hak ulayat. Bab ini dipaparkan untuk menjawab permasalahan pertama yaitu bagaimana Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria memberikan pengakuan terhadap tanah hak ulayat. Sub babnya terdiri atas Dasar Pengaturan Hak Ulayat, Kreteria Adanya Hak Ulayat dan Penentuan Adanya Hak Ulayat.

Kemudian Bab III dengan judul bab pengambilan hak ulayat untuk kepentingan pembangunan. Bab ini dipaparkan untuk menjawab permasalahan kedua yaitu bagaimana perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat yang tanah hak ulayatnya diambil untuk kepentingan pembangunan. Sub babnya terdiri atas Proses Pembebasan/pelepasan Hak Ulayat, Bentuk dan Besarnya Ganti Rugi yang Dapat Diberikan Kepada Masyarakat Hukum Adat serta Upaya Hukum Masyarakat Hukum Adat Bila Ganti Rugi Yang Ditentukan Dianggap Tidak Memadai.

(26)

BAB II

PENGAKUAN HAK ULAYAT 1. Dasar Pengaturan Hak Ulayat

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. UUD 1945 tidak menyebut tanah melainkan bumi. Mengenai arti bumi ini tidak terdapat penjelasan lebih lanjut. Menurut Pasal 1 ayat (3) UUPA, bahwa “Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi”.

(27)

Menyinggung mengenai tanah, Indonesia wilayahnya terdiri dari beribu-ribu pulau yang sebagian masyarakat masih menguasai hak atas tanah yang pemilikannya didasarkan atas hukum adatnya. Menurut Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 disebutkan sebagai berikut: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Hal ini berarti bahwa negara masih mengakui hak atas tanah yang dikuasai berdasarkan hukum adatnya selama masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Adatnya yang berarti kebiasaan masyarakat setempat, jika kebiasaan tersebut disertakan suatu sanksi maka disebut dengan hukum adat.

Hukum Adat adalah aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-orang timur asing, yang di satu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan hukum) dan di lain pihak tidak dikodifikasi (maka dikatakan adat).10

Sebagai bandingan dapat dikemukakan pendapat dari Ter Haar Bzn, yang menyatakan bahwa, hukum adat adalah “Keseluruhan aturan yang menjelma dari keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai kewibawaan serta mempunyai pengaruh dan yang dalam pelaksanaan berlakunya

10

(28)

serta merta dan ditaati dengan sepenuh hati.”11

Demikian pendapat Ter Haar tentang pengertian Hukum Adat ialah adat yang diputuskan oleh para petugas-petugas hukum adat, yang berbeda dengan van Vollenhoven dimana hukum adat itu adalah adat yang seharusnya berlaku dalam masyarakat.12

Soepomo memberikan definisi tentang hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasannya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.13

Sedangkan Soekanto dalam bukunya “Meninjau Hukum Adat Indonesia” mengartikan hukum adat sebagai kompleks adat yang kebanyakan tidak dikitabkan tidak dikodifisir dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum.14

Apabila ditelaah pendapat-pendapat yang diberikan para ahli di atas, terdapat kesamaan pendapat mengenai hukum adat, yaitu di dalam hukum adat termuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur kehidupan orang-orang Indonesia dalam bentuk tak tertulis dan mempunyai akibat hukum.

11 Ibid., h. 14. 12 Ibid. 13

Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, bandung, 1996, h. 13. 14

(29)

Di dalam masyarakat hukum adat, tanah mempunyai arti yang penting, karena menurut sifatnya tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang malahan menjadi lebih menguntungkan. Karena faktanya, tanah merupakan tempat tinggal persekutuan, memberikan penghidupan kepada persekutuan, merupakan tempat di mana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan dan merupakan pula tempat tinggal kepada dayang-dayang pelindungan persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.15

Hak atas tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat pada masa penjajahan tidak diberikan pengakuan, karena penjajah hanya memberikan pengakuan kepada hak atas tanah yang telah terdaftar, sehingga ketika itu berlaku dualisme hukum pertanahan, yaitu hak atas tanah yang dikuasai oleh hukum barat yang dikenal dengan domaen verklaring dan tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat.

Setelah Indonesia merdeka dan berlangsung hingga diundangkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dengan mengingat pentingnya tanah dalam kehidupan, jauh sebelum diundangkan UUPA telah dikenal sistem penguasaan sumber daya alam di berbagai daerah di Indonesia yang dikenal sebagai hak ulayat. Walaupun tidak dijelaskan secara jelas mengenai pengertian hak ulayat tetapi dari berbagai pendapat para ahli, hak ulayat adalah merupakan pengakuan/kepunyaan bersama seluruh anggota masyarakat dan di dalamnya juga terkandung adanya hak kepunyaan perorangan yang berarti orang

15

(30)

perorangan boleh mempunyai (memiliki) tanah dalam lingkungan hak ulayat tersebut.16

Dalam suatu lingkungan hak ulayat, persekutuan dan anggota-anggotanya mempunyai wewenang dan kewajiban-kewajiban dalam mengatur penggunaan tanahnya dan hubungan hukum anggota-anggota masyarakat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya, obyek hak ulayat dapat mencakup hak menggunakan dan mengolah tanah, hak menangkap ikan, hak memungut hasil hutan dan sebagainya.

Berhubung dengan disebutnya hak ulayat di dalam Pasal 3 UUPA yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan terhadap hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Mengenai pengakuan terhadap hak ulayat dijelaskan lebih lanjut oleh Penjelasan Pasal 3 UUPA, bahwa “yang dimaksud dengan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu ialah apa yang di dalam perpustaan adat disebut “beschikkingsrecht”. Beschiking dalam sistem hukum administrasi tercermin pada inpres, instruksi menteri, instruksi gubernur, instruksi lembaga pemerintah lain merupakan implementasi kebijakan yang secara normatif tidak boleh membebani kehidupan rakyat. Kalau memang ada beban terhadap rakyat, instrumennya adalah regeling (peraturan).

Dengan demikian, seharusnya tidak ada beschiking yang mengandung muatan regeling. Ukurannya, apakah beschiking itu membebani kehidupan rakyat atau tidak.

16

Badan Pertanahan Nasional Kanwil Provinsi Kalteng, Seminar Langkah-Langkah

(31)

Permasalahannya menjadi kompleks ketika rakyat yang menerima beban harus merefleksikan ketidaksetujuan dalam bentuk tuntutan hukum. Secara normatif, hak rakyat untuk memprotes substansi suatu peraturan. Oleh karena hanya merupakan suatu kebijakan atau beschiking, maka kebijakan tersebut tidak mempunyai kekuatan untuk dilaksanakannya.

Pengakuan atas hak ulayat ini hanya sebatas hak ulayat yang masih diakui sesuai dengan Penjelasan Umum II angka 3 UUPA, bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa hak ulayat masih diakui asalkan penguasaan hak ulayat tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang atau peraturan lainnya yang lebih tinggi dan selama menurut kenyataan hak ulayat tersebut masih diakui.

(32)

Memperhatikan hal tersebut di atas nampak bahwa hukum adat merupakan dasar dari hukum agraria. Mengenai eksistensi dari hukum adat dalam hukum agraria, dijelaskan oleh Urip Santoso sebagai berikut:17

1) hukum adat sebagai dasar utama, dan 2) hukum adat sebagai hukum pelengkap

hukum adat sebagai dasar utama dalam pembentukan hukum agraria nasional dapat disimpulkan dalam Konsideran UUPA huruf a “bahwa berhubungan dengan apa yang disebut dalam pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya hukum agraria nasional, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.

Hukum adat sebagai hukum pelengkap, maksudnya pembentukan hukum agraria nasional menuju kepada tersedianya perangkat hukum yang tertulis, yang mewujudkan kesatuan hukum, memberikan jaminan kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah merupakan suatu proses yang memakan waktu. Selama proses tersebut belum selesai, hukum tertulis yang sudah ada tetapi belum lengkap maka memerlukan pelengkap agar tidak terjadi kekosongan hukum.

Hak ulayat atas tanah tersebut, misalnya di dalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya Hak Guna Usaha), masyarakat adat yang bersangkutan

17

(33)

sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan dimusyawarahkan untuk diberi

ganti rugi kepada yang berhak menerimanya selaku pihak yang menguasai tanah.

Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan jika berdasarkan hak penguasaan itu masyarakat adat tersebut menghalang-halangi pemberian Hak Guna Usaha itu, sedangkan pemberian Hak Guna Usaha di daerah itu dianggap lebih diperlukan untuk kepentingan yang lebih luas.

Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika suatu masyarakat berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya tanah secara besar-besaran secara teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula bahwa pembangunan-pembangunan daerah-daerah itu sendiri seringkali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat.Inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua dari pada ketentuan Pasal 3 UUPA, bahwa kepentingan suatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah dapat dibenarkan jika di dalam alam bernegara dewasa ini suatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, seakan-akan ia terlepas dari pada hubungannya dengan masyarakat-masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya di dalam lingkungan negara sebagai kesatuan.

(34)

pembatasan hak-hak ulayat dari masyarakat-masyarakat hukum adat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini. Negara akan tetap memperhatikan keberadaan hak ulayat sepanjang hak tersebut dalam realitanya masih ada dan negara menempatkan hal ulayat untuk tunduk kepada kepentingan umum dan negara. Atas dasar kewenangan tersebut negara akan memberikan pengakuan, pengaturan dan pembatasan terhadap hak ulayat.

Istilah hak ulayat memiliki penyebutan yang berbeda-beda, Djojodigoeno menyebutnya dengan istilah hak purba, Soepomo memberikan istilah sebagai hak pertuanan, dan di dalam UUPA sendiri disebut dengan hak ulayat. Walaupun penyebutan istilah hak yang dimiliki masyarakat hukum adat ini berbeda-beda namun pengertiannya tidaklah jauh berbeda.

Seperti mengutip pendapat Iman Sudiyat yang memberikan definisi hak purba sebagai hak yang dipunyai oleh suatu suku (clam/gens/stam), sebuah serikat desa-desa (dorpenbond) atau biasanya oleh sebuah desa-desa saja untuk menguasai seluruh tanah seisinya dalam lingkungan wilayahnya.18 Sedangkan Van Vollenhoven memberikan istilah beshikkingrecht terhadap hak ulayat, yang mana hak ulayat adalah berupa hak dan berkewajiban daripada persekutuan hukum sebagai suatu keseluruhan atas suatu wilayah tertentu yakni wilayah di mana mereka hidup.19

18

Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Cet. V, Liberty, Yogyakarta, 2007, h. 2. 19

(35)

Perhatian khusus terhadap hak ulayat dilakukan oleh Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional dengan menetapkan Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Hak ulayat adalah hak dari masyarakat hukum adat. Dalam peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 di atas diberikan definisi operasional mengenai kedua hal tersebut.

Masyarakat hukum adat dirumuskan sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan (Pasal 1 angka 3). Sedangkan mengenai hak ulayat dinyatakan bahwa hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat) adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan (Pasal 1 angka 1).

Unsur-unsur hak ulayat sebagaimana termuat di dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Negara/kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tersebut yaitu :

1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adanya sebagai warga besama suatu persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.

2. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari.

(36)

Bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999, dalam hukum tanah nasional Indonesia mengakui adanya hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada dan memenuhi unsur-unsur dan kriteria hak ulayat dalam hukum adat suatu masyarakat dalam suatu wilayah.

Hubungan timbal balik antara hak ulayat dengan hak perorangan sebagaimana dirumuskan Iman Sudiyat, bahwa hak purba dan hak perorangan itu bersangkut paut dalam hubungan kempis mengembang, desak mendesak, batas membatasi, mulur mungkret tiada henti. Di mana hak purba kuat, di situ hak perorangan lemah, demikian pula sebaliknya.20

Antara hak ulayat dan hak-hak perorangan yang diakui secara adat selalu ada pengaruh timbal balik, makin banyak usaha yang dilakukan seseorang atas suatu bidang tanah maka makin eratlah hubungannya dengan tanah itu dan makin kuat pula haknya atas tanah tersebut. Di dalam hak demikian maka kekuatan hak ulayat terhadap tanah itu menjadi berkurang, tetapi menurut hukumnya yang asli bagaimanapun kuatnya hak perseorangan atas tanah itu tetap terikat oleh hak ulayat.21

Sehingga dengan demikian hak ulayat bersifat fleksibel yaitu semakin berkembang dan maju kondisi masyarakatnya, maka hak ulayat menjadi semakin lemah dalam masyarakat apalagi dalam masyarakat modern.

20

Ibid., h. 3. 21

Badan Pertanahan Nasional Kanwil Provinsi Kalteng, Seminar langkah-Langkah

(37)

Bila kita mengkaji lebih dalam, bahwa hak ulayat dan hak adat atas tanah ada perbedaan yang cukup signifikan.

Hak ulayat bersifat hak komunal (hak bersama) dari sekelompok masyarakat hukum adat dengan kata lain tidak dimiliki perorangan oleh karenanya objek tidak dapat dijual belikan tanpa persetujuan Pimpinan Adat yang bersangkutan, warganya hanya boleh menikmati hasil, atau tempat berusaha sehari-hari dan pihak lain yang diluar kelompok masyarakat hukum adat tersebut tidak diperkenankan menguasai/melakukan aktivitas pada wilayah tersebut kecuali dengan persetujuan pimpinan adat yang bersangkutan, adapun hak atas tanah sifatnya dikuasai perorangan yaitu dengan diperolehan dengan membuka tanah Negara misalnya berladang, berkebun dan lain-lain, dan apabila tanah tersebut dipergunakan dan dirawat/dipelihara dengan baik oleh penggarap maka pada gilirannya tanah ini dapat diberikan hak menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, sedangkan tanah yang sifatnya termasuk dalam lingkup hak ulayat tidak dapat diberikan hak untuk perorangan, kecuali atas dasar persetujuan pimpinan adat yang bersangkutan.22

Dikemukakan pula oleh Badan Pertanahan Nasional Kanwil Provinsi Kalteng dalam seminar tanah adat di atas mengenai asal tanah hak adat, bahwa tanah hak adat adalah hak privat berasal dari bagian :

- Bagian hak ulayat setelah melalui proses individualisasi terhadap hak privat yang sudah kuat, pengaruh hak ulayat tidak ada lagi.

- Tanah hak adat (Hak Privat) untuk yang sudah ada pada saat mulai berlakunya UUPA dikonversikan menjadi salah satu macam hak yang disebut di dalam UUPA.

- Hak atas tanah bekas tanah adat dilakukan melalui pembuktian : a. Bukti tertulis

b. Bukti penguasaan fisik

22

(38)

c. Bukti saksi.

d. Pengumuman dan tidak ada keberatan dari pihak lain.23

Dalam simposium yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan dan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, dikemukakan bahwa tanah Negara (yang tidak dihaki oleh seseorang) ditegaskan menjadi tanah adat, maka yang dimaksud dengan tanah adat dewasa ini ialah salah satu tanah dengan nama tersebut di atas yang termaktub dalam Pasal II dan VI Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA. Tanah-tanah yang disebut namanya dalam pasal-Pasal II dan VI Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA ataupun yang akan disebut namanya oleh Menteri Agraria menjadi hak milik/pakai.24

2. Kriteria Adanya Hak Ulayat

Menyinggung masalah hak ulayat tidak lepas dari asas-asas yang terkandung dalam UUPA salah satu di antaranya, asas pada tingkatan tertinggi, bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi maksudnya bukan memiliki hak atas tanah, melainkan hanya sekedar menguasainya saja. Menurut Boedi Harsono,25

23

Ibid., h. 15 24

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Simposium Undang-Undang Pokok Agraria dan

Kedudukan Tanah-Tanah Adat Dewasa Ini, Bina Cipta, Bandung, 1978, h. 59.

25

(39)

pengertian penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga beraspek perdata dan beraspek publik. Penggunaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dari umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan menyewa yang menguasainya secara fisik. Atau tanah tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya, berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik kepadanya. Dalam Hukum Tanah kita dikenal juga penguasaan yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Kreditor pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan, tetapi penguasaannya secara fisik tetap ada pada yang empunya tanah.

(40)

1. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik;

2. Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam Pasal 2, semata-mata beraspek publik;

3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal 3 beraspek perdata dan publik.

4. Hak perorangan/individual, semuanya beraspek perdata, terdiri atas :

a. Hak-hak atas Tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, yang disebut dalam Pasal 16 dan 53;

b. Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan Pasal 49.

c. Hak Jaminan atas Tanah yang disebut “Hak Tanggungan” dalam Pasal 25, 33, 39, dan 51.

Hal ini secara jelas dijabarkan dalam Pasal 2 UUPA, bahwa perkataan “dikuasai” di sini bukan berarti “dimiliki” akan tetapi pengertian yang memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat untuk pada tingkatan tertinggi:

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa;

(41)

c. menentukan dan mengatur hubungan–hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Hak menguasai dari negara tersebut di atas ditujukan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti terwujud kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kekuasaan negara tersebut mengenai semua bumi, air, dan ruang angkasa, baik yang sudah dihaki maupun yang tidak. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai di situlah batas kekuasaan negara tersebut. Kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh.

Atas dasar hak menguasai dari negara tersebut, negara dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai, atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu badan penguasa (departemen, jawatan, atau daerah swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing.

(42)

Dalam kaitannya dengan hak ulayat, diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat untuk dipergunakan sebagai pedoman dalam Daerah melaksanakan urusan pertanahan khususnya dalam hubungan dengan masalah hak ulayat masyarakat hukum adat yang nyata-nyata masih ada di daerah yang bersangkutan, dengan penjelasan sebagai berikut :

1. Mengenai muatan pokok dan maksud dikeluarkannya peraturan.

Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Undang-undang Pokok Agraria). Kebijaksanaan tersebut meliputi :

a. Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1);

b. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan Pasal 5);

c. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan Pasal 4);

(43)

Pengaturan lebih lanjut mengenai hal-hal di atas diwenangkan kepada Daerah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai dengan maksud Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan dengan demikian akan lebih mampu menyerap aspirasi masyarakat setempat.

2. Mengenai pengertian hak ulayat

Pasal 3 Undang-undang Pokok Agraria menetapkan bahwa “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” masih tetap dapat dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat itu “menurut kenyataannya masih ada”.

Hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, didefinisikan sebagai “kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.”

(44)

perdata, yaitu sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia suatu kekuatan Gaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup (lebensraum) seluruh warga masyarakat hukum adat itu. Unsur kedua adalah unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut, baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga atau “orang luar”.

Subyek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat, baik yang merupakan persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal (teritorial), maupun yang didasarkan pada keturunan (genealogis), yang dikenal dengan berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya suku, marga, dati, dusun, nagari dan sebagainya. Apabila ada orang yang seakan-akan merupakan subyek hak ulayat, maka orang tersebut adalah ketua atau tetua adat yang memperoleh pelimpahan kewenangan dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subyek hak ulayat, melainkan petugas masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan kewenangan yang bersangkutan dengan hak ulayat.

3. Mengenai kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat

(45)

a. unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,

b. unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan

c. unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Penelitian mengenai ketiga unsur tersebut dan penentuan masih adanya hak ulayat dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikut sertakan pihak-pihak yang berkepentingan dan pihak-pihak yang dapat menyumbangkan peranannya secara obyektif, yaitu antara lain para tetua adat, para pakar adat, wakil Lembaga Swadaya Masyarakat dan wakil instansi yang bertanggung jawab mengenai pengelolaan sumber daya alam (misalnya instansi Kehutanan, Pertambangan dan sebagainya apabila tanah ulayat itu diperkirakan meliputi tanah yang ada hutan atau bahan tambangnya).

Penelitian tersebut dapat dilakukan

(46)

apabila bidang tanah yang bersangkutan diperlukan untuk pembangunan baik dalam rangka pelaksanaan program Pemerintah maupun dalam rangka investasi oleh perusahaan, atau

b. sebelum ada permasalahan di atas, dalam rangka upaya untuk memperoleh informasi mengenai status lengkap tanah-tanah di suatu daerah tertentu.

(47)

guna bangunan dan hak pakai; tanah hak pengelolaan; tanah wakaf; hak milik atas satuan rumah susun; hak tanggungan; tanah Negara.

4. Mengenai pelaksanaan hak ulayat oleh masyarakat hukum adat

Hak ulayat memberikan kewenangan tertentu kepada masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya yang sumber, dasar pelaksanaan, dan ketentuan tata cara pelaksanaannya adalah hukum adat yang bersangkutan. Kewenangan tersebut meliputi hak penguasaan tanah oleh para warganya (Pasal 4 ayat 1 huruf a) dan pelepasan tanah untuk keperluan “orang luar” (Pasal 4 ayat 1 huruf b). Mengingat hukum adat itu bersifat dinamis, maka hak penguasaan tanah yang diperoleh menurut hukum adat oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan apabila dikehendaki boleh didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut Undang-undang Pokok Agraria. Dengan demikian tujuan “meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan hukum dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan” sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Pokok Agraria akan dapat terwujud secara alamiah dan bertahap.

(48)

di atasnya, maka pelaksanaan hak ulayat atas bidang-bidang tanah ini dikecualikan (Pasal 3 UUPA).

Menurut prinsip Hukum Adat yang diakui eksistensinya oleh Undang-Undang Agraria intensitas hubungan seseorang dengan tanah akan menentukan tebal tipis haknya atas tanah tersebut. Makin lama dan intensif hubungan seseorang dengan tanah, makin tebal haknya atas tanah tersebut. Djojodiguno “teori mulur-mungkret” Supomo “inividualis-sering proces”). Secara kultural, rakyat Indonesia acapkali disebut sebagai masyarakat “oral cultural”.26 Dokumen atau catatan tertulis sebagai bukti suatu hak bukanlah sesuatu yang penting. Bukti yang kuat adalah hubungan konkret seperti tanaman dan pengetahuan dari anggota masyarakat hukum sekitarnya. Sistem girik bukanlah asli budaya Indonesia. Girik adalah sistem administrasi Hindia Belanda untuk kepentingan perpajakan. Kemudian, diterima (resepsi) sebagai bukti pemilihan atas tanah. Begitu pula pengertian “tanah dikuasai negara” Dalam praktek, negara atau pemerintah diberi wewenang untuk memberikan hak tanah kepada siapapun tanpa menghiraukan hubungan yang telah ada antara rakyat dengan tanah. Praktek semacam ini sangat kolonialistik dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Asas “domein” pada masa kolonial masih ada batas, yaitu dibedakan antara “vrijlandsdomein” dan “onvrinlandsdomein”. Terhadap “onvrijlandsdo-mein” pemerintah koloniali tidak akan memberikan kepada pihak lain karena di atas tanah tersebut diakui hak masyarakat atas tanah seperti hak ulayat dan

26

(49)

lain-lain. Sebaliknya, di masa merdeka, lebih-lebih setelah ada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Dalam kenyataan pengertian hak negara menguasai tanah bergeser seperti “domein” pada masa kolonial. Bahkan, lebih. Pemerintah atas nama negara berkuasa penuh menyerahkan atau memberikan hak atas sebidang “tanah negara”, tanpa harus menghiraukan hak-hak yang secara sosio-kultural ada pada rakyat. Hukum menjadi bentuk formal di tangan para penguasa. Satu hal pokok yang dilupakan. Begitu pula dari sudut Undang-Undang Dasar. Hak negara menguasai tanah adalah untuk kepentingan rakyat. Sangat tepat ungkapan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 karena itu tidak boleh dipilah atau dipisahkan dikuasai negara itu “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kalau tanah, sebidang tanah telah dipergunakan rakyat, maka tercapailah salah satu tujuan penguasaan negara atas tanah, yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jadi, negara atau pemerintah harus mengutamakan (mendahulukan) hak rakyat atas tanah daripada kepentingan lain yang datang kemudian. Inilah inti paham “tanah dikuasai negara”.

(50)

diuji keterandalannya. Hal ini sejalan dengan fungsi hakim sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang menyebutkan: “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,mengikuti dan memahami nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Dalam kaitan dengan penerapan peraturan perundang-undangan hakim dapat menjalankan fungsi-fungsi berikut:

(1) Menjamin peraturan perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil. Apabila penerapan peraturan perundang-undangan akan menimbulkan ketidakadilan, hakim wajib berpihak pada keadilan dan mengenyampingkan peraturan perundang-undangan.

(2) Sebagai “dinamisator” peraturan perundang-undangan. Hakim dengan menggunakan metode penafsiran, konstruksi, dan berbagai pertimbangan sosiokultural berkewajiban menghidupkan peraturan perundang-undangan untuk memenuhi kebutuhan nyata masyarakat.

(3) Melakukan “koreksi” terhadap kemungkinan kekeliruan atau kekosongan peraturan perundang-undangan. Hakim wajib menemukan bahkan menciptakan hukum untuk mengoreksi atau mengisi peraturan perundang-undangan.

(51)

3. Penentuan Adanya Hak Ulayat

Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang sebagai telah diuraikan di atas merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa. Sebagaimana telah diuraikan di atas merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa. Sebagaimana telah kita ketahui wewenang dan kewajiban tersebut ada yang termasuk bidang hukum perdata. Yaitu yang berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas tanah tersebut. Ada juga yang termasuk hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaannya.

Hak Ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah di haki oleh seseorang maupun yang belum. Dalam lingkungan Hak Ulayat tanah sebagai “res nullius”. Umumnya batas wilayah Hak Ulayat masyarakat hukum adat teritorial tidak dapat ditentukan secara pasti.

(52)

Kewajiban yang utama Penguasaan adat yang bersumber pada Hak Ulayat ialah memelihara kesejahteraan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat hukumnya, menjaga jangan sampai timbul perselisihan mengenai penguasaan dan pemakaian tanah dan kalau terjadi sengketa ia wajib menyelesaikan. Berhubung dengan tanggung-jawabnya mengenai kesejahteraan masyarakat hukumnya maka pada asasnya Penguasa adat tidak diperbolehkan mengasingkan seluruh atau sebagian tanah wilayahnya kepada siapa pun.

Obyek Hukum Tanah adalah hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud dengan hak penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan baik pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihakiki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.

Hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional, adalah :

1) Hak bangsa Indonesia atas tanah. 2) Hak menguasai dari negara atas tanah. 3) Hak ulayat masyarakat hukum adat. 4) Hak-hak perseorangan, meliputi :

a. Hak-hak atas tanah. b. Wakaf tanah hak milik

(53)

d. Hak milik atas satuan rumah susun.

Mengenai hak ulayat yang merupakan hak persekutuan hukum adat, apakah diperlukan suatu pendaftaran sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan Pasal 19 UUPA, apabila dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang di dalam Penjelasan Pasal 24 mengenai Pembuktian Hak Lama, menyebutkan alat-alat bukti tertulis menurut ketentuan tersebut diantaranya berupa lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA. Selanjutnya pembuktian hak menurut Ketentuan-ketentuan tersebut harus memenuhi syarat sah salah satu diantaranya bahwa kenyataan penguasaan dan penggunaan tanah tersebut selama itu tidak diganggu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan. Lebih lanjut ia menjelaskan pula, jikalau bukti haknya tidak ada dan dengan surat keterangan dari kepala desa (surat keterangan yang bersifat deklaratif yang menerangkan tanah tersebut adalah benar hak milik seseorang) bukan konstitutif, artinya tanah itu dinyatakan sebagai tanah adat (baru) demikian juga hak-hak adat yang mempunyai surat bukti hak-hak yang tidak tersebut dalam daftar ketentuan Konversi sebagai Hak Adat yang dapat dikonversi.27 Hal ini berarti bahwa hak ulayat atas tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat perlu didaftarkan sebagai bukti pemilikan yang sah atas tanah tersebut.

(54)

BAB III

PENGAMBILAN HAK ULAYAT UNTUK KEPENTINGAN PEMBANGUNAN

1. Proses Pembebasan/pelepasan Hak Ulayat

Perihal proses pembebasan hak atas tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat atau tanah ulayat tidak bedanya dengan pembebasan atau pelepasan hak atas tanah pada umumnya. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 UUPA, bahwa “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang”. Di dalam ketentuan Pasal 18 UUPA terkandung makna bahwa hak atas tanah dicabut untuk kepentingan umum dan kepentingan bersama rakyat, disertai dengan ganti kerugian yang layak menurut peraturan perundang-undangan.

Di dalam Pasal 18 UUPA hanya menyebut hak atas tanah dapat dicabut, yang berarti dicabut dari pihak yang menguasai hak atas tanah, sehingga terjadi pelepasan hak atas tanah tersebut dari yang menguasainya. Oleh karena hanya disebut pemegang hak atas tanah, berarti termasuk hak atas tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat yang lebih dikenal dengan hak ulayat.

(55)

Mengenai pencabutan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961 tersebut dipandang bertentangan dengan hak asasi. Penggunaan tanah untuk keperluan pembangunan untuk kepentingan umum serta dengan cara perolehan hak atas tanah dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993, dan selanjutnya dicabut oleh Perpres No. 36 Tahun 2005 dan kemudian dirubah oleh Perpres No. 65 Tahun 2006. Dalam Pasal 17 Perpres No. 36 Tahun 2005 disebutkan bahwa pemegang hak atas tanah yang tidak menerima keputusan panitia pengadaan tanah dapat mengajukan keberatan kepada Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan disertai dengan penjelasan mengenai sebab-sebab dan alasan keberatan tersebut. Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan mengupayakan penyelesaian mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi tersebut dengan mempertimbangkan pendapat dan keinginan dari pemegang hak atas tanah atau kuasanya. Setelah mendengar dan mempelajari pendapat dan keinginan pemegang hak atas tanah serta pertimbangan panitia pengadaan tanah, Bupati/ Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan mengeluarkan keputusan yang dapat mengukuhkan atau mengubah keputusan panitia pengadaan tanah mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti rugi yang akan diberikan.

(56)

Mulai dari penentuan tanah yang akan tergusur, izin lokasi, pencadangan tanah, pembebasan, penetapan ganti rugi serta pemberian ganti ruginya dan seterusnya. Misalnya dalam hal penentuan ganti rugi, jumlah dan besarnya harus sungguh-sungguh dimusyawarahkan dengan para pihak

Acuan musyawarah awalnya seperti yang dirumuskan dalam Tap MPR No. II/MPR/1978, kemudian terbitlah Keppres No. 55 Tahun 1993 Pasal 1 angka 5, musyawarah itu diberikan definisi sebagi proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian. Perihal ganti rugi menurut Pasal 1 angka 11 Perpres No. 36 Tahun 2005 yang telah dirubah oleh Perpres No. 65 Tahun 2006 menentukan:

Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial sekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.

(57)

dan pemberian ganti rugi dan harga tanah, penetapan tanah yang akan tergusur, penetapan arti kepentingan umum dan penetapan pengertian musyawarah itu sendiri.

Singkatnya, musyawarah itu hanya dapat terlaksana bila antara pihak-pihak yang terlibat dalam persoalan itu diberikan hak dan kewajibannya secara proporsional. Juga diberikan kesempatan, saluran, dorongan dan arahan yang berguna untuk mengekspresikan hak dan kewajibannya itu secara proporsional.

(58)

Pasal 1 angka 3, adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Karena masih kaburnya pengertian kepentingan umum itu, maka bisa jadi tiap daerah tingkat II mempunyai kriteria dan alasan yang berbeda dalam melakukan penggusuran. Semuanya itu tergantung dari kasus dan lingkungan permasalahan yang dihadapi serta target yang diinginkan oleh penguasa setempat. Sehingga pembangunan rumah sakit swasta dan real estate dapat disebut sebagai kepentingan umum di daerah yang satu tapi tidak untuk daerah yang lainnya.

(59)

Meskipun ketiga Permendagri tentang “Pembebasan Tanah” telah dicabut oleh Pasal 24 Keppres No. 55 Tahun 1993, namun bukan berarti rumusan dan kriteria kepentingan umum telah tegas dan transparan. Karena Keppres tersebut juga tidak memberikan kriteria kepentingan umum secara tegas dan terinci. Walaupun rumusan dan bahaya yang digunakan agak lebih baik daripada yang sebelumnya, namun peraturan itu tetap saja membuka peluang untuk “disalahtafsirkan” dengan memasukkan hal-hal tertentu sebagai “kepentingan umum”.

Sebaliknya menurut Maria SW. Sumardjono28, Keppres No. 55 Tahun 1993 itu menganut pendekatan yang sempit dalam memberikan rumusan kepentingan umum, karena Kepres itu memberikan definisi yang ketat tentang apa yang disebut sebagai kepentingan umum itu, karena ia membandingkan dengan Undang-undang No. 20 Tahun 1961, yang kemudian disebutnya menganut pendekatan yang luas. Sementara Inpres No. 9 Tahun 1973 menurutnya menggunakan kombinasi pendekatan keduanya, karena didalamnya disebutkan daftar kegiatan yang masuk kriteria kepentingan umum dengan masih membuka menafsirkannya secara luas.

Secara harfiah Pasal 5 ayat (1) Kepres No. 55 Tahun 1993, memang menyebutkan daftar 14 kegiatan pembangunan yang berlabel kepentingan umum, yaitu kegiatan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Tetapi dalam ayat 2-nya disebutkan bahwa kegiatan kepentingan umum selain ke 14 kegiatan itu akan ditetapkan oleh Keputusan

28

(60)

Presiden. Demikian juga kepada Menteri/ ketua Lembaga/Direksi BUMN/BUMD, dan Gubernur Otorita dapat mengajukan permohonan kepada Presiden melalui Menteri Negara Sekretaris Negara agar proyeknya dapat diberlakukan dengan Kepres No. 55 Tahun 1993.

Buktinya setelah Keppres No. 55 Tahun 1993 itu berlaku, ternyata dalam pelaksanaannya tidak ada perubahan yang prinsipal daripada sebelumnya, misalnya terhadap proyek PLTU di Jepara. Maka wajarlah jika muncul kepercayaan yang tumbuh subur di kalangan pejabat, antara lain, bahwa semua proyek yang akan menghasilkan tambahan devisa, dan akan memperkuat, menstabilkan pertumbuhan ekonomi makro adalah untuk kepentingan umum, sehingga tidak boleh dan tidak ada yang tertunda karena kesulitan memberikan ganti rugi atas tanah rakyat yang diinginkannya.

Apakah kebanggaan terhadap pertumbuhan ekonomi itu akan dinikmati oleh seluruh rakyat ataukah bahkan memperlebar jurang perbedaan yang telah ada? Dan bagi pemilik tanah, bila yang terjadi adalah kemunduran kesejahteraan, maka tanah yang dikorbankan itu pada hakikatnya bukan untuk kepentingan umum, melainkan untuk sekelompok orang tertentu saja.

(61)

(eksekutif) dan wakil-wakil rakyat, tetapi lebih merupakan tuntutan zaman yang menginginkan definisi pengertian “kekeluargaan”.

Apabila memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa ketentuan yang mengatur masalah pembebasan hak atas tanah untuk kepentingan umum baik untuk kepentingan pemerintah maupun kepentingan swasta telah tegas dibuatnya, baik yang berkenaan dengan tata cara pembebasan, pembentukan panitia maupun penentuan harga tanah sebagai ganti kerugian. Dengan telah jelasnya ketentuan tersebut sebenarnya dapat digunakan sebagai dasar bagi pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

Sehubungan dengan pelepasan hak, Pasal 3 Perpres No. 36 Tahun 2005 menentukan bahwa pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah. Pencabutan hak atas tanah dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah Dan benda-benda yang Ada Di Atasnya.

(62)

siapa yang ingin melakukan pembelian tanah di atas tanah tersebut, terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Bupati/Walikota atau Gubermur sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 5 Perpres No. 36 Tahun 2005 menentukan bahwa pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau pemerintah daerah meliputi, jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi, waduk, bendungan, irigasi, dan bangunan pengairan lainnya, rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat, pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal, peribadatan, pendidikan atau sekolah, pasar umum, fasilitas pemakaman umum, fasilitas keselamatan umum, pos dan telekomunikasi, sarana olah raga, stasiun penyiaran radio, televisi dan sarana pendukungnya, kantor Pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan atau lembaga-lembaga internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, fasilitas Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, rumah susun sederhana, tempat pembuangan sampah, cagar alam dan cagar budaya, pertamanan, panti sosial, pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

(63)

pengadaan tanah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh Gubernur. Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah kabupaten/kota atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah provinsi yang dibentuk oleh Gubernur. Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah provinsi atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur pemerintah daerah terkait. Susunan keanggotaan panitia pengadaan tanah terdiri atas unsur perangkat daerah terkait.

(64)

tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah, membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten.

Pasal 8 Perpres No. 36 Tahun 2005 menentukan bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah dalam rangka memperoleh kesepakatan mengenai: pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di lokasi tersebut, bentuk dan besarnya ganti rugi. Musyawarah dilakukan di tempat yang ditentukan dalam surat undangan.

(65)

2. Perlindungan Hukum Pemegang Tanah Ulayat

Perlindungan hukum, yang berarti perbuatan untuk memberikan perlindungan dari segi peraturan perundang-undangan. Pengertian perlindungan hukum bagi rakyat menurut Philipus M. Hadjon berkaitan dengan rumusan yang dalam kepustakaan berbahasa Belanda berbunyi “rechtsbescherming van de burgers tegen de overheid dan dalam kepustakaan berbahasa Inggris legal protection of the individual in

relation to acts of administrative authorities”.29

Dalam rumusan perlindungan hukum bagi rakyat tersebut Philipus M. Hadjon sengaja tidak dicantumkan terhadap pemerintah atau terhadap tindak pemerintahan dengan pertimbangan dan alasan berikut :30

- Istilah rakyat sudah mengandung pengertian sebagai lawan dari istilah pemerintah. Istilah rakyat pada hakekatnya berarti yang dipemerintah (the

governed, geregeerde). Dengan demikian, istilah rakyat mengandung arti

yang lebih spesifik dibandingkan dengan istilah-istilah dalam bahasa asing, seperti : volks, people, peuple.

- Dicantumkannya terhadap pemerintah atau terhadap tindak pemerintahan dapat menimbulkan kesan bahwa ada konfrontasi antara rakyat sebagai yang diperintah dengan pemerintah sebagai yang memerintah. Pandangan yang demikian tentunya bertentangan dengan falsafah hidup negara kita, yang memandang rakyat dan pemerintah sebagai partner dalam usaha mewujudkan cita-cita hidup bernegara.

Hal ini berarti bahwa perlindungan hukum terhadap rakyat ini ada kaitannya dengan suatu tindakan pemerintah yang bisa melakukan perbuatan secara sewenang-wenang atau melampaui wewenang yang ada padanya.

29

Philipus M. Hadjon, Op. cit, h. 1. 30

Referensi

Dokumen terkait

A különböző légköri paraméterek fi zi- ológiás és patofi ziológiás hatásainak szélesebb körű feltá- rása egyre nagyobb jelentőséggel bír, mivel minor

Jika bayangan yang terbentuk oleh lensa cembung adalah maya, tegak, dan diperbesar 2 kali, sedangkan jarak benda adalah 4 cm di depan lensa maka focus lensa adalah.. Sebuah

Berdasar pada Berita Acara Pembuktian kualifikasi Nomor : 99/ULP-Pokja-II- JK/APBD/2014 tanggal 18 Maret 2014 Pekerjaan Penyusunan/Pengembanga Sistem Informasi

Sementara kategori sikap kemandirian belajar siswa terhadap Fisika menunjukkan: kategori sikap siswa sangat tidak setuju sebanyak 0 %, kategori sikap siswa tidak

rendah (ketinggian bangunan sampai dengan 12 meter) di lokasi sesuai dengan fungsi jalan lokal/lingkungan, Pelaku pembangunan wajib menyediakan lahan pada lahan

Hasil penelitian ini dapat di simpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara variabel teman sebaya dan variabel kepercayaan diri terhadap aktualisasi diri

Jenis penilitian ini menggunakan penelitian deskriftif kualitatif.Menurut (Saryono 2010: 1), kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk menyelidiki,

pengaruh kenaikan atau penurunan harga barang terhadap perubahan jumlah permintaan atau penawaran barang tersebut. Penggunaan elastisitas harga ini tentu saja