BAB III : PENGAMBILAN HAK ULAYAT UNTUK
1. Proses Pembebasan/Pelepasan Hak Ulayat …
Perihal proses pembebasan hak atas tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat atau tanah ulayat tidak bedanya dengan pembebasan atau pelepasan hak atas tanah pada umumnya. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 UUPA, bahwa “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang”. Di dalam ketentuan Pasal 18 UUPA terkandung makna bahwa hak atas tanah dicabut untuk kepentingan umum dan kepentingan bersama rakyat, disertai dengan ganti kerugian yang layak menurut peraturan perundang-undangan.
Di dalam Pasal 18 UUPA hanya menyebut hak atas tanah dapat dicabut, yang berarti dicabut dari pihak yang menguasai hak atas tanah, sehingga terjadi pelepasan hak atas tanah tersebut dari yang menguasainya. Oleh karena hanya disebut pemegang hak atas tanah, berarti termasuk hak atas tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat yang lebih dikenal dengan hak ulayat.
Pada awalnya dikenal dengan pencabutan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 Pencabutan Hak-hak Tanah dan Benda-benda yang Ada Di Atasnya (selanjutnya disingkat UU No. 20 Tahun 1961).
Mengenai pencabutan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961 tersebut dipandang bertentangan dengan hak asasi. Penggunaan tanah untuk keperluan pembangunan untuk kepentingan umum serta dengan cara perolehan hak atas tanah dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993, dan selanjutnya dicabut oleh Perpres No. 36 Tahun 2005 dan kemudian dirubah oleh Perpres No. 65 Tahun 2006. Dalam Pasal 17 Perpres No. 36 Tahun 2005 disebutkan bahwa pemegang hak atas tanah yang tidak menerima keputusan panitia pengadaan tanah dapat mengajukan keberatan kepada Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan disertai dengan penjelasan mengenai sebab-sebab dan alasan keberatan tersebut. Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan mengupayakan penyelesaian mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi tersebut dengan mempertimbangkan pendapat dan keinginan dari pemegang hak atas tanah atau kuasanya. Setelah mendengar dan mempelajari pendapat dan keinginan pemegang hak atas tanah serta pertimbangan panitia pengadaan tanah, Bupati/ Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan mengeluarkan keputusan yang dapat mengukuhkan atau mengubah keputusan panitia pengadaan tanah mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti rugi yang akan diberikan.
Pencabutan hak atas tanah dikatakan telah melanggar hak asasi pemegang hak atas tanah, karena nampak adanya suatu paksaan termasuk pemberian ganti kerugian, untuk itu diatur dengan undang-undang. Dilakukannya musyawarah untuk mencapai suatu persetujuan adalah sangat vital terhadap seluruh kegiatan penggusuran tanah.
Mulai dari penentuan tanah yang akan tergusur, izin lokasi, pencadangan tanah, pembebasan, penetapan ganti rugi serta pemberian ganti ruginya dan seterusnya. Misalnya dalam hal penentuan ganti rugi, jumlah dan besarnya harus sungguh-sungguh dimusyawarahkan dengan para pihak
Acuan musyawarah awalnya seperti yang dirumuskan dalam Tap MPR No. II/MPR/1978, kemudian terbitlah Keppres No. 55 Tahun 1993 Pasal 1 angka 5, musyawarah itu diberikan definisi sebagi proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian. Perihal ganti rugi menurut Pasal 1 angka 11 Perpres No. 36 Tahun 2005 yang telah dirubah oleh Perpres No. 65 Tahun 2006 menentukan:
Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial sekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.
Hal yang menarik dari istilah dalam peraturan itu, adalah hampir semuanya diatur dan diterangkan secara samar-samar. Sehingga mudah direkayasa, misalnya dengan cara tidak ditindaklanjuti dengan peraturan lain yang lebih operasional. Kecuali untuk beberapa aturan dan pengertian yang melicinkan kebijakan yang ditargetkan, seperti penetapan ganti rugi dan pelaksanaan musyawarah. Namun ada yang aneh dan kontradiksi antara pengertian musyawarah yang diberikan oleh Keppres No. 55 Tahun 1993, misalnya mengenai ketentuan yang mengatur penetapan
dan pemberian ganti rugi dan harga tanah, penetapan tanah yang akan tergusur, penetapan arti kepentingan umum dan penetapan pengertian musyawarah itu sendiri.
Singkatnya, musyawarah itu hanya dapat terlaksana bila antara pihak-pihak yang terlibat dalam persoalan itu diberikan hak dan kewajibannya secara proporsional. Juga diberikan kesempatan, saluran, dorongan dan arahan yang berguna untuk mengekspresikan hak dan kewajibannya itu secara proporsional.
Hal yang menjadi latar belakang dilakukannya penggusuran hak atas tanah rakyat, adalah karena tanah tersebut secara kebetulan sangat diinginkan oleh pembangunan. Kepentingan pembangunan yang biasanya diidentikkan dengan ke-pentingan umum itu, biasanya sangat mendesak sifatnya, sehingga bila ditunda-tunda pelaksanaannya akan sangat membahayakan dan menghambat tercapainya kepentingan orang banyak dan kepentingan bersama. Namun siapa pun yang membacakan kata kepentingan umum pasti akan sulit memahami dan mengerti maksud sebenarnya, kecuali bagi mereka yang mempunyai bekal ilmu politik yang cukup. Sebab pengertian itu sangat umum dan begitu mudahnya ia diberi sayap untuk terbang mengikuti arah angin kebijakan yang diharapkan. Bahkan sampai saat ini belum ada rumusan yang baku, dan atau gugatan terhadap perumusan dan pelaksanaan kepentingan umum itu. Misalnya "gugatan" tentang siapa yang berhak untuk merumuskan kepentingan umum itu, apa kriterianya, dan apa konsekuensinya. Kemudian gugatan bila ternyata pembebasan tanah itu tidak berdampak pada kesejahteraan dan kepentingan bersama sebagaimana yang dirumuskan atau yang dijanjikan. Definisi kepentingan umum ini menurut Keppres No. 55 Tahun 1993,
Pasal 1 angka 3, adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Karena masih kaburnya pengertian kepentingan umum itu, maka bisa jadi tiap daerah tingkat II mempunyai kriteria dan alasan yang berbeda dalam melakukan penggusuran. Semuanya itu tergantung dari kasus dan lingkungan permasalahan yang dihadapi serta target yang diinginkan oleh penguasa setempat. Sehingga pembangunan rumah sakit swasta dan real estate dapat disebut sebagai kepentingan umum di daerah yang satu tapi tidak untuk daerah yang lainnya.
Keseluruhannya itu yang perlu digarisbawahi antara lain, pertama, bahwa pengertian kepentingan umum itu masih sangat luas dan kabur. Sebagai contoh, tiba-tiba muncul istilah dan pengertian “demi kepentingan pembangunan, dan atau kepentingan yang secara langsung dan tak langsung menjunjung kepentingan umum. Kedua, mungkin saja dari batasan yang umum dan luas itu, keinginan seseorang atau lembaga tertentu untuk membangun kerajaan usaha yang direncanakan akan menaikkan ekspor dan meningkatkan jumlah industri kita, dengan begitu mudah disebut sebagai kepentingan umum. Kemungkinan itu bisa saja terjadi, bila yang menentukan pengambilan keputusan itu adalah lobi yang dilakukan pemohon tanah dengan penguasa, sambil meyakinkannya, bahwa proyek itu akan mendatangkan keuntungan. Tujuannya agar jenis usaha yang dimohonkan itu mendapatkan label untuk kesejahteraan bersama dan tetap survive dari hantaman kerasnya persaingan. Dengan label itu juga, maka kemudian aparat pemerintah membantu, memfasilitasi dan mensubsidi dengan menyediakan tanah-tanah yang kini dikuasai rakyat.
Meskipun ketiga Permendagri tentang “Pembebasan Tanah” telah dicabut oleh Pasal 24 Keppres No. 55 Tahun 1993, namun bukan berarti rumusan dan kriteria kepentingan umum telah tegas dan transparan. Karena Keppres tersebut juga tidak memberikan kriteria kepentingan umum secara tegas dan terinci. Walaupun rumusan dan bahaya yang digunakan agak lebih baik daripada yang sebelumnya, namun peraturan itu tetap saja membuka peluang untuk “disalahtafsirkan” dengan memasukkan hal-hal tertentu sebagai “kepentingan umum”.
Sebaliknya menurut Maria SW. Sumardjono28, Keppres No. 55 Tahun 1993 itu menganut pendekatan yang sempit dalam memberikan rumusan kepentingan umum, karena Kepres itu memberikan definisi yang ketat tentang apa yang disebut sebagai kepentingan umum itu, karena ia membandingkan dengan Undang-undang No. 20 Tahun 1961, yang kemudian disebutnya menganut pendekatan yang luas. Sementara Inpres No. 9 Tahun 1973 menurutnya menggunakan kombinasi pendekatan keduanya, karena didalamnya disebutkan daftar kegiatan yang masuk kriteria kepentingan umum dengan masih membuka menafsirkannya secara luas.
Secara harfiah Pasal 5 ayat (1) Kepres No. 55 Tahun 1993, memang menyebutkan daftar 14 kegiatan pembangunan yang berlabel kepentingan umum, yaitu kegiatan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Tetapi dalam ayat 2-nya disebutkan bahwa kegiatan kepentingan umum selain ke 14 kegiatan itu akan ditetapkan oleh Keputusan
28
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan (Antara regulasi dan Implementasi), Kompas, Jakarta, 2002.
Presiden. Demikian juga kepada Menteri/ ketua Lembaga/Direksi BUMN/BUMD, dan Gubernur Otorita dapat mengajukan permohonan kepada Presiden melalui Menteri Negara Sekretaris Negara agar proyeknya dapat diberlakukan dengan Kepres No. 55 Tahun 1993.
Buktinya setelah Keppres No. 55 Tahun 1993 itu berlaku, ternyata dalam pelaksanaannya tidak ada perubahan yang prinsipal daripada sebelumnya, misalnya terhadap proyek PLTU di Jepara. Maka wajarlah jika muncul kepercayaan yang tumbuh subur di kalangan pejabat, antara lain, bahwa semua proyek yang akan menghasilkan tambahan devisa, dan akan memperkuat, menstabilkan pertumbuhan ekonomi makro adalah untuk kepentingan umum, sehingga tidak boleh dan tidak ada yang tertunda karena kesulitan memberikan ganti rugi atas tanah rakyat yang diinginkannya.
Apakah kebanggaan terhadap pertumbuhan ekonomi itu akan dinikmati oleh seluruh rakyat ataukah bahkan memperlebar jurang perbedaan yang telah ada? Dan bagi pemilik tanah, bila yang terjadi adalah kemunduran kesejahteraan, maka tanah yang dikorbankan itu pada hakikatnya bukan untuk kepentingan umum, melainkan untuk sekelompok orang tertentu saja.
Hal yang pasti, sebelum ada ketentuan tentang kriteria kepentingan umum secara tegas, terinci dan tidak mudah diberikan sayap, maka penggusuran tanah yang mengatasnamakan rakyat akan terus berlanjut dengan segala implikasinya. Demikian mendesaknya keterincian ini bukan berarti tidak percaya kepada sang penguasa
(eksekutif) dan wakil-wakil rakyat, tetapi lebih merupakan tuntutan zaman yang menginginkan definisi pengertian “kekeluargaan”.
Apabila memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa ketentuan yang mengatur masalah pembebasan hak atas tanah untuk kepentingan umum baik untuk kepentingan pemerintah maupun kepentingan swasta telah tegas dibuatnya, baik yang berkenaan dengan tata cara pembebasan, pembentukan panitia maupun penentuan harga tanah sebagai ganti kerugian. Dengan telah jelasnya ketentuan tersebut sebenarnya dapat digunakan sebagai dasar bagi pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Sehubungan dengan pelepasan hak, Pasal 3 Perpres No. 36 Tahun 2005 menentukan bahwa pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah. Pencabutan hak atas tanah dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah Dan benda-benda yang Ada Di Atasnya.
Pasal 4 Perpres No. 36 Tahun 2005 bahwa pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah, yang diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila berdasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan lebih dahulu. Bagi daerah yang belum menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah, pengadaan tanah dilakukan berdasarkan perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada. Apabila tanah telah ditetapkan sebagai lokasi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan surat keputusan penetapan lokasi yang ditetapkan oleh Bupati/ Walikota atau Gubernur, maka bagi
siapa yang ingin melakukan pembelian tanah di atas tanah tersebut, terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Bupati/Walikota atau Gubermur sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 5 Perpres No. 36 Tahun 2005 menentukan bahwa pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau pemerintah daerah meliputi, jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi, waduk, bendungan, irigasi, dan bangunan pengairan lainnya, rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat, pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal, peribadatan, pendidikan atau sekolah, pasar umum, fasilitas pemakaman umum, fasilitas keselamatan umum, pos dan telekomunikasi, sarana olah raga, stasiun penyiaran radio, televisi dan sarana pendukungnya, kantor Pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan atau lembaga-lembaga internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, fasilitas Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, rumah susun sederhana, tempat pembuangan sampah, cagar alam dan cagar budaya, pertamanan, panti sosial, pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
Pasal 6 Perpres No. 36 Tahun 2005 menentukan pengadaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah kabupaten/kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota. Panitia
pengadaan tanah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh Gubernur. Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah kabupaten/kota atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah provinsi yang dibentuk oleh Gubernur. Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah provinsi atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur pemerintah daerah terkait. Susunan keanggotaan panitia pengadaan tanah terdiri atas unsur perangkat daerah terkait.
Pasal 7 Perpres No. 36 Tahun 2005 menentukan bahwa panitia pengadaan tanah bertugas: mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan; mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan, dan dokumen yang mendukungnya; menaksir dan mengusulkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan, memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap muka, media cetak maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah, mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi Pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi, menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan,
tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah, membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten.
Pasal 8 Perpres No. 36 Tahun 2005 menentukan bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah dalam rangka memperoleh kesepakatan mengenai: pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di lokasi tersebut, bentuk dan besarnya ganti rugi. Musyawarah dilakukan di tempat yang ditentukan dalam surat undangan.
Pasal 9 Perpres No. 36 Tahun 2005 menentukan bahwa musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah bersama panitia pengadaan tanah, dan instansi Pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah. Dalam hal jumlah pemegang hak atas tanah tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif, maka musyawarah dilaksanakan oleh panitia pengadaan tanah dan instansi Pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dengan wakil-wakil yang ditunjuk di antara dan oleh para pemegang hak atas tanah, yang sekaligus bertindak selaku kuasa mereka. Penunjukan wakil atau kuasa dari para pemegang hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan secara tertulis, bermaterai cukup yang diketahui oleh Kepala Desa/Lurah atau surat penunjukan/kuasa yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Musyawarah dipimpin oleh ketua panitia pengadaan tanah.