• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kriteria lokasi perairan yang dapat dimanfaatkan untuk bangunan atau instalasi di laut

Dalam dokumen BAB II STUDI PUSTAKA (Halaman 105-110)

Annex II Pencemaran oleh Cairan Beracun (Nuxious Substances) dalam bentuk

TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA ANGGOTA MARPOL 73/78

10. Kriteria lokasi perairan yang dapat dimanfaatkan untuk bangunan atau instalasi di laut

Kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air termasuk ke dalam aspek kenavigasian untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran. Dasar hukum penyusunan kriteria badan usaha yang dapat melakukan kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air dapat diuraikan sebagai berikut.

a. UU No. 17 Tahun 2008

Pada pasal 1 butir 55 UU No. 17 tahun 2008 disebutkan bahwa salvage adalah pekerjaan untuk memberikan pertolongan terhadap kapal dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan kapal atau dalam keadaan bahaya di perairan termasuk mengangkat kerangka kapal atau rintangan bawah air atau benda lainnya. Sedangkan pasal 1 butir 51 menyebutkan bahwa pekerjaan Bawah Air adalah pekerjaan yang berhubungan dengan instalasi, konstruksi, atau kapal yang dilakukan di bawah air dan/atau pekerjaan di bawah air yang bersifat khusus, yaitu penggunaan peralatan bawah air yang dioperasikan dari permukaan air. Sesuai dengan UU No. 17 tahun 2008 tentang pelayaran pasal 204 ayat 1 bahwa kegiatan salvage dilakukan terhadap kerangka kapal dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan atau tenggelam. Selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan bahwa setiap kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air harus memperoleh izin dan memenuhi persyaratan teknis keselamatan dan keamanan pelayaran dari Menteri. Oleh sebab itu diperlukan kriteria badan usaha yang dapat melakukan kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air, karena menyangkut masalah perlindungan lingkungan maritim.

b. PP No. 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian

Pasal 1 butir 25 Salvage adalah pekerjaan untuk memberikan pertolongan terhadap kapal dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan kapal atau dalam keadaan bahaya di perairan termasuk mengangkat kerangka atau rintangan bawah air atau benda lainnya. Sedangkan butir 26: Pekerjaan Bawah Air adalah pekerjaan yang berhubungan dengan instalasi, konstruksi, atau kapal yang dilakukan di bawah air dan/atau pekerjaan di bawah air yang bersifat khusus, yaitu penggunaan peralatan bawah air yang dioperasikan dari permukaan air. Pasal 1 butir 27 :Badan Usaha adalah

badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia yang khusus didirikan untuk pelayaran.

Pasal 126 ayat 1 : Kegiatan salvage dilakukan terhadap kerangka kapal dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan atau tenggelam.

Pasal 126 ayat 2 Pelaksanaan kegiatan salvage harus memenuhi persyaratan teknis yang meliputi metode kerja,. kelengkapan peralatan dan tenaga kerja.

Pasal 128 ayat 1 : Kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang khusus didirikan untuk kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air. Pasal 128 ayat 2 dan 3 : Badan usaha untuk kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air wajib memiliki izin usaha dan izin usaha diberikan oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan administrasi dan teknis.

Persyaratan administrasi:

1) akte pendirian perusahaan; 2) Nomor Pokok Wajib Pajak; dan 3) surat keterangan domisili. Persyaratan teknis:

1) memiliki tenaga penyelam yang bersertifikat; 2) memiliki paling sedikit 1 (satu) unit kapal kerja; 3) memiliki peralatan kerja, paling sedikit berupa

peralatan scuba, peralatan potong, dan peralatan penyelaman.

Pasal 92

1) Dalam perairan dapat dibangun bangunan atau instalasi selain untuk keperluan alur-pelayaran. 2) Bangunan atau instalasi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) paling sedikit harus memenuhi persyaratan:

a) penempatan, pemendaman, dan penandaan; b) tidak menimbulkan kerusakan terhadap

bangunan atau instalasi Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dan fasilitas Telekomunikasi-Pelayaran;

c) memperhatikan ruang bebas dalam pembangunan jembatan;

d) memperhatikan koridor pemasangan kabel laut dan pipa bawah laut; dan

e) berada di luar perairan wajib pandu.

3) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemilik bangunan atau instalasi wajib menempatkan sejumlah uang di bank Pemerintah sebagai jaminan untuk menggantikan biaya pembongkaran bangunan atau instalasi yang tidak digunakan lagi oleh pemilik yang besarannya ditetapkan oleh Menteri.

4) Membangun, memindahkan, dan/atau membongkar bangunan atau instalasi yang berada di perairan harus mendapat izin dari Menteri.

Pasal 94

1) Pada setiap bangunan atau instalasi di laut wajib dipasang Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran.

2) Pemasangan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemilik bangunan setelah mendapat persetujuan dari Menteri.

3) Menteri menetapkan zona keamanan dan keselamatan berlayar pada setiap bangunan atau instalasi.

4) Lokasi bangunan atau instalasi, spesifikasi Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran, dan zona keamanan dan keselamatan berlayar diumumkan dengan mencantumkan dalam peta laut dan buku petunjuk pelayaran serta disiarkan melalui stasiun radio pantai.

Pasal 96

1) Bangunan atau instalasi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2) atau yang tidak digunakan wajib dibongkar.

2) Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemilik bangunan atau instalasi paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak dinyatakan tidak memenuhi syarat atau tidak digunakan lagi.

c. Permenhub No. 52 Tahun 2011 tentang Pengerukan dan Reklamasi

Pasal 1 butir 7 didefinsikan bangunan atau isntalasi adalah setiap konstruksi baik berada di atas dan/atau di bawah permukaan perairan.

d. Permenhub No. PM 68 Tahun 2011 tentang Alur Pelayarn di Laut

Dalam Bab VII dijelaskan mengenai bangunan atau instalasi di perairan.

Pasal 39:

1) Dalam perairan dapat dibangun bangunan atau instalasi selain untuk keperluan alur-pelayaran. 2) Bangunan atau instalasi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) meliputi: a) jembatan;

b) pipa; c) kabel.

3) Bangunan atau instalasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit wajib memenuhi persyaratan:

a) penempatan, pemendaman, dan penandaan; b) tidak menimbulkan kerusakan terhadap

bangunan atau instalasi Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dan fasilitas Telekomunikasi-Pelayaran;

c) memperhatikan ruang bebas dalam pembangunan jembatan;

d) memperhatikan koridor pemasangan kabel laut dan pipa bawah laut; dan

e) berada di luar perairan wajib pandu.

4) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemilik bangunan atau instalasi wajib menempatkan sejumlah uang di bank Pemerintah sebagai jaminan untuk menggantikan biaya pembongkaran bangunan atau instalasi yang tidak digunakan lagi oleh pemilik yang besarannya ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

5) Membangun, memindahkan, dan/ atau membongkar bangunan atau instalasi yang berada di perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat izin dari Direktur Jenderal.

e. MARPOL Convention 73/78 Consolidated Edition 1997 yang memuat peraturan :

1) International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973.

Mengatur kewajiban dan tanggung jawab Negara-negara anggota yang sudah meratifikasi konvensi tersebut guna mencegah pencemaran dan buangan barang-barang atau campuran cairan beracun dan berbahaya dari kapal. Konvensi-konvensi IMO yang sudah diratifikasi oleh Negara anggotanya seperti Indonesia, memasukkan isi konvensi-konvensi tersebut menjadi bagian dari peraturan dan perundang-undangan Nasional.

2) Protocol of 1978

Merupakan peraturan tambahan “Tanker Safety and Pollution Prevention (TSPP)” bertujuan untuk meningkatkan keselamatan kapal tanker dan melaksanakan peraturan pencegahan dan pengontrolan pencemaran laut yang berasal dari kapal terutama kapal tanker dengan melakukan modifikasi dan petunjuk tambahan untuk melaksanakan secepat mungkin peraturan pencegahan pencemaran yang dimuat di dalam Annex konvensi.

Karena itu peraturan dalam MARPOL Convention 1973 dan Protocol 1978 harus dibaca dan diinterprestasikan sebagai satu kesatuan peraturan. Protocol of 1978, juga memuat peraturan mengenai : a) Protocol I

Kewajiban untuk melaporkan kecelakaan yang melibatkan barang beracun dan berbahaya. Peraturan mengenai kewajiban semua pihak untuk melaporkan kecelakaan kapal yang melibatkan barang-barang beracun dan berbahaya. Pemerintah Negara anggota diminta untuk membuat petunjuk untuk membuat laporan, yang diperlukan sedapat mungkin sesuai dengan petunjuk yang dimuat dalam Annex Protocol I.

Sesuai Article II MARPOL 73/78 Article III “Contents of report” laporan tersebut harus memuat keterangan :

(1) Mengenai identifikasi kapal yang terlibat melakukan pencemaran.

(2) Waktu, tempat dan jenis kejadian

(3) Jumlah dan jenis bahan pencemar yang tumpah

(4) Bantuan dan jenis penyelamatan yang dibutuhkan

Nahkoda atau perorangan yang bertanggung jawab terhadap insiden yang terjadi pada kapal wajib untuk segera melaporkan tumpahan atau buangan barang atau campuran cairan beracun dan berbahaya dari kapal karena kecelakaan atau untuk kepentingan menyelamatkan jiwa manusia sesuai petunjuk dalam Protocol dimaksud. b)Protocol II mengenai Arbitrasi

Berdasarkan Article 10”setlement of dispute”. Dalam Protocol II diberikan petunjuk menyelesaikan perselisihan antara dua atau lebih Negara anggota mengenai interprestasi atau pelaksanaan isi konvensi. Apabila perundingan antara pihak-pihak yang berselisih tidak berhasil menyelesaikan masalah tersebut, salah satu dari mereka dapat mengajukan masalah tersebut ke Arbitrasi dan diselesaikan berdasarkan petunjuk dalam Protocol II konvensi.

Selanjutnya peraturan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut oleh berbagai jenis bahan pencemar dari kapal dibahas daam Annex I s/d V MARPOL 73/78, berdasarkan jenis masing-masing bahan pencemar sebagai berikut :

Annex I Pencemaran oleh minyak Mulai berlaku 2 Oktober 1983

Annex II Pencemaran oleh Cairan Beracun

Dalam dokumen BAB II STUDI PUSTAKA (Halaman 105-110)