• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran kondisi lingkungan hidup dan kecendrungannya bertujuan untuk mengetahui kondisi umum dan status

2.1. LAHAN DAN HUTAN

Hutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan sumberdaya alam berupa kayu, tapi masih banyak potensi non kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat melalui budidaya tanaman. Sebagai fungsi ekosistem, hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora dan fauna dan peran penyeimbang lingkungan serta mencegah pemanasan global.

Hutan Sumatera Barat merupakan kelompok hutan tropis yang memiliki fungsi utama sebagai paru-paru dunia serta dianggap signifikan mempengaruhi iklim. Selain itu, hutan tropis juga berfungsi sebagai sumber keanekaragaman hayati. Berdasarkan kenyataan tersebut, lahan dan hutan dijadikan isu utama dalam penyusunan revisi RPJMD dan RTRW Sumatera Barat yang saat ini masih dalam proses pengesahan/penetapan.

Isu utama terkait dengan lahan dan hutan Sumatera Barat pada tahun 2011 tidak berbeda jauh dengan tahun 2010 yaitu :

1. Alih fungsi lahan (okupasi)/ pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan non kehutanan.

2. Terdapatnya lahan kritis yang cukup luas di beberapa daerah yaitu Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Limapuluh Kota, Kab. Pasaman dan

Kabupaten Kepulauan Mentawai (> 50.000 Ha)

3. Terjadinya kerusakan hutan pada kabupaten/kota yang sedang diusulkan untuk perubahan fungsi kawasan hutan ke Menteri Kehutanan.

Isu ini akan dianalisis melalui pendekatan – pendekatan sebagai berikut:

1. Pada bagian ”Gambaran Umum” menggunakan analisis statistik untuk menentukan kondisi maksimum, minimum dan rata-rata. Analisis dilakukan secara terintegrasi dengan analisis perbandingan antar waktu dan antar lokasi untuk seluruh parameter yang menunjukkan pemanfaatan lahan, penggunaan dan tutupan lahan, fungsi hutan serta kawasan lindung,.

2. Analisis terhadap obyek dan lokasi dilakukan dengan melihat keterwakilan masalah, bukan keseluruhan daerah kabupaten/kota

3. Pada bagian ”Kecendrungan Perubahan Kualitas Lahan dan Hutan” analisis dilakukan untuk semua parameter yang menunjukkan kerusakan lahan dan mililiki data series guna melihat trend terhadap perubahan kualitas lahan dan hutan dibandingkan tahun sebelumnya. Bahasan ini meliputi lahan kritis, kerusakan tanah, kerusakan hutan, konversi hutan dan pengembangan HTI.

4. Analisis perbandingan dengan baku mutu hanya diterapkan terhadap

Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-2 bahasan kerusakan tanah. Baku mutu

mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa.

5. Disamping kedua bagian tersebut di atas (Gambaran Umum dan Kecendrungan Perubahan Kualitas Hutan dan Lahan), terdapat bahasan ”Catatan Khusus” tentang perubahan lahan berdasarkan RTRW, fungsi dan statusnya.

Berikut akan digambarkan ”Kondisi Umum Lahan dan Hutan” yang analisisnya berdasarkan tabel SD 1 s/d SD 4 Buku Data SLHD 2011. Adapun ”Status dan

Kecenderungannya”, analisisnya berdasarkan tabel SD 5 s/d SD 8 buku data

SLHD 2011.

2. 1.1 Kondisi Umum

a. Luas Wilayah Menurut

Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan Sumatera Barat memiliki kawasan hutan relatif cukup luas dibandingkan dengan total luas provinsi. Dari luas provinsi 4.229.730 Ha, tercatat 2,6 juta Ha telah ditunjuk sebagai kawasan hutan, sedangkan sisanya digunakan untuk kegiatan lainnya dalam bentuk Areal Pengguaan Lain (APL) seluas 1,6 juta Ha (Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 422/Kpts-II/1999).

Setelah terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan No. 304/Menhut-II/2011 tanggal 9

Juni 2011, maka terjadi perubahan peruntukkan kawasan hutan menjadi kawasan bukan kawasan hutan seluas + 96.904 Ha. Perubahan antar fungsi kawasan hutan 147.213 Ha. Penunjukan bukan kawasan hutan (APL) menjadi kawasan hutan 9.906 Ha. Disamping itu terdapat + 29.382 Ha Kawasan hutan berdampak penting cakupan luas dan bernilai strategis (DPCLS) yang telah disetujui DPR. RI pada tanggal 23 November 2011, untuk seterusnya melalui keputusan Menteri Kehutanan akan ditetapkan perubahan peruntukkannya menjadi Areal Penggunaan Lain (APL).

Topografi daerah Sumatera Barat yang didominasi oleh perbukitan mengakibatkan sebagian besar kawasan hutan di Sumatera Barat berstatus kawasan lindung, baik fungsi hutan lindung maupun hutan konservasi. Hutan terluas berada di Kabupaten Kepulauan Mentawaiseluas454.317,47Ha. Kotayang tidak mempunyai kawasan hutan adalah Kota Pariaman dan Kota Bukittinggi.

Distribusi penggunaan/pemanfaatan lahan lainnya di Sumatera Barat dapat digambarkan sebagai berikut : pemanfaatan lahan kedua paling luas adalah pertanian. Areal pertanian terbesar berada di Kabupaten Pasaman Barat yaitu 164.373 Ha dan terkecil di Kota Bukittinggi 598 Ha. (sumber : RTRW Sumatera Barat 2009-2029).

Khusus untuk pemanfaatan sawah, terluas berada di Kota Solok yaitu seluas

Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-3 88.948,00 Ha, sedangkan lahan sawah

terkecil berada di Kabupaten Pesisir Selatan (sumber :Tabel SD-1, SLHD 2011). Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat bahwa penggunaan lahan sawah kedepannya akan dikonversi secara terencana melalui rencana tata ruang wilayah (RTRW) kabupaten/kota untuk pemukiman, pusat usaha/ perdagangan, perkantoran, infrastruktur jalan dan keperluan lainnya.

Untuk kawasan perkebunan, terluas berada di Kabupaten Pasaman Barat yaitu 99.188,66 Ha, lahan perkebunan terkecil

berada di Kota Sawahlunto 1,33 Ha. Sedangkan daerah yang tidak memiliki kawasan perkebunan adalah Kota Bukittinggi dan Kota Padang Panjang.

Secara presentase, penggunaan lahan terluas di Sumatera Barat adalah kawasan hutan yang berjumlah + 54 %. Sedangkan sisanya adalah penggunaan untuk lahan kering± 10 %,perkebunan± 11 %,sawah 11 %; dan penggunaan lainnya ± 14 %. Berikut ini. distribusi penggunaan lahan di Sumatera Barat dapat dilihat pada Gambar 2.1. berikut

:

Sumber : Olahan Tabel SD.1, Buku Data SLHD Prov. Sumbar 2011 b. Luas Kawasan Hutan Menurut

Fungsi/Statusnya

Berdasarkan data sementara hasil analisis GIS tahun 2011, hutan Sumatera Barat + 2.437.532 Ha . Kawasan Konservasi, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata, Taman Buru, Taman Nasional dan Taman Hutan Raya merupakan kawasan suaka alam atau pelestarian alam dengan

luasan 806.879 Ha. Selanjutnya Hutan Lindung seluas 792.114 Ha, Hutan Produksi (HP) seluas 360.383 Ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 233.157 Ha dan Hutan Produksi Konservasi (HPK) 188.258 Ha (sumber : Tabel SD-2, Buku Data SLHD 2011). Luas kawasan hutan menurut fungsi/statusnya dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-4 Sumber : Tabel SD.2 Buku Data SLHD Prov. Sumbar, 2011

c. Luas Kawasan Lindung

berdasarkan RTRW dan Tutupan Lahannya

Dalam dokumen RTRW Provinsi Sumatera Barat Tahun 2009-2029, disampaikan bahwa luas lahan budidaya yang dapat dimaksimalkan penggunaannya hanya 55,2% atau seluas 2.463.358,62 Ha, sisanya adalah kawasan lindung. Data mengenai masing-masing kategori kawasan lindung dan tutupannya sangat terbatas (sumber : tabel SD-3, Buku Data SLHD 2011). Terdapat 6 kategori kawasan lindung, yaitu 1) kawasan perlindungan terhadap kawasan bawahannya 2) kawasan perlindungan setempat 3) kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya 4) Kawasan rawan bencana 5) kawasan lindung geologi dan 6) kawasan lindung lainnya

Dari total kawasan lindung terdapat hutan lindung dengan luasan 23,68% , hutan suaka alam dan pelestarian alam 57,56 %, dan 16,39% kawasan lindung berada di

hutan produksi, hutan produksi terbatas dan hutan konversi serta 0,52% kawasan lindung berada diluar hutan. (Sumber : RTRW Sumatera Barat 2009-2029)

Kawasan lindung terluas berada di Kabupaten Limapuluh Kota yaitu 290.392,9 Ha. Diikuti Kabupaten Pesisir Selatan seluas 271.523,4 Ha berupa Taman Nasional (Taman Nasional Kerinci Seblat) dan Suaka Alam. Taman Nasional Kerinci Seblat merupakan taman nasional lintas provinsi yaitu Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Jambi, Provinsi Bengkulu dan Provinsi Sumatera Barat. Untuk segmen Sumatera Barat meliputi Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Solok dan Kabupaten Sijunjung. (Sumber : RTRW Sumatera Barat 2009-2029 ).

d. Luas Penutupan Lahan dalam Kawasan Hutan dan Luar Kawasan Hutan

Perbandingan luas penutupan lahan dalam dan non kawasan hutan dinyatakan dengan luas kawasan hutan tetap (HT =

Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-5 KSA-KPA + HL + HPT + HP) dan kawasan

Hutan Produksi Konversi (HPK) serta Areal Penggunaan Lain (APL). Tabel 2.1 memperlihatkan kabupaten di Sumatera Barat yang memiliki luas penutupan lahan berupa hutan tetap terluas adalah Kabupaten Kepulauan Mentawai yaitu

439.382 Ha. Hutan Produksi Konservasi (HPK) terluas juga di Kabupaten Kepulauan

Mentawai yaitu 53.582 Ha, sedangkan Areal

Penggunaan Lain (APL) terluas berada di Kabupaten Pasaman Barat yaitu 266.855 Ha.

Tabel 2.1. Perbandingan Luas Penutupan Lahan Dalam dan Luar Kawasan Pada Beberapa Kabupaten

No. Kabupaten Hutan Tetap (Ha) HPK (Ha) APL (Ha)

1. Pasaman 267.329 8.664 115.947 2. Pasaman Barat 99.843 6.956 266.855 3. Limapuluh Kota 166.176 11.364 143.565 4. Agam 64.838 9.039 135.230 5. Tanah Datar 49.152 97,000 82.322 6. Solok 188.131 9.809 124.691 7. Solok Selatan 213.718 19.753 123.229 8. Sijunjung 169.046 15.539 120.160 9. Dharmasraya 74.258 16.340 200.962 10. Pesisir Selatan 305.119 31.278 215.071 11. Kepulauan Mentawai 439.382 53.582 104.959 12. Padang Pariaman 23.277 0 102.006

Sumber : Olahan Tabel SD.4 Buku Data SLHD Prov. Sumbar 2011 2.1.2. Kecendrungan Perubahan Kualitas

Lahan dan Hutan 2.2.1. Lahan Kritis

Jumlah lahan kritis pada tahun 2011 adalah seluas 387.835,86 Ha. Lahan kritis terluas terdapat di Kabupaten Limapuluh Kota seluas 105.591 Ha, Kabupaten Sijunjung seluas 73.923 Ha dan Kabupaten Kep. Mentawai seluas 55.246,1 Ha. Sedangkan untuk tingkat kota lahan kritis terluas adalah Kota Sawahlunto yaitu 14.966 Ha.

Lahan kritis terkecil berada dan Kabupaten Agam seluas 1.224,50 Ha. Untuk tingkat kota lahan kritis terkecil berada di Kota Pariaman yaitu seluas 11,40 ha dan Kota Bukittinggi seluas 104 Ha.

Secara umum, terjadi penurunan luas lahan kritis pada tahun 2011 dibandingkan tahun 2010 dimana pada tahun 2010 luas lahan kritis sebesar 429.025,3 Ha. Hal ini karena saat ini, di Sumatera Barat sangat gencar dilaksanakan Kegiatan Penghijauan dan Reboisasi berupa Gerakan Menanam Pohon yang dilakukan oleh beberapa instansi pemerintah dan unsur perusahaan dalam bentuk Coorporate Social Responsibility (CSR) bidang lingkungan di provinsi maupun beberapa kabupaten/kota. Adapun perbandingan luas lahan kritis pada tahun 2010 dan 2011 dapat dilihat pada Tabel 2.2 dan Gambar 2.3. Perbandingan lahan kritis di 5 (lima ) kabupaten yang memilki lahan terkritis

Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-6 Tabel 2.2. Perbandingan Luas Lahan Kritis Tahun 2010 dan 2011

No. Kabupaten/Kota 2010 Luas (Ha) 2011 A. KOTA 1 Padang 68,80 193,3 2 Bukittinggi 505,58 104 3 Padang Panjang 659,94 326 4 Payakumbuh 467,19 586 5 Sawahlunto 11.271,00 14.966 6 Pariaman 11,14 11,40 7 Solok 2.550,42 1829 B. KABUPATEN 8 Kepulauan Mentawai - 55.246,1 9 Solok Selatan 124.276,41 15.652,66 10 Padang Pariaman 30.562,20 1.741,50 11 Tanah Datar 55.447,36 27.216,30 12 Pesisir Selatan 32.978,20 4.023,10 13 Sijunjung 103.972,58 73.923,00 14 Solok 47.058,6 28.719,00 15 Dhamasraya 20.150,00 1.589,00 16 Pasaman Barat 99.092,72 2.220,10 17 Pasaman 74.786,38 52.685,50 18 Agam 87.314,00 1.224,30 19 Limapuluh Kota 167.812,02 105.591,00 Total 429.025,3 387.835,86

Sumber : Tabel SD 5.1, Buku Data SLHD Prov. Sumbar 2011

Gambar 2.3. Perbandingan Lahan Kritis di Sumatera Barat Tahun 2010 dan 2011

0,00 20.000,00 40.000,00 60.000,00 80.000,00 100.000,00 120.000,00 140.000,00 160.000,00 180.000,00 Limapuluh Kota

Pasaman Solok Sijunjung

2010 2011

Sumber : Olahan Tabel SD.5.1, Buku Data SLHD Prov.Sumbar 2011

2.2.2. Kerusakan Tanah di Lahan Kering Akibat Erosi Air

Kerusakatan tanah akibat erosi air, pada umumnya terjadi pada ketebalan tanah kurang dari 20 cm dan tebal tanah antara 20

Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-7 s/d 50 cm. Kerusakan tanah di 3 (tiga)

kabupaten dapat digambarkan sebagai berikut : Kab.Solok Selatan yaitu ±1,5 mm/10 tahun untuk tebal tanah kurang dari 20 cm dan 4,4 m/10 untuk tebal tanah antara 20 s/d 50 cm. Kerusakan yang sama juga terjadi di daerah Pesisir Selatan, Kota Padang Panjang ±1,5 mm/10 tahun untuk tebal tanah kurang dari 20 cm dan 4,2 m/10 untuk tebal tanah antara 20 s/d 50 cm.

Kecenderungan kerusakan tanah akibat erosi air meningkat di tahun 2011 ini. Untuk Kabupaten Pesisir Selatan dan Kota Padang Panjang, di tahun 2010 belum terjadi kerusakan sama sekali, namun di tahun 2011 sudah menunjukkan tanda kerusakan tanah akibat erosi. Hal ini terjadi karena pembukaan hutan yang cukup luas menjadi daerah pemukiman dan perkebunan. Tabel 2.3. memperlihatkan perbandingan kerusakan tanah di 3 (tiga) kabupaten/kota. Tabel 2.3. Perbandingan Kerusakan Tanah di Lahan Kering Akibat Erosi Air

No. Tebal Tanah

Besaran Erosi (mm/10 Tahun) Tahun 2010 Tahun 2011

1. Kab. Solok Selatan

< 20 cm 1,5 ± 1,6

20 – < 50 cm 4,2 ± 4,4

2. Kab. Pesisir Selatan

< 20 cm 1,2 (di bawah Baku Mutu) ± 1,6 20 – < 50 cm 3,3 (di bawah Baku Mutu) ± 1,4 3. Kota Padang Panjang

< 20 cm -- ± 1,5

20 – < 50 cm -- ± 4,2

Sumber : Olahan Tabel SD.5-A Buku Data SLHD Prov. Sumbar 2011

2.2.3. Kerusakan Tanah di Lahan Kering

Dari 3 (tiga) kabupaten/kota, Kabupaten Solok Selatan, Kota Padang Panjang dan Kabupaten Pesisir Selatan, tidak terjadi kerusakan tanah pada lahan kering. Hal ini dapat dilihat dari nilai kualitas tanahnya masih dibawah baku mutu PP 150 Tahun 2000. Kemasaman (pH) tanah yang melebihi baku mutu, terjadi di Kabupaten Pesisir Selatan yaitu 4,63, namun sifatnya sangat spesifik tergantung jenis tanah, sehingga belum dapat dikatakan telah terjadi kerusakan tanah. Curah hujan yang cukup tinggi mengakibatkan tidak ada tanah yang

benar-benar mengalami kekeringan di Sumatera Barat. Kecenderungan kerusakan tanah di lahan kering dapat digambarkan bahwa tidak terjadi perbedaan antara tahun 2010 dan tahun 2011. (Sumber : Tabel SD.5B, Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2011)

2.2.4 Kerusakan Tanah di Lahan Basah Pada lahan basah, juga tidak terjadi kerusakan tanah karena kualitas tanahnya yang masih memenuhi baku mutu PP 150 Tahun 2000. Kerusakan yang terjadi selama ini adalah alih fungsi lahan basah menjadi daerah. Kecenderungan Kecenderungan

Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-8 kerusakan tanah di lahan basah dapat

digambarkan bahwa tidak terjadi perbedaan antara tahun 2010 dan tahun 2011 (Sumber : Tabel SD.5C, Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2011)

2.2.5. Kerusakan Hutan

Pada tahun 2011 ini, kerusakan hutan terbesar berasal dari perambahan hutan 8562,06 Ha. Selanjutnya kebakaran hutan 642,79 Ha dan terakhir akibat penebangan liar 150 Ha. Berdasarkan luas kerusakan hutan antar daerah, maka kerusakan hutan terbesar terdapat di Kabupaten Pasaman Barat (66.700 Ha)dan Kabupaten Padang Pariaman (40.690 Ha) yang disebabkan oleh perambahan hutan termasuk dan telah dimanfaatkannya

kawasan hutan untuk perkampungan dan pertanian

Kecenderungan kerusakan hutan dapat digambarkan bahwa pada tahun 2011 terjadi kerusakan hutan yang lebih berat dibandingkan tahun 2010. Salah satu isu pada lahan dan hutan sebagaimana yang telah disampaikan di awal adalah terjadinya kerusakan hutan pada daerah-daerah yang sedang diusulkan untuk perubahan fungsi kawasan hutan ke Menteri Kehutanan. Dengan adanya perubahan fungsi kawasan hutan tersebut, memungkinkan bagi daerah untuk mengembangan kawasan hutan tersebut menjadi kawasan budidaya (APL). Beberapa fakta ditemui bahwa keberadaan perkampungan dan pertanian yang sudah ada sejak lama pada lokasi tersebut.

Tabel 2.4. Perbandingan Luas Kerusakan Hutan pada 5 (Lima) Kabupaten

No. Kabupaten Luas Kerusakan ( Ha )

1. Solok Selatan 435

2. Padang Pariaman 40.690

3. Tanah Datar 6.700

4. Pasaman Barat 66.700

5. Pasaman 12.600

Sumber : Olahan Tabel SD6.1 Buku Data SLHD Prov. Sumbar 2011 2.2.6. Konversi Hutan

Salah satu permasalahan krusial pada hutan dan lahan adalah terjadinya kawasan budidaya. Konversi hutan terbesar terjadi di Kabupaten Pesisir Selatan yaitu seluas 150.618 Ha. Selanjutnya Solok Selatan seluas 51.221,83 Ha dan di Pasaman seluas 61839,92 Ha. Konversi hutan yang paling banyak adalah untuk

kegiatan perkebunan (20%) dan pertanian (18,67 %). Kecenderungan konversi hutan pada tahun 2011 berbeda dengan tahun 2010 sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2.5. Pada tahun 2011, terjadi konversi lahan untuk kegiatan pertanian dan pertambangan dimana pada tahun 2010 tidak tergambar untuk kedua kegiatan tersebut.

Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-9 Tabel 2.5. Perbandingan Konversi Hutan dan Lahan

No. Peruntukan 2010 Luas ( Ha) 2011

1 Permukiman 8.737,39 56.317,23 2 Pertanian - 99.774,32 3 Perkebunan 295.672,27 107.638,10 4 Industri 18.249,64 202,70 5 Pertambangan - 42.149,88 6 Lainnya 426,71 102.481,70 Total 323.122,01 534.336,90 Sumber : Tabel SD.7 Buku Data SLHD Prov. Sumbar 2010 dan 2011

2.2.7. Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI dan IUPHHK-HPH)

Pemanfaatan hutan dalam bentuk IUPHHK-HTI berada di Kabupaten Pasaman Barat, yaitu PT Rimba Swasembada Semesta seluas 6.675 ha dengan SK Menhut No.129/Kpts-II/2008. Sedangkan di Kabupaten Dharmasraya ada dua yaitu PT Bukit Raya Mudisa seluas 28.617 ha dengan SK Menhut No.257/Kpts-II/2000, dan PT Dhara Silva Lestari seluas 15.357 ha dengan SK Menhut No.621/Kpts-II/2009.

Sedangkan dalam bentuk IUPHHK-HPH dikelola oleh tiga perusahaan, yaitu PT. Andalas Merapi Timber seluas 28.840 ha dengan SK Menhut No.82/Kpts-II/2000, PT. Salaki Summa Sejahtera 48.420 ha dengan SK Menhut No.41/Menhut-II/2004 di Kab. Solok Selatan dan PT. Minas Pagai Lumbert 83.330 ha dengan SK Menhut No.550/Kpts-II/1995 di Kab. Kepulauan Mentawai. Perbandingan luas Hutan Tanaman Industri dapat dilihat pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6 . Perbandingan Luas Hutan Tanaman Industri

No. Kabupaten/Kota

Luas (Ha) 2010 2011

1 Pasaman Barat 6.675 6.675

2 Dharmasraya dan Solok Selatan 63.072 28.617

3 Dharmasraya 23.900 15.357

4 Pesisir Selatan 2.000 7.000

Total 94.747 57.649

Ket :Data HTI 2011 minus HTI di Kab. Sijunjung seluas 4.717 Ha Sumber : Olahan Tabel SD.8 Buku Data SLHD Prov. Sumbar 2011 2.3. Catatan Khusus

Dalam arahan RTRW Sumatera Barat tahun 2009-2029, luasan hutan lindung Sumatera Barat akan berkurang menjadi 17,02%. Pengurangan hutan lindung paling

besar terdapat pada Kabupaten Pasaman seluas 158.455 Ha dari 237.044 Ha atau 17,40% berkurangnya dari luasan hutan lindung total Sumatera Barat dan 66,85% dari hutan lindung Kabupaten Pasaman. Pengurangan luasan hutan lindung yang

Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-10 terbesar selanjutnya akan terjadi pada

kabupaten Solok seluas 118.603 Ha, kabupaten Limapuluh Kota seluas 99.022 Ha dan Kabupaten Solok Selatan seluas 80.040 Ha. Luasan hutan lindung yang berkurang itu, terutama memiliki potensi pertambangan batu bara, emas, dan biji besi, dan lain-lain. Sehingga, apabila rencana pengurangan lahan hutan lindung ini dapat direalisir, maka potensi sumberdaya alam wilayah Sumatera Barat dapat diharapkan memacu pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat ke

depan, dengan tetap tidak mengabaikan pelestarian lingkungan dan ekosistem yang ada (sumber : Laporan RAD-MDGs Sumatera Barat, 2011)

Tabel 2.7. memperlihatkan perubahan luasan hutan Sumatera Barat berdasarkan RTRW Sumatera Barat 2009 – 2029. Adapun rincian perubahan peruntukan dan fungsi hutan Sumatera Barat berdasarkan Permen. Kehutanan No. 304/Menhut-II/2011 dapat dilihat pada tabel 2.8

Tabel 2.7. Perubahan Luasan Hutan Sumatera Barat Berdasarkan RTRW 2009-2029

No Kawasan Fungsi SK. No 422 tahun 1999 (Ha) SK No.304/Menhut-II/2011 (Ha) RTRW(2009-2029) Usulan

Dokumen terkait