• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.6 Analisis Data

4.1.8 Laju Pertumbuhan Spesifik Ikan Kerapu Macan

50 60 70 80 90 100 110 0 I II III IV

Waktu Pengamatan (minggu)

T in g k a t K e la n g su n g a n H id u p ( % ) A B C

ditunjukkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi pasca pengangkutan terjadi pada perlakuan A (10 mg/L) sebesar 97,5% dan terendah pada perlakuan K (tanpa minyak sereh) sebesar 22,5%. Gambar 18 menunjukkan, bahwa pada akhir pemeliharaan kelangsungan hidup tertinggi pada perlakuan A sebesar 85% dan terendah pada perlakuan C sebesar 45%.

100 100 100 100 92.5 82.5 62.5 52.5 32.5 22.5 100 100 100 100 100 100 100 100 100 97.5 100 100 100 100 100 100 100 100 100 92.5 100 100 100 100 100 100 100 100 92.5 52.5 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 6 12 18 24 30 36 42 48 56

Waktu Pengamatan (Jam)

T in g k at K el an g su n g an H id u p ( % ) K A B C

Gambar 16 Kelangsungan hidup ikan kerapu macan selama transportasi

100 100 85 85 85 100 100 80 65 60 100 100 75 60 45 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 I II III IV

Waktu Pengamatan (minggu)

T in g k at K el an g su n g an H id u p ( % ) A B C

Gambar 17 Kelangsungan hidup ikan kerapu macan setelah pemeliharaan

4.1.8 Laju Pertumbuhan Spesifik Ikan Kerapu Macan

Data pertumbuhan spesifik ikan kerapu macan selama 1 bulan pemeliharaan

ditampilkan dalam Gambar 18. Gambar tersebut menunjukkan, bahwa laju

pertumbuhan spesifik ikan kerapu macan selama pemeliharaan tertinggi pada perlakuan A sebesar 1,43% bobot tubuh/hari dan terendah pada perlakuan C sebesar 0,68% bobot tubuh/hari.

1.43 0.79 0.68 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 S GR ( % ) a b b

Gambar 18 Pertumbuhan spesifik ikan kerapu macan selama penelitian

4.2 Pembahasan

Pemuasaan ikan dilakukan untuk mengetahui lama waktu ikan kerapu macan mampu bertahan hidup dan melakukan aktifitas hidupnya walaupun tanpa diberi makan. Untuk tujuan transportasi, kemampuan puasa ikan sangat berkaitan erat dengan lama waktu transportasi, semakin lama kemampuan puasa ikan maka semakin lama dan semakin jauh jarak transportasi yang dapat dilakukan. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa ikan kerapu macan dengan ukuran 4,02 gram mampu bertahan puasa selama 8 hari. Hal ini lebih dari waktu pengangkutan yang dilakukan selama 3 hari.

Selain kemampuan puasa, indikator lamanya transportasi ditentukan oleh tingkat konsumsi oksigen (TKO). Pengukuran tingkat konsumsi oksigen juga dibutuhkan untuk mengetahui kebutuhan oksigen yang diberikan dalam kantong pengepakan. Dari hasil uji TKO, ikan kerapu macan ukuran 4,02 gram

membutuhkan oksigen sebesar 0,352 mg O2.g-1.jam-1, sehingga kebutuhan

oksigen untuk ikan kerapu macan ukuran 4,02 gram yang diangkut selama 56 jam

adalah sebesar 79,24 mg O2.g-1.jam-1.

Selain oksigen, penurunan laju metabolisme selama transportasi juga diperlukan agar buangan metabolit beracun dapat dikurangi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan minyak sereh pada dosis tenang (< 30 mg/L). Untuk tujuan transportasi hanya diperlukan kondisi tenang pada ikan sehingga

digunakan konsentrasi minyak sereh dibawah LC50 yaitu 30, 20, 10, dan 0 mg/L.

Indikator ikan tenang yang digunakan adalah posisi tubuh ikan tegak, masih respon terhadap rangsangan dan pergerakan ikan terjadi apabila ada rangsangan (ikan tidak aktif).

Parameter kualitas air media seperti suhu, salinitas, pH dan DO selama transportasi dan pemeliharaan masih dalam kisaran yang baik untuk kehidupan ikan. Suhu media pengepakan selama transportasi relatif stabil yaitu 22 ºC, demikian pula suhu pada media pemeliharaan berkisar antara 26 - 27 ºC, kisaran suhu air yang optimal untuk pemeliharaan ikan kerapu macan adalah 26-31ºC

(Sutarmat et al. 2003). Fluktuasi suhu air media yang terjadi tidak

membahayakan hidup ikan. Menurut Stickney (1979), fluktuasi suhu yang membahayakan hidup ikan adalah 5 ºC dalam waktu 1 jam. Hal ini tidak terjadi baik dalam media pengepakan maupun pada media pemeliharaan.

Nilai pH air media pengepakan berkisar antara 6,31 – 7.20, kisaran ini masih mendukung kehidupan ikan yang diangkut. Sesuai dengan pernyataan Pescod (1973) yang menyatakan bahwa kisaran pH yang ideal adalah 6,5 – 8,5.

Kisaran salinitas media pengepakan antara 31 – 32 ‰ sehingga masih dalam kisaran optimum bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan kerapu macan.

Kisaran salinitas optimum ikan kerapu macan antara 22 – 32 ‰ (Sutarmat et al.

2003).

Konsentrasi DO dalam media air pengepakan semakin menurun dengan bertambahnya waktu transportasi. Pada jam ke- 24, konsentrasi DO berkisar 3,99± 0,96 – 4,61±0,16 mg/L. Nilai tersebut masih merupakan nilai yang baik untuk kehidupan ikan kerapu dalam media pengepakan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Langkosono (2006), bahwa DO yang baik bagi ikan kerapu adalah 3,95 – 4,28 mg/L. Namun Pescod dan Okun (1973) menyatakan

bahwa kandungan O2 terlarut yang baik untuk kehidupan ikan harus lebih dari 2

mg/L.

Konsentrasi CO2 dalam air media pengepakan mengalami kenaikan seiring

bertambahnya waktu transportasi. Pada jam ke- 24 sampai dengan jam ke- 56

konsentrasi CO2 berkisar antara 14,98±0 – 41,95±8,47 mg/L. Kisaran CO2

tersebut masih mendukung kehidupan ikan. Boyd (1992) menyatakan banyak

ikan yang hidup pada air dengan kadar CO2

Konsentrasi alkalinitas air media selama transportasi rata-rata dari setiap perlakuan pada jam ke- 0, 24, 48 dan 56 mengalami penurunan kecuali pada kontrol yang mengalami kenaikan. Pada jam ke- 24 nilai tertinggi terjadi pada

perlakuan C dengan konsentrasi alkalinitas sebesar 264,58±25,37 mg/L, disusul oleh perlakuan B dengan nilai konsentrasi 192,83± 9,94 mg/L dan perlakuan A dengan nilai konsentrasi 143,50±6,34 mg/L. Pada jam ke- 56 nilai alkalinitas pada perlakuan C sebesar 186,11± 15,86 mg/L, perlakuan B sebesar 116,59± 30,63 mg/L serta perlakuan A sebesar 67,27± 12,68 mg/L. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa perlakuan A mempunyai nilai alkalinitas terrendah (67,27± 12,68 mg/L) walaupun konsentrasi tersebut masih mendukung pertumbuhan ikan. Sesuai pernyataan (Moyle 1946 diacu dalam Boyd 1992) bahwa konsentrasi alkalinitas 41 – 80 mg/L masih memberikan pertumbuhan.

Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa konsentrasi TAN rata-rata pada media pengepakan dari jam ke- 0, 24, 48 dan jam ke-56 mengalami kenaikan seiring dengan bertambahnya waktu pemeliharaan. Frose (1985) menyatakan bahwa laju metabolisme dalam wadah pengangkutan meningkat hingga tiga kali lipat dari metabolisme rutin. Konsentrasi TAN terendah pada jam ke- 48 terjadi pada perlakuan A dengan konsentrasi TAN 4,79±0,48 mg/L, diikuti oleh perlakuan B dengan konsentrasi 5,208±0,481 mg/L, perlakuan C dengan konsentrasi

5,79±0,48 mg/L, dan yang tertinggi pada perlakuan K sebesar 6,08±0,48 mg/L.

Perbedaan konsentrasi TAN pada setiap perlakuan disebabkan oleh pengaruh minyak sereh yang diberikan. Minyak sereh yang mengandung bahan penenang akan mempengaruhi aktifitas ikan, juga mempengaruhi nilai TAN dalam media

pengepakan (de Sousa et al. 2005).

Amonia dalam perairan terdapat dalam dua bentuk yaitu amonia yang terionisasi (ion amonia) dan amonia yang tidak terionisasi (gas amoniak).

Menurut Boyd (1992) amoniak sangat toksik terhadap ikan. Nilai NH3 media

pengepakan terendah terdapat pada perlakuan A dengan konsentrasi sebesar

0,002±0,001 pada jam ke 24 dan pada jam ke 56 sebesar 0,011±0,002. Nilai NH3

Toksisitas akut amoniak untuk ikan laut berkisar 0,54 mg/L NH

air media pengepakan yang diperoleh selama pengangkutan masih merupakan kisaran nilai yang dapat ditolerir oleh ikan kerapu macan

3-N untuk

Centropristis striata (Weirich dan Riche 2006 diacu dalam Rodriguez et al. 2007)

dan 1.77 mg/L NH3-N untuk Menidia beryllina (Miller et al. 1990 diacu dalam

terhadap ikan laut. Toksisitas akut nitrit terhadap ikan laut sekitar 30 mg/L NO2-N

untuk Paralichthys orbignyanus (Bianchini et al. 1996 diacu dalamRodriguez et

al. 2007) dan 675 mg/L NO2-N untuk Chanos chanos (Almedras 1987 diacu

dalamRodriguez et al. 2007).

Kurang toksiknya nitrit terhadap ikan laut disebabkan oleh adanya garam

(NaCl) pada media air laut. Masser et al. (1999) menyebutkan bahwa sodium dan

klorida dapat menghambat (block) nitrit berdifusi ke insang ikan selama proses

osmoregulasi. Oleh karena itu, untuk menekan toksisitas nitrit pada budidaya ikan tawar biasanya diberikan garam (NaCl) 0,02-0,2 %.

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa semua parameter gambaran darah setelah transportasi mengalami perubahan dibandingkan dengan pada akhir penelitian. Pada akhir transportasi dan pada akhir penelitian diperoleh peningkatan jumlah sel darah merah, SDP dan Hb pada semua perlakuan dan kontrol dibandingkan dengan ikan normal, dengan kecenderungan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi minyak sereh yaitu perlakuan C>B>A. Hal ini disebabkan karena ikan perlakuan mengalami stres. Nilai sel darah merah pada

perlakuan C sebesar 3,29x106 sel/mm3, perlakuan B 2,39x106 sel/mm3 dan

perlakuan A 1,28 x 106 sel/mm3, serta ikan normal (1,24x106 sel/mm3). Dari

hasil tersebut jika dibandingkan dengan sel darah merah ikan normal maka dapat diketahui bahwa perlakuan C yang menunjukkan ikan paling stres, sedangkan kondisi ikan yang mendekati ikan normal yaitu perlakuan A. Sesuai dengan Wedemeyer dan Yasutake (1977); Nabib dan Pasaribu (1989) yang menyatakan

bahwa tingginya jumlah eritrosit menandakan ikan dalam keadaan stres.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa hasil pengukuran sel darah putih

ikan kerapu macan pasca pengangkutan pada setiap perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, demikian pula pengukuran sel darah putih setelah 7 hari pemeliharan. Naiknya nilai gambaran darah tersebut dikarenakan tingkat stres yang tinggi pada ikan yang ditransportasi yang disebabkan karena memburuknya

kualitas air baik pada nilai TAN, CO2, dan menurunnya O2 dalam media air

Nilai Hb tertinggi terjadi pada perlakuan C (4,6%), disusul perlakuan B (4,7%) dan perlakuan A (3,8%). Anderson dan Swicki (1993) menyatakan bahwa peningkatan kadar hemoglobin menunjukkan ikan berada dalam keadaan stres.

Nilai sel darah merah, SDP dan Hb pada akhir pemeliharaan menunjukkan perbedaan diantara perlakuan dibandingkan dengan ikan normal. Nilai sel darah merah, SDP, dan Hb tertinggi terjadi pada perlakuan C>B>A. Nilai sel darah

merah tertinggi terjadi pada perlakuan C (2,42x106), perlakuan B (1,92x106) dan

A (1,82x106). Hal ini menunjukkan ikan mengalami stres. Nilai SDP selama

pengangkutan pada perlakuan C sebesar 4,27x104 mg/L, perlakuan B 3,52x104

mg/L dan perlakuan A 2,90x104 mg/L, lebih tinggi bila dibandingkan SDP ikan

normal 2,72x104

Pengukuran kadar glukosa darah selama transportasi menunjukkan jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan glukosa ikan normal, demikian pula kadar glukosa pada akhir penelitian. Nilai glukosa akhir transportasi pada perlakuan A (34,47 mg/dl), perlakuan B (71,59 mg/dl) dan perlakuan C (79,73 mg/dl). Nilai mg/L. Dellman dan Brown (1989) menyatakan bahwa semakin besar penyimpangan jumlah sel darah putih dari keadaan normal menandakan semakin tinggi stres yang dialami ikan.

Nilai Hb tertinggi pada perlakuan C (5,7%) disusul perlakuan B (4,0%) dan perlakuan A (3,4%), Hb ikan normal (3,5 %) . Hal ini menunjukkan semakin lama ikan dipelihara jumlah Hb-nya akan kembali normal. Anderson dan Swicki (1993) menyatakan bahwa peningkatan kadar hemoglobin menunjukkan ikan berada dalam keadaan stres. Dari hasil uji gambaran darah dapat diketahui bahwa ikan kerapu yang dipelihara selama 7 hari sudah kembali dalam kondisi normal, hal ini ditunjukkan oleh nilai parameter gambaran darah antara perlakuan sudah mendekati nilai gambaran darah ikan normal.

N:L rasio selama transportasi dan selama pemeliharaan semua perlakuan dan kontrol mengalami penurunan dibandingkan dengan ikan normal. Hal ini

diduga ikan uji kekurangan nutrisi. Becker et al. (1992) yang menyatakan bahwa

penurunan jumlah netrofil dalam darah dapat terjadi pada ikan yang tidak makan atau puasa. Selain itu juga karena memburuknya kualitas air dan tingkat metabolisme ikan sehingga berpengaruh pada gambaran darah serta adanya kerusakan insang pada masing-masing perlakuan.

glukosa akhir pemeliharaan pada perlakuan A (36,21 mg/dl). perlakuan B (30,46 mg/dl) dan perlakuan C (38,03 mg/dl) lebih rendah dibandingkan kadar glukosa akhir transportasi. Hal ini disebabkan karena selama transportasi 56 jam ikan mengalami stres, namun setelah dipelihara selama 7 hari menunjukkan kadar glukosa darah cenderung menurun, hal ini disebabkan karena ketika jumlah glukosa darah mengalami peningkatan di atas nilai normal, maka hormon insulin akan bekerja menurunkan glukosa ke level normal melalui transpor aktif glukosa dalam darah untuk masuk ke dalam seluruh sel tubuh (Mazeud dan Mazeud 1981). Pada perlakuan B dan C memiliki kadar glukosa yang lebih rendah dibandingkan dengan ikan normal. Hal ini disebabkan karena nafsu makan ikan pada perlakuan B dan C rendah mengakibatkan berkurangnya nutrisi dan cadangan energi (protein, dan lemak) dalam tubuh akibatnya hormon

Untuk proses pengangkutan dengan perlakuan minyak sereh menunjukkan bahwa kondisi jaringan pada perlakuan dengan konsentrasi minyak sereh 10 mg/L adalah yang paling baik kondisinya, yang ditunjukkan dengan adanya edema pada ujung lamela sekunder dan beberapa bagian sel yang mengalami vakuolisis yang

terjadi karena haemorrage (pendarahan) yang ditandai dengan vakuolisis sel darah

insulin, tiroid, glukagon, epinefrin dan steroid tidak berfungsi dengan baik untuk meningkatkan glukosa darah ke tingkat normal melalui pemecahan glikogen, deaminasi asam amino dan konversi dari gliserol yang merupakan bagian dari molekul lemak (Mazeud dan Mazeud 1981). Keberadaan glukosa darah ditentukan oleh pakan, waktu akhir makan, status simpanan glikogen hati, stadia perkembangan dan musim (Mazeud dan Mazeud 1981).

Berdasarkan kondisi histologi insang pada Gambar 7 dan Gambar 8, menunjukkan bahwa tingkat kerusakan jaringan insang ikan kerapu yang terparah terjadi pada proses pengangkutan tanpa minyak sereh yang dicirikan dengan terjadinya hiperplasia dan hipertropi sel-sel basal lamela primer serta telengiektasis pada salah satu lamela sekunder. Keadaan diduga karena pengaruh dari peningkatan konsentrasi amonia dalam media pengangkutan. Sebagaimana

Benli et al. (2008) melaporkan bahwa pada ikan yang terpapar total ammonia

nitrogen (TAN) pada konsentrasi 10 mg/L dapat menyebabkan efek subletal berupa hiperplasia sel-sel klorida dan telangiektasis pada lamela sekunder.

merah (eritrosit), kondisi seperti ini dapat menyebabkan transport oksigen terganggu, sehingga ikan akan mengalami keadaan hipoksia (kekurangan oksigen secara seluler). Namun tidak demikian dengan perlakuan konsentrasi minyak sereh 20 mg/L dan 30 mg/L. Perubahan histopatologis insang ikan kerapu pada

perlakuan 20 mg/L menunjukkan edema dan epitelial lifting (perenggangan

jaringan epitel) pada hampir semua lamela sekunder dan diikuti dengan nekrosis pada sel-sel pilar lamela sekunder. Demikian pula dengan perlakuan minyak sereh 30 mg/L menunjukkan kerusakan yang lebih berat, karena selain terjadi edema dan nekrosis juga terjadi hipertropi dan hiperplasia serta fusi dua lamela.

Kerusakan jaringan insang pada transportasi ikan dengan menggunakan minyak sereh sebagai zat penenang kemungkinan besar terjadi karena pengaruh dari eugenol dan sitronelol yang terkandung dalam minyak sereh yang menyebabkan ketidakstabilan membran sel-sel pada jaringan epitel insang sehingga memproduksi banyak lendir (mukus). Hal ini memberikan gambaran terjadinya edema (pembengkakan) pada lamela sekunder yang terjadi karena bahan kimia yang masuk ke dalam sel jika tidak mampu dicerna akan menyebabkan inti sel pecah dan merembes keluar (lisis) sehingga memudahkan intrusi air media ke dalam sel maka jaringan akan tampak membengkak,

sebagaimana nampak seperti jaringan epitel yang merenggang (epitelial lifting).

Menurut Takashima dan Hibiya (1995) bahwa edema dan epitelial lifting

umumnya banyak ditemui pada perubahan histopatologi regresif sebagai respon sel atas zat-zat kimia asing yang mengeksposnya.

Peningkatan konsentrasi minyak sereh menyebabkan kerusakan histopatologi insang yang lebih progresif dan degeneratif terjadi pada perlakuan minyak sereh 20 mg/L dan 30 mg/L yang ditunjukkan dengan terjadinya hipertropi, nekrosis, dan fusi lamela sekunder. Takashima dan Hibiya (1995)

mengklasifikasikan kerusakan seperti ini sebagai perubahan progresif (progressive

change) yang terjadi sebagai respon kronis atas iritasi bahan kimia sedangkan

Tanjung (1982) dalam Sulistyawati (1993) menyatakan bahwa fusi merupakan

kerusakan histopatologi insang tingkat III sedangkan hiperplasia pada seluruh lamela adalah kerusakan tingkat IV.

Berbagai tingkat kerusakan jaringan insang tersebut kemudian mengalami pemulihan secara bertahap setelah 7 hari ikan kerapu dipelihara di dalam air bersih, sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 8.

Pada gambaran histopatologi tersebut, masih menunjukkan adanya edema, perenggangan epitel, hiperplasia, dan fusi. Namun demikian, luasan kerusakannya jauh berkurang dibandingkan dengan tingkat kerusakan yang terjadi pada pasca pengangkutan. Hal ini, menunjukkan adanya proses penyembuhan yang terjadi selama pemeliharaan di air bersih serta kemungkinan tidak adanya residu minyak sereh di dalam jaringan insang. Kerusakan insang juga dipengaruhi oleh kadar

NH3 dan CO2 yang tinggi sehingga kemampuan insang untuk mengikat O2

rendah yang menyebabkan insang kekurangan O2 sehingga mengalami poliferasi

sel yang menyebabkan teradinya hyperplasia dan hipertropi.

Kelangsungan hidup ikan tertinggi setelah transportasi terjadi pada perlakuan A (10 mg/L) yaitu sebesar 97,5%. Kelangsungan hidup tertinggi setelah pemeliharaan terjadi pada perlakuan A yaitu sebesar 85%. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi minyak sereh sebesar 10 mg/L adalah konsentrasi terbaik yang digunakan dalam kegiatan transportasi ikan kerapu macan. Konsentrasi tersebut dapat menyebabkan kondisi tenang pada ikan yang lebih lama selama transportasi. Selanjutnya hal ini berdampak pada laju buangan metabolisme rendah sehingga kualitas air tetap terjaga dengan baik. Waktu pulih yang lebih cepat pada konsentrasi minyak sereh 10 mg/L juga menyebabkan pengurangan tingkat stres pada ikan.

Laju pertumbuhan spesifik tertinggi pada akhir pemeliharaan terdapat pada perlakuan A yaitu sebesar 1,43% bobot tubuh/hari. Hal ini disebabkan karena pada perlakuan A kondisi ikan lebih baik dibandingkan dengan kondisi ikan pada perlakuan lainnya, yaitu tingkat stres yang rendah serta kerusakan jaringan lebih ringan dibanding perlakuan lainnya sehingga nafsu makan ikan tetap baik.

Dokumen terkait