2.4 Persyatan Media Pengangkutan
2.4.1 Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut (DO) adalah banyaknya kandungan oksigen yang terlarut di dalam suatu perairan yang dinyatakan dalam mg/L. Kelarutaan oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu, salinitas, agitasi dan tekanan. Menurut Boyd (1982), kelarutan oksigen dalam air menurun dengan meningkatnya suhu dan kelarutan gas dalam air menurun dengan meningkatnya salinitas. Tekanan udara terhadap oksigen terlarut dapat mempercepat proses kelarutan dan pelepasan oksigen.
Konsentrasi DO adalah salah satu parameter kualitas air yang penting. Kekurangan oksigen merupakan penyebab utama kematian ikan secara mendadak dan dalam jumlah yang besar. Mempertahankan kondisi oksigen dalam kisaran normal akan membantu mempertahankan kondisi ikan selama penanganan. Konsentrasi DO yang terlalu rendah menimbulkan pengaruh yang buruk terhadap kesehatan ikan seperti anoreksia, stres pernapasan, hipoksia jaringan, ketidak sadaran, bahkan kematian (Wedemeyer 1996).
Langkosono (2006) menyatakan bahwa DO yang baik bagi ikan kerapu adalah 3,95-4,28 ml/L, sedangkan Pescod dan Okun (1973) menyatakan bahwa
kandungan O2 terlarut yang baik untuk kehidupan ikan harus lebih dari 2 ppm.
Menurut Huet (1971) kadar terendah yang dapat ditoleransi oleh ikan dalam pengangkutan adalah 2-3 mg/L. Kebutuhan ikan akan oksigen berbeda-beda, bergantung pada spesies, ukuran, aktivitas ikan, toleransi terhadap stres, suhu, pH,
CO2 dan amoniak (Boyd 1992).
2.4.2 Suhu
Kelarutan gas-gas dalam air termasuk oksigen dipengaruhi oleh suhu. Jhingran dan Pullin (1985) menyatakan bahwa kriteria temperatur yang ideal untuk pengangkutan ikan tropis adalah 20-24ºC. Peningkatan suhu dapat menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen terlarut, karena akan meningkatkan laju metabolisme dan konsumsi oksigen ikan. Penurunan suhu air akan mengakibatkan respon imunitas menjadi lambat, nafsu makan dan pertumbuhan berkurang (Wedemeyer 1996). Kisaran suhu air yang optimal untuk pemeliharaan
ikan kerapu macan adalah 26-31ºC (Sutarmat et al. 2003). Menurut Langkosono
Berka (1986) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut bukan merupakan faktor pembatas dalam transportasi ikan hidup apabila suhu air tidak banyak berubah sehingga tidak mempengaruhi aktifitas metabolisme ikan. Suhu sangat mempengaruhi tingkat konsumsi oksigen, peningkatan suhu akan meningkatkan laju metabolisme dan menyebabkan konsumsi oksigen pada jaringan lebih tinggi, sehingga kandungan oksigen terlarut berkurang (Berka
1986). Menurut Wibowo et al. (1997) pada suhu 21-27 0C cenderung terjadi
peningkatan metabolisme sehingga laju respirasi dan ekskresi amoniak meningkat.
2.4.3 Salinitas
Salinitas perairan menggambarkan kandungan garam dalam suatu perairan. Pada umumnya salinitas disebabkan oleh 7 ion utama yaitu : natrium (Na), kalium
(K), kalsium (Ca), magnesium (Mg). Klorit (Cl), sulfat (SO4) dan bikarbonat
(HCO3). Salinitas dinyatakan dalam satuan g/kg atau promil (‰) (Effendi 2003).
Salinitas ikan kerapu berkisar antara 34,259 – 34,351‰ (Langkosono 2006). Sedangkan menurut Kantor Menteri Negara dan Lingkungan Hidup (1988) salinitas untuk ikan kerapu adalah berkisar antara 33 – 35 ‰.
2.4.4 Karbondioksida (CO2)
Karbondioksida dalam air pada umumnya merupakan hasil respirasi dari
ikan dan mikroba. Kadar CO2 lebih tinggi dari 10 mg/L diketahui bersifat racun
bagi ikan. Kadar karbondioksida tinggi juga menunjukkan lingkungan air yang asam meskipun demikian karbondioksida diperlukan dalam proses pembufferan.
Kadar karbondioksida lebih dapat ditoleransi oleh ikan dibandingkan
dengan amoniak, bahkan banyak ikan yang hidup pada air dengan kadar CO2
lebih besar dari 60 mg/L (Boyd 1992). Kadar CO2 sebesar 50 - 100 mg/L dapat
membunuh ikan dalam waktu yang relatif lama. Kadar CO2 dalam air juga
mempengaruhi nilai pH air. Apabila kandungan CO2 dalam air tinggi maka nilai
pH air rendah dan sebaliknya bila kandungan CO2
2.4.5 pH
rendah maka nilai pH tinggi (Boyd 1992).
Nilai pH merupakan suatu ekpresi dari konsentrasi ion hidrogen (H+) di
dalam air. Nilai pH sangat penting sebagai parameter kualitas air karena ia mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam air. Selain itu
ikan dan makhluk-makhluk akuatik lainnya hidup pada selang pH tertentu, sehingga dengan diketahuinya nilai pH maka kita akan tahu apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan mereka.
Besaran pH berkisar dari 0 (sangat asam) sampai dengan 14 (sangat basa/alkalin). Nilai pH kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang masam sedangkan nilai diatas 7 menunjukkan lingkungan yang basa (alkalin), sedangkan pH = 7 disebut sebagai pH netral. Fluktuasi pH air sangat ditentukan oleh alkalinitas air tersebut. Apabila alkalinitasnya tinggi maka air tersebut akan mudah mengembalikan pH-nya ke nilai semula dari setiap "gangguan" terhadap perubahan pH. Dengan demikian kunci dari penurunan pH terletak pada penanganan alkalinitas dan tingkat kesadahan air.
2.4.6 Alkalinitas
Alkalinitas secara umum menunjukkan konsentrasi basa atau bahan yang mampu menetralisir kemasamaan dalam air. Secara khusus, alkalinitas sering disebut sebagai besaran yang menunjukkan kapasitas pembufferan dari ion bikarbonat, dan sampai tahap tertentu ion karbonat dan hidroksida dalam air. Ketiga ion tersebut di dalam air akan bereaksi dengan ion hidrogen sehingga menurunkan kemasaman dan menaikan pH. Alkalinitas biasanya dinyatakan
dalam satuan ppm (mg/l) kalsium karbonat (CaCO3). Air dengan kandungan
kalsium karbonat lebih dari 100 ppm disebut sebagai alkalin, sedangkan air dengan kandungan kurang dari 100 ppm disebut sebagai lunak atau tingkat alkalinitas sedang (Boyd 1992).
Pada umumnya lingkungan yang baik bagi kehidupan ikan adalah dengan nilai alkalinitas diatas 20 ppm. Air alami yang memiliki alkalinitas 40 mg/L atau
lebih CaCO3
2.4.7 Kesadahan
akan lebih produktif daripada yang alkalinitasnya dibawah nilai tersebut (Moyle 1945; Mairs 1966 diacu dalam Boyd 1982).
Kesadahan sangat penting artinya bagi para pembudidaya karena kesadahan merupakan salah satu petunjuk kualitas air yang diperlukan bagi ikan. Tidak semua ikan dapat hidup pada nilai kesadahan yang sama. Dengan kata lain, setiap jenis ikan memerlukan prasarat nilai kesadahan pada selang tertentu untuk
hidupnya. Disamping itu, kesadahan juga merupakan petunjuk yang penting dalam hubungannya dengan usaha untuk memanipulasi nilai pH.
Secara lebih rinci kesadahan dibagi dalam dua tipe, yaitu: (1) kesadahan
umum ("general hardness" atau GH) dan (2) kesadahan karbonat ("carbonate
hardness" atau KH). Kesadahan umum atau "general hardness" merupakan
ukuran yang menunjukkan jumlah ion kalsium (Ca++) dan ion magnesium (Mg++)
dalam air. Ion-ion lain sebenarnya ikut pula mempengaruhi nilai GH, akan tetapi pengaruhnya diketahui sangat kecil dan relatif sulit diukur sehingga diabaikan. Kesadahan karbonat atau KH merupakan besaran yang menunjukkan kandungan
ion bikarbonat (HCO3-) dan karbonat (CO3
--• 0 - 70 ppm : sangat rendah (sangat lunak)
) di dalam air. Dalam akuarium air tawar, pada kisaran pH netral, ion bikarbonat lebih dominan, sedangkan pada akuarium laut, ion karbonat lebih berperan. Disamping dua tipe kesadahan tersebut, dikenal pula tipe kesadahan yang lain yaitu yang disebut sebagai kesadahan total. Kesadahan total merupakan penjumlahan dari kesadahan umum
dan kesadahan karbonat (O-fish.com). Berikut adalah kriteria selang kesadahan
yang biasa digunakan:
• 70 - 140 mg/l : rendah (lunak)
• 140 - 210 mg/l : sedang
• 210 - 320 mg/l : agak tinggi (agak keras)
• 320 - 530 mg/l : tinggi (keras)
Sawyer dan McCarty 1967 diacu dalam Boyd 1992 mengklasifikasikan derajat kesadahan air sebagai berikut:
• 0 - 75 mg/l : lunak
• 75 - 100 mg/l : sedang
• 150 - 300 mg/l : sadah
• >320 mg/l : sangat sadah
2.4.8 Amoniak
Amonia adalah produk sisa metabolisme yang utama dari ikan, dikeluarkan melalui insang dan urine. Sumber utama amonia di perairan berasal dari ekskresi amoniak oleh ikan atau sisa metabolisme (Boyd 1992).
Dalam perairan, amonia terdapat dalam dua bentuk, yakni; NH (amonia +4
terionisasi, karena memiliki ion positif) dan NH3 (tak terionisasi, karena tidak
memiliki ion), yang secara keseluruhan disebut total ammonia nitrogen (TAN),
proporsinya sangat bervariasi bergantung pada pH dan suhu. Jika pH dan suhu
meningkat maka jumlah NH3 meningkat, demikian pula sebaliknya. NH3 adalah
bentuk amonia yang lebih beracun dibanding NH4+ bagi organisme perairan
(Spotte 1970). Bentuk kandungan NH3 dan NH4+ dalam air bergantung pada
konsentrasi ion hidrogen dalam air. Air dengan pH yang rendah memiliki ion
hidrogen lebih banyak sehingga bentuk NH4+ lebih dominan, sehingga NH4+
lebih tidak beracun dibandingkan NH3.. Jika pH meningkat di atas 7,2 maka
jumlah ion hidrogen akan berkurang dan mengakibatkan NH3 lebih dominan.
Apabila konsentrasi amoniak pada lingkungan meningkat maka ekskresi amoniak pada ikan akan menurun sehingga kadar amoniak dalam darah dan jaringan akan meningkat (Boyd 1992). Di dalam wadah pengangkutan ikan ekskresi amoniak penting diketahui karena jika ikan yang terus menerus
terekspos NH3 pada konsentrasi lebih dari 0,02 mg/l dapat menurunkan
pertumbuhan dan semakin rentan terhadap penyakit (Boyd 1992). Toksisitas akut
amonia untuk ikan laut berkisar 0.54 mg/L NH3-N untuk Centropristis striata
(Weirich dan Riche 2006 dalam Rodriguez et al. 2007) sampai 1.77 mg/L NH3-N
untuk Menidia beryllina (Miller et al. 1990 dalam Rodriguez et al. 2007).
2.4.9 Nitrit
Nitrit merupakan senyawa antara selama proses oksidasi amonia menjadi
nitrat (NO3), reaksinya berlangsung dengan cepat dan dipengaruhi oleh jumlah
konsentrasi amonia yang dioksidasi sehingga memiliki orde reaksi 2 (K2). Colt
(2006) menyatakan nitrit yang berbahaya adalah jika nitrit bergabung dengan ion
hidrogen membentuk asam nitrous (HNO2
Menurut Lewis et al. (1986) toksisitas nitrit (NO
-N) yang berupa asam kuat dan karena tidak bermuatan listrik sehingga dengan bebas dapat berdifusi melintasi membran insang atau melalui transpor aktif.
2-N) bagi ikan nila untuk
LC50-96 jam pada pH 7,9 adalah 16 mg/L, 5 mg/L (Losordo et al. 1977), dan
batas aman nitrit adalah < 1 mg/L (Timmons et al. 2002). Mekanisme efek toksik
bereaksi dengan besi II (Fe2+) menghasilkan besi III (Fe3+). Hal ini akan mengurangi kemampuan sel darah merah untuk mengikat oksigen, yang
mengakibatkan penyakit darah coklat (methemoglobin) yang dapat mematikan
ikan karena kekurangan oksigen (hypoxia) (Wiesman et al. 2007). Almedras
(1987 diacu dalamRodriguez et al. 2007) menyatakan bahwa nitrit kurang toksik
terhadap ikan laut. Toksisitas akut nitrit terhadap ikan laut antara 30 mg/L NO2-N
untuk Paralichthys orbignyanus (Bianchini et al. 1996 diacu dalamRodriguez et
al. 2007) sampai 675 mg/L NO2
LC
-N untuk Chanos chanos (Almedras 1987 diacu
dalam Rodriguez et al. 2007).
Kurang toksiknya nitrit terhadap ikan laut disebabkan oleh adanya garam
(NaCl) pada media air laut. Masser et al. (1999) menyebutkan bahwa sodium dan
klorida dapat menghambat (block) nitrit berdifusi ke insang ikan selama proses
osmoregulasi. Oleh karena itu, untuk menekan toksisitas nitrit pada budidaya ikan tawar biasanya diberikan garam (NaCl) 0.02-0.2 %.
2.5 Anastesi
Anastesi secara umum didefinisikan sebagai suatu keadaan yang disebabkan oleh aplikasi agen eksternal yang menyebabkan hilangnya sensasi melalui depresi pada sistem syaraf. Anastesi dapat berupa anastesi lokal atau umum bergantung
pada aplikasi anastesi tersebut (Ackerman et al. 2009).
Anastesi berperan dalam kegiatan transportasi ikan bandeng air tawar
(Hendrajat et al. 2006) dan sockeye salmon (Woody 2002), serta membantu dalam
kegiatan penanganan penyakit ikan (Wildgoose 2000). Demikian pula dalam kegiatan penelitian untuk mengetahui aktivitas otak ikan Atlantik salmon yang
diberi kejutan listrik (Robb et al. 2003), pertumbuhan ikan gilthead bream (Sparus
auratus) yang diberi pakan beberapa jenis asam amino (Gomez-Requeni et al. 2003), gangguan perkembangan gonad ikan grass carp yang dibudidayakan di
daerah tropis (Glasser et al. 2003), sampling panjang dan berat ikan Atlantic
salmon (Salmo salar) (Berril et al. 2003) serta peningkatan kadar LH dan
mempercepat proses ovulasi ikan karper (Cyprinus carpio L.) baik dalam skala
laboratorium dan kondisi alamiah (Mikolajczyk et al. 2003).
50 adalah konsentrasi material (obat bius) dalam air yang diasumsikan
kepercayaan 95% umumnya berasal dari analisis statistik terhadap kematian organisme uji setelah dilakukan pengujian terhadap beberapa konsentrasi larutan bius dalam jangka waktu tertentu. Kisaran waktu organisme diekspos dalam
larutan bius harus dituliskan secara spesifik (misalnya 96 h LC50) (NIWA
Ecotoxicology Laboratory 1998).
Obat bius dapat disuntikkan langsung ke tubuh ikan, namun kebanyakan
prosedur anastesi dilakukan dengan cara dip atau bath treatment dalam sebuah
static bath atau dengan aliran air. Pada suatu kasus, obat bius dilarutkan secara langsung ke dalam air, dikasus lain, obat bius harus dilarutkan terlebih dahulu dalam pelarut organik kemudian dilarutkan ke dalam air. Ikan kemudian dipaparkan dalam larutan bius dengan konsentrasi obat bius yang telah ditentukan berdasarkan waktu pemaparannya. Konsentrasi obat bius umumnya dinyatakan
dalam satuan ppm yang setara dengan mg/L atau gram per kubik meter air (g/m3
a. Berpindahnya bahan penenang atau pembius dari lingkungan ke dalam muara
pernafasan organisme.
) (Bowser 2001). Pada prinsipnya proses penenangan atau pembiusan pada ikan
meliputi tiga tahap yaitu :
b. Difusi membran dalam tubuh yang menyebabkan terjadinya penyerapan bahan
penenang ke dalam darah.
c. Sirkulasi darah dan difusi jaringan menyebarkan substansi tersebut ke seluruh
tubuh. Kecepatan distribusi dan penyerapan oleh sel ini sangat beragam, bergantung pada persediaan darah dan kandungan lemak pada setiap jaringan.
Dengan sifat bahan pembius yang mudah larut dalam air dan lemak, proses difusi zat penenang dalam aliran darah melalui insang terjadi sangat cepat. Masuknya cairan penenang ke dalam sistem darah akan disebarkan ke seluruh tubuh termasuk otak dan jaringan lain. Pengaruh bobot zat penenang terhadap ikan ditentukan oleh kadar zat penenang yang terkandung dalam jaringan otak atau sarafnya (Hunn 1970 diacu dalam Pratiwi 2000).