• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.1. Pelayanan atau Jasa1

Jasa memiliki perbedaan yang cukup mendasar jika dibandingkan dengan produk fisik manufaktur. Kualitas suatu jasa lebih sulit dievaluasi oleh konsumen dibandingkan dengan kualitas suatu produk fisik. Jasa didefinisikan sebagai tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan kepada suatu pihak kepada pihak yang lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun.

Kotler mendefinisikan pelayanan sebagai setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lainnya yang pada dasarnya bersifat tidak berwujud (intangible) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu.

Pelayanan atau jasa memiliki empat karakteristik umum yang membedakannya dengan barang, yaitu:

6. Tidak berwujud (intangible)

Jasa adalah tidak nyata. Tidak seperti produk fisik, ia tidak dapat dirasakan, dikecap atau didengar sebelum ia dibeli. Orang yang mendapat facelift tidak dapat melihat hasilnya sebelum pembelian, dan pasien dalam kantor psikiater tidak dapat meramalkan hasilnya. Untuk mengurangi ketidakpastian, pembeli akan mencari tanda atau bukti dari mutu jasa tersebut.

7. Tidak terpisahkan (inseparability) 1

Philip Kotler, Manajemen Pemasaran. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. 1993. hal. 548-553

Umumnya jasa dihasilkan dan dikonsumsi secara bersamaan. Hal ini tidak berlaku pada barang fisik yang diproduksi, ditempatkan pada persediaan, didistribusikan melalui pengecer, dan akhirnya dikonsumsi.

8. Bervariasi (variability)

Jasa-jasa sangat bervariasi, karena ia tergantung kepada siapa yang menyediakan jasa dan kapan serta dimana ia disediakan. Para pembeli jasa akan berhati-hati terhadap keragaman ini dan sering kali akan membicarakannya dengan yang lain sebelum memilih seorang penyedia jasa.

9. Mudah lenyap (perishability)

Jasa tidak dapat disimpan. Kursi kereta api yang kosong, kamar hotel yang tidak dihuni atau jam tertentu tanpa pasien di tempat praktik seorang dokter, akan berlalu/hilang begitu saja karena tidak dapat disimpan untuk dapat dipergunakan di lain waktu. Hal ini tidak menjadi masalah bila permintaannya tetap karena mudah untuk menyiapkan pelayanan untuk permintaan tersebut sebelumnya.

3.1.1. Klasifikasi Jasa

Klasifikasi jasa sangat membantu dalam batasan-batasan dari suatu industri jasa, sehingga tidak hanya memberikan pemahaman akan kebutuhan dan perilaku konsumen secara lebih baik, akan tetapi dalam memberikan pemahaman sistem pengelolaan data yang lebih baik. Namun pada industri jasa masih didominasi oleh orientasi kepada operasi yang menyatakan bahwa industri jasa sangat beragam dan berbeda. Untuk itu klasifikasi jasa sangat diperlukan pihak perusahaan dalam memberikan pemahaman tentang kebutuhan dan perilaku konsumen secara lebih baik dan benar.

Menurut Phitip Kotler (2002:429), komponen jasa merupakan suatu bagian yang sedikit atau utama dari seluruh penawaran, hal tersebut dapat dibedakan menjadi lima kategori antara lain:

1. Pure Tangible Good, barang berwujud yang hanya meliputi barang yang dapat dilihat seperti sabun, pasta gigi, atau gula. Tidak terdapat jasa yang mendampingi produk tersebut.

2. Tangible Good With, Accompanying Service, barang berwujud dengan jasa tambahan yang terdiri dari barang nyata, disertai oleh satu atau lebih jasa untuk memperkuat daya tarik konsumen. Misalnya penjualan mobil atau komputer yang sangat bergantung pada kualitas barang tersebut dan tersedianya pelayanan purna-jual atau bergaransi.

3. Hiebried, terdiri dari barang dan jasa dengan properti yang sama seperti restoran yang harus didukung oleh makanan dan pelayanannya.

4. Mayor Service With Accompanying Minor Good and Service, terdiri dari jasa utama utama dan jasa tambahan atau barang pelengkap lainnya, misalnya penumpang penerbangan membeli jasa transportasi. Dalam penerbangannya disertai juga pelayanan tambahan seperti makanan dan minuman serta majalah.

5. Pure Service, jasa murni, yang menawarkan suatu jasa seperti jasa penjaga bayi, memasukkan pelayanan psikoterapi dalam pemijatan (massage).

3.2. Kepuasan Konsumen2

Menurut Kotler (2003), kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi atau kesannya terhadap kinerja atau hasil suatu produk dan harapan-harapannya.

2

Menurut Hurrtyati (2003), konsumen adalah pihak yang memaksimalkan nilai, mereka yang membentuk harapan akan nilai dan bertindak berdasarkan itu.

Menurut Tse dan Wilton (2004), kepuasan atau ketidakpuasan konsumen adalah respon konsumen terhadap evaluasi ketidaksesuaian atau dikonfirmasi yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kinerja lainnya) dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya.

Kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja/hasil yang dirasakan dengan harapannya. Jadi, tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan. Kinerja yang dibawah harapan akan membuat konsumen kecewa dan kinerja yang sesuai dengan harapan akan membuat konsumen puas. Hal ini juga berlaku bila kinerja melebihi harapan maka konsumen akan merasa puas. Harapan konsumen akan dibentuk oleh pengalaman masa lampau, komentar dari kerabatnya serta janji dan informasi pemasar dan saingannya. Konsumen yang puas akan setia lebih lama, kurang sensitif terhadap harga dan memberi komentar yang baik terhadap perusahaan.

Menurut Kotler, dalam mengukur tingkat kepuasan dapat digunakan beberapa metode yaitu:

1. Complaint and suggestion systems

Metode complaint and suggestion systems menyediakan pusat pelayanan konsumen yang memudahkan konsumen menyampaikan saran dan keluhan mereka terhadap layanan atau produk yang dibeli perusahaan.

2. Customer satisfaction surveys

Metode customer satisfaction surveys menerapkan prinsip survei dengan mengirimkan kuesioner kepada konsumen atau menelepon konsumen secara acak

untuk menanyakan tingkat kepuasan konsumen tersebut terhadap layanan atau produk yang dihasilkan perusahaan.

3. Ghost shopping

Metode customer satisfaction surveys menyewa beberapa orang sebagai pembeli potensial (ghost shopper) yang akan mengamati kegiatan perusahaan dalam melayani konsumen kemudian melaporkannya ke pihak manajemen perusahaan mengenai apa yang telah mereka amati, baik hal-hal yang baik maupun yang buruk dalam pelayanan perusahaan terhadap konsumen.

4. Last customer analysis

Metode last customer analysis menghubungi konsumen yang telah berhenti membeli produk atau layanan perusahaan yang bersangkutan dan membeli dari pesaing. Penerapan metode last customer analysis terhadap tingkat kehilangan konsumen dapat diketahui berapa persen dari konsumen yang tidak merasa puas atau produk layanan yang diberikan oleh perusahaan.

Manfaat dari pengukuran kepuasan konsumen adalah untuk menemukan bagian yang membutuhkan peningkatan. Hal yang dapat dilihat dari konsumen secara langsung atau dari keluhan konsumen adalah alat untuk mengukur kepuasan konsumen. Pemahaman atas kepuasan konsumen akan bermanfaat untuk beberapa hal yaitu: a. Memberikan kontribusi dalam mempersiapkan perusahaan menghadapi persaingan. b. Hubungan antara perusahaan dan para konsumennya menjadi harmonis.

c. Mendorong terciptanya loyalitas konsumen.

d. Membentuk rekomendasi dari mulut ke mulut yang menguntungkan perusahaan. e. Reputasi perusahaan menjadi baik dimata konsumen.

3.3. Metode Service Quality (Servqual)3

Definisi kepuasan konsumen adalah persepsi konsumen terhadap suatu pelayanan yang didapatkannya. Kualitas jasa memiliki lima dimensi dasar. Jasa yang diharapkan (expected services) dan jasa yang dirasakan (perceived service) memiliki dimensi yang sama. Dimensi ini dinilai sewaktu konsumen diminta untuk menyatakan expected dan perceived services yang diterimanya. Dimensi kualitas jasa tersebut adalah:

1. Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, karyawan dan sarana komunikasi.

2. Keandalan (reliability), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan.

3. Daya tanggap (responsiveness), yaitu respon atau kesigapan karyawan dalam membantu konsumen dan memberikan pelayanan yang cepat dan tanggap, yang meliputi kesigapan karyawan dalam melayani konsumen, kecepatan karyawan dalam menangani transaksi, dan penanganan keluhan konsumen.

4. Jaminan (assurance), meliputi kemampuan karyawan atas pengetahuan terhadap produk secara tepat, kualitas keramah-tamahan, perhatian dan kesopanan dalam memberikan pelayanan, keterampilan dalam memberikan informasi, kemampuan dalam memberikan di dalam memanfaatkan jasa yang ditawarkan, dan kemampuan dalam menentukan kepercayaan konsumen terhadap perusahaan.

Dimensi jaminan ini merupakan gabungan dari dimensi:

3

a. Kompetensi (competency), artinya keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh karyawan untuk melakukan pelayanan.

b. Kesopanan (courtesy), yang meliputi keramahan, perhatian, dan sikap para karyawan.

c. Kredibilitas (credibility), meliputi hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan kepada perusahaan, seperti reputasi, prestasi, dan sebagainya.

5. Empati (empathy), yaitu perhatian secara individual yang diberikan perusahaan kepada konsumen, seperti kemudahan untuk menghubungi perusahaan, kemampuan karyawan untuk berkomunikasi dengan konsumen, dan usaha perusahaan untuk memahami keinginan dan kebutuhan konsumennya.

Dimensi empati ini merupakan gabungan dari dimensi:

a. Akses (access), meliputi kemudahan untuk memanfaatkan jasa yang ditawarkan perusahaan.

b. Komunikasi (communication), merupakan kemampuan melakukan komunikasi untuk menyampaikan informasi kepada konsumen atau memperoleh masukan dari konsumen.

c. Pemahaman pada konsumen (understanding the customer), meliputi usaha perusahaan untuk mengetahui dan memahami kebutuhan dan keinginan konsumen.

Suatu model kualitas jasa yang menyoroti syarat-syarat utama dibentuk agar penyedia jasa mampu memberikan kualitas jasa yang diharapkan. Model itu mengidentifikasi lima gap yang mengakibatkan kegagalan penyampaian jasa. Kelima gap tersebut adalah, seperti terlihat pada Gambar 3.1.

1. Gap 1: Persepsi Manajemen, yaitu adanya perbedaan penilaian pelayanan menurut pengguna jasa dan persepsi manajemen mengenai harapan pengguna jasa. Kesenjangan ini terjadi karena kurangnya orientasi riset pemasaran, pemanfaatan yang tidak memadai atas penemuan penelitian, kurangnya interaksi antara pihak manajemen dan konsumen, komunikasi dari bawah ke atas kurang memadai serta terlalu banyaknya tingkat manajemen. Dengan kata lain, manajemen tidak selalu dapat merasakan apa yang diinginkan para konsumen secara cepat.

2. Gap 2: Spesifikasi Kualitas, yaitu kesenjangan antara persepsi manajemen mengenai harapan pengguna jasa dan spesifikasi-spesifikasi kualitas jasa yang ditetapkan. Kesenjangan ini terjadi antara lain karena tidak memadainya komitmen manajemen terhadap kualitas jasa, persepsi mengenai ketidaklayakan, tidak memadainya standarisasi tugas dan tidak adanya penyusunan tujuan.

3. Gap 3: Penyampaian Jasa, yaitu kesenjangan antara spesifikasi kualitas jasa dan penyerahan jasa (delivery service). Karyawan perusahaan mungkin kurang dilatih atau bekerja melampaui batas dan tidak memenuhi standar atau mereka dihadapkan pada standar-standar bertentangan.

4. Gap 4: Komunikasi Pemasaran, yaitu kesenjangan yang terjadi antara jasa yang diberikan melalui iklan, humas, dengan penyampaian layanan yang sesungguhnya. Harapan konsumen dipengaruhi oleh pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh wakil dan iklan perusahaan.

5. Gap 5: Penyampaian Jasa, yaitu perbedaan persepsi antara yang dirasakan dengan jasa yang diharapkan oleh konsumen. Adanya perbedaan antara jasa yang dirasakan dan yang diharapkan konsumen.

3.3.1. Model Importance-Performance Analysis4

Martilla dan James (1977) menyatakan bahwa model IPA merupakan hubungan antara kepentingan dan kinerja pada perspektif konsumen sehingga model IPA diaplikasikan untuk mengukur kualitas pelayanan.

4

Tzeng, Gwo-Hshing dan Hung-Fan Chang. 2011. Applying Importance-Performance Analysis as a Service Quality Measure in Food Service Industry. Universitas Alberto Hurtado. Journal of Technology Management & Innovation. ISSN: 0718-272.

Model IPA mengukur kepentingan dan kepuasan konsumen, dan mengembangkan hubungan produk yang spesifik berdasarkan atribut yang diproritaskan (Sampson dan Showalter, 1999). Kuadran-kuadran pada model IPA didasarkan pada rata-rata kepentingan dan kepuasan (kinerja). Keempat kuadran dan implikasinya dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Keempat Kuadran dan Implikasi dari IPA

Kuadran Implikasi

Kuadran I

Konsentrasi di sini

Atribut dianggap sangat penting untuk konsumen, tetapi perusahaan memiliki tingkat kinerja yang cukup rendah. Hal ini menunjukkan bahwa upaya perbaikan harus terkonsentrasi di sini.

Kuadran II

Tetap bekerja dengan baik

Atribut yang dianggap sangat penting untuk konsumen, dan pada saat yang sama perusahaan memiliki tingkat kinerja yang tinggi. Oleh karena itu, perusahaan harus tetap bekerja dengan baik terhadap atribut-atribut ini.

Kuadran III

Prioritas yang lebih rendah

Atribut memiliki tingkat kepentingan dan tingkat kinerja yang rendah, sehingga perusahaan tidak harus berkonsentrasi pada atribut ini karena atribut tidak dianggap sangat penting.

Kuadran IV

Kemungkinan berlebihan

Atribut memiliki tingkat kepentingan yang rendah tetapi kinerja relatif tinggi. Konsumen puas dengan

kinerja perusahaan, tetapi perusahaan harus mempertimbangkan usaha yang dikeluarkan pada atribut sehingga usaha tersebut tidak berlebihan/sesuai dengan keperluan.

Secara grafis, IPA dibagi menjadi 4 kuadran, yang dapat dilihat pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2. Model IPA

3.4. Proses Penilaian Kualitas Pelayanan5

Proses penilaian suatu jasa oleh konsumennya dimulai sebelum ia berinteraksi dengan penyedia jasa itu sendiri. Sebelum berinteraksi, konsumen

5

melakukan penjajakan apakah penyedia jasa akan bias memenuhi kebutuhannya. Dibenak konsumen terbentuk jasa yang diharapkan (expected services) yang ia rasakan pantas untuk diterimanya jika ia melakukan pembelian.

Proses penilaian awal untuk membentuk expected services dipengaruhi oleh 4 faktor:

1. Word of mouth (kabar dari mulut ke mulut) 2. Personal needs (kebutuhan pribadi)

3. Past experience (pengalaman masa lalu) 4. Internal communication (komunikasi eksternal)

Kabar dari mulut ke mulut mengenai pengalaman orang dan reputasi penyedia layanan menjadi salah satu masukan untuk membandingkan (jika belum pernah mencoba sebelumnya). Sedangkan komunikasi eksternal yang dilakukan penyedia jasa dan penyampaian janjinya akan membentuk expected services yang pantas dituntut dan menjadi hak konsumen. Keempat faktor ini akhirnya membentuk jasa yang diharapkan secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3. Assesment/Evaluasi Konsumen terhadap Kualitas Jasa

3.5. Metode Kano6 3.5.1. Sejarah Model Kano

Model Kano merupakan suatu model yang bertujuan mengkategorikan atribut-atribut dari produk atau jasa berdasarkan seberapa baik produk/jasa tersebut mampu memuaskan kepuasan konsumen. Model ini dikembangkan oleh Profesor Noriaki Kano dari Universitas Tokyo Rika (Kano, 1985). Professor Noriaki Kano bekerjasama dengan para mahasiswanya memunculkan beberapa ide yang menjadi cikal bakalnya perkembangan Model Kano, ide-ide tersebut dapat dirangkum sebagai berikut:

1. Ide/permintaan mengenai kualitas yang tidak dapat dilihat bias dibuat dapat melihat. Para konsumen biasanya memiliki ide/permintaan dan sukar untuk dilihat.

6

Amran, Tiena G dan Ponti Ekadeputra. Pengukuran Kepuasan Konsumen Menggunakan Metode Kano dan Root Cause Analysis (Studi Kasus PLN Tangerang). Jurnal Teknik Industri. ISSN:1411-6340

Namun ide-ide tersebut dapat dibuat menjadi jelas dengan membuatnya menjadi sebuah struktur (diagram pohon).

2. Untuk beberapa permintaan konsumen, kepuasan konsumen adalah seberapa besar suatu produk/jasa dapat berfungsi secara maksimal. Pada Model Kano diterjemahkan dengan did it very well yang diletakkan pada bagian kanan dari garis horizontal, seperti terlihat pada Gambar 3.4.

3. Beberapa permintaan konsumen tidak hanya One dimensional atau performance needs atau linear tapi juga Attractive atau Excitement needs atau delighters atau Must-be Basic needs atau Thereshold.

4. Permintaan konsumen dapat diklasifikasikan dengan menggunakan kuesioner.

3.5.2. Kategori-kategori Model Kano

Dalam metode Kano, kategori dari suatu produk dapat dibedakan menjadi: 1. Must-be atau Basic needs atau Timeshold: konsumen tidak puas apabila kinerja dari

atribut yang bersangkutan rendah. Tetapi kepuasan konsumen tidak akan meningkat jauh diatas netral meskipun kinerja dari atribut tersebut tinggi.

2. One dimensional atau performance needs atau linear: tingkat kepuasan konsumen berhubungan linier dengan kinerja atribut, sehingga kinerja atribut yang tinggi akan mengakibatkan tingginya kepuasan konsumen pula.

3. Attractive atau Excitement needs atau delighters: tingkat kepuasan konsumen akan meningkat sangat tinggi dengan meningkatnya kinerja atribut. Akan tetapi penurunan kinerja atribut tidak akan menyebabkan penurunan tingkat kepuasan. 4. Reverse: apabila tingkat kepuasan konsumen berbanding terbalik dengan hasil

kinerja atribut, Questionable Result: apabila tingkat kepuasan konsumen tidak dapat didefinisikan (terdapat kontradiksi pada jawaban konsumen) atau Indifferent: apabila tingkat kepuasan konsumen tidak berpengaruh dari hasil kinerja atribut.

Kategori konsumen di atas akan berubah sesuai dengan perkembangan waktu. Dengan memperhatikan Model Kano, menuntut perusahaan menciptakan produk/jasa inovatif yang dapat menarik perhatian konsumen di atas Must-be dan One dimensional. Strategi yang dapat diadopsi perusahaan adalah memproduksi produk/jasa yang mempunyai attractive quality. Strategi ini mengharuskan perusahaan memperhatikan bagaimana menciptakan attractive quality dalam proses pengembangan produk/jasa baru.

3.5.3. Prosedur Model Kano

Langkah-langkah penelitian dengan menggunakan Model Kano adalah: 1. Identifikasi ide/permintaan konsumen atau menganalisa yang akan diukur. 2. Membuat kuesioner Kano.

Dalam pembuatan kuesioner yang perhitungannya menggunakan Model Kano maka sifat dari kuesioner tersebut adalah setiap satu pertanyaan memiliki dua bagian yaitu functional dan dysfunctional.

a. I like it that way. b. It must be that way. c. I am neutral.

d. I can live with it that way. e. I dislike it that way.

Dalam membuat pertanyaan, pertanyaan yang telah diuji terlebih dahulu validitas dan reliabilitas. Kelima variabel dalam Kano tersebut termasuk skala Libert, karena memiliki gradiasi dari sangat positif sampai sangat negatif. Untuk setia variabel tidak diberi skor dalam pengolahan datanya tetapi mengikuti langkah-langkah yang sesuai dengan Model Kano yaitu dengan menggunakan Tabel Evaluasi Kano seperti terlihat pada Tabel 3.2.

Keterangan:

Q = Questionable (Diragukan) R = Reverse (Kemunduran) A = Attractive (Menarik) I = Indifferent (Netral)

O = One dimensional (Satu Ukuran) M = Must be (Keharusan)

3. Memproses hasil jawaban kuesioner dengan menggunakan Blauth’s formula, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Jika jumlah nilai (one dimensional + attractive + must be) > jumlah nilai (indifferent + reverse + questionable) maka grade diperoleh nilai paling maksimum dari (one dimensional, attractive, must be).

b. Jika jumlah nilai (one dimensional + attractive + must be) < jumlah nilai (indifferent + reverse + questionable) maka grade diperoleh nilai paling maksimum dari (indifferent, reverse, questionable).

c. Jika jumlah nilai (one dimensional + attractive + must be) = jumlah nilai (indifferent + reverse + questionable) maka grade diperoleh yang paling maksimum di antara semua kategori Kano yaitu (one dimensional, attractive, must be dan indifferent, reverse, questionable).

4. Menganalisa hasil proses.

Langkah yang dilakukan dengan memposisikan setiap atribut pertanyaan. Untuk memposisikan diperlukan rata-rata dari satisfaction dan dissaticfation dari setiap atribut.

3.5.4. Analisis Kuantitatif Model Kano7

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, analisis kuantitatif Model Kano kemudian dilakukan dengan empat langkah sebagai berikut: Menghitung nilai CS dan DS, menentukan titik DS dan CS, plotting kurva hubungan antar kepuasan konsumen dengan pemenuhan CR (S-CR) dan kemudian mengidentifikasi fungsi hubungan S-CR seperti diilustrasikan pada Gambar 3.5. Analisis kuantitatif dimulai dengan hasil survei dari Kuesioner Kano, kemudian diteruskan untuk memergunakan hasil yang diperoleh ke diagram Kano.

7

Ting, Wang. 2008. Quality Function Deployment Optimization with Kano’s Model. Hongkong: the Hongkong Polytechnic University.

Kano‟s Model

The Kano questionare The Kano diagram

Step 1 Calculate CS and DS values Step 2 Determine CS and DS points Step 3 Plot S-CR relationship Curves Step 4 Identify S-CR relationship functions

Gambar 3.5. Empat Langkah Analisis Kuantitatif Model Kano

3.5.4.1.Menghitung Nilai DS dan CS

Berger et al. (Ber93) mengidentifikasi dua nilai penting dari kuesioner Kano untuk analisis kuantitatif: Kepuasan Konsumen (Customer Satisfaction/CS) dan Ketidakpuasan Konsumen (Customer Dissaticfaction/DS). CS mengidentifikasikan bahwa kepuasan konsumen akan semakin meningkat jika perusahaan baik pada Keinginan Konsumen (Customer Requirement/CR) tersebut. Sebaliknya DS mengidentifikasikan bahwa ketidakpuasan konsumen akan semakin meningkat apabila perusahaan memenuhi CR tersebut. Kedua nilai tersebut dihitung dengan persamaan di bawah ini dimana a merepresentasikan jumlah respon konsumen sebagai atribut attractive dan o untuk one-dimensional, m untuk must-be dan I untuk indifferent.

   

Di langkah sebelumnya, dua nilai CS dan DS dihitung. Satu masalah pada saat menggunakan nilai CS dan DS ke dalam analisis kuantitatif adalah kesamaran dalam mendefenisikan baik atau buruknya performansi CRs tertentu. Ketika nilai CS dan DS dite tuka , istilah pe fo a si agus atau pe fo a si jelek tidak spesifik atau terkuantifikasi. Untuk mengatasi masalah tersebut, dua nilai asumsi CS dan DS ditetapkan dibawah ini:

1. Jika perusahaan telah mencapai performansi yang baik untuk memenuhi CR tertentu, level pemenuhan CR tersebut diasumsikan bernilai 1 yang berarti terpenuhi secara lengkap.

2. Jika perusahaan gagal untuk memenuhi CR tertentu, level pemenuhan untuk CR tersebut bernilai 0 yang berarti tidak terpenuhi secara lengkap.

Berdasarkan kedua asumsi ini, dua titik CS dan DS dapat dinyatakan dengan (1, CS1), merupakan kepuasan konsumen ketika CR terpenuhi secara lengkap yang berarti pemenuhan level CR adalah sama dengan 1. Titik DS dari CR dapat dinyatakan dengan (0, DS1) yang merupakan ketidakpuasan konsumen ketika CR tersebut tidak tersedia yang berarti pemenuhan level CR adalah sama dengan 0. Dengan memasukkan dua titik ini ke model Kano, hubungan antara kepuasan konsumen dengan CR dapat terkuantifikasi dengan cara yang lebih tepat. Nilai CS dan DS diperoleh oleh kuesioner Kano dapat digunakan lebih jauh untuk menentukan titik CS dan DS untuk setiap CR.

3.5.4.3.Menggambar Kurva Hubungan S-CR

Setelah menentukan titik CS dan DS, kurva hubungan antara kepuasan konsumen dengan pemenuhan CR (S-CR) dapat digambarkan. Sumbu horizontal merepresentasikan level pemenuhan CRs dengan rentang 0 sampai 1. Sumbu vertical

merepresentasikan kepuasan konsumen dengan skala rentang -1 sampai 1 dimana nilai CS jatuh pada rentang positif dari sumbu vertical sementara nilai DS jatuh pada rentang negatif.

Kurva hubungan S-CR yang diperhalus telah menghilangkan masalah ketidakkonsustenan yang diidentifikasi oleh Berger, Et, Al. Kurva attractive yang diperhalus mungkin memiliki nilai negative pada sisi disfungsional dari skala pemenuhan CR. Secara bersamaan, kurva must-be mungkin memiliki nilai yang positif pada sisi fungsionalnya dari skala pemenuhan CR. Sementara itu, nilai CS dan DS dari CRs secara langsung diperoleh langsung dari hasil kuesioner yang disesuaikan dengan jawaban tabel evaluasi Kano. Oleh karena itu, kurva hubungan S-CR yang diperhalus telah menghilangkan kemungkinan inkonsistensi pada model Kano dan digambarkan

Dokumen terkait