• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

B. Landasan Teori

Tanggapan pembaca terhadap suatu karya merupakan keleluasan seorang penikmat dalam memaknai sebuah teks. Kualitas resepsi atau ketajaman tanggapan seseorang terhadap sebuah karya, antara orang satu dengan yang lain biasanya berbeda. Hal itu terjadi karena adanya beberapa faktor, baik itu usia, standar estetis, gudang pengalaman atau wawasan, dan faktor psikologi. Hal itu sesuai dengan konsep tentang horizon of expectations (erwartungs-horitzont) ‘cakrawala atau

horizon harapan’, disusun dengan sarana (1) norma generik yang terkenal yang dipaparkan oleh teks yang dibaca oleh pembaca; (2) pengalaman dan pengetahuan pembaca terhadap keseluruhan teks yang telah dibaca sebelumnya; dan (3) kontras antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuaan pembaca untuk menerima teks baru di

dalam cakrawala harapannya yang “sempit” dan cakrawala hidupnya yang “luas”

(Jauss dalam Rien T. Segers,1978:36).

Resepsi sastra dimaksudkan bagaimana “pembaca” memberikan makna

terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya. Tanggapan itu mungkin bersifat pasif, yaitu bagaimana seorang pembaca dapat memahami karya itu atau melihat hakekat estetika yang ada di dalamnya. Atau mungkin juga bersifat aktif, yaitu bagaimana ia “merealisasikan”- nya. Oleh karena itu pengertian resepsi sastra mempunyai lapangan yang luas, dengan berbagai kemungkinan penggunaan (Umar Junus,1984:1).

Secara historis, menurut Jan Van Luxemburg dalam I Nyoman Kutha Ratna (2004:163-164), ada dua tradisi klasik dalam kaitannya dengan relevansi fungsi dan

peranan pembaca. Pertama dibicarakan oleh Aristoteles, dalam Poetica, dengan konsep katharsis, penyucian emosi (pembaca) melalui pementasan tragedi. Kedua, dibicarakan oleh Horatius dalamArts Poetica, dalam kaitannya dengan efek, manfaat, dan nikmat, karya seni yang baik sekaligus berguna dan menyenangkan. “Secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca” (I Nyoman Kutha Ratna, 2004:165).

Resepsi sastra sebagaimana dimaksudkan dalam teori kontemporer tidak sebagai reaksi, tetapi sudah disertai dengan penafsiran, dan bahkan penafsiran yang sangat rinci. Dalam penelitian resepsi dibedakan menjadi dua bentuk, (a) resepsi secara sinkronis, (b) resepsi secara diakronis. Bentuk pertama meneliti karya sastra dalam hubungannya dengan pembaca sezaman. Sekelompok pembaca, misalnya memberikan tanggapan baik secara sosiologis maupun psikologis terhadap sebuah novel. Bentuk resepsi yang lebih rumit adalah tanggapan pembaca secara diakronik sebab melibatkan pembaca sepanjang sejarah. I Nyoman Kutha Ratna (2004:167-169) menjelaskan mengenai kaitannya dengan pembaca, timbul berbagai istilah, seperti: pembaca eksplisit, pembaca implisit, pembaca mahatahu, pembaca yang diintensikan, dan sebagainya. Di samping itu timbul pula istilah-istilah lain yang didefinisikan sesuai dengan tokoh masing-masing, diantaranya: concretitazion (Vodicka), horizon harapan (Jausz), pembaca implisit dan ruang kosong (Isser), kompetensi pembaca (Culler).

Umar Junus dalam bukunya Resepsi Sastra (1984:46) menjelaskan bahwa resepsi sastra dimaksudkan bagaimana “pembaca” memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan resepsi atau tanggapan terhadapnya. Secara lebih jauh dijelaskan mengenai tanggapan pasif, yaitu bagaimana pembaca dapat memahami karya itu atau melihat hakikat estetik yang ada di dalamnya, atau mungkin bersifat aktif, yaitu bagaimana ia merealisasikannya.

Wolfgang Isser memberikan contoh bagaimana pelaksanaan teorinya yang mementingkan soal kesan, efek (wirkung). Lebih lanjut Isser memberikan kepada peranan pembaca dalam memahami atau mengkonkretkan suatu karya. Pembaca mungkin akan dapat merekonstruksikan suatu yang tak disebutkan (=nicht-Erzahlen) (Umar Junus,1984:47). Umar Junus mengutip pendapat Ingarden mengenai struktur karya sastra yang konstan.

Ingarden berpendapat bahwa karya sastra merupakan struktur yang konstans. Melalui berbagai kecenderungan yang menjadi konkret ketika ada di tangan pembaca. Dalam karya sastra itu sendiri hanya ditemui pandangan yang skematis, suatu schemata yang pasti, yang melalui berbagai kecenderungan persepsi dapat dilihat sebagai struktrur yang konstans. Tapi begitu ia diaktualisasi oleh pembaca, maka ia akan menjadi konkret dengan cara tertentu. Ia diutuhkan kembali melalui data yang konkret, dan cara melaluinya hal ini dapat dicapai tergantung sebagian besarnya pada pembacanya. Ia akan mengisi schemata pandangan yang umum tadi dengan suatu yang tertentu, yang berhubungan dengan “rasa seni”-nya, kebiasaan tanggapan/persepsinya, kecenderungan terhadap suatu mutu tertentu dan tingat kepadatan (= coherence). Dengan begitu, ia akan berbeda bagi berbagai pembaca. Pembaca juga mengaitkannya dengan berbagai pengalamannya dan memperkenalkan

dunia yang dihidupinya melalui aspek pembentukan dunia itu, dengan mana kehidupan itu sendiri bentuk, (Umar Junus,1984:30).

Wolfgang Isser, dalam artikelnya Die Wurkliceit der Fiktion, mengajukan beberapa saran yang mendukung tekstabilitas studi sastra. Dia tidak melihat fiksi hanya sebagai satu entitas (kesatuan) sendiri, tetapi juga sebagai suatu struktur komunikasional. Oleh karena itu, pertanyaan kuno yang diarahkan kepada sastra harus diganti dengan pertanyaan baru: fokus tidak lagi pada arti sastra, tetapi pada pengaruhnya (Rien T. Segers,1978:40). “Tugas estetika resepsi dalam kaitannya dengan interpretasi ialah untuk menyelidiki konkretisasi pembaca terhadap teks sastra”(Rien T. Segers,1978:45).

Psikologi sastra memberikan bantuan metodologis dalam mempelajari suatu teks terhadap sekelompok pembaca. Dalam lapangan psikologi, experimental esthetics ‘estetika eksperimental’ menghasilkan sejumlah eksperimen yang menarik dan penting. Dalam kontrasnya dengan unsur instrinsik, estetika resepsi terutama menitikberatkan pada masalah konkretisasi sebuah teks (Rien T. Segers,1978:53).

Penelitian eksperimental ditujukan untuk memerikan sistem norma sejumlah pembaca yang tergolong pada kelompok baca yang oleh Stanley Fish disebut informed reader‘pembaca yang diberi informasi’;

Informed reader dibatasi dengan tiga karakteristik, yaitu (1) pewicara kompeten dengan bahasa yang dipakai dalam teks, (2) memiliki pengetahuan semantik yang penuh, pendengar dewasa yang dapat memahami tugasnya; ini

termasuk pengetahuan (misalnya pengalaman menciptakan dan atau memahami) atau perangkat leksikal, kemungkinan kolokasi, idiom, dialek professional dan lain-lain, dan (3) memiliki kompetensi sastra (Rien T. Segers,1978:96).

Wienold menjelaskan bahwa “objek studi sastra tidak lagi berupa teks, tetapi proses interpretasi dan evaluasi sastra”. Wienold mendekati teks sastra dari sudut pandang teori komunikasi (objek teori komunikasi adalah pemindahan informasi) (Rien T. Segers,1978:38). Norbert Groeben juga menyukai perlakuan terhadap hubungan teks dengan pembaca. Selanjutnya ia mengutarakan apa yang dimaksud dengan pendekatan empirik dalam studi sastra. Penelitian empirik mengimplikasikan penelitian tentang reaksi-reaksi pembaca yang riil (Rien T. Segers,1978:38). “Konsep eksperimental berkaitan dengan nama cabang psikologi, estetika eksperimental, yakni eksperimen yang sebenarnya” (Rien T. Segers,1978:39). D. E. Berlyne mengistilahkan cabang psikologi sastra yang paling relevan dengan penelitian tentang evaluasi dan atau resepsi sastra dengan istilah experimental esthetics (estetika ekperimental). Berlyne memberikan estetika eksperimental sebagai ‘studi tentang

efek-efek motivasional’ dari karya-karya seni kepada penerimanya (Rien T. Segers,1978:73).

Hubungan antara estetika resepsi dan estetika eksperimetal mungkin mengarahkan pada hasil-hasil yang penting bagi studi sastra, pendidikan dan pengajaran, dan juga studi psikologi. “Dalam kolaborasi ini, estetika resepsi memiliki

penelitian; estetika eksperimental akan memberikan kerangka kerja dalam penelitian yang layak dan tepat” (Rien T. Segers,1978:82). Berlyne memberikan penjelasan bahwa estetika eksperimental sebagai “studi tentang efek-efek motivasional” dari karya-karya seni kepada penerimanya (Rien T. Segers,1978:73).

Melalui pemaparan teori-teori di atas, penelitian estetika resepsi tidak lagi melakukan kerja analisis terhadap teks, tetapi menitikberatkan pada tanggapan pembaca terhadap teks secara riil. Tugas estetika resepsi dalam kaitannya dengan interpretasi ialah untuk menyelidiki konkretisasi pembaca terhadap teks sastra. Fiksi tidak hanya sebagai satu entitas (kesatuan) sendiri, tetapi juga sebagai suatu struktur komunikasional yang mengedepankan pemindahan informasi. Penelitian ini mencoba memaparkan resepsi pembaca dan aspek psikologi yang mengukur tenggapan pembaca terhadap film Laskar Pelangi secara eksperimental yang berhubungan dengan studi tentang efek-efek motivasional terhadap karya.

C. Kerangka Berpikir

Deskrepsi penelitian ini dapat dituangkan dalam kerangka berpikir seperti berikut ini.

1. Menentukan informan yaitu mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia UNS angkatan 2010 melalui kuesioner instrumental, berisi pertanyaan mengenai aspek tekstual dalam film Laskar Pelangi sehingga ditemukan sepuluh mahasiswa yang memiliki nilai pemahaman tertinggi;

2. Tahap berikutnya dari penelitian ini adalah menyaksikan film secara bersama- sama yaitu para informan yang terdiri dari sepuluh mahasiswa. Setelah itu

para informan melakukan kerja evaluasi psikologis terhadap film melalui kuesioner eksperimental yang telah disediakan.

3. Setelah ditemukan hasil evaluasi mengenai film yang dilakukan oleh para informan dalam bentuk kuesioner eksperimental, maka tahapan penelitian selanjutnya adalah melakukan wawancara terhadap informan mengenai alasan pemilihan jawaban yang ada dalam kuesioner eksperimental.

4. Tahap akhir dari penelitian ini adalah pemaparan hasil penelitian dan dampak psikologis yang muncul dengan mempertimbangkan aspek nilai yang dominan bagi para informan.

Kerangka Berpikir Penelitian

Mahasiswa Sastra Indonesia UNS Angkatan 2010

Kuesioner (Instrumental)

Sepuluh Informan yang Memiliki Pemahaman

Tertinggi

Menyaksikan Film dan Mengisi Kuesioner

Eksperimental

Wawancara Mengenai Hasil Kuesioner dengan

Masing-Masing Informan

Pemaparan hasil Penelitian, dan Dampak Nilai yang

Dominan bagi Informan

Menyaksikan Film Laskar Pelangi

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif karena data yang diperoleh lebih mementingkan aspek kulitas dan bukan pada jumlah banyaknya data. Penelitian ini menganalisis resepsi mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia UNS angkatan 2010 secara eksperimental terhadap filmLaskar Pelangi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah psikologi mengenai kualitas tanggapan informan terhadap film Laskar Pelangi. Meskipun demikian, penelitian ini juga menyampaikan data yang berupa tabulasi angka dalam bentuk tabel, untuk mempermudah dalam hal pemaparan hasil penelitian. Objek kajian penelitian ini berupa objek material dan objek formal. Objek material meliputi hasil interpretasi informan terhadap film Laskar Pelangi yang diperoleh melalui eksperimen saat menyaksikan film yang berupa kuesioner dan hasil wawancara. Objek formal penelitian ini adalah dampak psikologis para informan terhadap aspek tekstual filmLaskar Pelangi.