• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II ini berisi kajian pustaka, penelitian yang mendukung, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian. Kajian pustaka membahas teori-teori yang mendukung dalam pelaksanaan penelitian. Penelitian terdahulu berisi hasil penelitian yang pernah ada yang dirumuskan dalam kerangka berpikir dan hipotesis yang berisi dugaan sementara dari rumusan masalah penelitian.

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Teori yang Mendukung 2.1.1.1 Teori Perkembangan Anak

Perkembangan tidak terbatas pada pengertian perubahan secara fisik, melainkan di dalamnya juga terkandung serangkaian perubahan secara terus menerus dari fungsi-fungsi jasmaniah dan rohaniah yang dimiliki individu menuju tahap kematangan, melalui pertumbuhan dan belajar (Desmita, 2007: 4). Dalam psikologi istilah “perkembangan” merupakan konsep yang rumit dan kompleks, karena merupakan produk dari beberapa proses biologi, kognitif, dan sosioemosional. Perkembangan manusia berjalan secara bertahap melalui berbagai fase perkembangan. Setiap fase perkembangan ditandai dengan bentuk kehidupan tertentu yang berbeda dengan fase sebelumnya. Sekalipun perkembangan itu dibagi-bagi ke dalam masa-masa perkembangan, hal ini dapat dipahami dalam hubungan keseluruhannya.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori perkembangan kognitif Jean Piaget dan teori sosisokultural Lev Semyonovich Vygotsky. Teori ini dipilih karena sesuai dengan variabel penelitian yang membahas tentang perkembangan anak Sekolah Dasar. Teori perkembangan kognitif Jean Piaget dan teori sosiokultural Lev Vygotsky merupakan teori konstruktivisme. Geary (dalam Schunk 2012: 323) menjelaskan bahwa asumsi utama dari konstruktivisme adalah, manusia merupakan siswa aktif yang mengembangkan pengetahuan bagi diri mereka sendiri. Teori Piaget bersifat konstruktivis karena teori ini berasumsi bahwa anak- anak menerapkan konsep-konsep mereka terhadap dunia dalam upaya

10 memahaminya. Tudge dan Scrimsher (dalam Schunk, 2012: 335-337) menjelaskan bahwa teori Vygotsky juga sebuah teori konstruktivisme, tetapi Vygotsky, menempatkan lebih banyak penekanan pada lingkungan sosial sebagai fasilitator perkembangan dan pembelajaran.

2.1.1.2 Teori Perkembangan Kognitif Menurut Piaget

Jean Piaget lahir pada tanggal 9 Agustus 1989 di Neuchatel, Swiss. Sewaktu mudanya, ia tertarik pada alam dan senang mengamati burung-burung, ikan, dan binatang lainnya di alam bebas, sehingga akhirnya tertarik pada pelajaran biologi di sekolah. Sejak umur 10 tahun ia telah menerbitkan karangan pertamanya tentang burung “Pipit Albino” pada majalah ilmu pengetahuan alam (Suparno, 2001: 11).

Pada 1920 Piaget bekerja bersama Dr. Theophile Simon di Laboratorium Binet, Paris. Tugas Piaget di sana adalah untuk mengkonstruksi tes kepandaian anak-anak. Ia tertarik kepada respon-respon anak kecil, khususnya tentang jawaban- jawaban mereka yang keliru. Kesalahan mereka, memiliki pola konsisten yang menyatakan bahwa pikiran mereka memiliki sifatnya sendiri yang unik. Ia juga menghabiskan waktu berjam-jam mengamati aktivitas-aktivitas spontan anak-anak, dengan tujuan untuk menunda pra-konsepsinya sendiri sebagai orang dewasa tentang pikiran anak-anak dan belajar langsung dari tingkah laku mereka sendiri (Crain, 2007: 168-169).

Piaget mengawali serangkaian studi penting mengenai tingkah laku kognitif bayi kepada ketiga anaknya (Crain, 2007: 169). Risetnya memberikan kontribusi yang jelas menuju sebuah teori pentahapan yang tunggal dan terintegrasikan (Crain, 2007: 170). Piaget menyatakan bahwa anak-anak harus berinteraksi dengan lingkungannya untuk berkembang dan membangun struktur-struktur kognitif baru dalam dirinya. Perkembangan merupakan proses konstruktif yang aktif, di mana anak- anak membangun struktur-struktur kognitif yang semakin berbeda dan komprehensif melalui aktivitas-aktivitas mereka sendiri (Crain, 2007: 173).

Piaget menyatakan bahwa proses perkembangan kognitif berkenaan dengan skema, asimilasi, akomodasi, organisasi, dan kesetimbangan (Santrock, 2014: 43). Berikut desain proses perkembangan kognitif anak menurut Piaget.

11

(Sumber: http://m-edukasi.blogspot.co.id/2014/09/teori-konstruktivisme-jean-piaget.html)

Gambar 2.1 Desain Proses Perkembangan Kognitif Anak

Menurut Piaget ketika anak berusaha membangun pemahaman mengenai dunia, otak berkembang membentuk skema. Skema adalah suatu struktur mental seseorang di mana ia secara intelektual beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Skema akan beradaptasi dan berubah selama perkembangan kognitif seseorang. Ini merupakan tindakan atau representasi mental yang mengatur pengetahuan.

Piaget memberikan konsep asimilasi dan akomodasi untuk menjelaskan bagaimana anak menggunakan dan menyesuaikan skema mereka. Asimilasi terjadi ketika anak memasukkan informasi baru ke dalam skema mereka yang sudah ada sebelumnya. Asimilasi adalah proses kognitif di mana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, atau pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya (Suparno, 2001: 22). Akomodasi terjadi ketika anak menyesuaikan skema mereka agar sesuai dengan informasi dan pengalaman baru yang mereka dapatkan (Santrock, 2014: 44). Akomodasi adalah mengubah struktur-struktur internal untuk memberikan konsistensi dengan realita eksternal (Schunk, 2012: 331). Selanjutnya anak mengatur pengalaman mereka secara kognitif untuk mengartikan dunia mereka. Organisasi adalah pengelompokan perilaku dan pikiran yang terisolasi ke dalam susunan sistem yang lebih tinggi. Ekuilibrasi adalah mekanisme yang diajukan Piaget untuk menjelaskan bagaimana anak beralih dari satu tahap pemikiran ke tahap berikutnya. Peralihan ini terjadi

12 ketika anak mengalami konflik kognitif atau mengalami disekuilibrium dalam memahami dunia. Akhirnya, mereka menyelesaikan konflik tersebut dan mencapai kesetimbangan atau ekuilibrium pemikiran (Santrock, 2014: 44). Piaget berpendapat bahwa hasil dari proses asimilasi, akomodasi, organisasi, dan ekuilibrium anak melalui empat tahap perkembangan. Setiap tahapan perkembangan ini berkaitan dengan usia dan terdiri atas cara pemikiran yang berbeda-beda (Santrock, 2014: 45).

Berikut empat tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget (Schunk, 2012: 332-333).

a. Tahap Sensori-motor (Usia 0 – 2 tahun)

Tahap sensori-motor menempati dua tahun pertama dalam kehidupan. Selama periode ini anak mengaturalamnya dengan indera-inderanya (sensori) dan tindakan-tindakannya (motor). Selama periode ini anak tidak mempunyai konsepsi “object permanence”. Bila suatu benda disembunyikan, ia gagal untuk menemukannya. Sambil pengalamannya bertambah, sampai mendekati akhir periode ini, anak itu menyadari bahwa benda yang disembunyikan itu masih ada, dan ia mulai mencarinya sesudah dilihatnya benda itu disembunyikan. Konsep-konsep yang tidak ada waktu lahir, seperti Konsep-konsep-Konsep-konsep ruang, waktu, kausalitas, berkembang dan terinkorporasi ke dalam pola-pola perilaku anak. b. Tahap Pra-operasional (Usia 2 – 7 tahun)

Periode ini disebut pra-operasional, karena pada usia ini anak belum mampu melaksanakan operasi-operasi mental, yaitu menambah, mengurangi, dan lain- lain. Tahap ini terdiri atas dua sub-tahap yaitu sub-tahap pra-logis dan sub- tahap pemikiran intuitif. Pada sub-tahap pra-logis (2 - 4 tahun), anak mendapatkan kemampuan untuk merepresentasikan orang maupun benda-benda di lingkungan sekitar. Hal ini menjadi tanda bahwa dunia mental mereka semakin luas yang kemudian ditandai dengan perluasan penggunaan bahasa dan munculnya permainan pura-pura. Pada sub-tahap pemikiran intuitif (4 - 7 tahun), anak-anak mulai menggunakan penalaran primitif dan ingin tahu jawaban atas segala macam pertanyaan yang muncul. Anak-anak merasa yakin dengan pengetahuan dan pemahaman mereka, namun belum menyadari bagaimana mereka tahu apa yang mereka ketahui. Ada hal lain yang perlu

13 diketahui tentang anak pra-operasional, yaitu sifat egosentris. Menurut Piaget anak pra-operasional bersifat egosentris, berarti anak itu mempunyai kesulitan untuk menerima pendapat orang lain.

c. Tahap Operasional Konkret (Usia 7 – 11 tahun)

Tahap ini merupakan permulaan berpikir rasional. Ini berarti, anak memiliki operasi-operasi logis yang dapat diterapkannya pada masalah-masalah konkret. Bila menghadapi suatu pertentangan antara pikiran dan persepsi, anak dalam periode operasional konkret memilih pengambilan keputusan logis, dan bukan keputusan perseptual seperti anak pra-operasional. Operasi-operasi dalam periode ini terikat pada pengalaman perorangan dan operasi-operasi itu konkret, bukan formal. Anak belum dapat berurusan dengan materi abstrak, seperti hipotesis dan proposisi-proposisi verbal. Selama periode ini, bahasa juga berubah. Anak-anak menjadi kurang egosentris dan lebih sosiosentris dalam berkomunikasi.

d. Tahap Operasional Formal (Usia 11 tahun - dewasa)

Pada periode ini anak dapat menggunakan operasi-operasi konkretnya untuk membentuk operasi-operasi yang lebih kompleks. Kemajuan utama pada anak selama periode ini ialah bahwa ia tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda-benda atau peristiwa-peristiwa konkret, karena ia mempunyai kemampuan untuk berpikir abstrak. Kualitas abstrak dari pemikiran operasioanal formal nyata dalam menyelesaikan masalah verbal.

Berdasarkan tahapan perkembangan kognitif anak menurut Piaget, anak usia Sekolah Dasar masuk dalam tahap operasional konkret. Hal ini ditunjukkan dengan sudah berkembangnya kemampuan berpikir logis yang diterapkan dalam memecahkan persoalan-persoalan konkret yang dihadapi (Suparno, 2001: 70). Tahap operasional konkret ini ditandai dengan adanya inteligensi yang sudah sangat maju, namun cara berpikirnya masih terbatas, sehingga diperlukan model pembelajaran yang sesuai dengan tahap perkembangannya.

2.1.1.3 Teori Sosiokultural Menurut Vygotsky

Lev Semyonovich Vygotsky yang lahir di Rusia pada tahun 1896 mempelajari berbagai bidang studi di sekolah, termasuk psikologi, filsafat, dan

14 sastra. Ia menerima gelar hukum dari Moscow Imperial University tahun 1917 dan mengajar untuk kuliah bidang psikologi dan sastra, menulis kritik sastra, dan mengedit sebuah jurnal. Ia juga bekerja di institusi pelatihan guru di mana ia mendirikan laboratorium psikologi dan menulis sebuah buku psikologi pendidikan (Schunk, 2012: 337). Salah satu kontribusi Vygotsky yang paling penting terhadap pemikiran psikologi adalah fokus perhatiannya pada aktivitas yang bermakna sosial sebagai pengaruh penting terhadap pikiran sadar manusia. Teori Vygotsky menitikberatkan interaksi dari faktor-faktor interpersonal (Schunk, 2012: 339).

Selain itu, Vygotsky sebagai tokoh pencetus teori konstruktivisme mengemukakan bahwa setiap individu berkembang dalam konteks sosial. Semua perkembangan intelektual yang mencakup makna, ingatan, pikiran, persepsi, dan kesadaran bergerak dari wilayah interpersonal ke wilayah intrapersonal. Berkaitan dengan hal ini, Vygotsky berpendapat bahwa individu memiliki dua tingkat perkembangan yang berbeda yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual yaitu tingkat keterampilan yang dicapai oleh anak yang bekerja secara independen. Tingkat perkembangan potensial yaitu tingkat yang dapat dicapai oleh anak dengan bantuan orang lain. Zona yang terletak di antara kedua tingkat tersebut dinamakan zona perkembangan proksimal (Zone of Proximal Development) (Santrock, 2014: 57).

Berikut desain zona perkembangan proksimal menurut Vygotsky.

(Sumber: http://novehasanah.blogspot.co.id/2015/12/zpd-zone-of-proximal- development.html)

15 Zona perkembangan proksimal (Zone of Proximal Development) meliputi kemampuan awal yang belum matang dan sedang dalam proses matang. Kemampuan awal akan menjadi matang melalui interaksi dengan orang dewasa atau kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih berkompenten (Supratiknya, 2002: 31). Anak yang sedang mengoptimalkan perkembangan ini masuk pada zona perkembangan proksimal. Proses belajar terjadi apabila anak mengerjakan tugas yang belum dipelajari sebelumnya namun tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya (Trianto, 2010: 76). Pendukung zona perkembangan proksimal

(Zone of Proximal Development) ini adalah perancah (scaffolding). Pembelajaran terjadi secara optimal jika didukung dengan suatu perancah (scaffolding). Perancah (scaffolding) berarti memberikan kepada individu sejumlah besar bantuan selama bertahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak didik tersebut untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar, segera setelah mampu mengerjakan sendiri (Ratnawati, 2008: 57). Scaffolding ini dapat dilakukan dengan melibatkan aktivitas sosial atau kelompok sehingga mampu memberikan rangsangan sosial bagi anak.

Berdasarkan teori yang telah dikemukakan di atas, siswa khususnya kelas V SD masih membutuhkan suatu perancah (scaffolding) untuk mendukung mereka dalam pembelajaran yang sarat akan makna. Pemilihan model pembelajaran yang tepat perlu dipertimbangkan guna memberikan dorongan belajar pada siswa. Model pembelajaran kooperatif merupakan salah satu solusi yang dapat diterapkan oleh guru untuk memberikan scaffolding terbaik pada siswa, karena dalam penerapan model pembelajaran ini siswa tidak hanya mendapatkan bantuan dari guru tetapi juga dapat belajar dari siswa lainnya. Mengingat bahwa dimensi sosial itu penting dalam pembelajaran.

2.1.1.4 Model Pembelajaran Kooperatif

Model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokan atau tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda atau heterogen (Sanjaya, 2006: 242). Dalam

16 penyelesaian tugas kelompoknya, setiap siswa harus saling bekerja sama, saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam belajar dikatakan belum selesai jika salah satu anggota belum menguasai bahan pelajaran (Isjoni, 2011: 14). Slavin (dalam Suparmi, 2012: 113) menjelaskan bahwa Model Student Team Learning (MSTL) adalah teknik yang dikembangkan dan diteliti oleh John Hopkins University. Model ini menekankan penggunaan tujuan tim dan sukses tim. Oleh karena itu, tugas-tugas yang diberikan pada siswa bukan melakukan sesuatu sebagai sebuah tim tetapi belajar sesuatu sebagai sebuah tim.

Slavin mengemukakan tiga konsep yang menjadi karakter dalam pembelajaran kooperatif, yaitu: (a) penghargaan kelompok, di mana keberhasilan kelompok didasarkan pada penampilan individu dalam menciptakan hubungan antar personal, saling mendukung, membantu dan saling peduli; (b) pertanggungjawaban individu, tergantung pada pembelajaran individu dari semua anggota; dan (c) kesempatan yang sama untuk berhasil, model skoring yang digunakan mencakup nilai perkembangan peningkatan prestasi yang diperoleh siswa terdahulu. Dengan demikian siswa dengan prestasi rendah, sedang dan tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk berhasil (Suparmi, 2012: 113).

Menurut Roger dan Johnson (dalam Rofiq, 2010: 5), tidak semua kerja kelompok bisa dianggap sebagai pembelajaran kooperatif. Untuk memperoleh manfaat yang diharapkan dari implementasi pembelajaran kooperatif, Roger dan Johnson menganjurkan lima unsur penting yang harus dibangun dalam aktivitas instruksional, yaitu:

1. Saling Ketergantungan Positif (Positive Interdependence)

Keberhasilan kelompok sangat tergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa, sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain bisa mencapai tujuan mereka.

2. Interaksi Tatap Muka (Face to Face Interaction)

Setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertemu muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota.

17 3. Tanggung Jawab Individual (Individual Accountability)

Unsur ini merupakan akibat langsung dari unsur yang pertama. Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran kooperatif, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. 4. Keterampilan Sosial (Social Skill)

Keterampilan sosial yang dimaksud di sini adalah keterampilan dalam berkomunikasi dalam kelompok. Sebelum menugaskan siswa ke dalam kelompok, pengajar perlu mengajarkan cara-cara berkomunikasi.

5. Evaluasi Proses Kelompok (Group Debrieving)

Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.

Pembelajaran kooperatif dapat berjalan dengan efektif pada diri siswa bila ditanamkan unsur-unsur dasar belajar kooperatif. Dilaksanakannya pembelajaran kooperatif secara berkesinambungan dapat dijadikan sarana bagi guru untuk melatih dan mengembangkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik siswa, khususnya keterampilan sosial untuk bekal hidup di masyarakat. Keberhasilan siswa pada pembelajaran ini juga berdampak pada keberhasilan guru dalam mengelola kelasnya (Isjoni, 2011: 102). Jadi pada pembelajaran kooperatif ini siswa diajarkan bagaimana bekerja sama dalam kelompok, saling memimpin, saling bertanggung jawab dalam kesetaraan pembelajaran yang senasib dan sepenanggungan, menciptakan hubungan antar personal, saling mendukung, membantu dan saling peduli dalam mencapai tujuan yaitu keberhasilan dalam menguasai materi belajar.

Adapun tipe-tipe model pembelajaran kooperatif antara lain, yaitu

Student Teams-Achievement Division (STAD), Team Game Tournament (TGT), Jigsaw II, Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC), Team Assisted Individualization (TAI), Group Investigation, Learning Together, Complex Instruction, dan Structure Dyadic Methods (Slavin, 2009: 11-26). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan salah satu tipe yaitu Student Teams-Achievement Division (STAD).

18 2.1.1.5 Model Pembelajaran Student Team Achievement Division (STAD)

1. Hakikat Model Pembelajaran STAD

Menurut Slavin (dalam Rusman, 2010: 213) model STAD (Student Team Achievement Division) merupakan variasi pembelajaran kooperatif yang paling banyak diteliti. Model ini juga sangat mudah diadaptasi, telah digunakan dalam matematika, IPA, IPS, bahasa Inggris, teknik dan banyak subjek lainnya, pada tingkah sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Model pembelajaran koooperatif tipe STAD merupakan salah satu pembelajaran kooperatif yang diterapkan untuk menghadapi kemampuan siswa yang heterogen. Model ini dipandang sebagai model yang paling sederhana dan langsung dari pendekatan pembelajaran kooperatif.

Model ini paling awal ditemukan dan dikembangkan oleh para peneliti pendidikan di Johns Hopkins University Amerika Serikat dengan menyediakan suatu bentuk belajar kooperatif. Di dalamnya, siswa diberi kesempatan untuk melakukan kolaborasi dan elaborasi dengan teman sebaya dalam bentuk diskusi kelompok untuk memecahkan suatu permasalahan. Dalam model pembelajaran ini, masing-masing kelompok beranggotakan 4 - 5 orang yang dibentuk dari anggota yang heterogen terdiri dari laki-laki dan perempuan yang berasal dari berbagai suku, yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah (Shoimin, 2014: 185). Jadi, model pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah salah satu model pembelajaran yang berguna untuk menumbuhkan kemampuan kerja sama, kreatif, berpikir kritis dan ada kemampuan untuk membantu teman serta merupakan pembelajaran kooperatif yang sangat sederhana.

2. Langkah - langkah Model Pembelajaran STAD

Rusman (2010: 215) mengemukakan enam langkah model pembelajaran kooperatif tipe Student Team Achievement Division (STAD) yaitu, sebagai berikut: a. Penyampaian Tujuan dan Motivasi

Menyampaikan tujuan yang ingin dicapai pada pembelajaran tersebut dan memotivasi siswa untuk belajar.

19 b. Pembagian Kelompok

Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok, di mana setiap kelompoknya terdiri dari 4 - 5 siswa yang memprioritaskan heterogenitas (keragaman) kelas dalam prestasi akademik, gender/jenis kelamin, rasa atau etnik.

c. Presentasi dari guru

Guru menyampaikan materi pelajaran dengan terlebih dahulu menjelaskan tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pertemuan tersebut serta pentingnya pokok bahasan tersebut dipelajari. Guru memberi motivasi siswa agar dapat belajar dengan aktif dan kreatif. Di dalam proses pembelajaran, guru dibantu oleh media, demonstrasi, pertanyaan atau masalah nyata yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dijelaskan juga tentang keterampilan dan kemampuan yang diharapkan dikuasai siswa, tugas dan pekerjaan yang harus dilakukan serta cara-cara mengerjakannya.

d. Kegiatan Belajar dalam Tim (Kerja Tim)

Siswa belajar dalam kelompok yang telah dibentuk. Guru menyiapkan lembaran kerja sebagai pedoman bagi kerja kelompok, sehingga semua anggota menguasai dan masing-masing memberikan kontribusi. Selama tim bekerja, guru melakukan pengamatan, memberikan bimbingan, dorongan dan bantuan bila diperlukan. Kerja tim ini merupakan ciri terpenting dari STAD.

e. Kuis (Evaluasi)

Guru mengevaluasi hasil belajar melalui pemberian kuis tentang materi yang dipelajari dan juga melakukan penilaian terhadap presentasi hasil kerja masing-masing kelompok. Siswa diberikan kursi secara individual dan tidak dibenarkan bekerja sama. Ini dilakukan untuk menjamin agar siswa secara individu bertanggung jawab kepada diri sendiri dalam memahami bahan ajar tersebut. Guru menetapkan skor batas penguasaan untuk setiap soal, misalnya 60, 75, 84, dan seterusnya sesuai dengan tingkat kesulitan siswa.

f. Penghargaan Prestasi Tim

Setelah pelaksanaan kuis, guru memeriksa hasil kerja siswa dan diberikan angka dengan rentang 0 – 100. Selanjutnya pemberian penghargaan atas keberhasilan kelompok dapat dilakukan oleh guru dengan melakukan tahapan-tahapan, antara

20 lain: (1) menghitung skor individu (2) menghitung skor kelompok (3) pemberian hadiah dan pengakuan skor kelompok.

3. Manfaat Model Pembelajaran STAD

Model Pembelajaran Student Team Achievement Division (STAD) dipandang sebagai sebuah model pembelajaran yang memiliki banyak manfaat. Shoimin (2014: 189) memaparkan manfaat STAD sebagai berikut: (1) siswa bekerja sama dalam mencapai tujuan dengan menjunjung tinggi norma-norma kelompok; (2) siswa aktif membantu dan memotivasi semangat untuk berhasil bersama; (3) aktif berperan sebagai tutor sebaya untuk lebih meningkatkan keberhasilan kelompok; (4) interaksi antar siswa seiring dengan peningkatan kemampuan mereka dalam berpendapat; (5) meningkatkan kemampuan individu; (6) meningkatkan kemampuan kelompok; (7) tidak bersifat kompetitif.

2.1.1.6 Kemampuan Berpikir Kritis

Baru-baru ini, sejumlah psikolog dan pendidik mulai mempelajari keterampilan-keterampilan anak dalam berpikir secara kritis. Memang, dalam psikologi dan pendidikan, pemikiran kritis bukan tergolong ide yang sama sekali baru. John Dewey, seorang pendidik terkenal, misalnya telah mengusulkan ide yang sama ketika ia berbicara tentang pentingnya melatih siswa untuk berpikir secara reflektif. Demikian juga psikolog ternama Max Wertheimer, telah membicarakan arti penting dari berpikir produktif. Belakangan ini sejumlah ahli psikologi dan pendidikan mulai memfokuskan perhatian terhadap pemikiran kritis dan menempatkannya sebagai satu aspek perkembangan kognitif yang penting dalam kajian psikologi perkembangan kontemporer (Desmita, 2009: 152).

Kemampuan berpikir kritis telah didefinisikan secara beragam oleh para ahli. Menurut Santrock (dalam Desmita, 2009: 153), berpikir kritis adalah, “critical thinking involves grasping the deeper meaning of problems, keeping an open mind about different approaches and perspectives, not accepting on faith what other people and books tell you, and thinking reflectively rather than accepting the first idea that comes to mind. Pada bagian lain, Santrock (2008) menjelaskan bahwa berpikir kritis adalah berpikir reflektif dan produktif serta

21 melibatkan evaluasi bukti. Desmita (2009: 153) mendefinisikan kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir secara logis, reflektif, dan produktif yang diaplikasikan dalam menilai situasi untuk membuat pertimbangan dan keputusan yang baik. Facione (1990) mengemukakan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan membuat penilaian untuk tujuan tertentu yang menghasilkan interpretasi, analisis, evaluasi, dan kesimpulan atas dasar bukti, konsep, model, kriteria, atau konteks tertentu yang digunakan untuk menilai.

Berdasarkan pada beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir secara reflektif dan produktif yang bertujuan untuk menghasilkan kesimpulan atau keputusan atas dasar tertentu. Facione (2010: 5) mengemukakan bahwa kemampuan berpikir kritis mencakup dua dimensi, yaitu dimensi kognitif dan disposisi afektif.

Dimensi kognitif terdiri dari enam kemampuan yaitu menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi, menarik kesimpulan, mengeksplanasi dan meregulasi diri. Kemampuan menginterpretasi adalah kemampuan mencoba mengerti dan mengungkapkan arti dari pengalaman, situasi, data kejadian, penilaian, kesepakatan, kepercayaan, aturan, prosedur, atau kriteria. Kemampuan

Dokumen terkait