• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Memuat landasan teori tentang penyesuaian diri, autisme dan penyesuaian diri orangtua yang memiliki anak autis. Bab III: Metode penelitian

Bab ini menguraikan penjelasan mengenai identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, populasi, sampel dan

Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009

teknik pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, validitas dan reliabilitas alat ukur, daya beda aitem, hasil uji coba alat ukur, poroses pelaksanaan penelitian dan metode analisa data.

Bab IV : Analisa data dan interpretasi

Bab ini terdiri dari analisa data dan interpretasi yang berisikan mengenai subjek penelitian dan hasil penelitian.

Bab V : Kesimpulan, diskusi dan saran

Membahas mengenai kesimpulan hasil penelitian, diskusi dan saran yang berkaitan dengan hasil penelitian.

Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PENYESUAIAN DIRI 1. Definisi Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri dalam bahasa aslinya dikenal dengan istilah adjustment atau personal adjustment. Menurut Schneiders (1964) definisi penyesuaian diri dapat ditinjau dari 3 sudut pandang, yaitu penyesuaian diri sebagai bentuk adaptasi (adaptation), penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas (conformity) dan penyesuaian diri sebagai suatu usaha penguasaan (mastery). Pada mulanya penyesuaian diri sama dengan adaptasi (adaptation). Penyesuaian diri sebagai bentuk adaptasi pada umumnya lebih mengarah pada penyesuaian dalam arti fisik, fisiologis atau biologis. Penyesuaian diri sebagai konformitas terhadap norma memaknai penyesuaian diri individu sebagai usaha konformitas yang menyiratkan bahwa individu seakan-akan mendapat tekanan kuat untuk selalu menghindarkan diri dari penyimpangan perilaku, baik secara moral, sosial, maupun emosional. Penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery) yaitu kemampuan untuk merencanakan dan mengorganisasikan respon dalam cara-cara tertentu sehingga konflik-konflik , kesulitan dan frustasi tidak terjadi.

Schneiders (1964) menyimpulkan bahwa definisi penyesuaian diri adalah sebagai suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik-konflik serta untuk menghasilkan kualitas

Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009

keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berada

Hollander (dalam Farisy, 2007) mengatakan bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses mempelajari tindakan atau sikap yang baru untuk menghadapi situasi-situasi baru. Penyesuaian diri terjadi ketika seseorang menghadapi lingkungan yang baru dimana diperlukan adanya respon dari individu.

Menurut Lazarus (dalam Sundari, 2005), penyesuaian diri termasuk reaksi seseorang karena adanya tuntutan yang dibebankan pada dirinya. Menurut Thorndike dan Hogen (dalam Sundari, 2005), penyesuaian diri merupakan kemampuan individu untuk mendapatkan ketentraman secara internal dan hubungannya dengan dunia sekitarnya .

Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa penyesuaian diri adalah kemampuan individu untuk bereaksi terhadap adanya tuntutan yang dibebankan kepadanya, mampu mempelajari tindakan atau sikap yang baru untuk menghadapi situasi baru yang memerlukan adanya respon-respon mental, mampu menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik serta menghasilkan kualitas keselarasan dari dalam diri individu dengan tuntutan lingkungan sehingga individu mendapatkan ketentraman secara internal dalam hubungannya dengan dunia sekitarnya.

Menurut Lazarus (1969), ada dua jenis tuntutan yang membutuhkan penyesuaian diri, yaitu :

Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009

a. Tuntutan eksternal yang terdiri dari :

1). Tuntutan fisik (physical demand) yang berasal dari lingkungan seperti rasa sakit dan bahaya.

2). Tuntutan sosial (social demands) seperti tuntutan orang lain agar individu secara nyata atau tidak, melakukan, memikirkan dan merasakan sesuatu.

b. Tuntutan internal, yang dibagi menjadi :

1). Kebutuhan jaringan tubuh seperti makanan, minuman dan tidur.

2). Motif sosial seperti keinginan untuk ditemani, dihormati dan disayang oleh orang lain.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri

Menurut Schneiders (1964), faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri individu dapat dikatakan sama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi dan mengatur perkembangan kepribadian. Faktor-faktor ini menentukan dalam arti mempengaruhi efek yang menentukan proses penyesuaian diri. Faktor-faktor ini dapat digolongkan sebagai berikut :

a. Keadaan fisik dan faktor keturunan. Konstitusi fisik meliputi sistem parsyarafan, kelenjar, otot-otot serta kesehatan dan penyakit.

Tidak dapat dipisahkan bahwa konstitusi fisik dan faktor keturunan dapat menentukan penyesuaian diri individu. Faktor keturunan merupakan proses yang terjadi secara alami yang mempengaruhi konstitusi fisik itu sendiri yang meliputi temperamen dan sifat.

Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009

Sistem tubuh adalah suatu kondisi yang mempengaruhi penyesuaian diri individu. Meliputi sistem persyarafan, kelenjar dan sistem otot. Sistem persyarafan adalah sistem tubuh yang memiliki kaitan langsung dengan penyesuaian diri. Hal ini dikarenakan sistem persyarafan adalah dasar dari proses mental. Gangguan pada sistem persyarafan dan kelenjar dapat mempengaruhi penyesuaian diri. Dengan kata lain, sistem tubuh yang berfungsi dengan baik adalah suatu kondisi yang dapat menentukan penyesuaian diri individu. Penyesuaian diri lebih mudah dilakukan ketika kondisi tubuh baik daripada ketika dalam keadaan sakit dan kondisi tubuh lemah.

b. Perkembangan dan kematangan khususnya kematangan intelektual, sosial dan emosi dan moral.

Pola-pola penyesuaian diri individu selalu berubah-ubah sesuai dengan tingkat perkembangan dan kematangan yang dicapainya. Aspek-aspek yang berhubungan dengan perkembangan dan kematangan misalnya intelektual, sosial, moral dan emosi.

c. Faktor psikologis, meliputi pengalaman, pembelajaran, latihan dan pendidikan, frustasi dan konflik, dan self determination.

Pengalaman adalah suatu konsep yang luas yang mempengaruhi penyesuaian diri. Ada beberapa pengalaman yang bersifat bermanfaat dan ada juga yang bersifat traumatik. Pengalaman yang bermanfaat dapat memberi pengaruh positif pada penyesuaian diri individu.

Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009

Faktor pembelajaran merupakan dasar yang paling penting pada penyesuaian diri. Jika dibandingkan dengan faktor bawaan, faktor pembelajaran memiliki pengaruh yang lebih jelas terhadap penyesuaian diri. Penyesuaian diri juga dapat diperoleh dari hasil latihan dan pendidikan. Pelatihan lebih kepada mendapatkan kebiasaan atau keterampilan khusus yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri yang efektif. Pendidikan lebih kepada mendapatkan pengetahuan yang lebih luas yang menyediakan nilai-nilai, prinsip, sikap yang berkontribusi terhadap kehidupan yang sehat.

Setiap individu memiliki pola-pola yang berbeda dalam kemampuannya untuk menyesuaikan diri. Individu mampu menentukan sendiri pola-pola penyesuaian dirinya sesuai dengan kemampuan dan kapasitas yang dimilikinya.

d. Keadaan lingkungan seperti rumah dan keluarga, hubungan antara

orangtua dan anak, hubungan dengan masyarakat.

Faktor yang paling penting dalam menentukan penyesuaian diri adalah rumah dan keluarga. Hal ini dikarenakan keluarga adalah kesatuan sosial dimana individu adalah bagian integral didalamnya. Ada beberapa karakteristik kehidupan keluarga yang mempengaruhi penyesuaian diri misalnya, kumpulan keluarga, peran sosial dalam keluarga, karakteristik dan keterpaduan anggota keluarga.

Hubungan orangtua dan anak dapat mempengaruhi penyesuaian anak maupun orangtua. Penerimaan orangtua akan anak dapat

Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009

mempengaruhi penyesuaian diri orangtua itu sendiri. Begitu juga dengan anak. Penerimaan orangtua akan membuat anak merasa diinginkan dan membentuk perasaan yang aman. Penerimaan orangtua dapat membuat anak mampu mengembangkan rasa percaya diri, reaksi emosional yang positif dan kepatuhan.

Penyesuaian diri individu dapat berbeda-beda sesuai dengan keanggotaannya dalam masyarakat. Termasuk didalamnya tetangga dan orang lain disekitar individu itu sendiri.

e. Faktor kebudayaan, adat istiadat dan agama.

Individu dapat mencerminkan ciri pikiran dan perilaku mereka sesuai dengan konteks budaya dan adat istiadat yang mereka miliki. Agama tidak dapat dipisahkan dari bagian budaya karena budaya memiliki hubungan dengan agama dan penyesuaian diri.

Menurut Kristiyani (2001) faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah keluarga, keadaan lingkungan, rasa aman, keadaan fisik, jenis kelamin, pendidikan, tingkat religius dan kebudayaan, keadaan psikologis, kebiasaan dan keterampilan serta komunikasi.

Dari uraian diatas ada beberapa faktor yang menentukan penyesuaian diri individu, antara lain :

1) Keadaan lingkungan. Seperti : rumah, keluarga, hubungan antara orangtua dan anak, hubungan dengan masyarakat.

Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009

2) Keadaan fisik dan faktor keturunan. Seperti : sistem parsyarafan, kelenjar, otot-otot, jenis kelamin, kesehatan dan penyakit.

3) Faktor psikologis. Seperti : pengalaman, pembelajaran, latihan dan pendidikan, frustasi dan konflik, self determination dan rasa aman 4) Perkembangan dan kematangan. Seperti : kematangan intelektual,

sosial, emosi dan moral. intelektual, sosial, emosi, kebiasaan dan keterampilan dan komunikasi.

5) Faktor kebudayaan. Seperti : adat istiadat. 6) Keyakinan religius (keagamaan).

3. Karakteristik Penyesuaian Diri yang Baik

Menurut Schneiders (1964), penyesuaian diri yang baik adalah individu yang dapat memberi respon yang matang, bermanfaat, efisien dan memuaskan. Penyesuaian diri yang normal dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu :

a. Tidak terdapat emosionalitas yang berlebihan (absence of excessive

emotionality)

Penyesuaian diri yang normal dapat ditandai dengan tidak adanya emosi yang relatif berlebihan atau tidak terdapat gangguan emosi yang merusak. Individu yang mampu menanggapi situasi atau masalah yang dihadapinya dengan cara yang normal akan merasa tenang dan memiliki kontrol emosi yang baik. Emosinya akan tetap tenang dan tidak panik sehingga dapat menentukan penyelesaian masalah yang dibebankan kepadanya dengan menggunakan rasio dan emosi yang terkendali.

Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009

b. Tidak terdapat mekanisme psikologis (absence of psychological

mechanisms)

kejujuran dan keterusterangan terhadap adanya masalah atau konflik yang dihadapi individu akan lebih terlihat sebagai reaksi yang normal dari pada suatu reaksi yang diikuti dengan mekanisme-mekanisme pertahanan diri seperti rasionalisasi, proyeksi atau kompensasi.

c. Tidak terdapat perasaan frustrasi pribadi (absence of the sense of personal

frustration)

Adanya perasaan frustasi akan membuat individu sulit atau bahkan tidak mungkin bereaksi secara normal terhadap situasi atau masalah yang dihadapinya. Individu harus mampu menghadapi masalah secara wajar, tidak menjadi cemas dan frustasi.

d. Kemampuan untuk belajar (ability to learn)

Mampu mempelajari pengetahuan yang mendukung apa yang dihadapi sehingga pengetahuan yang diperoleh dapat dipergunakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi.

e. Pemanfaatkan pengalaman (utilization of past experience)

Adanya kemampuan individu untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman marupakan hal yang penting bagi penyesuaian diri yang normal. Dalam menghadapi masalah, individu harus mampu membandingkan pengalaman diri sendiri dengan pengalaman orang lain

Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009

sehingga pengalaman-pengalaman yang diperoleh dapat digunakan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi.

f. Sikap yang realistis dan objektif (realistic and objective attitudes)

Karakteristik ini berhubungan erat dengan orientasi seseorang terhadap realitas yang dihadapinya. Individu mampu mengatasi masalah dengan segera, apa adanya dan tidak ditunda-tunda.

g. Pertimbangan rasional dan pengarahan diri (rational deliberation and self

direction)

Pertimbangan rasional tidak dapat berjalan dengan baik apabila disertai dengan emosi yang berlebihan sehingga individu tidak dapat mengarahkan dirinya. Individu yang tidak mampu untuk mempertimbangkan masalah secara rasional akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian dirinya. Individu mampu menghadapi masalah dengan pertimbangan yang rasional dan mengarah langsung kepada masalah dengan segala akibatnya.

Berdasarkan baik dan buruknya penyesuaian diri, ada dua jenis penyesuaian diri menurut Lazarus (1969), yaitu :

a. Peyesuaian diri buruk (poor adjustment) dimana seseorang menerima kenyataan secara pasif dan tidak melakukan usaha apapun untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

b. Penyesuaian diri yang baik (good adjustment) dimana individu dapat menerima keterbatasan-keterbatasannya yang tidak dapat diubah namun

Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009

individu tetap berusaha memodifikasi keterbatasan-keterbatasan tersebut seoptimal mungkin.

B. AUTISME

1. Definisi Autisme

Menurut Kanner (dalam Wenar, 2004), autisme adalah salah satu

gangguan perkembangan pervasif yang dicirikan oleh tiga ciri utama, yaitu pengasingan yang ekstrim (extreme isolation) dan ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain. Kedua, kebutuhan patologis akan kesamaan. Kebutuhan ini berlaku untuk perilaku anak dan lingkungannya. Dan ketiga yaitu mutism atau cara berbicara yang tidak komunikatif termasuk ecolalia dan kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan situasi. Anak autis juga memiliki ketidakmampuan dalam menerjemahkan kalimat secara harafiah dan pembalikan kata gantinya sendiri, biasanya anak memanggil dirinya sendiri dengan kata ”kamu”.

Menurut DSM IV-TR (APA, 2000), autisme adalah keabnormalan yang jelas dan gangguan perkembangan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan keterbatasan yang jelas dalam aktivitas dan ketertarikan. Manifestasi dari gangguan ini berganti-ganti tergantung pada tingkat perkembangan dan usia kronologis dari individu.

Safaria (2005) mengatakan autisme adalah ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, ecolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas

Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009

bermain yang repetitif dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan Keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa autisme adalah gangguan perkembangan pada anak-anak yang ditandai dengan gangguan interaksi sosial seperti pengasingan diri dan ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain, gangguan komunikasi dan bahasa seperti ecolalia, penggunaan kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan situasi, mutism, pembalikan kalimat atau kata, gangguan ketertarikan dan aktivitas seperti adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotipe serta keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan dan kesamaan di dalam lingkungannya.

2. Gejala Autisme

Menurut Acocella (1996) ada banyak tingkah laku yang tercakup dalam autisme dan ada 4 gejala yang selalu muncul, yaitu :

a. Isolasi sosial

Banyak anak autis yang menarik diri dari segala kontak sosial kedalam suatu keadaan yang disebut extreme autistic aloneness. Hal ini akan semakin terlihat pada anak yang lebih besar, dan ia akan bertingkah laku seakan-akan orang lain tidak pernah ada.

b. Kelemahan kognitif

Sebahagian besar (± 70 %) anak autis mengalami retardasi mental (IQ < 70) tetapi anak autis sedikit lebih baik, contohnya dalam hal yang berkaitan dengan kemampuan sensori motor. Terapi yang dijalankan anak

Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009

autis meningkatkan hubungan sosial mereka tapi tidak menunjukkan pengaruh apapun pada retardasi mental yang dialami. Oleh sebab itu, retardasi mental pada anak autis terutama sekali disebabkan oleh masalah kognitif dan bukan pengaruh penarikan diri dari lingkungan sosial.

c. Kekurangan dalam bahasa

Lebih dari setengah anak autis tidak dapat berbicara, yang lainnya hanya mengoceh, merengek, menjerit atau menunjukkan ecolalia, yaitu menirukan apa yang dikatakan orang lain. Beberapa anak autis mengulang potongan lagu, iklan TV atau potongan kata yang terdengar olehnya tanpa tujuan. Beberapa anak autis menggunakan kata ganti dengan cara yang aneh. Menyebut diri mereka sebagai orang kedua ”kamu” atau orang ketiga ”dia”. Intinya anak autime tidak dapat berkomunikasi dua arah (resiprok) dan tidak dapat terlibat dalam pembicaraan normal.

d. Tingkah laku stereotip

Anak autis sering melakukan gerakan yang berulang-ulang secara terus-menerus tanpa tujuan yang jelas. Seperti berputar-putar, berjingkat-jingkat dan lain sebagainya. Gerakan yang dilakukan berulang-ulang ini disebabkan oleh adanya kerusakan fisik. Misalnya karena adanya gangguan neurologis. Anak autis juga mempunyai kebiasaan menarik-narik rambut dan mengggigit jari. Walaupun sering menangis kesakitan akibat perbuatannya sendiri, dorongan untuk melakukan tingkah laku yang aneh ini sangat kuat dalam diri mereka. Anak autis juga tertarik pada hanya bagian-bagian tertentu dari sebuah objek. Misalnya, pada roda

Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009

mainan mobil-mobilannya. Anak autis juga menyukai keadaan lingkungan dan kebiasaan yang monoton.

3. Penyebab Autisme

Sampai sekarang, autisme masih merupakan grey area di bidang kedokteran yang terus berkembang dan belum diketahui penyebabnya secara pasti (Marijani, 2003). Menurut Supratiknya (1995), autisme disebabkan faktor bawaan tertentu atau pengalaman yang kurang mendukung. Misalnya dibesarkan oleh ibu yang tidak responsif atau pernah mengalami trauma dengan lingkungan sosialnya.

Autisme juga disebabkan oleh abnormalitas kromosom terutama fragile X. Ada pengaruh kondisi fisik pada saat hamil dan melahirkan yang mencakup rubella, sifilis, fenilketonuria, tuberus dan sklerosis. Faktor prenatal mencakup infeksi kongenital seperti Cytomegalovirus dan rubella. Faktor pasca natal yang berperan mencakup infantile spasm, epilepsi mioklonik, fenilketonuria, meningitis dan encefalis (Lumbantobing, 2001).

Menurut Acocella (1996), ada tiga perspektif yang dapat digunakan untuk menjelaskan penyebab autisme, yaitu :

a. Perspektif Psikodinamika

Bettelheim (1967) mengatakan bahwa penyebab dari autisme karena adanya penolakan orangtua terhadap anaknya. Anak menolak orangtuanya dan mampu merasakan perasaan negatif mereka. Anak melihat bahwa tindakannya hanya berdampak kecil pada perilaku orangtua yang tidak

Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009

responsif. Anak kemudian meyakini bahwa ia tidak memiliki dampak apapun di dunia, sehingga anak menciptakan ”benteng kekosongan” autisme untuk melindungi dirinya dari penderitaan dan kekecewaan.

b. Perspektif Biologis

1) Pendekatan biologis

Folstein & Butter (1977) mengadakan penelitian di Great Britain, antara 11 pasang monozygotic (MZ) kembar dan 10 pasang dyzygotik (DZ) kembar, ditemukan satu pasang yang merupakan gen autisme. Pada kelompok MZ, 4 dari 11 diantaranya adalah gen autisme. Sedangkan pada DZ, tidak ada. Walaupun demikian, pada MZ kembar tidak didioagnosa sebagai autisme, hanya akan mengalami gangguan bahasa atau kognisi.

2) Pendekatan kromosom

Kromosom yang dapat menyebabkan autisme yaitu sindrom fragile X dan kromosom XXY, namun kromosom XXY ini tidak menunjukkan hubungan yang sekuat sindrom fragile X.

3) Pendekatan biokimia

Anak-anak autis memiliki kadar serotonin dan dopamine yang sangat tinggi. Obat-obat yang dapat membantu menurunkan kadar dopamine yaitu seperti phenotiazines yang dapat menurunkan gejala-gejala autisme.

Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009

4) Gangguan bawaan dan komplikasi

Ada 2 penyebab autisme yaitu, virus herpes dan rubella. Autisme yang berhubungan dengan komplikasi pada saat melahirkan berhubungan dengan faktor genetik.

5) Pendekatan neurological

a) Penyebab autisme karena adanya kerusakan otak. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya beberapa gejala berikut : b) Karakteristik anak autis seperti gangguan perkembangan

bahasa, retardasi mental, tingkah laku motorik yang aneh, memiliki respon yang rendah atau bahkan sangat tinggi terhadap stimulus sensori, menentang stimulus auditory dan visual) berhubungan dengan fungsi sistem saraf pusat. c) Sistem saraf menunjukkan abnormalitas seperti, gangguan

otot, alat koordinasi, mengeluarkan air liur dan hiperaktif. d) Memiliki electroencephalogram (EEG) yang abnormal.

Penelitian ERP menunjukkan tidak adanya respon memperhatikan objek atau stimulus bahasa.

e) Adanya keabnormalan pada bagian Cerebellum dan sistem lymbik otak yang sangat berpengaruh terhadap kognisi, memori, emosi dan tingkah laku. Sistem lymbicnya lebih kecil dan bergumpal dibeberapa area, bagian dendrit saraf anak autisme lebih pendek dan kurang lengkap.

Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009

c. Perspektif Kognitif

1) Ornitz, dkk (1974) mengatakan bahwa gangguan pada anak autis disebabkan karena adanya masalah dalam mengatur dan menyatakan input terhadap alat perasa. Contohnya, memberi respon yang rendah atau bahkan sangat tinggi terhadap suara. 2) M. Rutter (1971) memfokuskan pada sensori persepsi, yaitu

dimana anak autisme tidak memberi respon terhadap suara. Anak autis juga mengalami gangguan bahasa seperti aphasia yaitu kehilangan kemampuan memakai atau memahami kata-kata yang disebabkan karena kerusakan otak. Tetapi dalam perspektif ini menyatakan bahwa anak autis tidak memberi respon disebabkan adanya masalah perseptual.

3) Loovas, dkk (1979) mengatakan bahwa anak autis sangat

overselektif dalam memperhatikan sesuatu. Anak autis hanya dapat memproses dan merespon satu stimulus dalam satu waktu, hal ini disebabkan karena adanya gangguan perceptual.

4) Anak autis tidak mampu mengolah sesuatu dalam pikiran.

Misalnya, tidak dapat memperkirakan dan memahami tingkah laku yang mendasari suatu objek.

Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009

4. Kriteria Diagnostik Autisme

Menurut DSM IV-TR (APA, 2000) kriteria diagnostik gangguan autisme adalah :

a. Sejumlah enam hal atau lebih dari (1), (2) dan (3), paling sedikit dua dari (1) dan satu masing-masing dari (2) dan (3) :

1) Secara kualitatif terdapat hendaya dalam interaksi sosial sebagai manifestasi paling sedikit dua dari yang berikut :

a) Hendaya didalam perilaku non verbal seperti pandangan mata ke mata, ekspresi wajah, sikap tubuh dan gerak terhadap rutinitas dalam interaksi sosial.

b) Kegagalan dalam membentuk hubungan pertemanan

sesuai tingkat perkembangannya.

c) Kurang kespontanan dalam membagi kesenangan, daya pikat atau pencapaian akan orang lain, seperti kurang memperlihatkan, mengatakan atau menunjukkan objek yang menarik.

d) Kurang sosialisasi atau emosi yang labil.

2) Secara kualitatif terdapat hendaya dalam komunikasi sebagai manifestasi paling sedikit satu dari yang berikut :

a) Keterlambatan atau berkurangnya perkembangan

berbicara (tidak menyertai usaha mengimbangi cara komunikasi alternatif seperti gerak isyarat atau gerak

Dokumen terkait