Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
PENYESUAIAN DIRI ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK AUTIS
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
OLEH
MISBAH USMAR LUBIS 041301099
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
▸ Baca selengkapnya: orang yang hidup berpengharapan memiliki pendirian yang teguh karena
(2)Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
ABSTRAK Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
Februari 2009
Misbah Usmar Lubis : 041301099
Penyesuaian Diri Orangtua yang Memiliki Anak Autis Xi + 94 halaman; 33 Tabel; 19 Grafik; Lampiran Bibliografi 36 (1964-2007)
Melihat anak-anak balita tumbuh dan berkembang merupakan suatu hal yang menarik bagi orangtua. Namun jika dalam masa perkembangannya anak mengalami suatu gangguan, maka muncul berbagai macam reaksi orangtua yang membutuhkan penyesuaian diri. Menurut Schneiders (1964), penyesuaian diri adalah proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku agar berhasil menghadapi kebutuhan – kebutuhan internal, frustasi, konflik dan mencapai keselarasan antara tuntutan dari dalam diri inidividu dengan tuntutan dari luar atau lingkungan tempat individu berada. Salah satu gangguan pada masa kanak-kanak yang menjadi ketakutan orangtua saat ini adalah autisme. Menurut Kanner (dalam Wenar, 2004) autisme yaitu, suatu gangguan yang dicirikan dengan tiga ciri utama, yaitu gangguan interaksi sosial (extreme isolation), gangguan perilaku dan gangguan komunikasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penyesuaian diri orangtua yang memiliki anak autis dengan menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 39 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah cluster random sampling. Alat ukur yang digunakan adalah skala penyesuaian diri yang dibuat oleh peneliti dengan menggunakan teori penyesuaian diri yang dikemukakan oleh Schneiders (1964). Jumlah aitem skala sebanyak 55 aitem dengan reliabilitas sebesar 0,938.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyesuaian diri mayoritas orangtua yang memiliki anak autis berada pada kategori tinggi yaitu sebanyak 20 orang (51,3 %). Kategori sedang sebanyak 19 orang (48,7 %) dan tidak ada yang berada pada kategori rendah.
Untuk mengembangkan penelitian ini lebih jauh, disarankan untuk melakukan metode penelitian kualitatif dengan alasan akan memungkinkan mendapatkan data yang mendalam melalui wawancara.
▸ Baca selengkapnya: jurnal penyesuaian iklan yang telah kadaluarsa
(3)Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
limpahan berkat dan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini,
yang berjudul “ Penyesuaian Diri Orangtua yang Memiliki Anak Autis“. Tidak
lupa shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa
ummatnya kepada peradaban ilmu pengetahuan seperti sekarang ini. Tiada kata
untuk melukiskan perasaan penulis atas terselesaikannya skripsi ini selain rasa
syukur yang sebesar – besarnya kepada Allah SWT.
Skripsi ini penulis persembahkan khususnya kepada kedua orangtua
tercinta, Ayahanda Drs. H. Ali Usman Lubis dan Ibunda H. Mardiana Nasution
yang telah mencurahkan kasih sayangnya yang tulus kepada penulis sejak kecil
hingga sekarang ini, mendidik dan membimbing serta selalu mendoakan dalam
setiap langkah dan aktivitas penulis. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan
kesehatan, keberkahan umur serta kebahagiaan kepada keduanya di dunia maupun
diakhirat. Skripsi ini juga penulis persembahkan kepada abang dan kakak penulis,
Ir. Miswar Usmar Lubis, Ir. Nirwan Usmar, Nila Kesuma Usmar, S. Si., Nancy
Usmar, SP., Nanny Usmar, A.md., dan Hendra Usmar, ST. Terima kasih kepada
abang dan kakak atas dukungan, motivasi serta kasih sayang yang dicurahkan
selama ini kepada penulis. Semoga kita semua menjadi anak yang berbakti kepada
kedua orangtua dan berguna bagi bangsa dan agama. Tidak lupa juga penulis
ucapkan terima kasih kepada abang ipar dan kakak ipar penulis, Ir. Widodo, Ir.
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
keponakan – keponakan yang selalu menghibur penulis, Afa, Mawaddah, Ikhsan,
Fandi, Deni, Tofa, Aisyah, Nazwa, Bintang, Nanda, Anis dan Lukman.
Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu
syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakutas Psikologi Universitas
Sumatera Utara. Selama penyusunan skripsi ini, tidak luput dari bantuan berbagai
pihak. Untuk itu izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp. A (K) selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Elvi Andriani Yusuf, M. Si., selaku dosen pembimbing sripsi. Ucapan
terima kasih yang tiada putus penulis ucapkan kepada Ibu yang
membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini dan dengan sabar
memaklumi segala kelemahan, selalu memberikan senyum manis disetiap
bimbingan yang penulis lalui dan terima kasih atas setiap waktu yang Ibu
luangkan untuk penulis.
3. Ibu Dra. Sri Supriyantini, M. Psi., selaku dosen pembimbing akademik
penulis yang memberikan saran dan masukan kepada penulis selama
perkuliahan.
4. Ibu Etty Rahmawaty, M. Si., yang selalu siap memberikan saran dan kritik
yang membangun selama mengerjakan skripsi ini. Terima kasih Ibu atas
waktu yang diluangkan kepada penulis.
5. Kepada pihak Yayasan Ananda Karsa Mandiri (Yakari), Bapak Fahri
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
dan kepada pimpinan Kidz Smile Therapy Centre, Ibu Rita Milianty yang
telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.
6. Bapak dan Ibu selaku dosen pengajar Psikologi yang telah mendidik dan
memberikan ilmu selama proses perkuliahan yang penulis lalui. Terima
kasih atas semua ilmu dan saran yang penulis dapatkan dari Bapak dan
Ibu.
7. Semua staff administrasi, Pak Iskandar, Pak Aswan, Ibu Titi, Pak Anto
Kak Ari dan Kak Devi. Terima kasih atas bantuan yang telah diberikan
kepada penulis selama perkuliahan.
8. Kepada orangtua yang telah menjadi sampel penelitian penulis. Kalian
semua adalah orangtua yang hebat. Semoga diberikan kesabaran dan
kekuatan menjalani hari – hari dalam memperjuangkan usaha perbaikan
perilaku kepada anak – anak istimewa yang telah dianugerahkan kepada
kalian.
9. Sahabat – sahabat penulis yang manis – manis Anita Zahra, Yunita Zahra,
Cahyanti dan Maeri. Penulis tidak akan melupakan setiap waktu yang kita
lalui sama – sama selama kuliah. Semoga tetap semangat, sukses selalu
dan kita tetap bisa menjaga persahabatan kita. Penulis merasa bersyukur
dan bangga punya sahabat seperti kalian.
10. Spesial buat Alfian Teguh Rianto yang selalu ada buat penulis. Buat
canda tawa dan suka duka yang kita lalui bersama yang membuat hari –
hari penulis lebih berwarna, selalu mendukung penulis dan membuat
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
saling mendukung dan bersama – sama dalam setiap langkah yang kita
lalui. Semoga Allah SWT memberikan yang terbaik buat kita.
11.Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Kak Ade dan Kak Wawa yang
selalu siap mendengar keluh kesah penulis, selalu siap menjadi tempat
curhat penulis dan memberikan saran setiap kali penulis meminta
pendapat.
12.Terima kasih buat sahabat penulis mulai dari SMP hingga sekarang, Nurul
Qosimah semoga persahabatan kita akan selalu terjaga dan insyaallah
Allah SWT akan memberikan seseorang yang terbaik. Terima kasih juga
buat Fida yang sudah seperti adik penulis. Semoga tetap semangat
menjalani perkuliahan.
13.Buat teman – teman seperjuangan seminar dan skripsi. Ari Sinta, Kak
Maya, Cici, Era dan teman – teman lainnya yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu. Semoga tetap semangat. Insyaallah Allah SWT akan
memberikan kemudahan – kemudahan kepada kita semua.
14.Kepada teman – teman angkatan 2004. Semoga tetap semangat dan sukses
dalam menjalani hidup.
15.Terima kasih juga penulis ucapkan atas bantuan yang diberikan baik
secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan
saru persatu hingga terselesaikannya skripsi ini. Semoga Allah SWT
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam
penelitian ini. Oleh karenanya penulis mengharapkan adanya masukan dan saran
yang sifatnya membangun dari semua pihak, guna menyempurnakan penelitian ini
agar menjadi lebih baik lagi. Akhirnya kepada Allah SWT jua penulis berserah
diri. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, Februari 2009
Penulis
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ... i
Daftar Isi ... vi
BAB I Pendahuluan ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Sistematika Penulisan... 11
BAB II Landasan Teori ... 13
A. Penyesuaian Diri... 13
1. Definisi Penyesuaian Diri ... 13
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri ... 15
3. Karakteristik Penyesuaian Diri yang Baik ... 19
B. Autisme ... 22
1. Definisi Autisme ... 22
2. Gejala Autisme ... 23
3. Penyebab Autisme. ... 25
4. Kriteria Diagnostik Autisme ... ……. 28
C. Penyesuaian Diri Orang Tua yang Memiliki Anak Autis ... 30
BAB III Metodologi Penelitian ... 36
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 36
C. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 37
1. Populasi dan Sampel ... 37
2. Jumlah Sampel Penelitian ... 38
3. Teknik Pengambilan Sampel ... 38
D. Alat ukur yang digunakan ... 39
1. Skala Penyesuaian Diri ... 40
2. Skala sebelum uji coba ... 41
E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 42
1. Validitas ... 43
2. Reliabilitas ... 43
F. Daya beda aitem ... 44
G. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 45
H. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 46
1. Tahap Persiapan ... 46
2. Tahap Pelaksanaan ... 48
3. Tahap Pengolahan ... 48
I. Metode Analisis Data ... 48
BAB IV ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI ... 50
A. Gambaran Subjek Penelitian ... 50
1. Gambaran subjek berdasarkan jenis kelamin ... 50
2. Gambaran subjek berdasarkan usia ... 51
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
4. Gambaran subjek berdasarkan pekerjaan ... 53
5. Gambaran subjek berdasarkan penghasilan ... 54
B. Deskripsi Data Penelitian ... 55
C. Hasil Penelitian ... 56
1. Hasil Uji Normalitas ... 56
2. Hasil Utama Penelitian ... 57
3. Hasil Tambahan Penelitian ... 71
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 78
A. Kesimpulan ... 78
B. Diskusi ... 84
C. Saran ... 91
1. Saran Metodologis ... 91
2. Saran Praktis ... 92
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap anak tentunya akan melalui masa tumbuh kembang dalam rentang
waktu kehidupannya. Seorang anak dikatakan tumbuh dapat dilihat dari
perubahan fisik yang dapat diukur secara kuantitas dari masa kemasa dan dari satu
peringkat keperingkat berikutnya dan perkembangan dapat dilihat dari perubahan
secara kualitas dengan membandingkan sifat terdahulu dengan sifat yang sudah
terbentuk (Papalia, 2001).
Proses pertumbuhan dan perkembangan yang dilalui setiap anak tentunya
tidak sama dan memiliki keunikan masing-masing. Permasalahan yang dihadapi
juga berbeda-beda dari satu anak ke anak yang lain. Permasalahan yang muncul
dapat berupa gangguan pada tahap perkembangan fisik, gangguan bahasa,
gangguan emosi maupun gangguan sensori motorik.
Melihat anak-anak balita tumbuh dan berkembang merupakan suatu hal
yang menarik bagi orangtua. Namun jika dalam masa perkembangannya anak
mengalami suatu gangguan, maka orangtua akan menjadi sangat sedih. Salah satu
gangguan pada masa kanak-kanak yang menjadi ketakutan orangtua saat ini
adalah autisme. Autisme bukanlah suatu penyakit melainkan suatu gangguan
perkembangan pada anak yang gejalanya tampak sebelum anak mencapai usia tiga
tahun. Sebagian dari anak autis gejalanya sudah ada sejak lahir namun seringkali
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
Menurut Kanner (dalam Wenar, 2004) autisme yaitu, suatu gangguan yang
dicirikan dengan tiga ciri utama. Pertama, pengasingan yang ekstrim (extreme
isolation) dan ketidakmampuan untuk berhubungan dengan orang lain. Kedua,
kebutuhan patologis akan kesamaan. Sering kali aktivitas anak terlihat sederhana
misalnya duduk di lantai dan berguling-guling maju mundur dalam waktu yang
lama, memutar-mutar tali sepatunya atau berlari-lari di dalam ruangan.
Kadang-kadang perilaku anak autis terlihat seperti suatu ritual. Anak autis juga memiliki
suatu kebutuhan akan kesamaan lingkungan misalnya, anak harus memakan
makanan yang sama dengan piring yang sama. Ketiga, mutism atau cara berbicara
yang tidak komunikatif termasuk ecolalia dan kalimat-kalimat yang tidak sesuai
dengan situasi, misalnya ketika seorang anak autis sedang menyiram toilet, ia
tiba-tiba berkata, ”humburgernya di kulkas”. Anak autis juga memiliki
ketidakmampuan dalam menerjemahkan kalimat secara harafiah dan
membalikkan kata gantinya sendiri, biasanya anak memanggil dirinya sendiri
dengan kata ganti ”kamu”.
Safaria (2005) mengatakan bahwa autisme adalah ketidakmampuan untuk
berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan
penguasaan bahasa yang tertunda, ekolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya
aktivitas bermain yang repetitif dan stereotip, rute ingatan yang kuat, dan
keinginan obsessif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya.
Salah satu kondisi yang sering dijumpai sebagai penyebab munculnya
autisme ini antara lain karena adanya keracunan logam berat ketika anak dalam
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
sklerosis tuberosa, lipidosis serebral, dan anomali kromosom X rapuh. Selain itu
anak penderita autisme memiliki masalah neorologis dengan cerebral cortex,
cerebellum, otak tengah, otak kecil, batang otak, pons, hipotalamus, hipofisis,
medula dan saraf-saraf panca indera seperti saraf penglihatan atau saraf
pendengaran dan gejala umum yang bisa diamati pada anak autis adalah gangguan
pola tidur, gangguan pencernaan, gangguan fungsi kognisi, tidak adanya kontak
mata, komunikasi satu arah, afasia, menstimulasi diri, mengamuk (temper
tantrum), tindakan agresif atau hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh, dan
gangguan motorik stereotipik (Safaria, 2005).
Saat ini kasus autisme pada anak (autisme infantile) semakin banyak
sehingga menimbulkan kekhawatiran dikalangan masyarakat terutama orangtua
(Danuatmaja, 2003). Dalam kurun waktu 10 sampai 20 tahun terakhir ini jumlah
penyandang autisme semakin meningkat di seluruh dunia. Perkiraan jumlah
kelahiran di Indonesia tahun 1997 yaitu 4,6 juta per tahun. Jumlah penyandang
autisme akan bertambah per tahunnya sebanyak 2,15% dari 4,6 juta atau 9600
anak. Perbandingan anak laki-laki dan wanita penyandang autisme adalah empat
banding satu (Sutadi, 1997). Di Indonesia, diperkirakan lebih dari 400.000 anak
mengalami autisme. Tahun 1987 di dunia, prevalensi anak autis diperkirakan 1
berbanding 5.000 kelahiran. Sepuluh tahun kemudian tahun 1997, angka itu
berubah menjadi 1 anak mengalami autisme per 500 kelahiran dan tahun 2000,
naik jadi 1:150 dan pada tahun 2001 perbandingan menjadi 1 berbanding 100
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
Menurut Budhiman, seorang psikiater anak dan ketua Yayasan Autisme
Indonesia (dalam Sihombing, 1999), bila sepuluh tahun yang lalu jumlah
penyandang autisme di Indonesia diperkirakan satu per 5000 anak, sekarang
meningkat menjadi satu per 500 anak. Bukti lain yang menunjukkan peningkatan
jumlah anak penyandang autisme di Indonesia berasal dari salah satu tempat terapi
untuk anak autisme yang dikelola Yayasan Balita Mandiri. Sejak yayasan ini
dibuka dengan lima anak autis, dalam waktu empat bulan jumlahnya meningkat
menjadi 35 anak. Dilihat dari kenyataan di atas, maka diperkirakan penyandang
autisme di Indonesia akan terus meningkat sehingga mengilhami berdirinya
berbagai yayasan yang memusatkan pelayanannya pada masalah autisme ini. Di
samping itu, media cetak juga sudah mulai banyak membahas tentang autisme,
baik di koran mauoun majalah-majalah (Sihombang, 1999).
Banyaknya pemberitaan tentang kelainan dan gangguan yang dialami anak
pada masa pertumbuhan dan perkembangannya sangat menarik perhatian
masyarakat khususnya orangtua. Bagi orangtua, anak adalah karunia.
Kehadirannya disambut dengan sukacita dan penuh harapan. Ketika Tuhan
menitipkan anak dengan kondisi autisme sebagai karunia-Nya, perasaan orangtua
menjadi galau, antara penerimaan dan penolakan dan antara rasa syukur dan
amarah. Bahkan segala bentuk perasaan sedih, bingung, putus asa, pasrah
berganti-ganti dengan rasa kaget, senang dan suka cita (Puspita dalam Marijani,
2003).
Safaria (2005) mengatakan bahwa berbagai reaksi orangtua muncul ketika
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
pasti berbeda-beda reaksi emosinya. Beberapa reaksi emosi yang muncul ketika
orangtua mengetahui bahwa anaknya mengalami autisme seperti, merasa terkejut,
penyangkalan, merasa tidak percaya, sedih, perasaan terlalu melindungi,
kecemasan, perasaan menolak keadaan, perasaan tidak mampu dan malu, perasaan
marah, bahkan ada perasaan bersalah dan berdosa. Sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Kubler-Ross (dalam Sarasvati, 2004) bahwa ada beberapa
reaksi emosional individu ketika menghadapi cobaan dalam hidup yaitu menolak
menerima kenyataan, marah, melakukan tawar-menawar, depresi dan penerimaan.
Berbagai reaksi ini muncul disebabkan karena sewaktu anak masih berusia
kurang lebih 1 sampai 1,5 tahun, anak terlihat lucu dan menyenangkan namun
seiring dengan bertambahnya usia anak, mulai terlihat berbagai macam keanehan
misalnya jika diajak berkomunikasi anak seperti tidak menanggapi, acuh, bahkan
matanya menghindar jika ditatap dan derai tawanya hampir tidak terdengar seperti
anak-anak lainnya (Safaria, 2005).
Kebanyakan orangtua mengalami shock bercampur perasaan sedih,
khawatir, cemas, takut, dan marah ketika mengetahui diagnosis bahwa anaknya
mengalami gangguan autisme. Perasaan tidak percaya bahwa anaknya mengalami
autisme kadang-kadang menyebabkan orangtua mencari dokter lain untuk
menyangkal diagnosis dokter sebelumnya. Setelah mengetahui fakta yang objektif
dari berbagai sumber, kebanyakan orangtua dengan perasaan amat terpukul dan
terpaksa menerima kenyataan bahwa anaknya adalah penyandang autisme. Pada
mulanya orangtua berpikir bahwa anaknya hanya mengalami keterlambatan dalam
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
berbagai macam keanehan dan kejanggalan dalam perilaku anaknya. Misalnya,
anak membentur-benturkan kepalanya ke tembok, menggigit tangannya sampai
berdarah, memutar-mutar kepala atau tangannya dan perilaku aneh lainnya. bagi
orangtua, perilaku agresif dan menyakiti diri sendiri merupakan perilaku yang
paling berat untuk dihadapi. Anak sering berteriak dengan tidak jelas sehingga
membuat orangtua semakin sedih dan tertekan. (Safaria, 2005).
Orangtua yang memiliki anak penyandang autisme segala sesuatunya pasti
tampak berbeda dari orangtua lainnya. Bagi orangtua yang memiliki anak autis,
inilah periode awal kehidupan anaknya yang merupakan masa-masa tersulit dan
paling membebani. Pada periode ini sering kali orangtua berhadapan dengan
begitu banyak permasalahan. Tidak saja berasal dari anaknya tetapi bercampur
dengan masalah-masalah lainnya yang dapat membebani orangtua, termasuk
permasalahan yang muncul dari reaksi masyarakat (Safaria, 2005).
Banyak masyarakat luas yang belum mengetahui tentang autisme. Banyak
orang beranggapan bahwa anak autis adalah anak-anak yang aneh dan ada juga
yang beranggapan bahwa autisme adalah penyakit menular dan sebahagian
masyarakat bahkan tidak menerima dan mengakui keberadaan anak-anak autis ini.
Penolakan terhadap anak-anak autis ini terlihat ketika mereka sulit diterima untuk
belajar di sekolah-sekolah umum sebagaimana anak-anak lainnya. Hal ini dapat
menjadi beban bagi sebahagian orangtua anak autis. Ada perasaan malu dan juga
perasaan untuk menjauh dari kehidupan sosialnya (Marijani, 2003).
Menurut Hopes dan Harris (dalam Berkell, 1992), orangtua dengan anak
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
yang mengalami keterbelakangan mental karena hilangnya respon interpersonal
pada anak-anak autisme tersebut. Selain itu tingkat keparahan dari gejala-gejala
autisme merupakan salah satu hal yang mempengaruhi stress orangtua.
Puspita (dalam Marijani, 2003) mengatakan bahwa penerimaan orangtua
pada anak autis secara ikhlas dan apa adanya sangat membantu proses penanganan
menuju kehidupan yang lebih baik. Adanya penerimaan dari orangtua dapat
membuat orangtua mampu mengendalikan reaksi-reaksi emosinya. Mash & Wolfe
(2005) mengatakan bahwa orangtua harus mencoba memahami dan menerima
kenyataan hasil diagnosa anak dan perilaku anak yang selalu berbeda dengan anak
lainnya agar orangtua mampu bereaksi untuk menyesuaikan diri dengan berbagai
permasalahan yang muncul baik dari anak itu sendiri, dari diri sendiri maupun
permasalahan yang timbul dari lingkungan sekitarnya. Stress, kecemasan dan rasa
tidak bahagia sering mengganggu kehidupan seseorang. Agar stress tersebut dapat
ditangani secara efektif, perlu dilakukan penyesuaian diri.
Calhoun & Acocella (dalam Sobur, 2003) mengatakan bahwa penyesuaian
diri adalah memenuhi tuntutan dari dalam diri individu itu sendiri yaitu jumlah
keseluruhan dari apa yang telah ada pada individu itu sendiri, seperti perilaku
individu, tubuh individu, pemikiran dan perasaan individu. Penyesuaian diri juga
dipengaruhi oleh tuntutan dari orang lain. Pengaruh orang lain juga cukup besar
pada individu sebagaimana individu juga berpengaruh terhadap orang lain. Begitu
juga dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berada sangat
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
Menurut Schneiders (1964) penyesuaian diri adalah suatu proses yang
mencakup respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar
berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi,
konflik-konflik serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan dari dalam
diri individu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berada.
Schneiders (1964) juga mengatakan bahwa penyesuaian diri dapat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan keluarga. Salah satunya yaitu hubungan
orangtua dengan anak. Hubungan orangtua dan anak dapat mempengaruhi
penyesuaian anak maupun orangtua. Penerimaan orangtua akan anak dapat
mempengaruhi penyesuaian diri orangtua itu sendiri. Begitu juga dengan anak.
Penerimaan orangtua akan membuat anak merasa diinginkan dan membentuk
perasaan yang aman. Penerimaan orangtua dapat membuat anak mampu
mengembangkan rasa percaya diri, reaksi emosional yang positif dan kepatuhan.
Kehidupan Orangtua yang memiliki salah satu anak yang mengalami
autisme merupakan suatu cobaan yang menjadi pekerjaan berat sehari-harinya.
Tidak mudah bagi orangtua untuk dapat hidup secara tenang dan damai ketika
mengetahui anaknya mengalami salah satu gangguan perkembangan yang cukup
berat seperti autisme. Berbagai macam reaksi emosi orangtua muncul dan
kebanyakan reaksi yang muncul tersebut adalah reaksi emosi yang negatif.
Gejolak emosi yang negatif ini dapat membawa dampak yang negatif pula, baik
dari segi fisik mapupun psikis sehingga diharapkan orangtua mampu untuk
menyesuaiakan dirinya dengan kondisi anaknya yang mengalami autisme (Safaria,
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
Umumnya orangtua yang memiliki anak autis akan mengalami stress. Hal
ini terjadi baik pada ayah maupun ibu. Ayah dan ibu juga menunjukkan
penampakan yang berbeda dari stress yang mereka alami yang berhubungan
dengan masalah-masalah anak autisnya. Ibu merupakan tokoh yang lebih rentan
terhadap masalah penyesuaian. Hal ini dikarenakan ibu berperan langsung dalam
kelahiran anak. Biasanya ibu cenderung mengalami perasaan bersalah dan depresi
yangg berhubungan dengan ketidakmampuan anaknya dan ibu lebih mudah
terganggu secara emosional. Ibu juga merasa stress karena perilaku yang
ditampilkan oleh anaknya seperti, tantrum, hiperaktif, kesulitan bicara, perilaku
yang tidak lazim, ketidakmampuan bersosialisasi dan berteman. Berbeda dengan
ayah yang sebenarnya juga mengalami stress yang sama tetapi dampak stressnya
tidak seberat yang dialami oleh ibu. Ayah cenderung lebih stress karena stress
yang dialami oleh ibu. Hal ini dikarenakan oleh peran ayah sebagai pencari nafkah
utama dalam keluarga sehingga mereka tidak terlalu terlibat dalam pengasuhan
anak sehari-hari (Cohen & Volkmar, 1997)
Orangtua harus mampu menyesuaikan dirinya agar mampu mengupayakan
usaha yang tidak mengenal menyerah untuk penyembuhan anak autisnya.
Orangtua juga harus mampu mengontrol reaksi emosinya terhadap perilaku anak
terutama perilaku yang dapat membahayakan dirinya, misalnya menyakiti dirinya
sendiri. Disamping itu, orangtua juga sering mengalami pengasingan dari
pergaulan sosial karena terkadang orang lain tidak mengetahui konteks perilaku
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
Dari berbagai macam reaksi orangtua yang muncul ketika mengetahui
bahwa anaknya mengalami autisme dan diikuti dengan
permasalahan-permasalahan yang dialami orangtua yang memiliki anak autis yang telah
diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk melihat bagaimana penyesuaian diri
orangtua yang memiliki anak autis, baik itu penyesuaian dengan dirinya sendiri
maupun dengan lingkungan luarnya
B. Rumusan Masalah
Masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan penelitian
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah penyesuaian diri orangtua yang memiliki anak autis?.
2. Bagaimanakah penyesuaian diri orangtua yang memiliki anak autis dilihat
dari karakteristik – karakteristik penyesuaian diri yang baik?.
C.
Tujuan PenelitianAdapun tujuan dari penelitian adalah untuk melihat gambaran penyesuaian
diri pada orangtua yang memiliki anak autis.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini dapat digunakan untuk memperkaya penelitian-penelitian
dalam ilmu Psikologi khususnya penelitian dalam Psikologi Perkembangan
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
2. Manfaat Praktis
a. Orangtua yang memiliki anak autis dapat mengetahui bagaimana
penyesuaian dirinya sehingga dapat mengupayakan penanganan terhadap
penyembuhan anak autis dengan lebih baik.
b. Memberikan pemahaman kepada para guru atau pendidik anak autis tentang
bagaimana penyesuaian diri orangtua yang memiliki anak autis sehingga
dapat bekerja bersama-sama dengan orangtua dalam membantu
penyembuhan anak autis.
D. Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun berdasarkan suatu sistematika penulisan ilmiah yang
teratur sehingga memudahkan pembaca untuk membaca dan memahaminya.
Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan
Bab ini menguraikan penjelasan mengenai latar belakang penelitian,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II: Landasan teori
Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang
menjadi objek penelitian. Memuat landasan teori tentang penyesuaian
diri, autisme dan penyesuaian diri orangtua yang memiliki anak autis.
Bab III: Metode penelitian
Bab ini menguraikan penjelasan mengenai identifikasi variabel
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
teknik pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, validitas dan
reliabilitas alat ukur, daya beda aitem, hasil uji coba alat ukur, poroses
pelaksanaan penelitian dan metode analisa data.
Bab IV : Analisa data dan interpretasi
Bab ini terdiri dari analisa data dan interpretasi yang berisikan mengenai
subjek penelitian dan hasil penelitian.
Bab V : Kesimpulan, diskusi dan saran
Membahas mengenai kesimpulan hasil penelitian, diskusi dan saran yang
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
BAB II
LANDASAN TEORI
A. PENYESUAIAN DIRI 1. Definisi Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri dalam bahasa aslinya dikenal dengan istilah adjustment
atau personal adjustment. Menurut Schneiders (1964) definisi penyesuaian diri
dapat ditinjau dari 3 sudut pandang, yaitu penyesuaian diri sebagai bentuk
adaptasi (adaptation), penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas (conformity)
dan penyesuaian diri sebagai suatu usaha penguasaan (mastery). Pada mulanya
penyesuaian diri sama dengan adaptasi (adaptation). Penyesuaian diri sebagai
bentuk adaptasi pada umumnya lebih mengarah pada penyesuaian dalam arti fisik,
fisiologis atau biologis. Penyesuaian diri sebagai konformitas terhadap norma
memaknai penyesuaian diri individu sebagai usaha konformitas yang menyiratkan
bahwa individu seakan-akan mendapat tekanan kuat untuk selalu menghindarkan
diri dari penyimpangan perilaku, baik secara moral, sosial, maupun emosional.
Penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery) yaitu kemampuan untuk
merencanakan dan mengorganisasikan respon dalam cara-cara tertentu sehingga
konflik-konflik , kesulitan dan frustasi tidak terjadi.
Schneiders (1964) menyimpulkan bahwa definisi penyesuaian diri adalah
sebagai suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang
diperjuangkan individu agar berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal,
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dunia luar
atau lingkungan tempat individu berada
Hollander (dalam Farisy, 2007) mengatakan bahwa penyesuaian diri
adalah suatu proses mempelajari tindakan atau sikap yang baru untuk menghadapi
situasi-situasi baru. Penyesuaian diri terjadi ketika seseorang menghadapi
lingkungan yang baru dimana diperlukan adanya respon dari individu.
Menurut Lazarus (dalam Sundari, 2005), penyesuaian diri termasuk reaksi
seseorang karena adanya tuntutan yang dibebankan pada dirinya. Menurut
Thorndike dan Hogen (dalam Sundari, 2005), penyesuaian diri merupakan
kemampuan individu untuk mendapatkan ketentraman secara internal dan
hubungannya dengan dunia sekitarnya .
Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa penyesuaian diri adalah
kemampuan individu untuk bereaksi terhadap adanya tuntutan yang dibebankan
kepadanya, mampu mempelajari tindakan atau sikap yang baru untuk menghadapi
situasi baru yang memerlukan adanya respon-respon mental, mampu menghadapi
kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik serta menghasilkan
kualitas keselarasan dari dalam diri individu dengan tuntutan lingkungan sehingga
individu mendapatkan ketentraman secara internal dalam hubungannya dengan
dunia sekitarnya.
Menurut Lazarus (1969), ada dua jenis tuntutan yang membutuhkan
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
a. Tuntutan eksternal yang terdiri dari :
1). Tuntutan fisik (physical demand) yang berasal dari lingkungan seperti
rasa sakit dan bahaya.
2). Tuntutan sosial (social demands) seperti tuntutan orang lain agar
individu secara nyata atau tidak, melakukan, memikirkan dan
merasakan sesuatu.
b. Tuntutan internal, yang dibagi menjadi :
1). Kebutuhan jaringan tubuh seperti makanan, minuman dan tidur.
2). Motif sosial seperti keinginan untuk ditemani, dihormati dan disayang
oleh orang lain.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri
Menurut Schneiders (1964), faktor-faktor yang mempengaruhi
penyesuaian diri individu dapat dikatakan sama dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi dan mengatur perkembangan kepribadian. Faktor-faktor ini
menentukan dalam arti mempengaruhi efek yang menentukan proses penyesuaian
diri. Faktor-faktor ini dapat digolongkan sebagai berikut :
a. Keadaan fisik dan faktor keturunan. Konstitusi fisik meliputi sistem
parsyarafan, kelenjar, otot-otot serta kesehatan dan penyakit.
Tidak dapat dipisahkan bahwa konstitusi fisik dan faktor keturunan
dapat menentukan penyesuaian diri individu. Faktor keturunan merupakan
proses yang terjadi secara alami yang mempengaruhi konstitusi fisik itu
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
Sistem tubuh adalah suatu kondisi yang mempengaruhi
penyesuaian diri individu. Meliputi sistem persyarafan, kelenjar dan sistem
otot. Sistem persyarafan adalah sistem tubuh yang memiliki kaitan
langsung dengan penyesuaian diri. Hal ini dikarenakan sistem persyarafan
adalah dasar dari proses mental. Gangguan pada sistem persyarafan dan
kelenjar dapat mempengaruhi penyesuaian diri. Dengan kata lain, sistem
tubuh yang berfungsi dengan baik adalah suatu kondisi yang dapat
menentukan penyesuaian diri individu. Penyesuaian diri lebih mudah
dilakukan ketika kondisi tubuh baik daripada ketika dalam keadaan sakit
dan kondisi tubuh lemah.
b. Perkembangan dan kematangan khususnya kematangan intelektual, sosial
dan emosi dan moral.
Pola-pola penyesuaian diri individu selalu berubah-ubah sesuai
dengan tingkat perkembangan dan kematangan yang dicapainya.
Aspek-aspek yang berhubungan dengan perkembangan dan kematangan misalnya
intelektual, sosial, moral dan emosi.
c. Faktor psikologis, meliputi pengalaman, pembelajaran, latihan dan
pendidikan, frustasi dan konflik, dan self determination.
Pengalaman adalah suatu konsep yang luas yang mempengaruhi
penyesuaian diri. Ada beberapa pengalaman yang bersifat bermanfaat dan
ada juga yang bersifat traumatik. Pengalaman yang bermanfaat dapat
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
Faktor pembelajaran merupakan dasar yang paling penting pada
penyesuaian diri. Jika dibandingkan dengan faktor bawaan, faktor
pembelajaran memiliki pengaruh yang lebih jelas terhadap penyesuaian
diri. Penyesuaian diri juga dapat diperoleh dari hasil latihan dan
pendidikan. Pelatihan lebih kepada mendapatkan kebiasaan atau
keterampilan khusus yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri yang efektif.
Pendidikan lebih kepada mendapatkan pengetahuan yang lebih luas yang
menyediakan nilai-nilai, prinsip, sikap yang berkontribusi terhadap
kehidupan yang sehat.
Setiap individu memiliki pola-pola yang berbeda dalam
kemampuannya untuk menyesuaikan diri. Individu mampu menentukan
sendiri pola-pola penyesuaian dirinya sesuai dengan kemampuan dan
kapasitas yang dimilikinya.
d. Keadaan lingkungan seperti rumah dan keluarga, hubungan antara
orangtua dan anak, hubungan dengan masyarakat.
Faktor yang paling penting dalam menentukan penyesuaian diri
adalah rumah dan keluarga. Hal ini dikarenakan keluarga adalah kesatuan
sosial dimana individu adalah bagian integral didalamnya. Ada beberapa
karakteristik kehidupan keluarga yang mempengaruhi penyesuaian diri
misalnya, kumpulan keluarga, peran sosial dalam keluarga, karakteristik
dan keterpaduan anggota keluarga.
Hubungan orangtua dan anak dapat mempengaruhi penyesuaian
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
mempengaruhi penyesuaian diri orangtua itu sendiri. Begitu juga dengan
anak. Penerimaan orangtua akan membuat anak merasa diinginkan dan
membentuk perasaan yang aman. Penerimaan orangtua dapat membuat
anak mampu mengembangkan rasa percaya diri, reaksi emosional yang
positif dan kepatuhan.
Penyesuaian diri individu dapat berbeda-beda sesuai dengan
keanggotaannya dalam masyarakat. Termasuk didalamnya tetangga dan
orang lain disekitar individu itu sendiri.
e. Faktor kebudayaan, adat istiadat dan agama.
Individu dapat mencerminkan ciri pikiran dan perilaku mereka
sesuai dengan konteks budaya dan adat istiadat yang mereka miliki.
Agama tidak dapat dipisahkan dari bagian budaya karena budaya memiliki
hubungan dengan agama dan penyesuaian diri.
Menurut Kristiyani (2001) faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian
diri adalah keluarga, keadaan lingkungan, rasa aman, keadaan fisik, jenis kelamin,
pendidikan, tingkat religius dan kebudayaan, keadaan psikologis, kebiasaan dan
keterampilan serta komunikasi.
Dari uraian diatas ada beberapa faktor yang menentukan penyesuaian diri
individu, antara lain :
1) Keadaan lingkungan. Seperti : rumah, keluarga, hubungan antara
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
2) Keadaan fisik dan faktor keturunan. Seperti : sistem parsyarafan,
kelenjar, otot-otot, jenis kelamin, kesehatan dan penyakit.
3) Faktor psikologis. Seperti : pengalaman, pembelajaran, latihan dan
pendidikan, frustasi dan konflik, self determination dan rasa aman
4) Perkembangan dan kematangan. Seperti : kematangan intelektual,
sosial, emosi dan moral. intelektual, sosial, emosi, kebiasaan dan
keterampilan dan komunikasi.
5) Faktor kebudayaan. Seperti : adat istiadat.
6) Keyakinan religius (keagamaan).
3. Karakteristik Penyesuaian Diri yang Baik
Menurut Schneiders (1964), penyesuaian diri yang baik adalah individu
yang dapat memberi respon yang matang, bermanfaat, efisien dan memuaskan.
Penyesuaian diri yang normal dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu :
a. Tidak terdapat emosionalitas yang berlebihan (absence of excessive
emotionality)
Penyesuaian diri yang normal dapat ditandai dengan tidak adanya emosi
yang relatif berlebihan atau tidak terdapat gangguan emosi yang merusak.
Individu yang mampu menanggapi situasi atau masalah yang dihadapinya
dengan cara yang normal akan merasa tenang dan memiliki kontrol emosi
yang baik. Emosinya akan tetap tenang dan tidak panik sehingga dapat
menentukan penyelesaian masalah yang dibebankan kepadanya dengan
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
b. Tidak terdapat mekanisme psikologis (absence of psychological
mechanisms)
kejujuran dan keterusterangan terhadap adanya masalah atau konflik yang
dihadapi individu akan lebih terlihat sebagai reaksi yang normal dari pada
suatu reaksi yang diikuti dengan mekanisme-mekanisme pertahanan diri
seperti rasionalisasi, proyeksi atau kompensasi.
c. Tidak terdapat perasaan frustrasi pribadi (absence of the sense of personal
frustration)
Adanya perasaan frustasi akan membuat individu sulit atau bahkan tidak
mungkin bereaksi secara normal terhadap situasi atau masalah yang
dihadapinya. Individu harus mampu menghadapi masalah secara wajar,
tidak menjadi cemas dan frustasi.
d. Kemampuan untuk belajar (ability to learn)
Mampu mempelajari pengetahuan yang mendukung apa yang dihadapi
sehingga pengetahuan yang diperoleh dapat dipergunakan untuk mengatasi
permasalahan yang dihadapi.
e. Pemanfaatkan pengalaman (utilization of past experience)
Adanya kemampuan individu untuk belajar dan memanfaatkan
pengalaman marupakan hal yang penting bagi penyesuaian diri yang
normal. Dalam menghadapi masalah, individu harus mampu
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
sehingga pengalaman-pengalaman yang diperoleh dapat digunakan dalam
mengatasi permasalahan yang dihadapi.
f. Sikap yang realistis dan objektif (realistic and objective attitudes)
Karakteristik ini berhubungan erat dengan orientasi seseorang terhadap
realitas yang dihadapinya. Individu mampu mengatasi masalah dengan
segera, apa adanya dan tidak ditunda-tunda.
g. Pertimbangan rasional dan pengarahan diri (rational deliberation and self
direction)
Pertimbangan rasional tidak dapat berjalan dengan baik apabila disertai
dengan emosi yang berlebihan sehingga individu tidak dapat mengarahkan
dirinya. Individu yang tidak mampu untuk mempertimbangkan masalah
secara rasional akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian dirinya.
Individu mampu menghadapi masalah dengan pertimbangan yang rasional
dan mengarah langsung kepada masalah dengan segala akibatnya.
Berdasarkan baik dan buruknya penyesuaian diri, ada dua jenis
penyesuaian diri menurut Lazarus (1969), yaitu :
a. Peyesuaian diri buruk (poor adjustment) dimana seseorang menerima
kenyataan secara pasif dan tidak melakukan usaha apapun untuk
mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
b. Penyesuaian diri yang baik (good adjustment) dimana individu dapat
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
individu tetap berusaha memodifikasi keterbatasan-keterbatasan tersebut
seoptimal mungkin.
B. AUTISME
1. Definisi Autisme
Menurut Kanner (dalam Wenar, 2004), autisme adalah salah satu
gangguan perkembangan pervasif yang dicirikan oleh tiga ciri utama, yaitu
pengasingan yang ekstrim (extreme isolation) dan ketidakmampuan berhubungan
dengan orang lain. Kedua, kebutuhan patologis akan kesamaan. Kebutuhan ini
berlaku untuk perilaku anak dan lingkungannya. Dan ketiga yaitu mutism atau
cara berbicara yang tidak komunikatif termasuk ecolalia dan kalimat-kalimat yang
tidak sesuai dengan situasi. Anak autis juga memiliki ketidakmampuan dalam
menerjemahkan kalimat secara harafiah dan pembalikan kata gantinya sendiri,
biasanya anak memanggil dirinya sendiri dengan kata ”kamu”.
Menurut DSM IV-TR (APA, 2000), autisme adalah keabnormalan yang
jelas dan gangguan perkembangan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan
keterbatasan yang jelas dalam aktivitas dan ketertarikan. Manifestasi dari
gangguan ini berganti-ganti tergantung pada tingkat perkembangan dan usia
kronologis dari individu.
Safaria (2005) mengatakan autisme adalah ketidakmampuan untuk
berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
bermain yang repetitif dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan Keinginan
obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa autisme adalah
gangguan perkembangan pada anak-anak yang ditandai dengan gangguan
interaksi sosial seperti pengasingan diri dan ketidakmampuan berhubungan
dengan orang lain, gangguan komunikasi dan bahasa seperti ecolalia, penggunaan
kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan situasi, mutism, pembalikan kalimat
atau kata, gangguan ketertarikan dan aktivitas seperti adanya aktivitas bermain
yang repetitif dan stereotipe serta keinginan obsesif untuk mempertahankan
keteraturan dan kesamaan di dalam lingkungannya.
2. Gejala Autisme
Menurut Acocella (1996) ada banyak tingkah laku yang tercakup dalam
autisme dan ada 4 gejala yang selalu muncul, yaitu :
a. Isolasi sosial
Banyak anak autis yang menarik diri dari segala kontak sosial kedalam
suatu keadaan yang disebut extreme autistic aloneness. Hal ini akan
semakin terlihat pada anak yang lebih besar, dan ia akan bertingkah laku
seakan-akan orang lain tidak pernah ada.
b. Kelemahan kognitif
Sebahagian besar (± 70 %) anak autis mengalami retardasi mental (IQ <
70) tetapi anak autis sedikit lebih baik, contohnya dalam hal yang
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
autis meningkatkan hubungan sosial mereka tapi tidak menunjukkan
pengaruh apapun pada retardasi mental yang dialami. Oleh sebab itu,
retardasi mental pada anak autis terutama sekali disebabkan oleh masalah
kognitif dan bukan pengaruh penarikan diri dari lingkungan sosial.
c. Kekurangan dalam bahasa
Lebih dari setengah anak autis tidak dapat berbicara, yang lainnya hanya
mengoceh, merengek, menjerit atau menunjukkan ecolalia, yaitu
menirukan apa yang dikatakan orang lain. Beberapa anak autis mengulang
potongan lagu, iklan TV atau potongan kata yang terdengar olehnya tanpa
tujuan. Beberapa anak autis menggunakan kata ganti dengan cara yang
aneh. Menyebut diri mereka sebagai orang kedua ”kamu” atau orang
ketiga ”dia”. Intinya anak autime tidak dapat berkomunikasi dua arah
(resiprok) dan tidak dapat terlibat dalam pembicaraan normal.
d. Tingkah laku stereotip
Anak autis sering melakukan gerakan yang berulang-ulang secara
terus-menerus tanpa tujuan yang jelas. Seperti berputar-putar, berjingkat-jingkat
dan lain sebagainya. Gerakan yang dilakukan berulang-ulang ini
disebabkan oleh adanya kerusakan fisik. Misalnya karena adanya
gangguan neurologis. Anak autis juga mempunyai kebiasaan
menarik-narik rambut dan mengggigit jari. Walaupun sering menangis kesakitan
akibat perbuatannya sendiri, dorongan untuk melakukan tingkah laku yang
aneh ini sangat kuat dalam diri mereka. Anak autis juga tertarik pada
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
mainan mobil-mobilannya. Anak autis juga menyukai keadaan lingkungan
dan kebiasaan yang monoton.
3. Penyebab Autisme
Sampai sekarang, autisme masih merupakan grey area di bidang
kedokteran yang terus berkembang dan belum diketahui penyebabnya secara pasti
(Marijani, 2003). Menurut Supratiknya (1995), autisme disebabkan faktor bawaan
tertentu atau pengalaman yang kurang mendukung. Misalnya dibesarkan oleh ibu
yang tidak responsif atau pernah mengalami trauma dengan lingkungan sosialnya.
Autisme juga disebabkan oleh abnormalitas kromosom terutama fragile X.
Ada pengaruh kondisi fisik pada saat hamil dan melahirkan yang mencakup
rubella, sifilis, fenilketonuria, tuberus dan sklerosis. Faktor prenatal mencakup
infeksi kongenital seperti Cytomegalovirus dan rubella. Faktor pasca natal yang
berperan mencakup infantile spasm, epilepsi mioklonik, fenilketonuria,
meningitis dan encefalis (Lumbantobing, 2001).
Menurut Acocella (1996), ada tiga perspektif yang dapat digunakan
untuk menjelaskan penyebab autisme, yaitu :
a. Perspektif Psikodinamika
Bettelheim (1967) mengatakan bahwa penyebab dari autisme karena
adanya penolakan orangtua terhadap anaknya. Anak menolak orangtuanya
dan mampu merasakan perasaan negatif mereka. Anak melihat bahwa
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
responsif. Anak kemudian meyakini bahwa ia tidak memiliki dampak
apapun di dunia, sehingga anak menciptakan ”benteng kekosongan”
autisme untuk melindungi dirinya dari penderitaan dan kekecewaan.
b. Perspektif Biologis
1) Pendekatan biologis
Folstein & Butter (1977) mengadakan penelitian di Great Britain,
antara 11 pasang monozygotic (MZ) kembar dan 10 pasang
dyzygotik (DZ) kembar, ditemukan satu pasang yang merupakan
gen autisme. Pada kelompok MZ, 4 dari 11 diantaranya adalah gen
autisme. Sedangkan pada DZ, tidak ada. Walaupun demikian, pada
MZ kembar tidak didioagnosa sebagai autisme, hanya akan
mengalami gangguan bahasa atau kognisi.
2) Pendekatan kromosom
Kromosom yang dapat menyebabkan autisme yaitu sindrom fragile
X dan kromosom XXY, namun kromosom XXY ini tidak
menunjukkan hubungan yang sekuat sindrom fragile X.
3) Pendekatan biokimia
Anak-anak autis memiliki kadar serotonin dan dopamine yang
sangat tinggi. Obat-obat yang dapat membantu menurunkan kadar
dopamine yaitu seperti phenotiazines yang dapat menurunkan
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
4) Gangguan bawaan dan komplikasi
Ada 2 penyebab autisme yaitu, virus herpes dan rubella. Autisme
yang berhubungan dengan komplikasi pada saat melahirkan
berhubungan dengan faktor genetik.
5) Pendekatan neurological
a) Penyebab autisme karena adanya kerusakan otak. Hal ini
dapat dibuktikan dengan adanya beberapa gejala berikut :
b) Karakteristik anak autis seperti gangguan perkembangan
bahasa, retardasi mental, tingkah laku motorik yang aneh,
memiliki respon yang rendah atau bahkan sangat tinggi
terhadap stimulus sensori, menentang stimulus auditory dan
visual) berhubungan dengan fungsi sistem saraf pusat.
c) Sistem saraf menunjukkan abnormalitas seperti, gangguan
otot, alat koordinasi, mengeluarkan air liur dan hiperaktif.
d) Memiliki electroencephalogram (EEG) yang abnormal.
Penelitian ERP menunjukkan tidak adanya respon
memperhatikan objek atau stimulus bahasa.
e) Adanya keabnormalan pada bagian Cerebellum dan sistem
lymbik otak yang sangat berpengaruh terhadap kognisi,
memori, emosi dan tingkah laku. Sistem lymbicnya lebih
kecil dan bergumpal dibeberapa area, bagian dendrit saraf
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
c. Perspektif Kognitif
1) Ornitz, dkk (1974) mengatakan bahwa gangguan pada anak autis
disebabkan karena adanya masalah dalam mengatur dan
menyatakan input terhadap alat perasa. Contohnya, memberi
respon yang rendah atau bahkan sangat tinggi terhadap suara.
2) M. Rutter (1971) memfokuskan pada sensori persepsi, yaitu
dimana anak autisme tidak memberi respon terhadap suara. Anak
autis juga mengalami gangguan bahasa seperti aphasia yaitu
kehilangan kemampuan memakai atau memahami kata-kata yang
disebabkan karena kerusakan otak. Tetapi dalam perspektif ini
menyatakan bahwa anak autis tidak memberi respon disebabkan
adanya masalah perseptual.
3) Loovas, dkk (1979) mengatakan bahwa anak autis sangat
overselektif dalam memperhatikan sesuatu. Anak autis hanya
dapat memproses dan merespon satu stimulus dalam satu waktu,
hal ini disebabkan karena adanya gangguan perceptual.
4) Anak autis tidak mampu mengolah sesuatu dalam pikiran.
Misalnya, tidak dapat memperkirakan dan memahami tingkah
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
4. Kriteria Diagnostik Autisme
Menurut DSM IV-TR (APA, 2000) kriteria diagnostik gangguan autisme
adalah :
a. Sejumlah enam hal atau lebih dari (1), (2) dan (3), paling sedikit dua dari
(1) dan satu masing-masing dari (2) dan (3) :
1) Secara kualitatif terdapat hendaya dalam interaksi sosial sebagai
manifestasi paling sedikit dua dari yang berikut :
a) Hendaya didalam perilaku non verbal seperti pandangan
mata ke mata, ekspresi wajah, sikap tubuh dan gerak
terhadap rutinitas dalam interaksi sosial.
b) Kegagalan dalam membentuk hubungan pertemanan
sesuai tingkat perkembangannya.
c) Kurang kespontanan dalam membagi kesenangan, daya
pikat atau pencapaian akan orang lain, seperti kurang
memperlihatkan, mengatakan atau menunjukkan objek
yang menarik.
d) Kurang sosialisasi atau emosi yang labil.
2) Secara kualitatif terdapat hendaya dalam komunikasi sebagai
manifestasi paling sedikit satu dari yang berikut :
a) Keterlambatan atau berkurangnya perkembangan
berbicara (tidak menyertai usaha mengimbangi cara
komunikasi alternatif seperti gerak isyarat atau gerak
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
b) Individu bicara secara adekuat, hendaya dalam menilai
atau meneruskan pembicaraan orang lain.
c) Mempergunakan kata berulang kali dan stereotif atau
kata-kata aneh.
d) Kurang memvariasikan gerakan spontan yang seolah-olah
atau pura-pura bermain sesuai tingkat perkembangan.
3) Tingkah laku berulang dan terbatas, tertarik dan aktif sebagai
manifestasi paling sedikit satu dari yang berikut :
a) Keasyikan yang meliputi satu atau lebih stereotif atau
kelainan dalam intensitas maupun focus ketertarikan akan
sesuatu yang terbatas.
b) Ketaatan terhadap hal-hal tertentu tampak kaku, rutinitas
atau ritual pun tidak fungsional.
c) Gerakan stereotif dan berulang misalnya, memukul,
memutar arah jari dan tangannya serta meruwetkan
gerakan seluruh tubuhnya.
d) Keasyikan terhadap bagian-bagian objek yang stereotif.
b. Keterlambatan atau kelainan fungsi paling sedikit satu dari yang berikut
ini, dengan serangan sebelum sampai usia 3 tahun :
1) Interaksi sosial
2) Bahasa yang dipergunakan dalam komunikasi sosial
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
c. Gangguan ini tidak disebabkan oleh gangguan Rett atau gangguan
disintegrasi masa kanak.
C. Penyesuaian Diri Orangtua yang Memiliki Anak autis
Menjadi orangtua adalah suatu periode kehidupan yang akan dilalui setiap
individu. Individu yang sudah menjadi orangtua akan mengalami suatu perubahan
dalam kehidupannya sehingga ia perlu menyesuaikan diri. Orangtua yang
memiliki anak normal saja akan mengalami masalah penyesuaian diri dengan
kehadiran anak dalam keluarga begitu juga orangtua yang mempunyai anak yang
mengalami gangguan perkembangan seperti autisme.
Anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan pervasif
yang ditandai dengan tiga ciri utama, yaitu pengasingan yang ekstrim (extreme
isolation) dan ketidakmampuan untuk berhubungan dengan orang lain, kebutuhan
patologis akan kesamaan dan mutism atau cara berbicara yang tidak komunikatif
termasuk ecolalia dan kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan situasi (Kanner
dalam Wenar, 1994).
Berbagai reaksi orangtua muncul ketika mengetahui bahwa anaknya
mengalami autisme. Ada perasaan menolak, malu, tidak percaya, sedih, cemas,
merasa bersalah dan berdosa, marah, terkejut, depresi hingga pada penerimaan.
Sesuai dengan apa yang dikatakan Kubbler – Ross (dalam Sarasvati, 2004) bahwa
ada beberapa reaksi yang dapat muncul ketika individu menghadapi cobaan dalam
hidup, yaitu menolak kenyataan, marah, melakukan tawar-menawar, depresi dan
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
anak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya yaitu memiliki anak yang
berkembang dengan normal seperti anak-anak lainnya dan adanya berbagai
tuntutan dari lingkungan sekitarnya sehingga menuntut orangtua untuk mampu
menyesuaikan diri dengan berbagai permasalahan yang muncul.
Umumnya orangtua yang memiliki anak autis akan mengalami stress. Hal
ini terjadi baik pada ayah maupun ibu. Ayah dan ibu juga menunjukkan
penampakan yang berbeda dari stress yang mereka alami yang berhubungan
dengan masalah-masalah anak autisnya. Ibu merupakan tokoh yang lebih rentan
terhadap masalah penyesuaian. Hal ini dikarenakan ibu berperan langsung dalam
kelahiran anak. Biasanya ibu cenderung mengalami perasaan bersalah dan depresi
yang berhubungan dengan ketidakmampuan anaknya dan ibu lebih mudah
terganggu secara emosional. Ibu juga merasa stress karena perilaku yang
ditampilkan oleh anaknya seperti, tantrum, hiperaktif, kesulitan bicara, perilaku
yang tidak lazim, ketidakmampuan bersosialisasi dan berteman. Berbeda dengan
ayah yang sebenarnya juga mengalami stress yang sama tetapi dampak stressnya
tidak seberat yang dialami oleh ibu. Ayah cenderung lebih stress karena stress
yang dialami oleh ibu. Hal ini dikarenakan oleh peran ayah sebagai pencari nafkah
utama dalam keluarga sehingga mereka tidak terlalu terlibat dalam pengasuhan
anak sehari-hari (Cohen & Volkmar, 1997)
Dillihat dari jenis tuntutan untuk menyesuaikan diri menurut Lazarus
(1969), penyesuaian diri orangtua yang memiliki anak autis adalah termasuk :
1. Tuntutan eksternal yang berasal dari tuntutan sosial (social demands). Hal
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak tersebut secara khusus.
Disamping itu orangtua juga perlu menangani masalah perilaku anak,
kesehatan dan pendidikan anak yang sangat berbeda dari anak-anak
normal.
2. Tuntutan internal yang berasal dari motif sosial. Hal ini disebabkan
adanya keinginan orangtua untuk disayangi, dihormati, dicintai dan
ditemani orang lain. Baik itu keinginan untuk disayang oleh anaknya
walaupun anaknya mengalami kesulitan untuk mengekspresikan
perasaannya. Begitu juga dengan keinginan orangtua untuk ditemani dan
dihormati oleh orang-orang sekitarnya karena adanya suatu keadaan
khusus pada diri orangtua yaitu dengan kehadiran anak autis dalam
keluarganya.
Mash & Wolfe (2005) mengatakan bahwa orangtua harus mencoba
memahami dan menerima kenyataan hasil diagnosa anak dan perilaku anak yang
selalu berbeda dengan anak lainnya sehingga orangtua mampu bereaksi untuk
menyesuaikan diri dengan berbagai permasalahan yang muncul baik dari anak itu
sendiri, dari diri sendiri maupun permasalahan yang timbul dari lingkungan
sekitarnya. Penerimaan orangtua dengan anak autis dapat mempengaruhi
penyesuaian orangtua itu sendiri dan penyesuaian diri orangtua juga sangat
mempengaruhi penyesuaian diri anak.
Penyesuaian diri adalah proses yang mencakup respon-respon mental dan
perilaku yang diperjuangkan individu agar berhasil menghadapi
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
kualitas keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dunia
luar atau lingkungan tempat individu berada (Schneider, 1964).
Orangtua yang memiliki anak autis diharapkan mampu menyesuaikan diri
dengan baik sehingga orangtua harus memiliki beberapa karakteristik penyesuaian
diri yang baik, yaitu :
1. Tidak terdapat emosionalitas yang berlebihan (absence of excessive
emotionality) sehingga mampu mengontrol emosi yang berlebihan dan
dalam menghadapi permasalahan emosinya akan tetap tenang dan tidak
panik.
2. Tidak terdapat mekanisme psikologis (absence of psychological
mechanisms) sehingga dalam menyelesaikan masalah individu
menggunakan pemikiran yang rasional dan mengarah langsung pada
permasalahan.
3. Tidak terdapat perasaan frustrasi pribadi (absence of the sense of personal
frustration) sehingga individu mampu menghadapi masalah secara wajar,
tidak menjadi cemas dan frustasi.
4. kemampuan untuk belajar (ability to learn) yaitu pengetahuan yang
diperoleh dari hasil belajar dapat dipergunakan untuk mendukung dan
mengatasi permasalahan yang dihadapi.
5. Pemanfaatan pengalaman (utilization of past experience) sehingga dapat
membandingkan pengalaman diri sendiri dengan pengalaman orang lain
dan pengalaman-pengalaman tersebut dapat memberikan sumbangan
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
6. Sikap yang realistis dan objektif (realistic and objective attitudes) yaitu
mampu menghadapi masalah dengan segera, apa adanya dan tidak
ditunda-tunda.
7. Pertimbangan rasional dan pengarahan diri (rational deliberation and self
direction) yaitu individu dapat mengarahkan dirinya dan
mempertimbangkan masalah secara rasional.
Menurut Schneiders (1964) penyesuaian diri yang baik adalah individu
yang dapat memberi respon yang matang, bermanfaat, efisien dan memuaskan.
Berdasarkan baik atau buruknya penyesuaian diri orangtua dengan anak autis,
dapat dikemukakan dua bentuk penyesuaian diri menurut Lazarus (1969), yaitu :
1. Penyesuaian diri yang buruk dimana orangtua menerima kehadiran anak
autis secara pasif dan tidak mengoptimalkan kemampuan dirinya dan anak
tersebut untuk mengatasi masalah yang muncul.
2. Penyesuaian diri yang baik dimana orangtua dapat menerima
keterbatasan-keterbatasan dari anak sehingga akan tercipta hubungan baik antara anak
dengan dirinya. Salah satu prinsip penting dari penyesuaian diri yang baik
pada orangtua anak autisme yaitu membuat tujuan yang realistis yang
berhubungan dengan kemampuan anaknya atau hubungan diantara mereka
dan berusaha mencapai tujuan tersebut secara bersama-sama.
Adapun penyesuaian diri yang tidak baik menurut Schneiders (1969)
adalah penyesuaian diri yang menyimpang dari kenyataan yang ditandai dengan
ketidakmampuan mengendalikan emosi bila menghadapi masalah, menjadi panik
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
pertahanan diri yang berlebihan dan menyimpang dari kenyataan sehingga
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan unsur yang penting dalam penelitian ilmiah
karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah
penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan hasilnya (Hadi, 2000).
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang bersifat deskriptif yang
dimaksudkan untuk melihat bagaimana penyesuaian diri orangtua yang memiliki
anak autis. Menurut Azwar (1999) penelitian deskriptif merupakan metode yang
menggambarkan dengan sistematik dan akurat fakta dengan tidak bermaksud
menjelaskan, menguji hipotesis, membuat prediksi maupun implikasi. Menurut
Hadi (2000) metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan suatu fenomena
yang terjadi tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku secara umum.
A. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah penyesuaian diri
orangtua yang memiliki anak autis.
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Penyesuaian diri merupakan usaha individu untuk mengatasi secara efektif
berbagai tuntutan atau tekanan yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri
maupun dari lingkungannya. Penyesuaian diri dalam penelitian ini dapat diungkap
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
penyesuaian diri yang dikemukakan oleh Schneiders (1964) yang mengungkap
karakteristik penyesuaian diri yang baik. Skala ini menunjukkan semakin tinggi
total skor yang diperoleh individu maka akan menunjukkan penyesuaian diri yang
baik, sebaliknya semakin rendah total skor yang diperoleh individu maka akan
menunjukkan penyesuaian diri yang buruk.
C. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel 1. Populasi dan Sampel
Dalam suatu penelitian masalah populasi dan sampel yang dipakai
merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan. Populasi adalah
seluruh objek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi dibatasi sebagai sejumlah
subjek atau individu yang paling sedikit memiliki satu sifat yang sama (Hadi,
2000). Populasi pada penelitian ini adalah orangtua yaitu ayah dan ibu yang
memiliki anak autis.
Menyadari luasnya keseluruhan populasi dan keterbatasan yang dimiliki
penulis, maka subjek penelitian yang dipilih adalah sebagian dari keseluruhan
populasi yang dinamakan sampel. Sampel adalah sebahagian dari populasi yang
merupakan penduduk yang jumlahnya kurang dari populasi. Sampel harus
mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Adapun sampel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah orangtua yaitu ayah dan ibu yang
Misbah Umar Lubis : Penyesuaian Diri Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis, 2009. USU Repository © 2009
a. Orangtua baik ayah maupun ibu yang memiliki anak autis.
Diasumsikan karena orangtua memiliki peranan penting dalam
mengupayakan penyembuhan kepada anak autis.
b. Taraf pendidikan orangtua minimal SMU untuk mempermudah
pengambilan data saat penelitian.
2. Jumlah Sampel Penelitian
Sugiarto (2003) berpendapat bahwa untuk penelitian yang akan
menggunakan analisis data dengan statistik, besar sampel yang paling kecil adalah
30, walaupun ia juga mengakui bahwa banyak peneliti lain menganggap bahwa
sampel sebesar 100 merupakan jumlah yang minimum. Sedangkan menurut Siegel
(1994) tidak ada batasan mengenai berapa jumlah ideal sampel penelitian.
Kekuatan tes statistik meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah
sampel. Azwar (2001) menyatakan tidak ada angka yang dikatakan dengan pasti.
secara tradisional statistika menganggap jumlah sampel lebih dari 60 orang sudah
cukup banyak. Jumlah total sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 39.
3. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik sampling adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel
dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu, dalam jumlah yang sesuai,
dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel
yang benar-benar dapat mewakili populasi (Poerwanti, 1994). Teknik sampling