2.1 Landasan Teori
2.1.2 HIV/AIDS
a. Pengertian HIV/AIDS dan ODHA
HIV (Human Immunodeficiency Virus), adalah infeksi yang menyerang sistem kekebalan dan melemahkan kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi. Tanpa perawatan, setelah beberapa tahun, seseorang yang mengidap HIV tidak dapat melawan beberapa infeksi dan kanker. Tahap HIV ini disebut AIDS (Yayasan Spiritia,).
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) sebagai akibat lanjutannya, virus, parasit, jamur dan bakteria yang umumnya tidak menyebabkan penyakit, justru dapat membuat seseorang yang positif HIV menjadi sakit. Hal inilah yang disebut defisiensi kekebalan tubuh, di mana sistem tersebut tidak dapat lagi menjalankan fungsinya memerangi infeksi dan penyakit-penyakit.
Menurut Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No.8 Tahun 2012, tentang pedoman pendataan dan pengelolaan data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), Orang dengan HIV AIDS (ODHA) adalah seseorang yang telah dinyatakan terinfeksi HIV/AIDS dan membutuhkan pelayanan sosial, perawatan kesehatan, dukungan, dan pengobatan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Namun, seseorang yang dinyatakan positif HIV, belum tentu
terjangkit AIDS. Pemerikasaan lanjutan perlu dilakukan untuk mendeteksi AIDS pada tubuh seseorang yang positif HIV. Sampai saat ini belum ada obat yang mampu menyembuhkan ODHA secara total, tetapi dunia medis memiliki terapi dan pengobatan untuk menekan jumlah virus yang berkembang didalam tubuh ODHA.
Sebagian besar orang yang terinfeksi HIV tidak menyadarinya karena tidak ada gejala yang tampak setelah terjadi infeksi. Beberapa orang mengalami gangguan kelenjar dengan efek seperti demam (disertai panas tinggi, gatal-gatal, nyeri sendi, dan pembengkakan pada limpa), yang dapat terjadi antara enam minggu dan tiga bulan setelah terjadinya infeksi.
b. Penularan HIV/AIDS
Cara penularan HIV/AIDS melalui alur sebagai berikut (UNAIDS, 2018) :
1. Cairan genital: cairan sperma dan cairan vagina pengidap HIV memiliki jumlah virus yang tinggi dan cukup banyak untuk memungkinkan penularan, terlebih jika disertai IMS (Infeksi Menular Seksual) lainnya. Karena itu semua hubungan seksual yang berisiko dapat menularkan HIV, baik genital, oral maupun anal.
2. Kontaminasi darah atau jaringan: penularan HIV dapat terjadi melalui kontaminasi darah seperti transfusi darah dan produknya (plasma, trombosit) dan transplantasi organ yang terpapar virus HIV atau melalui penggunaan peralatan medis yang tidak steril, seperti suntikan yang tidak aman, misalnya penggunaan alat suntik bersama pada penasun, tato, dan tindik tidak steril.
3. Perinatal: penularan dari ibu ke janin/bayi. Penularan ke janin terjadi selama masa kehamilan melalui plasenta yang terinfeksi. Sedangkan ke bayi melalui darah atau caira genital saat persalinan dan melalui ASI pada masa laktasi.
c. Gejala dan Tahapan HIV/AIDS
Infeksi HIV tidak disertai gejala awal, seseorang yang terinfeksi HIV sangat mudah menularkan virus tersebut kepada orang lain. Satu-satunya cara untuk menentukan apakah HIV ada di dalam tubuh seseorang adalah melalui tes HIV.
AIDS diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu, yang dikelompokkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) sebagai berikut:
Tahap I penyakit HIV tidak menunjukkan gejala apapun dan tidak dikategorikan sebagai AIDS.
Tahap II meliputi infeksi-infeksi saluran pernafasan bagian atas yang tak kunjung sembuh.
Tahap III meliputi diare kronis yang tidak jelas penyebabnya yang berlangsung lebih dari satu bulan, infeksi bakteri yang parah, dan TBC paru-paru, atau
Tahap IV meliputi penyakit parasit pada otak (toksoplasmosis), infeksi jamur kandida pada saluran tenggorokan (kandidiasis), saluran pernafasan (trachea), batang saluran paru-paru (bronchi) atau paru-paru.
Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV akan berlanjut menjadi AIDS bila tidak diberi pengobatan dengan antiretrovirus (ARV). Kecepatan perubahan dari infeksi HIV menjadi AIDS, sangat tergantung pada jenis dan virulensi virus, status gizi serta cara penularan. Dengan demikian infeksi HIV dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu a) rapid progressor, berlangsung 2-5 tahun; b) average progressor, berlangsung 7-15 tahun; dan c) slow progressor, lebih dari 15 tahun (UNAIDS, 2018; Kementrian Kesehatan, 2015).
Terdapat tiga fase perjalanan alamiah infeksi HIV (UNAIDS 2018; Kementrian Kesehatan, 2015) :
Fase I: masa jendela (window period). Tubuh sudah terinfeksi HIV, namun pada pemeriksaan darahnya masih belum ditemukan antibodi anti-HIV. Pada masa jendela yang biasanya berlangsung sekitar dua minggu sampai tiga bulan sejak infeksi awal ini, penderita sangat mudah menularkan HIV kepada orang lain.
Sekitar 30-50% orang mengalami gejala infeksi akut berupa demam, nyeri tenggorokan, pembesaran kelenjar getah bening, ruam kulit, nyeri sendi, sakit kepala, bisa disertai batuk seperti gejala flu pada umumnya yangakan mereda dan sembuh dengan atau tanpa pengobatan. Fase flu-like syndrome ini terjadi akibat serokonversi atau kondisi perkembangan antibodi setelah terpapar HIV dalam darah, saat replikasi virus terjadi sangat hebat pada infeksi primer HIV.
Fase II: masa laten yang bisa tanpa gejala/tanda (asimtomatik) hingga gejala ringan. Tes darah terhadap HIV menunjukkan hasil yang positif, walaupun gejala penyakit belum timbul. Pada fase ini, penderita tetap dapat menularkan HIV kepada orang lain. Masa tanpa gejala rata-rata
berlangsung selama 2-3 tahun; sedangkan masa dengan gejala ringan dapat berlangsung selama 5-8 tahun, ditandai oleh berbagai radang kulit seperti ketombe, folikulitis yang hilang timbul walaupun diobati.
Fase III: masa AIDS merupakan fase terminal infeksi HIV dengan kekebalan tubuh yang telah menurun drastis sehingga mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi oportunistik, berupa peradangan berbagai mukosa, misalnya infeksi jamur di mulut, kerongkongan dan paruparu. Infeksi TB banyak ditemukan di paru-paru dan organ lain di luar paru-paru. Sering ditemukan diare kronis dan penurunan berat badan sampai lebih dari 10% dari berat awal.
d. Tes HIV/AIDS
1. Konseling dan Tes HIV/AIDS Sukarela
KTS (Konseling dan Tes HIV/AIDS Sukarela) terdiri dari 2 kegiatan utama, yakni proses konseling dan tes HIV. Konseling yang dimaksud di sini merupakan kegiatan konseling untuk memberi dukungan psikologis serta informasi terkait HIV/ AIDS, yang selanjutnya diikuti oleh tes HIV/AIDS.
Kegiatan KTS ini juga mencakup pemberian informasi untuk mencegah penularan dengan
mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggung jawab, pemberian akses pengobatan anti-retroviral terapi (ART), perawatan terkait infeksi opportunistik yang timbul serta pemecahan masalah terkait status infeksi HIV/AIDS klien tersebut (Kemenkes RI, 2014).
KTS merupakan pintu masuk pada layanan HIV/AIDS berkelanjutan, yakni kegiatan pencegahan, pengobatan, perawatan serta dukungan. Hal itu disebabkan karena (Kemenkes RI, 2014):
a) Dengan semakin dininya seseorang mengetahui status infeksinya maka jangkauan ke arah pengobatan juga semakin tinggi sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat infeksi opportunistic;
b) menurunkan angka penularan infeksi HIV dari ibu ke janin;
c) dengan mengetahui status infeksi, maka dapat mencegah penularan dari dan/atau kepada dirinya lewat perilaku seksual yang aman atau penggunaan jarum suntik yang steril;
d) mendukung program pemerintah dengan visi getting to zero, yakni zero infeksi baru, zero
diskriminasi, dan zero kematian akibat AIDS; dan
e) pemberian dukungan yang timbul baik scera moral maupun material akibat status positif ODHA.
2. Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Layanan Kesehatan dan Konseling (TIPTK)
Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Layanan Kesehatan dan Konseling adalah tes HIV yang diinisiasi oleh petugas kesehatan terhadap pasien yang mengakses layanan pada fasilitas kesehatan, dengan tujuan utama untuk menentukan pelayanan medis yang hanya bisa diberikan dengan mengetahui status infeksi seseorang, misalnya pemberian Antiretroviral Therapy (ART).
Penerapan TIPK harus melihat pada tipe epidemi yang ada di suatu daerah.
a. Penerapan TIPK pada semua jenis epidemic. Petugas kesehatan menawarkan tes HIV kepada pasien baik dewasa maupun anak yang menunjukkan gejala AIDS atau kondisi khusus yang sering dikaitkan dengan HIV/AIDS misalnya TB.
Bayi baru lahir dari ibu yang positif HIV. Anak yang dibawa ke fasilitas kesehatan dengan gizi kurang dan tidak memberikan
respons yang optimal terhadap terapi gizi (Kementerian Kesehatan RI, 2010)
b. Penerapan TIPK di daerah epidemi meluas. Daerah epidemi meluas dengan tersedianya layanan diagnostik serta PDP yang memadai maka tes diagnostik HIV dilakukan pada semua individu baik anak atau dewasa yang mengakses pelayanan kesehatan, baik layanan medis atau bedah, rawat inap atau rawat jalan, fasilitas kesehatan pemerintah atau swasta, layanan medis tetap atau bergerak. Prosedur ini dilakukan tanpa melihat apakah pasien tersebut menunjukkan gejala AIDS atau tidak (Kementerian Kesehatan RI, 2010).
c. Penerapan TIPK di daerah epidemi terkonsentrasi atau tingkat rendah. Hanya diprioritaskan pada pasien dewasa atau anak yang mengunjungi fasilitas kesehatan dan menunjukkan gejala terkait AIDS misalnya TB paru, pada bayi baru lahir yang lahir dari ibu dengan HIV positif atau pasien yang mengunjungi layanan kesehatan seperti klinik infeksi menular seksual (IMS), klinik TB, layanan KIA, layanan PTRM atau LASS (Kementerian Kesehatan RI, 2010). Pasien status infeksi positif selanjutnya dapat
dirujuk ke klinik KTS untuk konseling lanjutan yang lebih mendalam.
2.1.3 Stigma dan Diskriminasi