• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESILIENSI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI JAKARTA SELATAN DALAM MENGHADAPI STIGMA DAN DISKRIMINASI. Skripsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RESILIENSI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI JAKARTA SELATAN DALAM MENGHADAPI STIGMA DAN DISKRIMINASI. Skripsi"

Copied!
224
0
0

Teks penuh

(1)

RESILIENSI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI JAKARTA SELATAN DALAM MENGHADAPI STIGMA

DAN DISKRIMINASI Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh: Rifanti Dwi A 11160541000052

JURUSAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

RESILIENSI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI JAKARTA SELATAN DALAM MENGHADAPI STIGMA

DAN DISKRIMINASI

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

Rifanti Dwi Astuti NIM. 11160541000052

Di bawah bimbingan

Dr. Siti Napsiyah, S.Ag, BSW, MSW NIP . 197401012001122003

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2020

(3)
(4)

PERNYATAAN

Yang bertandatangan di bawah ini: Nama : Rifanti Dwi Astuti

NIM : 11160541000052

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul RESILIENSI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI JAKARTA SELATAN DALAM MENGHADAPI STIGMA DAN DISKRIMINASI adalah benar merupakan karya saya sendiri untuk memperoleh gelar srata 1 (S1) dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunannya. Adapun kutipan yang terdapat di dalam karya ini, saya sudah mencantumkan sumber kutipannya dalam skripsi. Saya bersedia melakukan proses yang semestinya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku jika suatu hari terbukti bahwa ini merupakan plagiat karya orang lain.

Ciputat, 8 Maret 2021

Rifanti Dwi Astuti NIM. 11160541000052

(5)

ABSTRAK

Rifanti Dwi Astuti, RESILIENSI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI JAKARTA SELATAN DALAM MENGHADAPI STIGMA DAN DISKRIMINASI

HIV/AIDS masih menjadi topik perbincangan di bidang kesehatan, karena sampai saat ini belum ada obat yang mampu menyembuhkan pasien HIV/AIDS secara total. Hidup berdampingan dengan status HIV yang dimilikinya, menimbulkan tekanan dan permasalahan yang kompleks bagi ODHA.Belum lagi, ODHA juga mengalami stigma dan diskriminasi di masyarakat. Resiliensi diperlukan untuk mengatasi permasalaan dan tekanan yang dihadapi ODHA, untuk pemulihan atau menciptakan kualitas hidup yang lebih baik dari sebeulmnya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui proses resiliensi yang dialami ODHA dalam menghadapi stigma dan diskriminasi. Subjek dalam penelitian ini adalah tiga orang dengan HIV/AIDS dengan rentang usia antara 30-50 tahun. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan studi dokumentasi.

Berdasarkan hasil analisis penelitian, ketiga ODHA memiliki resiliensi yang baik. Ketiganya saat ini menjadi pendamping untuk ODHA lainnya yang baru mengetahui status positifnya. Keberhasilan proses resiliensi ODHA tidak luput dari faktor resiliensi I am, I can dan I have. Ketiga ODHA mampu memanfaatkan secara maksimal potensi yang dimilikinya untuk mengatasi permasalahan yang timbul pasca terdiagnosa positif HIV/AIDS.

Kata Kunci : Resiliensi, Orang dengan HIV/AIDS, Stigma dan Diskriminasi

(6)

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim…

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga skripsi berjudul “Resiliensi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Jakarta Selatan dalam Menghadapi Stigma dan Diskriminasi” dapat terselesaikan tepat waktu dalam rangka memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana-1 Jurusan Kesejahteraan Sosial, Universitas Islam Negeri Syarifhidayatullah Jakarta. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang telah menjadi suri tauladan bagi peneliti dalam menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh.

Pada kesempatan kali ini, peneliti akan mengucapkan terima kasih banyak kepada berbagai pihak, yang telah turut serta memberikan motivasi, dukungan serta bantuan dalam proses skripsi ini. Dengan segala kerendahan hati, peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Suparto, Ph. D selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

2. Bapak Ahmad Zaky, M. Si selaku Ketua Jurusan Kesejahteraan Sosial.

3. Ibu Nunung Khoiriyah, MA selaku sekretaris Jurusan Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(7)

4. Ibu Dr. Siti Napsiyah, S.Ag, BSW, MSW selaku dosen pembimbing yang sudah sangat sabar dalam membantu peneliti hingga bisa menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Lisma Dyawati Fuaida, M. Si, Ibu Ellies Sukmawati, S.T., M.Si, Ibu Nadya Kharima, M.Kessos, Ibu Nurkhayati, S.E, M.Si, Bapak Drs. Helmi Rustandi, M.Ag, Bapak Ismet Firdaus, M.Si selaku dosen prodi Kesejahteraan Sosial.

6. Ibu Dr. Hj. Khadijah, M.A selaku dosen penasehat akademik. 7. Komisi Penanggulangan AIDS Kota Jakarta Selatan yang telah

memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian. 8. Drs. Tri Witjaksono Sridadi, M.Si adalah perwakilan dari

pihak Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Jakarta Selatan dan khususnya untuk ketiga ODHA yaitu klien EP, TH dan WL selaku subyek dalam penelitian ini yang sudah bersedia meluangkan waktunya untuk melakukan wawancara dengan peneliti.

9. Orang tua tercinta dan tersayang yang terus mendukung peneliti dalam suka maupun duka yaitu Bapak Wagirin dan Ibu Parmi, serta tak lupa Marina Ika Sari kakak tercinta yang selalu sabar membantu dan menyemangati peneliti dalam hal apapun. 10. Keluarga Bapak Mujiono, Ibu Narsih, dan Keluarga Besar Korps Marinir Cilandak yang senantiasa memotivasi, mendoakan dan membantu peneliti dalam proses penyelesaian skripsi ini.

11. Rima Fitrianesti, Auliya Rahmah, dan Aghatya Sasqia yang selalu ada dan saling support dari awal masa perkuliahan

(8)

sampai hingga pembuatan skripsi serta menjadikan masa-masa perkuliahan peneliti semakin berwarna.

12. Oktaviany Puspitalia, Pramesta Oktaviana, dan Novita Rilia Sari yang selalu mensupport peneliti untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.

13. Himpunan Mahasiswa Jurusan Kesejahteraan Sosial (HMJ KESSOS).

14. Seluruh Mahasiswa/i Kesejahteraan Sosial UIN Jakarta angkatan 2016.

15. Serta semua pihak yang telah terlibat membantu peneliti dengan memberikan doa dan dukungannya dalam pembuatan skripsi ini yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa masih banyak sekali kekurangan dalam penulisan skripsi ini dan jauh dari kata sempurna walaupun sudah berusaha melakukan yang terbaik. Untuk itu, penulis memohon maaf dan pengertiannya apabila terdapat kekeliruan dan kekurangan. Besar harapan penulis agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, pemerintah dan masyarakat luas. Semoga semakin luas lagi informasi terkait HIV/AIDS, agar tidak ada lagi masyarakat yang masih awam tentang HIV/AIDS dan menilai ODHA dengan sebelah mata tanpa tahu informasi yang sebenarnya

Jakarta, 6 Maret 2021 Penulis,

(9)

Daftar Isi

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

Daftar Tabel ... vii

Daftar Gambar ... viii

Daftar Bagan ... ix

BAB I ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1. 2 Batasan Masalah ... 10

1.3 Rumusan Masalah ... 10

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1.5 Kajian Terdahulu ... 11 1.6 Metode Penelitian ... 17 1.7 Sistematika Penulisan ... 24 BAB II ... 26 2.1 Landasan Teori... 26 2.1.1 Resiliensi ... 26 2.1.2 HIV/AIDS ... 33

2.1.3 Stigma dan Diskriminasi ... 42

2.2 Kerangka Pikir ... 45

BAB III ... 47

3.1 Profil wilayah Jakarta Selatan ... 47

3.2 Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Jakarta Selatan ... 52

3.3 Situasi ODHA di Jakarta Selatan ... 61

BAB IV ... 65

DATA DAN TEMUAN ... 65

(10)

4.2 Temuan ... 73

BAB V ... 91

5.1 Resiliensi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Jakarta Selatan dalam menghadapi stigma dan diskriminasi ... 91

5.2 Diskusi ... 99 BAB VI ... 101 6.1 Simpulan ... 101 6.2 Implikasi ... 102 6.3 Saran ... 102 Daftar Pustaka ... 104 LAMPIRAN ... 109 Lampiran 1 ... 109 Lampiran 2 ... 114 Lampiran 3 ... 118 Lampiran 4 ... 119 DOKUMENTASI FOTO ... 207

(11)

Daftar Tabel

(12)

Daftar Gambar

Gambar 3.1 ... 50 Gambar 3.2 ... 55

(13)

Daftar Bagan

(14)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Hari AIDS Sedunia (HAS) diperingati setiap tahunnya pada tanggal 1 Desember.Indonesia turut serta memperingati Hari AIDS Sedunia tahun 2019 yang puncak kegiatannya diselenggarakan di Bandung, Jawa Barat. Tema nasional HAS 2019 adalah “Bersama Masyarakat Meraih Sukses”.

Sesuai dengan tema yang diangkat pada kegiatan ini, Kementrian Kesehatan dan mitra lainnya yang bergerak pada isu HIV/AIDS mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk mencapai kesuksesan Three Zeros tahun 2030. Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI, dr.Anung Sugihantono, M.Kes menekankan pada Three Zeros yaitu tidak ada infeksi baru HIV, tidak ada kematian yang disebabkan oleh HIV/AIDS, dan tidak ada lagi stigma/diskriminasi terhadap Orang dengan HIV/ADIS (ODHA) di Indonesia.

Menurut World Health Organization (WHO), Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh atau imun, menghancurkan dan merusak fungsi dari sistem imun tersebut. Infeksi virus ini menghasilkan kerusakan progresif bagi sistem imun yang memacu immune deficieny. Keadaan dimana imun sudah mengalami defisien atau kurang atau ketidakmampuan imun dalam menangkal penyakit dan infeksi-infeksi lainnya.

(15)

Sedangkan, Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakankondisi kesehatan dimana virus HIV telah mencapai kondisi defisiensi imun sebanyak lebih dari 20 opportunistic immune (OI) atau kondisi virus yang memangsa dan memperlemah sistem imun. AIDS bisa dikatakan sebagaistadium akhir dari infeksi HIV, seseorang akan kehilangan kemampuan tubuhnya untuk melawan kumpulan gejala penyakit akibat penurunan sistem imun tubuh yang disebabkan oleh HIV .

Kasus penemuan pada tahun 1987 di Bali, menjadi awal munculnya HIV/AIDS di Indonesia.Percepatan pertambahan kasus HIV/AIDS dengan pesat terjadi pada akhir abad 19. Pada awal tahun 2000 muncul hotspot atau lokasi-lokasi dimana penularan HIV sudah tinggi (concentrated level epidemic). Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.

Sejak tahun 1987 sampai dengan 31 Maret 2020, ada 511.955 kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia. Pemerintah baru mampu mendeteksi sekitar 79,94% dari total estimasi 640.000 kasus. Ada 128.499 kasus Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang belum terdeteksi. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi edukatif, dan kesadaran diri untuk melakukan Voluntary Counseling And Testing (VCT) untuk mengetahui status HIV yang dilakukan secara sukarela serta melalui proses konseling terlebih dahulu. Kasus yang tidak terdeteksi jadi masalah besar karena tanpa mereka sadari mereka jadi mata rantai penularan HIV/AIDS di masyarakat.

(16)

Survei penduduk antar sensus (SUPAS) memproyeksikan jumlah kumulatif penduduk DKI Jakarta pada tahun 2020, bertambah 72 ribu jiwa, menjadi 10,57 juta jiwa. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebutkan jumlah penduduk di DKI Jakarta meningkat 0,7% dari tahun sebelumnya. DKI Jakarta saat ini memiliki jumlah penduduk lebih dari 10 juta jiwa.

Laporan Triwulan I tahun 2020 oleh Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI, tentang Perkembangan HIV/AIDS dan Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) memaparkan jumlah kasus HIV secara nasional sebanyak 388.724 kasus. DKI Jakarta menempati posisi kedua tertinggi untuk jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS sejak 1987 sampai Maret 2020, sebanyak 77.761 kasus. Posisi pertama kasus HIV/AIDS terbanyak secara nasional adalah Jawa Timur, dengan selisih 1.816 kasus dengan DKI Jakarta. Jurnal Pemerintah Daerah dan Desa Indonesia (JPD2I) yang dimuat oleh Hendri Setyo Nugroho dan Leslie Retno Angeningsih tahun 2018, memaparkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS sebanyak 819 kasus.

DKI Jakarta menjadi tulang punggung Indonesia, dengan pusat perekonomian dan pusat pemerintahan nasional ada didalamnya. Kota administrasi Jakarta Selatan sebagai salah satu wilayah padat penduduk, dengan jumlah penduduk sebanyak 306.755 jiwa. Jakarta Selatan memegang peran penting sebagai kawasan perwakilan negara asing dan beberapa kantor kementrian didalamnya. Kementrian Kesehatan RI termasuk di wilayah

(17)

Jakarta Selatan. Jumlah akumulasi kasus HIV/AIDS di Jakarta yang mencapai 77.761 kasus, hal ini menyita perhatian Pemprov DKI Jakarta dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Menurut Widyastuti sebagai Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, penting untuk mengakselerasi penanggulangan HIV/AIDS dengan melibatkan petugas kesehatan dan mitra lainnya untuk mencapai Three Zeros atau Bebas AIDS pada tahun 2030.

Pada rapat koordinasi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Pusat DKI Jakarta dalam pelaksanaan hasil capaian penulusuran ODHA Lost to Follow Up (LTFU) tahun 2020, sebanyak kurang lebih 40.000 orang di bulan Januari dan Februari melakukan pemeriksaan HIV. Kemudian menurun jumlahnya karena pandemic Covid-19. Wilayah Jakarta Selatan menempati posisi ketiga terbanyak untuk pemeriksaan HIV sebanyak 60.909 orang. Sampai dengan bulan Juli 2020, Jakarta memiliki 778 kasus HIV/AIDS. Selain itu, kota Jakarta Selatan menjadi daerah yang paling banyak memiliki ODHA LTFU yaitu sebanyak 29% dari periode Januari-September 2020, penelusuran terhadap 1289 ODHA LTFU di DKI Jakarta.

Islam sebagai agama yang penuh rahmat dan cinta kasih (rahmatan lil „alamin), mengajak para pemeluknya untuk bergandengan tangan dengan orang-orang yang menderita. Islam bahkan mengajarkan umatnya untuk berbaik sangka, membantu sesama, empati terhadap orang yang kesusahan sampai dengan menjenguk orang yang dalam keadaaan sakit. Teologi kasih sayang ini, membantu memahami Al-Qur’an dan Sunnah Nabi

(18)

yang lebih berpihak pada kaum yang terzalimi, dan terkucilkan termasuk Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).Hal ini membuktikan bahwa Allah SWT memiliki cinta kasih yang tak terbatas kepada seluruh Makhluk-Nya tanpa terkecuali, termasuk ODHA.

Agama Islam mengajak umatnya untuk saling berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan terutama kepada mereka yang menderita atau mengalami kesusahan. Mengunjungi orang yang sedang sakit seperti ODHA, bisa menjadi penyemangat bagi mereka. Empati yang orang lain berikan terhadap mereka, mampu menggerakan seseorang untuk bangkit dan kembali menjalani hidupnya tanpa ada stigma dan diskriminasi.

Dalam Al-Qur’an juga telah dijelaskan bahwasannya Allah SWT yang akan menyembuhkan setiap hamba-Nya yang sakit.

Artinya, “dan apabila aku sakit, maka Dia lah yang menyembuhkan ku” (QS As-Syura:80).

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah akan mengangkat penyakit yang sedang diderita, namun Allah tidak secara cuma-cuma memberikan pertolongan. Umatnya juga berusaha untuk sembuh seperti menjalani pola hidup sehat, mengonsumsi obat, terapi dan pengobatan lainnya. Bagi ODHA, sampai saat ini belum ada obat yang ampuh untuk menyembuhkan sepenuhnya. Tetapi, Allah memberikan pertolongan melalui perantara obat Anti Retrovirus (ARV) dan terapi Anti Retroviral (ART).

(19)

Terapi Anti Retroviral (ART) artinya mengobati infeksi HIV dengan beberapa kombinasi jenis obat. Karena HIV adalah retrovirus, obat ini biasa disebut sebagai obat antriretroviral (ARV). Obat ini tidak mampu membunuh virus, namun ART dapat memperlambat pertumbuhan virus didalam tubuh. Terapi kombinasi ART jauh lebih efisien dalam pengobatan HIV daripada hanya mengonsumsi satu ARV.

Penderita HIV/AIDS akan mengalami banyak perubahan. Perubahan ini akan berdampak pada aspek biologis, psikologis, spiritual, dan sosial. Penderita HIV/AIDS yang mengalami aspek perubahan tersebut tidak akan bisa menerima kenyataan, sehingga menimbulkan depresi hingga bunuh diri (Astuti, 2008, dalam Ardana 2014). Awal bulan Maret 2020, surat kabar online yaitu koranmemo membuat berita tentang pria berinisial HAS warga Desa Kertosari, Kecamatan Geger, Kabupaten Madiun, meninggal bunuh diri. Dua tahun berstatus positif HIV/AIDS, merasa tak kunjung membaik, HAS memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri di teras depan mushola setempat.

Individu yang mengetahui status dirinya menjadi ODHA akan mengalami guncangan dan tekanan yang luar biasa. Permasalahan yang umum dihadapi ODHA yaitu penerimaan diri dan penerimaan dari orang sekitar atas status positif yang dimilikinya. Belum lagi, muncul stigma dan diskriminasi yang harus dihadapi ODHA. Stigma berasal dari pikiran individu atau kelompok masyarakat yang masih percaya akan mitos tentang HIV/AIDS berasal dari perilaku amoral yang tidak bisa diterima oleh masyarakat. Bahkan, ODHA dianggap layak menyandang status

(20)

positifnya sebagai hukuman akibat perilaku amoral yang diperbuat. Stigma dan diskriminasi pada ODHA ini dipicu oleh kurang pemahaman masyarakat pada isu HIV/AIDS. Beberapa kelompok masyarakatmeyakini bahwa HIV/AIDS ini merupakan penyakit mematikan dan penularannya sangat mudah hanya melalui kontak sosial biasa, seperti berjabat tangan, berpelukan, dan lain-lain. Stigma yang ada di masyarakat pada akhirnya berujung pada diskriminasi. Selain dikucilkan, ODHA bahkan mendapat penolakan dalam berbagai lingkup layanan publik, seperti pendidikan, layanan kesehatan sampai kesempatan kerja. Sampai saat ini, stigma dan diskriminasi masih menjadi tantangan dalam upaya pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS.

Pengalaman peneliti dari Praktikum I di Yayasan LAYAK, yayasan yang bergerak pada isu HIV/AIDS, klien R dan klien W mendapatkan stigma dan diskriminasi. Stigma HIV/AIDS sebagai penyakit kotor dan kutukan akibat perilaku menyimpang dari norma agama dan sosial. Hal ini menyebabkan ODHA memilih untuk menutup diri sampai saat ini belum open status terhadap lingkungannya. Selain itu, masih ada Anak dengan HIV/AIDS (ADHA) yang akses layanan pendidikannya terbatas, bahkan masih ada instansi pendidikan yang membuat lembar persetujuan kegiatan untuk orang tuanya bahwa anak tersebut berstatus negatif HIV/AIDS. Orang tua dari Anak dengan HIV/AIDS (ADHA) ini menjadi takut anaknya akan diperlakukan seperti apa di sekolah, mungkin dikucilkan, terpinggirkan setelah mengisi form bahwa anaknya berstatus HIV/AIDS. Masih ada sekolah yang belum terbuka pada status positif HIV/AIDS ini. Orang tua

(21)

mengkhawatirkan kerahasiaan informasi yang diberikan kepada pihak sekolah.

Dampak stigma dan diskriminasi yang ada di masyarakat terhadap ODHA dapat menimbulkan permasalahan sosial lainnya, selain pada aspek kesehatan ODHA itu sendiri. Penderita HIV/AIDS harus mampu mengatasi tekanan baik secara fisik maupun psikologis akibat penyakit tersebut.Orang dengan HIV/AIDS membutuhkan resilien.Resiliensi adalah kemampuan seseorang, masyarakat atau kelompok yang memungkinkan untuk mencegah, menghadapi, dan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan atau mungkin merubah kondisi yang sulit diatasi menjadi suatu hal yang mudah diatasi oleh setiap orang (Desmita, 2006).

Kemampuan ODHA untuk mengatasi kondisi tertekan yang dialami karena penyakitnya, maka akan mampu memaksimalkan potensi didalam dirinya dan bangkit dari perasaan tertekan yang dialaminya. Resiliensi menjadi penting, untuk mengetahui bagaimana mengembalikan mental yang terpuruk, seperti sebelumnya atau bahkan menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya.Kemampuan ODHA untuk bangkit dari keterpurukan dan ketidakberdayaan ini sangat sulit.Namun, dengan kemauan untuk bertahan dan terus berusaha, ODHA diharapkan mampu untuk kembali menjalani hidup seperti sebelumnya. Ada empat tahapan resiliensi sebagai proses yang terjadi ketika mengalami situasi dari kondisi yang menekan atau significant adversity (O’Leary dan Ickovics, 2006) yaitu mengalah (succumbing),

(22)

bertahan (survival), pemulihan (recovery), dan berkembang (thriving).

ODHA yang mampu mengatasi permasalahan yang sedang dihadapinya, maka ODHA dianggap mampu melakukan resiliensi.Berdasarkan pengalaman peneliti pada Praktikum I di Yayasan Layak, ada 3 klien ODHA bahkan tergabung dan menjadi pengurus di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak pada isu HIV, seperti Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI).

Perkembangan adalah proses yang terjadi sepanjang hayat. Berbagai perubahan individu di dalamnya adalah hasil dari proses yang terjadi selama kurun waktu lama. Resiliensi pun terbentuk melalui proses panjang ini, dengan pelibatan faktor risiko dan protektif yang dapat bervariasi antar tahap perkembangan individu (Meichenbaum, 2008). Resiliensi adalah proses koping terhadap stresor, kesulitan, perubahan, maupun tantangan yang di pengaruhi oleh faktor protektif (Richardson, 2002). Resiliensi psikologis ini akan mencerminkan bagaimana kekuatan sisi kepribadian dalam ego untuk tangguh yang ada dalam diri seseorang.

Fenomena bertahan untuk menghadapi permasalahan atau memilih mengakhiri hidup untuk menyelesaikan masalah, melaluiketahanan atau kemampuan diri ODHA dalam menghadapi permasalahan atau situasi yang menekan dirinya menjadi isu yang menarik bagi penulis untuk melakukan penelitian dengan judul “Resiliensi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Jakarta Selatandalam Menghadapi Stigma dan Diskriminasi”.

(23)

1. 2 Batasan Masalah

Banyaknya penelitian yang membahas tentang resiliensi seseorang, untuk memudahkan proses penelitian ini, maka penulis akan memfokuskan dan membatasi masalah ini pada Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yaitu Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di wilayah Jakarta Selatan yang disesuaikan dengan protokol kesehatan Covid-19, serta mengamati proses resiliensi ODHAdalam menghadapi stigma dan diskriminasi. 1.3 Rumusan Masalah

Perumusan masalah terkait penelitian ini adalah “Bagaimana proses resiliensi ODHA di Jakarta Selatan dalam menghadapi stigma dan diskriminasi?”

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Menurut rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk megetahui tentang proses resiliensi ODHA di Jakarta Selatan dalam menghadapi stigma dan diskriminasi.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Sesuai dengan penelitian diatas, manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan sebagai bahan referensi atau perbandingan untuk penelitian selanjutnya dengan isu terkait.Penelitian juga diharapkan bisa

(24)

membantu memudahkan pembacanya terutama untuk Prodi Kesejahteraan Sosial dalam memahamiisu resiliensi ODHA dalam menghadapi stigma dan diskriminasi.

2) Manfaat Praktis

Penilitian ini diharapkan bisa meningkatkan empati dan kepedulian sosial bagi pembaca dalam menyikapi ODHA.Penelitian ini bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan terhadap ODHA.Selain itu, memberikan pengetahuan terhadap lembaga terkait isu HIV/AIDS mengenaipentingnya peran pekerja sosial di dalam sebuah lembaga.

1.5 Kajian Terdahulu

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti melakukan tinjuan terhadap kajian terdahulu, diantaranya sebagai berikut:

1. Nama : Nabilla Dwi Ulfa

Judul : Hubungan antara Dukungan Sosial dan Resiliensi pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)

Tahun : 2018

Hasil kajian dari skripsi ini merupakan penelitian dengan pendelakatan kuantitatif yang menunjukan bahwa ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan resiliensi pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Penelitian ini juga menyatakan bahwa semakin tinggi dukungan sosial pada

(25)

ODHA maka semakin tinggi pula resiliensi pada diri ODHA tersebut. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan dari 64 subjek, 52 subjek (81,2%) berada dalam kategori resiliensi sangat rendah. Kondisi rendah ini dapat diartikan bahwa subjek dalam penelitian ini kurang memiliki kemampuan dalam aspek ketahanan dan kegigihan. Kedua aspek tersebut mencakup bagian dari karakter individu yang resilien.

2. Nama : Nur Kholiva Tri Verawati

Judul : Hubungan Status HIV/AIDS dengan Resiliensi Individu yang Melakukan Tes VCT di Puskesmas Puger Kecamatan Jember

Tahun : 2017

Hasil penelitian ini, merupakan studi kuantitatifyang menyatakan bahwa adanya hubungan status dengan resiliensi individu di Puskesmas Puger Kecamatan Jember.Sebanyak 75% ODHA pada penelitian ini dianggap mampu melakukan resiliensi baik.Sedangkan, 25% dari 36 ODHA resiliensinya kurang.Pemamparan pada penilitian ini masih kurang jelas, teori yang digunakan terlalu luas sehingga pembaca sulit untuk memahami artikel jurnal ini.Berdasarkan hasil penelitian ini, menyatakan bahwa di lapangan masih ada ODHA yang belum mampu melakukan resiliensi dengan baik.Penelitian yang saya lakukan adalah studi kualitatif, yang akan menggambarkan bentuk resiliensi ODHA.

(26)

3. Nama :. Anna Dian Savitri dan Purwaningtyastuti

Judul : Resiliensi pada Remaja yang terinfeksi HIV/AIDS Tahun : 2019

Hasil penelitian ini memaparkan gambaran resiliensi ODHA hanya melihat dari aspek resiliensi I have, I am, dan I can. Penelitian ini hanya dilakukan pada satu remaja yang terpapar HIV/AIDS. I Have yang meliputi mendapat dukungan dan perhatian dari orang lain, Subjek lebih mementingkan kesenangan dan kenyamanan, mempunyai panutan, mempunyai dorongan untuk mandiri, mendapat layanan pendidikan dan keamanan dengan baik. I Am subjek mempunyai sifat yang menarik dan mempunyai perasaan disayangi orang lain, mampu mengungkapkan rasa sayang melalui perbuatan, peduli dengan orang lain, menjaga supaya tidak menularkan HIV AIDS ke orang lain. Subjek mampu mandiri dan bertanggung jawab meskipun belum maksimal, mereka yakin akan tetap sehat, mempunyai harapan hidup yang bagus dan yakin mampu mewujudkannya. I Can, subjek mampu mengungkapkan apa yang dirasakan dan pikirkan dengan cara masing-masing, mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi, mampu mencari bantuan yang dibutuhkan dan menjalin hubungan baik dengan orang lain. Penyebab subjek terinfeksi HIV/AIDS akibat hubungan seks yang dilakukan sebagai bagian dari korban traficking.

(27)

4. Nama : Kusuma Dewi Fitria

Judul : Dinamika Resiliensi ODHA: Dari Penderita Menjadi Pendamping ODHA

Tahun : 2018

Hasil kajian dari skripsi ini adalah ketiga subjek penelitian pada skripsi ini adalah pendamping ODHA. Subyek E, P, dan T dalam penelitian ini sebagai ODHA dianggap mampu melakukan resiliensi dan berkembang dengan pesat, sampai bergabung menjadi pendamping bagi ODHA lainnya. Penelitian ini fokusnya pada dinamika resiliensinya, menjelaskan tentang proses bagaimana subyek penelitian ini bertahan dari pertama kali terdiagnosa HIV/AIDS, penerimaan status sebagai ODHA, sampai bangkit dan menjadi pendamping ODHA. Sedangkan penelitian yang saya lakukan fokusnya adalah kemampuan resiliensi ODHA untuk menghadapi stigma dan diskriminasi, dan keberfungsian sosialnya dengan status ODHA yang dimilikinya. Karakteristik subyek penelitian yang akan saya lakukan terlepas dari ia adalah seorang pendamping ODHA atau bukan. Karena menurut peneliti, kemampuan resliensi seseorang itu berbeda dan tidak semua ODHA itu mampu menjadi pendamping ODHA lainnya.

(28)

5. Nama : R.A. Dinda Nabilla Fayakun Darmawan, Jane Savitri, dan Jacueline M.Tj

Judul : Peran Pengasuhan dan Penanganan Secara Religius terhadap Resiliensi Remaja dengan HIV/AIDS di Denpasar, Bali.

Tahun : 2020

Hasil penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang memaparkan parenting style yang berperan signifikan terhadap resiliensi adalah parenting style authoritative, baik Ayah maupun Ibu, dan parenting style authoritarian Ibu. Parenting style permissive, baik Ayah maupun Ibu dan parenting style authoritarian Ayah tidak berperan signifikan terhadap resiliensi. Parenting style Ayah dan religious coping secara bersama-sama memiliki peran yang signifikan terhadap resiliensi pada remaja dengan HIV/AIDS di Denpasar-Bali. Parenting style Ibu dan religious coping secara bersama-sama memiliki peran yang signifikan terhadap resiliensi pada remaja dengan HIV/AIDS di Denpasar-Bali.

(29)

6. Nama : R.A. Dinda Nabilla Fayakun Darmawan Judul : Hubungan antara Self-Forgiveness dengan

Resiliensi pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) pada Dewasa Muda di Depansar-Bali. Tahun : 2016

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara selfforgiveness dengan resiliensi pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) pada dewasa muda di Denpasar-Bali. Sebanyak 65 orang diambil sebagai sampel yang dilakukan dengan menggunakan teknik sampel purposive sampling. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara Self-Forgiveness dengan Resiliensi pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) pada Dewasa Muda di Denpasar-Bali artinya semakin tinggi 20 pemaafan diri pada ODHA, maka semakin tinggi pula resiliensi pada ODHA. Sebaliknya, semakin rendah pemaafan diri pada ODHA, maka semakin rendah pula resiliensi pada ODHA. Dalam penelitian ini diperoleh hasil Self-Forgiveness ODHA dalam kategori yang tinggi dan Resiliensi juga dalam kategori yang tinggi.

(30)

7. Nama : Venny Dominica Berelaka

Judul : Resiliensi pada Ibu Rumah Tangga yang Tinggal di Lokalisasi Karang Dempel, Kecamatan Alak, Kupang, NTT

Tahun : 2016

Hasil peneilitian ini diperoleh dengan pendekatan kualitatif, yang memaparkan bahwa i gambaran resiliensi dari ketiga partisipan penelitian. Secara umum ketiga partisipan memiliki resiliensi yang ditunjukkan oleh adanya pemenuhan ketujuh aspek yaitu pengaturan emosi, kontrol terhadap impuls, optimisme, kemampuan analisis masalah, empati, efikasi diri serta pencapaian. Ketiga partisipan memenuhi ketujuh aspek resiliensi yang ada dan dengan pemenuhan semua aspek tersebut maka dapat dilihat ketiga partisipan tersebut mampu bertahan dan mengatasi masalah-masalah baik yang ditimbul karena pengaruh dari lingkungan maupun masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan rumah tangga ketiga partisipan. Selain itu para ibu rumah tangga ini juga dapat menjadi individu yang berguna baik untuk dirinya maupun untuk orang lain.

1.6 Metode Penelitian

Penelitian pada dasarnya ditujukan untuk pemecahan masalah atas apa yang diteliti, untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan suatu metode yang tepat dan relevan untuk tujuan yang diteliti.

(31)

Metode penelitian adalah cara ilmiah yang digunakan peneliti untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2014).Metode penelitian digunakan untuk memperoleh informasi.Sehingga, peneliti dapat menemukan jawaban atas permasalahan penelitiannya.

1.6.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok (Sukmadinata, 2012).

1.6.2 Jenis Penelitian

Dalam hal ini, peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam penelitian status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang (Nasir, 2002). Penelitian deskriptif bertujuan untuk menjelaskan suatu kondisi sosial tertentu.Pengumpulan data secara aktual dan terperinci untuk mengidentifikasi masalah dan peristiwa sosial tertentu.

(32)

1.6.3 Sumber Data

Terdapat dua jenis sumber data dalam melakukan penelitian, yaitu data primer dan data sekunder.Data primer merupakan data yang dikumpulkan berdasarkan interaksi langsung antara pengumpul dengan sumber data. Data primer pada penelitian ini diperoleh langsung dari ODHA, melalui proses observasi dan wawancara. Data sekunder diperoleh dari sumber-sumber tercetak yang dikumpulkan oleh pihak lain sebelumnya. Data yang diperoleh secara tidak langsung oleh peneliti, melalui buku, dokumen, dan data lembaga.

1.6.4 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilakukan di wilayahJakarta Selatan. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan November 2020 hingga Desember 2020.

1.6.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data digunakan untuk memperoleh informasi dan menjawab permasalahan terkait penelitian. Ada beberapa teknik yang digunakan pada penelitian ini yaitu :

a) Wawancara

Wawancara adalah salah satu teknik pengumpulan data dengan melakukan dialog atau percakapan langsung antara peneliti dengan informan mengenai topik penelitian. Wawancara merupakan alat paling vital yang

(33)

banyak digunakan untuk mengumpulkan data penelitian kualitatif dan memungkinkan peneliti untuk mengumpulkan data yang beragam dari para responden dalam berbagai konteks (Sarosa, 2017).

b) Dokumentasi

Dokumen adalah catatan kejadian yang sudah lampau yang dinyatakan dalam bentuk lisan, tulisan, dan karya bentuk (Satori dan Komariah, 2012). Selain itu, dokumen adalah data yang seharusnya mudah diakses, bisa ditinjau dengan mudah, agar kasus yang diteliti menjadi baik (Keegan, 2009).

1.6.6 Teknik Analisis Data

Analisis data disebut juga pengolahan data dan penafsiran data. Analisis data adalah rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan, sistematisasi, penafsiran, dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai sosial, akademis, dan ilmiah. Oleh karena itu, analisis disini berfungsi untuk memberi arti, makna, dan nilai yang terkandung dalam data itu (M. Kasiram, 2006). Beberapa kegiatan analisis data menurut Ghony dan Almanshur (2012) yaitu :

a) Reduksi Data

Merangkum dan menetukan hal pokok, kemudian memilih tema dan polanya.

(34)

b) Display Data

Memaparkan data dalam bentuk naratif maupun statistic.

c) Pengambilan kesimpulan dan verifikasi. 1.6.7 Teknik Keabsahan Data

Triangulasi sumber data digunakan untuk menguji kredibilitas data yang diperoleh (Sugiyono, 2013). 1.6.8 Pedoman Penulisan

Penulisan skripsi ini megacu pada Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor 507 tahun 2017 tentang penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1.6.9 Teknik Pemilihan Informasi

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive sampling. Menurut Didik Budijanto (Pusdatin, Kemkes RI), purposive sampling adalah sampling yang dilakukan berdasarkan keputusan peneliti, yang pendapatnya dianggap mampu mewakili populasi. Penentuan sampel ini dilakukan peneliti pada orang-orang dengan pertimbangan, orang tersebut mengetahui dan berkompeten mengenai isu terkait, dalam hal ini isu Resiliensi ODHA di Jakarta Selatan.

(35)

Tabel 1.1 Tabel Informan No. Informan Informasi yang

dicari Metode Jumlah 1. Komisi Penanggulangan AIDS Kota Administrasi (KPAK) Jakarta Selatan Gambaran tentang profil lembaga pemerintahan yang bergerak dalam isu HIV/AIDS, pemetaan populasi kunci dan situasi ODHA di Jakarta Selatan. Studi dokumentasi dan Wawancara 1 orang 2. ODHA Gambaran tentang lingkungan dan proses resiliensi yang dilakukan ODHA dalam menghadapi stigma dan diskriminasi Wawancara 3 orang 3. Keluarga ODHA Gambaran

(36)

lingkungan dan bentuk dukunganterhad ap ODHA dalam upaya mengembangka n resiliensi, serta menghadapi stigma dan diskriminasi 4. Tokoh agama Gambaran

tentang pandangan Islam dalam menyikapi persoalan HIV/AIDS, stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA. Wawancara 1 orang 5. Masyarakat Jakarta Selatan Gambaran mengenai pandangan Wawancara 1 orang

(37)

masyarakat tentang isu HIV/AIDS, stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. 1.7 Sistematika Penulisan

Dalam penulisan kali ini disajikan dalam enam bab, sebagai berikut:

 BAB I PENDAHULUAN

Berisi tentang latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfat penelitian, kajian terdahulu, metode penelitian (yang terdri dari pendekatan penelitian, jenis penelitian, sumber data, tempat dan waktu penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisa data, teknik keabsahan data, pedoman penulisan skripsi, dan teknik pemlihan informan), dan sistematika penulisan.

 BAB II KAJIAN PUSTAKA

Berisi tentang landasan teori apa yang akan digunakan dalam membahas resiliensi ODHA, kajian pustaka, dan kerangka pikir.

 BAB III GAMBARAN UMUM LATAR PENELITIAN Peneliti menuliskan gambaran letak geografis wilayah penelitian, isu HIV/AIDS di tempat penelitian.

(38)

 BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

Berisi uraian penyajian dan data temuan penelitian yang dilakukan di lapangan sesuai dengan judul “Resiliensi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Jakarta Selatan dalam Menghadapi Stigma dan Diskriminasi”.  BAB V PEMBAHASAN

Membahas tentang bagaimana gambaran dan faktor yang mempengaruhi Resiliensi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam menghadapi stigma dan diskriminasi.

 BAB VI PENUTUP

Yang terdiri dari kesimpulan dan implikasi dari penelitian tersebut serta saran untuk lembaga atau untuk prodi Kesejahteraan Sosial kedepannya.

(39)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori

2.1.1 Resiliensi

a. Pengertian Resiliensi

Menurut Kamus Bahasa Inggris Oxford, resiliensi atau resilience berasal dari kata kerja "resile", yang merupakan adaptasi dari kata-kata Prancis yang sudah usang yaitu“resiler” dan “resilir” dan kata Latin “resilire”, dalam terjemahan bahasa Inggris artinya to jump back dan recoil. Kedua kata tersebut artinya untuk melompat kembali.Secara etimologis kata resiliensi berasal dari bahasa latin yaitu “re-silere” yang berarti sebuah kapasitas untuk pulih atau bangkit kembali (Masten dan Gerwitz, 2006).

Resiliensi adalah proses koping terhadap stresor, kesulitan, perubahan, maupun tantangan yang dipengaruhi oleh faktor protektif (Richardson, 2002). Resiliensi psikologis ditandai oleh kemampuan untuk bangkit dari pengalaman emosional yang negatif. Resiliensi psikologis ini akan mencerminkan bagaimana kekuatan dan ketangguhan yang ada dalam diri seseorang. Seorang yang resilien akan berusaha untuk menghadapi dan kemudian bangkit dari berbagai kondisi stres dengan kemampuan yang dimiliki (Block dan Kremen, 1996).

(40)

Resiliensi merupakan proses dinamis yang mencakup adaptasi positif dalam konteks situasi sulit, mengandung bahaya maupun hambatan signifikan, yang dapat berubah sejalan dengan perbedaan waktu dan lingkungan (Luthar dkk., 2003). Resiliensi adalah proses interaktif kompleks yang melibatkan berbagai karakteristik individu, keluarga, maupun lingkungan masyarakat yang lebih luas (Meichenbaum, 2008).

Menurut Cicchetti dan Roggosh (Pyschological Resilience, 2010) menyatakan bahwa terdapat dua komponen yang harus ada dalam mengidentifikasi resiliensi, yaitu: (1) Paparan dari situasi yang sulit dan menekan, hambatan atau ancaman yang berat dalam hidup individu; serta (2) Penyesuaian positif individu terhadap situasi tersebut. Menyepakati pendapat Cicchetti dan Rogosch, Luthar juga menyatakan bahwa resiliensi akan dapat diketahui ketika individu berhadapan dengan hambatan atau kesulitan yang signifikan, di mana ia kemudian mampu menunjukkan adaptasi positif terhadap hambatan/kesulitan tersebut (Luthar, 2003).

Resiliensi adalah suatu kemampuan yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan setiap orang (Desmita, 2005). Hal ini karena kehidupan manusia senantiasa diwarnai oleh adversity (kondisi yang tidak menyenangkan). Adversity menantang manusia untuk mengatasinya untuk belajar darinya, dan bahkan

(41)

berubah karenanya. Berdasarkan uraian diatas, resiliensi dapat diartikan sebagai sebuah proses dinamis yang melibatkan beberapa faktor individual maupun sosial atau lingkungan, yang mencerminkan kekuatan atau ketangguhan seseorang untuk bangkit dari pengalaman emosional negatif saat menghadapi situasi sulit yang menekan.

b. Tahapan Resiliensi

Tahapan resiliensi sebagai proses yang terjadi ketika mengalami situasi dari kondisi yang menekan atau significant adversity (O’Leary dan Ickovics, 2006) yaitu :

1. Mengalah (succumbing), 2. Bertahan (survival),

3. Pemulihan (recovery), dan 4. Berkembang (thriving)

Pada tahap mengalah (succumbing), kondisi dimana individu mengalah atau menyerah dalam menghadapi kondisi yang menekan. Individu menyadari kemalangan yang menimpanya terlalu berat, outcomes dari tahapan ini berpotensi depresi, yang terparah sampai pada bunuh diri.

Tahap kedua yaitu bertahan (survival), individu belum mampu mengembalikan fungsi psikologis, dan emosi positif secara seutuhnya. Individu belum bisa menerima kondisi yang menimpanya, namun individu

(42)

bertahan dengan situasi dan kondisi yang sedang dihadapinya.

Tahap ketiga, pemulihan (recovery) adalah kondisi individu sudah mampu mengendalikan fungsi psikologis dan emosi secara wajar, dan beradaptasi dengan situasi yang menekan walaupun masih menyisihkan efek dari perasaan negatif yang dialaminya. Outcomes pada tahap ini, individu dapat beraktvitas seperti sedia kala, bahkan mampu menunjukan sebagai individu yang resilien.

Tahap terakhir yaitu berkembang (thriving), individu tidak hanya bisa beraktivitas seperti sebelumnya tetapi bisa melampaui kondisi individu yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Proses atau tahapan yang dilewati ODHA untuk bisa kembali berjuang untuk hidupnya tidaklah instan, perlu dukungan dari orang-orang terdekat sehingga ODHA perlahan mampu bangkit dari keterpurukan akibat statusnya yang positif HIV/AIDS.

c. Ciri-ciri Resiliensi

Seorang yang resilien biasanya memiliki empat sifat-sifat umum (Bernard, 1991) yaitu :

1. Social Competence (kompetensi sosial), kemampuan untuk memunculkan respon yang positif dari orang lain, dalam artian

(43)

mengadakan hubungan yang positif baik dengan teman sebaya atau orang dewasa.

2. Problem-Solving Skills, keterampilan memecahkan permasalahan melalui perencanaan yang memudahkan pengendalian diri sendiri dan memanfaatkan akal sehatnya untuk mencari bantuan dari orang lain.

3. Autonomy (otonomi), suatu kesadaran tentang identitas diri sendiri dan kemampuan untuk bertindak secara independen, serta melakukan pengontrolan terhadap lingkungan.

4. A Sense of Purpose and Future (kesadaran akan tujuan dan masa depan), kesadaran akan tujuan-tujuan, aspirasi pendidikan, ketekunan, pengaharapan dan kesadaran akan suatu masa depan yang cemerlang.

Menurut Sarafino (dalam Dewi, 2004) individu yang memiliki resiliensi ditandai dengan:

1. Memiliki tempramen yang lebih tenang, sehingga mampu menciptakan hubungan yang baik dengan keluarga dan lingkungan.

2. Memiliki kemampuan yang baik untuk bangkit dari tekanan dan berusahauntuk mengatasinya.

Sementara itu, menurut Grotberg (dalam Dewi, 2004), individu yang memiliki resiliensi adalah individu yang memiliki:

(44)

1. Kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati.

2. Memiliki kemampuan untuk dapat bangkit dari masalah dan berusaha untuk mengatasinya. 3. Mandiri dan mudah mengambil keputusan

berdasarkan pemikiran dan inisiatif

4. Memiliki empati dan sikap kepedulian yang tinggi terhadap sesama.

Dari beberapa pendapat tentang ciri-ciri individu yang memiliki resiliensi dapat disimpulkan bahwa individu yang memliki resiliensi memiliki kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan mampu mengekspresikannya secara nyaman.Dengan demikian para individu tersebut mampu mengambil keputusan yang realistik dan tetap bersikap optimis. Individu tetap juga memiliki sifat peduli terhadap sesama.

d. Faktor-faktor Resiliensi

Menurut Grotberg (1991), kualitas resiliensi tidak sama pada setiap orang, sebab kualitas resiliensi seseorang sangat ditentukan oleh tingkat usia, taraf perkembangan, intensitas seseorang dalam menghadapi situasi-situasi yang tidak menyenangkan, serta seberapa besar dukungan sosial dalam pembentukan resiliensi seseorang tersebut. Dalam rangka mengatasi adversity (kondisi yang tidak menyenangkan) dan

(45)

mengembangkan resiliensi, sangat tergantung pada pemberdayaan tiga faktor dalam diri seseorang.Grotberg (dalam Desmita, 2005) mengungkapkan tiga sumber resiliensi yaitu I have, I am, dan I can.

I have (Aku punya) merupakan sumber resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan terhadap dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya. I am (Aku ini) merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan pribadi yang dimiliki, terdiri dari perasaan, sikap, dan keyakinan pribadi. I can (Aku bisa) adalah sumber resiliensi yang berkaitan dengan apa saja yang dapat dilakukan sehubungan dengan keterampilan sosial dan interpersonal.

Untuk menumbuhkan resiliensi pada ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) maka ketiga faktor diatas harus saling berkaitan dan berinteraksi satu sama lain. Interaksi ketiga faktor resiliensi sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan sosial.

(46)

2.1.2 HIV/AIDS

a. Pengertian HIV/AIDS dan ODHA

HIV (Human Immunodeficiency Virus), adalah infeksi yang menyerang sistem kekebalan dan melemahkan kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi. Tanpa perawatan, setelah beberapa tahun, seseorang yang mengidap HIV tidak dapat melawan beberapa infeksi dan kanker. Tahap HIV ini disebut AIDS (Yayasan Spiritia,).

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) sebagai akibat lanjutannya, virus, parasit, jamur dan bakteria yang umumnya tidak menyebabkan penyakit, justru dapat membuat seseorang yang positif HIV menjadi sakit. Hal inilah yang disebut defisiensi kekebalan tubuh, di mana sistem tersebut tidak dapat lagi menjalankan fungsinya memerangi infeksi dan penyakit-penyakit.

Menurut Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No.8 Tahun 2012, tentang pedoman pendataan dan pengelolaan data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), Orang dengan HIV AIDS (ODHA) adalah seseorang yang telah dinyatakan terinfeksi HIV/AIDS dan membutuhkan pelayanan sosial, perawatan kesehatan, dukungan, dan pengobatan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Namun, seseorang yang dinyatakan positif HIV, belum tentu

(47)

terjangkit AIDS. Pemerikasaan lanjutan perlu dilakukan untuk mendeteksi AIDS pada tubuh seseorang yang positif HIV. Sampai saat ini belum ada obat yang mampu menyembuhkan ODHA secara total, tetapi dunia medis memiliki terapi dan pengobatan untuk menekan jumlah virus yang berkembang didalam tubuh ODHA.

Sebagian besar orang yang terinfeksi HIV tidak menyadarinya karena tidak ada gejala yang tampak setelah terjadi infeksi. Beberapa orang mengalami gangguan kelenjar dengan efek seperti demam (disertai panas tinggi, gatal-gatal, nyeri sendi, dan pembengkakan pada limpa), yang dapat terjadi antara enam minggu dan tiga bulan setelah terjadinya infeksi.

b. Penularan HIV/AIDS

Cara penularan HIV/AIDS melalui alur sebagai berikut (UNAIDS, 2018) :

1. Cairan genital: cairan sperma dan cairan vagina pengidap HIV memiliki jumlah virus yang tinggi dan cukup banyak untuk memungkinkan penularan, terlebih jika disertai IMS (Infeksi Menular Seksual) lainnya. Karena itu semua hubungan seksual yang berisiko dapat menularkan HIV, baik genital, oral maupun anal.

(48)

2. Kontaminasi darah atau jaringan: penularan HIV dapat terjadi melalui kontaminasi darah seperti transfusi darah dan produknya (plasma, trombosit) dan transplantasi organ yang terpapar virus HIV atau melalui penggunaan peralatan medis yang tidak steril, seperti suntikan yang tidak aman, misalnya penggunaan alat suntik bersama pada penasun, tato, dan tindik tidak steril.

3. Perinatal: penularan dari ibu ke janin/bayi. Penularan ke janin terjadi selama masa kehamilan melalui plasenta yang terinfeksi. Sedangkan ke bayi melalui darah atau caira genital saat persalinan dan melalui ASI pada masa laktasi.

c. Gejala dan Tahapan HIV/AIDS

Infeksi HIV tidak disertai gejala awal, seseorang yang terinfeksi HIV sangat mudah menularkan virus tersebut kepada orang lain. Satu-satunya cara untuk menentukan apakah HIV ada di dalam tubuh seseorang adalah melalui tes HIV.

AIDS diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu, yang dikelompokkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) sebagai berikut:

(49)

Tahap I penyakit HIV tidak menunjukkan gejala apapun dan tidak dikategorikan sebagai AIDS.

Tahap II meliputi infeksi-infeksi saluran pernafasan bagian atas yang tak kunjung sembuh.

Tahap III meliputi diare kronis yang tidak jelas penyebabnya yang berlangsung lebih dari satu bulan, infeksi bakteri yang parah, dan TBC paru-paru, atau

Tahap IV meliputi penyakit parasit pada otak (toksoplasmosis), infeksi jamur kandida pada saluran tenggorokan (kandidiasis), saluran pernafasan (trachea), batang saluran paru-paru (bronchi) atau paru-paru.

Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV akan berlanjut menjadi AIDS bila tidak diberi pengobatan dengan antiretrovirus (ARV). Kecepatan perubahan dari infeksi HIV menjadi AIDS, sangat tergantung pada jenis dan virulensi virus, status gizi serta cara penularan. Dengan demikian infeksi HIV dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu a) rapid progressor, berlangsung 2-5 tahun; b) average progressor, berlangsung 7-15 tahun; dan c) slow progressor, lebih dari 15 tahun (UNAIDS, 2018; Kementrian Kesehatan, 2015).

(50)

Terdapat tiga fase perjalanan alamiah infeksi HIV (UNAIDS 2018; Kementrian Kesehatan, 2015) :

 Fase I: masa jendela (window period). Tubuh sudah terinfeksi HIV, namun pada pemeriksaan darahnya masih belum ditemukan antibodi anti-HIV. Pada masa jendela yang biasanya berlangsung sekitar dua minggu sampai tiga bulan sejak infeksi awal ini, penderita sangat mudah menularkan HIV kepada orang lain.

Sekitar 30-50% orang mengalami gejala infeksi akut berupa demam, nyeri tenggorokan, pembesaran kelenjar getah bening, ruam kulit, nyeri sendi, sakit kepala, bisa disertai batuk seperti gejala flu pada umumnya yangakan mereda dan sembuh dengan atau tanpa pengobatan. Fase flu-like syndrome ini terjadi akibat serokonversi atau kondisi perkembangan antibodi setelah terpapar HIV dalam darah, saat replikasi virus terjadi sangat hebat pada infeksi primer HIV.

 Fase II: masa laten yang bisa tanpa gejala/tanda (asimtomatik) hingga gejala ringan. Tes darah terhadap HIV menunjukkan hasil yang positif, walaupun gejala penyakit belum timbul. Pada fase ini, penderita tetap dapat menularkan HIV kepada orang lain. Masa tanpa gejala rata-rata

(51)

berlangsung selama 2-3 tahun; sedangkan masa dengan gejala ringan dapat berlangsung selama 5-8 tahun, ditandai oleh berbagai radang kulit seperti ketombe, folikulitis yang hilang timbul walaupun diobati.

 Fase III: masa AIDS merupakan fase terminal infeksi HIV dengan kekebalan tubuh yang telah menurun drastis sehingga mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi oportunistik, berupa peradangan berbagai mukosa, misalnya infeksi jamur di mulut, kerongkongan dan paruparu. Infeksi TB banyak ditemukan di paru-paru dan organ lain di luar paru-paru. Sering ditemukan diare kronis dan penurunan berat badan sampai lebih dari 10% dari berat awal.

d. Tes HIV/AIDS

1. Konseling dan Tes HIV/AIDS Sukarela

KTS (Konseling dan Tes HIV/AIDS Sukarela) terdiri dari 2 kegiatan utama, yakni proses konseling dan tes HIV. Konseling yang dimaksud di sini merupakan kegiatan konseling untuk memberi dukungan psikologis serta informasi terkait HIV/ AIDS, yang selanjutnya diikuti oleh tes HIV/AIDS.

Kegiatan KTS ini juga mencakup pemberian informasi untuk mencegah penularan dengan

(52)

mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggung jawab, pemberian akses pengobatan anti-retroviral terapi (ART), perawatan terkait infeksi opportunistik yang timbul serta pemecahan masalah terkait status infeksi HIV/AIDS klien tersebut (Kemenkes RI, 2014).

KTS merupakan pintu masuk pada layanan HIV/AIDS berkelanjutan, yakni kegiatan pencegahan, pengobatan, perawatan serta dukungan. Hal itu disebabkan karena (Kemenkes RI, 2014):

a) Dengan semakin dininya seseorang mengetahui status infeksinya maka jangkauan ke arah pengobatan juga semakin tinggi sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat infeksi opportunistic;

b) menurunkan angka penularan infeksi HIV dari ibu ke janin;

c) dengan mengetahui status infeksi, maka dapat mencegah penularan dari dan/atau kepada dirinya lewat perilaku seksual yang aman atau penggunaan jarum suntik yang steril;

d) mendukung program pemerintah dengan visi getting to zero, yakni zero infeksi baru, zero

(53)

diskriminasi, dan zero kematian akibat AIDS; dan

e) pemberian dukungan yang timbul baik scera moral maupun material akibat status positif ODHA.

2. Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Layanan Kesehatan dan Konseling (TIPTK)

Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Layanan Kesehatan dan Konseling adalah tes HIV yang diinisiasi oleh petugas kesehatan terhadap pasien yang mengakses layanan pada fasilitas kesehatan, dengan tujuan utama untuk menentukan pelayanan medis yang hanya bisa diberikan dengan mengetahui status infeksi seseorang, misalnya pemberian Antiretroviral Therapy (ART).

Penerapan TIPK harus melihat pada tipe epidemi yang ada di suatu daerah.

a. Penerapan TIPK pada semua jenis epidemic. Petugas kesehatan menawarkan tes HIV kepada pasien baik dewasa maupun anak yang menunjukkan gejala AIDS atau kondisi khusus yang sering dikaitkan dengan HIV/AIDS misalnya TB.

Bayi baru lahir dari ibu yang positif HIV. Anak yang dibawa ke fasilitas kesehatan dengan gizi kurang dan tidak memberikan

(54)

respons yang optimal terhadap terapi gizi (Kementerian Kesehatan RI, 2010)

b. Penerapan TIPK di daerah epidemi meluas. Daerah epidemi meluas dengan tersedianya layanan diagnostik serta PDP yang memadai maka tes diagnostik HIV dilakukan pada semua individu baik anak atau dewasa yang mengakses pelayanan kesehatan, baik layanan medis atau bedah, rawat inap atau rawat jalan, fasilitas kesehatan pemerintah atau swasta, layanan medis tetap atau bergerak. Prosedur ini dilakukan tanpa melihat apakah pasien tersebut menunjukkan gejala AIDS atau tidak (Kementerian Kesehatan RI, 2010).

c. Penerapan TIPK di daerah epidemi terkonsentrasi atau tingkat rendah. Hanya diprioritaskan pada pasien dewasa atau anak yang mengunjungi fasilitas kesehatan dan menunjukkan gejala terkait AIDS misalnya TB paru, pada bayi baru lahir yang lahir dari ibu dengan HIV positif atau pasien yang mengunjungi layanan kesehatan seperti klinik infeksi menular seksual (IMS), klinik TB, layanan KIA, layanan PTRM atau LASS (Kementerian Kesehatan RI, 2010). Pasien status infeksi positif selanjutnya dapat

(55)

dirujuk ke klinik KTS untuk konseling lanjutan yang lebih mendalam.

2.1.3 Stigma dan Diskriminasi a. Stigma

Stigma merupakan tanda-tanda yang dibuat pada tubuh seseorang untuk menginformasikan kepada masyarakat bahwa orang yang mempunyai tanda-tanda tersebut merupakan seorang buruh, kriminal, atau seorang penghianat.Tanda-tanda tersebut merupakan suatu ungkapan atas ketidakwajaran dan keburukan status moral yang dimiliki oleh seseorang (Goffman, 1963).Stigma adalah ciri negative yang menempel pada diri seseorang, karena pengaruh lingkungannya (Wibowo, 2010).

Istilah stigma mengacu pada atribut-atribut yang memperburuk citra seseorang.Stigma adalah segala bentuk atribut baik secara fisik maupun sosial yang mengurangi indetitas sosial, mendiskualifikasi orang itu dari penerimaan seseorang (Santoso, 2016).

Menurut Erving Goffman ada beberapa penyebab terjadinya stigma, yaitu:

a. Takut, merupakan penyebab umum dalam situasi ini, orang lain takut terpapar. Bahkan, ODHA sebagai penderita juga merasa takut akan konsekuensi sosial dari

(56)

pengungkapan diri yang sebenarnya. Takut menyebabkan stigma di masyarakat, terutama tenaga kesehatan.

b. Tidak menarik, beberapa kondisi dapat menyebabkan orang lain tidak menarik, karena dalam budaya keindahan lahiriah lah yang dihargai.

c. Kegelisahan, kurangnya pemahaman untuk berperilaku terhadap ODHA, dan cenderung menghindar.

d. Asosiasi, merupakan stigma simbolik, dimana kondisi kesehatan seseorang dikaitkan dengan kondisi yang tidak menyenangkan, bahkan perilaku menyimpang.

e. Kebijakan dan Undang-undang, hal ini terjadi ketika penderita dirawat di tempat yang terpisah dan waktu khusus dari rumah sakit.

f. Kurangnya kerahasiaan, pengunkapan yang tidak diinginkan dari kondisi seseorang dapat disebabkan oleh cara penanganan hasil tes yang dilakukan tenaga kesehatan.

(57)

b. Diskriminasi

Diskriminasi adalah aksi-aksi spesifik yang didasarkan pada berbagai stereotip negatif ini yakni aksi-aksi yang dimaksudkan untuk mendiskredit dan merugikan orang (UNAIDS, 2012).Pengertian lain tentang diskriminasi dikemukakan oleh Busza bahwa diskriminasi adalah perbuatan atau perlakuan berdasarkan stigma dan ditujukan kepada pihak yang terstigmatisasi (UNAIDS, 2012).

Menurut UNAIDS, diskriminasi terhadap penderita HIV digambarkan selalu mengikuti stigma dan merupakan perlakuan yang tidak adil terhadap individu karena status HIV mereka, baik itu status sebenarnya maupun hanya persepsi saja.

Stigma terhadap ODHA adalah suatu sifat yang menghubungkan seseorang yang terinfeksi HIV dengan nilai-nilai negatif yang diberikan oleh mereka (masyarakat). Stigma membuat ODHA diperlakukan secara berbeda dengan orang lain. Diskriminasi terkait HIV/AIDS adalah suatu tindakan yang tidak adil pada seseorang yang secara nyata atau diduga mengidap HIV/AIDS.Orang yang memiliki pengetahuan cukup tentang faktor risiko, transmisi, pencegahan, dan pengobatan HIV/AIDS cenderung tidak takut dan tidak memberikan stigma terhadap ODHA.

(58)

2.2 Kerangka Pikir

Ketika seseorang dinyatakan berstatus positif HIV, orang tersebut mengalami tekanan emosional dan mental. ODHA juga menunjukan perubahan karakter seperti hidup dalam stress, depresi, merasa tidak berguna dan kurang dukungan sosial. Tekanan psikologis dan sosial yang dialami ODHA dapat mempengaruhi kualitas hidup dari ODHA itu sendiri, salah satu bentuk tekanan yang dialaminya adalah stigma dan diskriminasi. Stigma dan diskriminasi saat ini masih menjadi salah satu penghambat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.

Resiliensi merupakan proses dinamis yang mencakup adaptasi positif dalam konteks situasi sulit, mengandung bahaya maupun hambatan signifikan, yang dapat berubah sejalan dengan perbedaan waktu dan lingkungan. Resiliensi seseorang akan sulit dikembangkan jika tidak ada keinginan dari diri sendiri untuk bertahan dan menghadapi masalah, dan tidak adanya dukungan sosial. Sehingga seseorang yang resilien pernah mengalami permasalahan yang menuntut mereka untuk tetap menghadapi permasalahan tersebut atau terbawa oleh masalah itu sendiri.Karena setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda dalam mengembangkan resiliensinya dan dalam menanggapi permasalahannya. Penelitian ini mengarah pada pemahaman ODHA terhadap stigma dan diskriminasi, serta kemampuan ODHA dalam mengembangkan proses resiliensi untuk menghadapi stigma dan diskriminasi.

(59)

Gambar 2.1 Kerangka Pikir

set

Hasil dokumentasi peneliti Orang dengan

HIV/AIDS (ODHA) di Jakarta Selatan

)

Tahapan resiliensi sebagai proses yang terjadi ketika mengalami situasi dari kondisi yang menekan

atau significant adversity

(Menurut, O’Leary dan Ickovics, 2006) Komisi Penanggulangan

AIDS Kota (KPAK) Jakarta Selatan Tahap 1 Mengalah (Succumbing) Tahap 4 Berkembang (Thriving) Tahap 2 Bertahan(Su rvival) Tahap 3 Pemulihan (Recovery)

setiap ODHA memiliki tahapan dan proses resiliensi yang berbeda-beda

(60)

BAB III

GAMBARAN LEMBAGA 3.1 Profil wilayah Jakarta Selatan

Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1b3/1/1/66 menjadi cikal bakal terbentuknya wilayah administrasi kotamadya Jakarta Selatan pada tahun 1966.Hal ini membutuhkan lokasi perkantoran yang lebih memadai. Pada pertengahan tahun 1964 pembangunan kantor mulai dilakukan diatas tanah negara seluas 3000 m2. Akibat adanya peristiwa G30S/PKI,keadaan situasi politik dalam negeri saat itu menjadi tidak menentu, maka penggunaan kantor tersebut baru dimulai tahun 1966. Pada saat itu, struktur pemerintahannya terdiri dari empat direktorat ditambah Kantor Sosial, BPN, Kantor Statistik, dan kantor lainnya dengan perkiraan jumlah pegawai sekitar 1.000 orang di tahun 1971.

Guna meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, maka dibutuhkan bangunan kantor yang lebih representatif sehingga dapat menunjang kelancaran tugas-tugas di bidang Pemerintahan, Pembangunan, Kemasyarakatan, dan Ketertiban umum. Hal ini perlu dilakukan sebagai salah satu bentuk konsekuensi positif dari pembangunan dan pertumbuhan penduduk yang pesat.Penggunaan gedung Kantor Walikotamadya Jakarta Selatan di Jalan Trunojoyo No.1, Kebayoran Baru, telah mengalami perubahan dalam kurun waktu 30 tahun. Hal ini diiringi oleh perubahan signifikan di wilayah Jakarta Selatan, baik dalam jumlah penduduk, jumlah pegawai, maupun

(61)

pembangunan di bidang ekonomi, sosial, dan keamanan. Karena perubahan yang sangat pesat ini, mempengaruhi pelayanan pemerintah kepada masyarakat di Jakarta Selatan, dibuktikan dengan penggunaan kantor di Jalan Trunojoyo yang sudah tidak memenuhi standar pelayanan sebagai Kantor Pelayanan Masyarakat.

Perbaikan kantor walikotamadya Jakarta Selatan disesuaikan dengan SK. Gubernur DKI Jakarta No. 1422/1997 dengan beberapa pertimbangan seperti pembangunan seperti City Hall, entrance, dan lobby yang besar untuk menarik perhatian masyarakat harus tersedia serta keberadaan Kantor Walikotamadya jangan sampai tertinggal dari bangunan sekitarnya.

Era tahun 2015, Jakarta Selatan telah memiliki 10 Kecamatan dan 65 Kelurahan. Hal ini membuat kota administrasi Jakarta Selatan terus berbenah baik dari segi pelayanan publik maupun sistem informasi yang berbasiskan Smart City Jakarta melalui situs resmi Pemkot Administrasi Kota Jakarta Selatan yaitu selatan.jakarta.go.id. Pelayanan sistem informasi Smart Goverment menjadi kebutuhan pemerintah untuk memberikan informasi cepat, efektif dan efisien. Saat ini kota administrasi Jakarta Selatan dipimpin oleh Marullah Matali, Lc., M.Ag yang menjabat sebagai wali kota Jakarta Selatan sejak 5 Juli 2018.

(62)

3.1.1 Identitas Wilayah Kota Administrasi Jakarta Selatan Saat ini kantor Walikota Administrasi Jakarta Selatan berada di Jalan Prapanca Raya No. 9, Jakarta Selatan, Indonesia 12170. Telepon: +6221 72789162 dan E-mail: kominfotikjs@jakarta.go.id.

Lambang Kotamadya Jakarta Selatan berbentuk perisai lima didalamnya terlukis pohon Rambutan dan buah Rambutan Rapiah (Flora) serta burung Gelatik (Fauna) yang mengandung arti alam lingkungan yang hijau dan teduh yang melambangkan persatuan, kekuatan dan ketenangan serta kebersamaan.

Di bawah gambar buah rambutan tertulis nama flora dan fauna tersebut yaitu “RAMBUTAN RAPIAH – BURUNG GELATIK” dan dibawah perisai lima terdapat tulisan “ KOTA ADMINISTRASI JAKARTA SELATAN”. Guna menunjukkan bahwa gambar tersebut merupakan lambang dari Kota Administrasi Jakarta Selatan.

(63)

Gambar 3.1 Lambang Kota Administrasi Jakarta Selatan

Secara geografis, kota administrasi Jakarta Selatan terletak pada 106’22’42 Bujur Timur (BT) sampai dengan 106’58’18 BT, dan 5’19’12 Lintang Selatan (LS). Luas wilayah kota administrasi Jakarta Selatan adalah 145,37 km2 atau 22,41% dari luas DKI Jakarta. Hal ini disesuaikan dengan Keputusan Gubernur KDKI Nomor 1815 tahun 1989, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

 Sebelah Utara : Banjir Kanal Jl. Jenderal Sudirman Kecamatan Tanah Abang, Jl. Kebayoran Lama dan Kebun Jeruk

 Sebelah Timur : Kali Ciliwung

 Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kota Administrasi Depok

 Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Ciledug, Kota Administrasi Tangerang

Gambar

Tabel 1.1 Tabel Informan ............................................................
Gambar 3.1 ...................................................................................
Tabel 1.1 Tabel Informan  No.  Informan  Informasi yang
Gambar 2.1 Kerangka Pikir
+3

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis panjatkan kehadiat Allah SWT, karena atas Kasih dan Sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian ini dengan judul “

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan subjective well- being orang dewasa dengan HIV/AIDS (ODHA). Pendekatan pada penelitian ini menggunakan metode

Berdasarkan hasil penelitian, secara keseluruhan informan utama (ODHA) menyatakan bahwa HIV AIDS adalah penyakit yang mematikan dan dapat ditularkan kepada orang lain.. Informan

Melalui mindfulness, penelitian ini akan memfokuskan pada peningkatan kualitas hidup dengan melatih ODHA untuk dapat menyadari, menerima pikiran, dan perasaan serta

Puji syukur penulis panjatkan kehadiat Allah SWT, karena atas Kasih dan Sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian ini dengan judul

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan rahmat dan anugrahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “ Perilaku Orang Dengan HIV

16 Self stigma bagi ODHA merupakan bentuk internalisasi stigma, dimana seseorang melabeli dirinya sebagai tidak dapat diterima oleh masyarakat karena memiliki masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana coping stres yang dilakukan ODHA?, faktor apa sajakah yang berpengaruh dalam proses coping stress?, hal-hal apa sajakah