Penelitian ini akan dibagi menjadi beberapa sub judul proses resiliensi diri pada ODHA yaitu, tahap mengalah (succumbing), tahap bertahan (survival), tahap pemulihan (recovery), tahap berkembang (thriving). Peneliti menemukan beberapa informasi terkait proses resiliensi diri, faktor-faktor resiliensi, serta stigma dan diskriminasi yang dialami klien yang diuraikan sebagai berikut:
4.2.1 Proses resiliensi
4.2.1.1 Tahap mengalah (succumbing)
Kondisi mengalah yang dialami klien ketika dihadapi dengan situasi yang sangat menekan dirinya. Klien menyadari kemalangan yang dihadapinya, pada tahap ini klien memiliki potensi depresi yang sangat besar. Hal ini dialami oleh klien WL, pada kutipan wawancara berikut ini:
“Pertama kali, sebenernya kalo dibilang pertama kali ya.. kaget ya. Tapi waktu itu sih, ngga langsung nangis-nangis gitu sih engga ya. Sempet nangis-nangis, tapi lebih mikirnya ke kondisi almarhum suami ku yang lagi sakit.”
“Aku engga sampe depresi gitu sih. Tapi justru dari aku ga ngerasa diawal pertama kali aku tau status aku ini, jadi aku pendam sendiri aja. Di tahun 2019 perasaan kecewa, sedih dan terpukul ini justru baru muncul. Selama ini aku pendam, akhirnya meledak juga kaya bom waktu. Perasaan aku sedih, kecewa kenapa harus aku nerima keadaan kaya gini, rasanya berat banget ngadepin kenyataan yang kaya gini. Aku sering banget nangis sendiri, aku nyalahin almarhum, nyalahin keluarganya”.
Hal ini juga dialami klien EP yang diungkapkan , pada kutipan wawancara berikut ini:
“Pertama kali aku tau status aku, ya perasaannya campur aduk ya, gajelas. Rasanya dunia ini udah kaya kiamat. Tapi berhubung dokternya anak aku ini orangnya baik. Jadi dia yang ngasih semangat kita”. “
“Aku engga keluar rumah sekali.Dampaknya buat aku yang pertama itu, aku jadi minder sama diri aku sendiri. Aku sampai dititik engga keluar rumah sama sekali, engga aktivitas sama sekali, istilahnya keluar rumah itu ya keluar rumah, cuma ke rumah sakit, langsung balik lagi ke rumah, engga ngumpul sama orang-orang kaya gini. Itu aku benar-benar menutup diri, ya kita
menjauh dari orang-orang. Itu buat mental kita itu down”.
Hal yang sama dialami oleh klien TH yang diungkapkan, pada kutipan wawancara berikut ini:
“Hancur banget, apalagi aku dapat stigma dari keluargaku, dan itu benar-benar terasa. Aku kan seorang muslim ya, dan kakakku kebetulan termasuk ke muslim yang syar’i banget.”
“Dokter kasih aku pengobatan dan vitamin selama 2 minggu perawatan. Tadinya indera pengecapan ku sama sekali engga bisa merasakan rasa apapun, dalam hati aku bilang, “Tuhan kok jahat sekali kasih penyakit sejahat ini”.
4.2.1.2 Tahap bertahan (survival)
Klien belum sepenuhnya menerima kondisi menekan dan kemalangan yang dialaminya, tetapi klien bertahan dengan situasi yang dihadapinya. Hal ini dialami oleh klien WL, pada kutipan wawancara berikut ini:
“Pas di 2009, aku tau status positif aku, aku mikirin anak-anak yang masih kecil. Yang pertama umur 4 tahun, yang kecil baru umur 2 tahun, dua-duanya positif HIV, apalagi yang pertama juga TBC. Aku
bertahan mikirin kesehatan aku sama anak-anak dulu yang utama, jadi aku fokus di perawatan TBC selama 6 bulan, rutin minum obat yang diresepin dokter buat aku sama anak aku yang pertama”.
Hal ini juga dialami klien EP yang diungkapkan , pada kutipan wawancara berikut ini:
“Ya balik lagi ya, karena aku ngelihatnya ke anak. Aku mikirnya, kalo aku engga sehat, dan engga ada, anak aku mau sama siapa. Awalnya dari situ, aku sehatin dia, aku juga harus sehat. Dia juga udah tau waktunya dia minum obat, jadi udah engga ada drama-drama dan segala macamnya”.
Hal yang sama dialami oleh klien TH yang diungkapkan, pada kutipan wawancara
berikut ini:
“Tapi ya, aku bersyukur banget kakak aku mau nolongin aku pertama kali, padahal kalau dipikir aku ini kan ibaratnya kepapar dari perilaku aku yang buruk juga kan. Dia bantu aku, dia pengen adiknya ini bisa tetep sehat dan aktivitas normal. Di hari ke-16 aku pulang, momen pertama itu adalah makan gado-gado dan nasi panas, indera pengecapku bisa lagi ngerasain rasa kacang yang ada di gado-gado itu. Aku bersyukur banget saat itu karena udah dikembaliin lagi. Disitu aku sempet berpikir, apa ini yang dinamakan dengan kehidupan kedua, turning pointnya yang bikin aku berpikir aku harus sembuh dan sehat”.
4.2.1.3 Tahap pemulihan (recovery)
Pada tahap ini, klien perlahan menerima keadaan yang menimpanya. Klien mulai bisa mengendalikan kondisi psikisnya secara lebih baik dan wajar. Klien juga beradaptasi dengan situasi walaupun masih ada perasaan negatif yang dirasakan. Hal ini dialami oleh klien WL, pada kutipan wawancara berikut ini:
“Semenjak ikut KDS itu, ngeliat teman-teman yang sama punya status sama, mereka berjuang dan bisa kembali lagi di masyarakat. Kan kalau sama KDS gitu kita sama-sama menguatkan ya, jadi penerimaan diri aku sama status positif aku ini semakin lama semakin baik. Makanya, dari situ aku mulai merintis masuk ke LSM yang bergerak di isu HIV/AIDS, barangkali aku bisa bantu teman-teman yang lain dengan status positif yang sama kaya aku. Di LSM gitu juga jadi wadah buat aku mengembangkan kemampuan aku terutama cara aku menyikapi anak-anak aku yang positif juga. Aku mikirin masa depan mereka”.
Hal ini juga dialami klien EP yang diungkapkan , pada kutipan wawancara berikut ini:
“Yang ada dipikiran aku cuma anak, sehatnya aku juga buat sehatnya anak-anak. Walaupun anak aku yang pertama ini cuma tau kalau ibunya punya penyakit kelainan darah aja. Karena buat aku, ada jenjangnya untuk anak aku itu tau secara seutuhnya. Aku mulai menata diri, untuk diri aku dan masa depannya anak-anak. Aku pengen anak-anak aku sama kaya anak yang lainnya.”
“Aku mulai ikut LSM itu sekitar tahun 2015, karena ngelihat teman ku yang positif bisa sehat, bagus badannya,ketika udah stabil dan pemulihan pasca drop diawal pengobatan, bahkan yang lain bisa sampai kerja. Mulai dari situ sih ya, aku mikirnya kita ini masih bisa dan istilahnya kepakai di masyarakat”.
Hal yang sama dialami oleh klien TH yang diungkapkan, pada kutipan wawancara
berikut ini:
“Sebenernya sulit sih untuk nerima gitu ya, siapa sih yang mau kena penyakit kaya gitu, kan engga bisa sembuh, selamanya aku hidup sama virus yang ada di badan aku. Cuma diawal aku itu engga sendiri ada kakak aku, ditambah lagi aku gabung KDS di 2012, terus aku aktif juga setelah itu di LSM sampe sekarang di YPJ, banyak support dari lingkungan aku, walaupun harus ada pahitnya dari keluarga aku juga, aku jadi ngerasa banyak orang lain yang menaruh harapan di aku, makanya walaupun berat, aku muali bodo amat sama apa kata orang yang penting, aku sehat dulu. “Untuk keluar dari masalah, aku banyak belajar dari pengalaman teman-teman di LSM. Kaya dari temen aku yang bikin buku itu, aku jadi ngerasa walaupun aku kaya gini, aku masih bisa berkarya seenggaknya kerja kaya dulu. Kalo soal ekonomi, aku alhamdulillahnya selalu berkecukupan, aku juga orangnya mau kerja”.
4.2.1.4 Tahap berkembang (thriving)
Tahap terakhir pada proses resiliensi yang dialami ODHA yaitu berkembang. Klien mampu bangkit dan melampaui lebih baik lagi dari kondisi sebelumnya. Hal ini dialami oleh klien WL, pada kutipan wawancara berikut ini:
“Kalau aku ya ngeliatnya, ke kualitas hidupnya ya, yang tadi agak-agak cuek, ya sekarang lebih diperhatiin lagi. ya kalau soal makanan mah kita masih biasa, sama aja, sama kaya orang lain. Cuma lebih kaya pas kita liat teman-teman ke rumah sakit, dulu sih aku sempet ngerasa sendiri pas belum tau, tapi ternyata aku ngerasa lebih beruntung, karena banyak lebih susah dari aku, kaya dulu ditinggal suami, engga punya duit, tempat tinggal, itu sama kaya aku dulu juga gitu. Cuma aku lebih ke penerimaan dirinya sih, tapi memang ada masa-masanya kita itu ngedrop banget sama situasi kayak gini kenapa sih aku bisa kaya gini, tapi semua orang itu kan beda-beda penerimaan dirinya, aku sama teman-teman yang positif lainnya diajarin untuk cari pengalihan”.
Hal ini juga dialami klien EP yang diungkapkan , pada kutipan wawancara berikut ini:
“Ya sekarang mah, kalo buat aku ya, aku jadi lebih bisa mawas diri lagi. Dari sakit ini, aku jadi banyak wawasan dari luar. Banyak minus dan plusnya sih, tapi banyakan plusnya. Tapi orang lain itu kan mikirnya, orang kaya kita itu sampah masyarakat. Plusnya juga kita bisa bantu orang lain, wawasannya lebih terjaga. Aku juga lebih suka jadi pendamping buat Ibu hamil sama balita yang baru, karena banyak ibu hamil
sekarang ini yang belum teredukasi, jadi posisi aku ini banyak ngasih wawasan untuk mereka”
Hal yang sama dialami oleh klien TH yang diungkapkan, pada kutipan wawancara
berikut ini:
“Kalau perubahan sih dari awal sebenarnya engga ada,aku tetep jadi pribadi yang sama, tapi pola hidup aku jadi lebih sehat, itu emang iya. Dulu pertama kali positif, aku bodo amat sekali dengan apa kata orang, engga ada pikiran apapun tentang orang lain. Aku fokus pengobatan, setelah selesai pengobatan, mereka bisa melihat sendiri. Semakin mereka tau aku, semakin mereka dapat informasi. Kalau mereka mau tau tentang aku, ya aku kasih tau. Kalau engga mau tau, ya aku juga engga ngasih tau”.
4.2.2 Faktor-faktor resiliensi 4.2.2.1 I Have
I Have adalah salah satu faktor yang mencakup dukungan dari luar individu. Individu merasa memiliki keluarga atau orang lain yang dipercaya dapat mendukung dan peduli terhadap dirinya. Hal ini dialami oleh klien WL, pada kutipan wawancara berikut ini:
“Dari awal sampe saat ini yang nguatin banget itu ya anak-anak, setelah itu baru keluarga aku”
“aku kasih tau ke keluarga aku, karena yang bantu aku selama perawatan sakitnya suami aku sampe dia
meninggal, itu yang bantu ya keluarga. Untungnya, keluarga ku nerima aja”.
“Ya buat aku itu anak-anak itu yang utama, mungkin nomor duanya, KDS itu sih yang bisa nguatin aku waktu itu”.
Hal ini juga diperjelas oleh RK selaku keluarga dari klien WL, pada kutipan wawancara berikut ini:
“aku paling bantuin jagain adik-adik, nemenin adik main, bantuin Bunda sama Ayah, aku juga sekarang suka masakin Bunda, Kak. Karena aku kan jurusan tata boga di SMK aku sekarang. Oiya, Kak.. kita bertiga juga saling ingetin untuk minum obat. Bunda juga suka ajak aku acara Bunda yang bahas tentang penyakit kita gitu. Aku juga ikut KDS, Bunda ngga pernah maksa sih, Kak. Kalo aku mau ya Bunda mah ayo, kalo engga mau ya gapapa juga Kak. Pokoknya nurut sama Bunda, di sekolah juga ngga aneh-aneh”.
Hal ini juga dialami klien EP yang diungkapkan , pada kutipan wawancara berikut ini:
“Tapi tetap aja, aku sekarang lebih nyaman karena ada tambahan orang lain lagi, terutama keluarga aku sendiri yang tau sama status, kondisi, dan perjuangan aku selama ini”.
“Aku yang paling menguatkan itu anak. Karena ngelihat dia ya, jadi buat aku, dengan melihat kondisi dia yang sama kaya aku, aku jadi lebih semangat, lebih kuat juga”.
Hal ini diperjelas oleh AS selaku keluarga dari klien EP, pada kutipan wawancara
berikut ini:
“Nurut sama Ibu, bantuin Ibu, sama nolongin Adik aku. Kan dia masih kecil ya, dia SD, aku SMP. Badannya juga kecil banget daripada aku, jadinya aku mau ngga mau ngalah sama Adik”.
Hal yang sama dialami oleh klien TH yang diungkapkan, pada kutipan wawancara
berikut ini:
“Sebelum aku tau LSM gitu, ya kakak aku yang nyemangatin aku, aku juga dapet semangat secara ga langsung dari ibu aku yang sakit stroke, berjuang buat tetep sehat. Kakak aku ngingetin aku untuk minum obat, untuk kontrol juga, jadi buat aku kaya masih ada yang mengharapkan aku tetep ada disini”.
Hal ini diperjelas oleh AD selaku perwakilan keluarga dari klien TH, pada kutipan wawancara berikut ini:
“Dulu pas tau yaa, aku posisiin diri sebagai teman untuk kasih penguatan buat dia. Yaa dengerin curhatannya dia, gitu-gitu Dek. Kasih semangat, karena sebetulnya yang temen-temen ODHIV butuhkan itu ya support, gimana caranya supaya kita yang dipercaya sama mereka ini bisa meyakinkan kita ini ada untuk mereka”.
4.2.2.2 I Am
I Am adalah faktor ini berasal dari dalam diri individu, mencakup potensi diri yang bersifat positif. Individu merasa lebih berharga, bertanggung jawab, optimis, percaya diri, bahkan mempunyai empati terhadap orang lain. Hal ini dialami oleh klien WL, pada kutipan wawancara berikut ini:
“Kalau yang lain, waktu itu sih belum ada yang tau sih ya sama status aku. Aku emang diajak untuk ikut KDS, tapi aku pikir buat apa juga gitu kan. Setelah 6 bulan aku selesai pengobatan TB, aku baru mulai ikut KDS. Awalnya aku kaget, karena ternyata di KDS ini ada teman kecil aku, dia positif tapi udah meninggal. Tim pendamping juga sempet ngobrol sama aku, tadinya aku mau dikenalin sama A ini yang ternyata temen kecil aku, tapi ga sempet terus. Mungkin kalau kita bisa ketemu, mungkin bisa beda yah keadaannya, karena kita bisa sama-sama saling menguatkan”.
Hal ini juga dialami klien EP yang diungkapkan , pada kutipan wawancara berikut ini:
“Aku banyak nerima dukungan setelah aku kenal dan mulai ikut LSM tahun 2015. Pertama kali aku itu masuk di YPI (Yayasan Pelita Ilmu). Awalnya aku engga sengaja ketemu sama teman ku yang di LSM. Ngelihat dia itu perasaanya, kok bisa ya dengan statusnya yang positif, badanya bisa tetap bagus gitu, bisa tetap kerja juga. Lebih kearah secara engga langsung gitu, teman-teman lain yang statusnya sama kaya aku, jadi memotivasi aku”.
Hal yang sama dialami oleh klien TH yang diungkapkan, pada kutipan wawancara berikut ini:
“Disitu aku sempet berpikir, apa ini yang dinamakan dengan kehidupan kedua, turning pointnya yang bikin aku berpikir aku harus sembuh dan sehat”.
“…yang penting aku tetap usaha buat sehat, aku berobat dan perawatan sana sini”.
4.2.2.3 I Can
I Can adalah faktor resiliensi yang berkaitan dengan kemampuan individu dalam memiliki hubungan interpersonal dan keterampilan-keterampilan sosial, seperti cara berkomuikasi, memecahkan permasalahan, dan mengelola perasaan yang dialaminya. . Hal ini dialami oleh klien WL, pada kutipan wawancara berikut ini:
“Semenjak ikut KDS itu, ngeliat teman-teman yang sama punya status sama, mereka berjuang dan bisa kembali lagi di masyarakat. Kan kalau sama KDS gitu kita sama-sama menguatkan ya, jadi penerimaan diri aku sama status positif aku ini semakin lama semakin baik. Makanya, dari situ aku mulai merintis masuk ke LSM yang bergerak di isu HIV/AIDS, barangkali aku bisa bantu teman-teman yang lain dengan status positif yang sama kaya aku. Di LSM gitu juga jadi wadah buat aku mengembangkan kemampuan aku terutama cara aku menyikapi anak-anak aku yang positif juga. Aku mikirin masa depan mereka..”.
“Aku senang sih ya, karena aku pikir, aku pelan-pelan harus bangkit buat anak-anak, aku juga pengen bermanfaat buat orang lain, apalagi di masyarakat”.
Hal ini juga dialami klien EP yang diungkapkan , pada kutipan wawancara berikut ini:
“Dari LSM ini, sampai akhirnya aku terjun di masyarakat sini. Cuma memang mereka disini taunya aku ini sibuk bantu di rumah sakit, kayak aku kan kadang suka ke RSUK Tebet atau RS Budi Asih. Baru mulai turun ke PKK, Posyandu, sampai ke Jumantik. Jadi merembet lah kita. Aku mulai terbuka lagi sama masyarakat, tapi bukan open status. Aku cuma pelan-pelan kembali lagi ke masyarakat, aku juga pengen bermanfaat di masyarakat kaya teman-teman aku lainnya di LSM itu”.
Hal yang sama dialami oleh klien TH yang diungkapkan, pada kutipan wawancara berikut ini:
“Setelah itu mulai hati-hati, belajar hidup sehat, dan kenal beberapa LSM. Ternyata teman-temanku banyak yang orang LSM, aku tidak tahu ya awalnya kalau meraka banyak yang gabung LSM. Setelah kejadian itu aku dimasukkan ke kelompok pendampingan ODHA. Dulu pertama aku dari Yayasan Inter medika, terus dia pisah jadi Yayasan Pesona Jakarta (YPJ) dan Yayasan Pelita Ilmu (YPI), setelah 2 tahun di YPI aku memutuskan untuk bergabung ke YPJ dan masuk ke LSM bagian pendampingan”.
“Kaya dari temen aku yang bikin buku itu, aku jadi ngerasa walaupun aku kaya gini, aku masih bisa berkarya seenggaknya kerja kaya dulu. Kalo soal ekonomi, aku alhamdulillahnya selalu berkecukupan, aku juga orangnya mau kerja”.
Stigma dan diskriminasi masih menjadi salah satu faktor penghambat dalam upaya penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS. Ada dua tipe stigma yaitu stigma masyarakat (Public Stigma) dan stigma diri (Self Stigma). Stigma masyarakat adalah stigma yang dialami seseorang atau kelompok yang dikucilkan oleh seseorang atau sekelompok orang lainnya yang merasa lebih unggul dari kelompok tersebut. Stigma diri mengacu pada individu yang melabeli dirinya sendiri sebagai sosok yang tidak bisa diterima di masyarakat (Patrick & Amy, 2002). Stigma dan diskriminasi juga disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya takut, tidak menarik, kegelisahan, asosiasi, dan lain-lain.
Adapun pengalaman sebagai korban stigma dan diskriminasi, yang dialami klien WL diungkapkan, pada kutipan wawancara berikut ini:
“Kalau stigma dan diskriminasi yang aku terima sih lebih yang ngerasain ya suami aku yang sekarang. Karena dari awal aku kan turun langsung di lingkup kerja yang udah terbuka sama isu HIV/AIDS. Nah suami aku ini kan kerja di Lapas Salemba ya, dulu pas pacaran. Suami ku ini sempet dijauhin sama satu ruangan, dia kan bagian kepegawaian otomatis ruangannya jadi satu. Nah satu ruangan itu kaya ngejauh dari dia. Kaya dulu dia pernah kena tomcat, terus kan ada bekasnya, pada nanyain kenapa tuh kaya gitu, pada khawatir karena pacaran sama aku yang ODHA. Justru suami ku yang dapat diskriminasi dari rekan kerjanya. Lewat suami ku, aku dibilang penyebar virus. Kalau aku sih yaudah lah, bodo amat. Aku juga sempet ga boleh masuk, padahal aku dulu ada di
program TB HIV di Rutan/Lapas, gara-gara itu. Aneh, padahal yang buka program itu kepala kliniknya. Nah, kalau di Rutan Cipinang itu beda, pas aku masuk dan mereka tau status aku, mereka biasa aja. Sampe akhirnya, suami ku dimutasi ke Kanwil pas anak aku yang ketiga lahir, dia diikutin pelatihan tentang HIV itu dari kantor. Ya dia biasa aja, karena dia udah tau juga dari aku kan”.
“Lingkungan aku yang sekarang lebih kondusif sih dibanding yang dulu. Karena yang dulu teman kecil aku meninggal dengan status positif HIV, jadi orang sana geger dan untuk ngehindarin itu, aku rasa lebih baik aku tidak open status, walaupun lingkungan aku yang sekarang lebih kondusif”.
Hal ini juga dialami klien EP yang diungkapkan , pada kutipan wawancara berikut ini:
“Ya itu, aku lebih sering denger kalau dari lingkungan itu ODHA ini sampah masyarakat. Cuma ya aku buktiin aja tanpa perlu aku ngomong, aku bisa aktif dan bermanfaat untuk lingkungan, entah lewat bantu-bantu atau yang lain”.
“Aku engga keluar rumah sekali. Dampaknya buat aku yang pertama itu, aku jadi minder sama diri aku sendiri. Aku sampai dititik engga keluar rumah sama sekali, engga aktivitas sama sekali, istilahnya keluar rumah itu ya keluar rumah, cuma ke rumah sakit, langsung balik lagi ke rumah, engga ngumpul sama orang-orang kaya gini. Itu aku benar-benar menutup diri, ya kita menjauh dari orang-orang. Itu buat mental kita itu down”.
Hal yang sama dialami oleh klien TH yang