• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Landasan Teori 1 Teori Kemiskinan

Kemiskinan secara asal penyebabnya terbagi menjadi dua macam. Pertama adalah kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor adat atau budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu sehingga membuatnya tetap melekat dengan kemiskinan. Kemiskinan seperti ini bisa dihilangkan atau sedikitnya bisa dikurangi dengan mengabaikan faktor-faktor yang menghalanginya untuk melakukan perubahan ke arah tingkat kehidupan yang lebih baik. Kedua adalah kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang terjadi akibat ketidakberdayaan seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu terhadap sistem atau tatanan sosial yang tidak adil, karenanya mereka berada pada posisi tawar yang sangat

lemah dan tidak memiliki akses untuk mengembangkan dan membebaskan diri mereka sendiri dari perangkap kemiskinan (Badan Pusat Statistik, 2012).

Untuk memahami lebih jauh tentang kemiskinan, Friedmann (1992) mengemukakan beberapa kosa kata dalam kajian kemiskinan seperti berikut :

1. Poverty line (garis kemiskinan). Yaitu tungkat konsumsi rumah tangga

minimum yang dapat diterima secara sosial. Ia biasanya dihitung berdasarkan income yang dua pertiganya digunakan untuk “keranjang pangan” yang dihitung oleh ahli statistik kesejahteraan sebagai persediaan kalori dan protein utama yang paling murah.

2. Absolute and relative poverty (kemiskinan absolut dan relatif).

Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang jatuh dibawah standar konsumsi minimum dan karenanya tergantung pada kebaikan (karitas/amal). Sedangkan relatif adalah kemiskinan yang eksis diatas garis kemiskinan absolut yang sering dianggap sebagai kesenjangan antara kelompok miskin dan non-miskin berdasarkan income relatif.

3. Deserving poor adalah kaum miskin yang mau peduli denga harapan

orang-orang non-miskin , bersih, bertanggung jawab, mau menerima pekerjaan apa saja demi memperoleh upah yang ditawarkan.

4. Target population adalah kelompok orang tertentu yang dijadikan sebagai

objek dan kebijakan serta program pemerintah. Mereka dapat berupa rumah tangga yang dikepalai perempuan, anak-anak, buruh tani yang tak punya lahan, petani tradisional kecil, korban perang dan wabah, serta penghuni kampung kumuh perkotaan.

Salim (1982) mengemukakan ada lima ciri penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan, yaitu pertama tidak menguasai faktor produksi seperti tanah, modal, ataupun ketrampilan, sehingga kemampuan untuk memperoleh pendapatan terbatas. Kedua, tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produktif dengan kekuatan sendiri. Ketiga, tingkat pendidikan umumnya rendah, karena waktu tersita untuk mencari nafkah untuk mendapatkan penghasilan. Keempat, kebanyakan tinggal di pedesaan. Kelima, yang hidup di kota masih berusia muda dan tidak didukung dengan ketrampilan yang memadai.

Kemiskinan sebagai situasi serba kekurangan dari penduduk yang terwujud dalam dan disebabkan oleh terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pengetahuan dan keterampilan, rendahnya produktivitas, rendahnya pendapatan, lemahnya niai tukar hasil produksi orang miskin dan terbatasnya kesempatan berperan serta dalam pembangunan (Situmorang, 2008).

Sedangkan Kartasasmita (1996) mendefinisikan kemiskinan sebagai masalah pembangunan yang ditandai dnegan pengangguran dan keterbelakangan yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan pendapatan.

Ada 14 kriteria miskin menurut standar BPS, yaitu :

1. Luas bangunan lantai tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang. 2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.

3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar /bersama-sama denganrumah tangga lain.

6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.

7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.

8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali seminggu. 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru tiap tahun.

10.Hanya sanggup makan satu/dua kali sehari

11.Tidak sanggup membayar pengobatan di puskesmas/poliklinik.

12.Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah : petani dengan luas lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp 600.000 per bulan.

13.Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolah/tidak tamat SD/tamat SD

14.Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan minimal Rp 500.000 seperti sepeda motor kredit/non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Jika minimal 9 variabel terpenuhi maka suatu rumah tangga dikatakan miskin. Untuk mengukur tingkat kemiskinan digunakan kriteria yaitu :

1. Garis Kemiskinan Indonesia menurut BPS 2014 dengan pendapatan Rp 312.300 atau setara $25 USD per bulan.

2. Upah Minimum Kabupaten Serdang Bedagai sebagai indikator pendapatan minimum yang diterima oleh penduduk. Upah Minimum Kabupaten Serdang Bedagai adalah Rp 1.635.000.

2.3.2 Pendapatan

Menurut Suratiyah (2009) pendapatan kotor atau penerimaan ialah seluruh pendapatan yang diperoleh dari usaha tani selama satu periode diperhitungkan dari hasil penjualan atau penaksiran kembali yang diukur dalam satuan Rupiah (Rp). Pendapatan kotor atau penerimaan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

TR = Y x Py Dimana : TR = Pendapatan Kotor/Penerimaan

Y = Jumlah produksi (kg) Py = Harga produk (Rp/kg)

Menurut Rahardja dan Mandala (2006), biaya produksi merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan dalam melakukan kegiatan produksi. Biaya total sama dengan biaya tetap yang ditambah dengan biaya variabel. Biaya tetap (fixed cost) merupakan biaya yang besarnya tidak tergantung pada jumlah produksi, contohnya biaya barang modal, gaji pegawai, bunga pinjaman, bahka pada saat perusahaan tidak berproduksi (Q = 0), biaya tetap harus dikeluarkan dalam jumlah yang sama. Biaya variable (variable cost) adalah biaya yang besarnya tergantung pada tingkat produksi, contohnya upah buruh, biaya bahan baku.

TC = FC + VC Dimana : TC = Biaya total

FC = Biaya tetap VC = Biaya variabel

Menurut Ahmad (2006), pendapatan usaha tani merupakan selisih antara penerimaan dengan semua biaya yang dikeluarkan selama melakukan kegiatan

usaha tani. Pendapatan suatu usahatani dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Pd = TR – TC Dimana : Pd = Pendapatan bersih usahatani

TR = Total penerimaan TC = Total biaya 2.3.3 Ketimpangan Pendapatan

Gini Ratio merupakan suatu alat untuk mengukur tingkat kepincangan pembagian pendapatan relatif antar penduduk suatu negara atau wilayah yang telah diakui secara luas. Indeks Gini Ratio dengan asumsi-asumsi tertentu dapat pula digunakan untuk bahan analisis perbandingan relatif antar masyarakat dari beberapa negara atau wilayah dengan kecenderungan kepincangan pembagian pendapatan antar anggota masyarakat tertentu. Koefisien Gini (Gini Ratio) adalah parameter yang digunakan untuk mengukur ketimpangan distribusi pendapatan. Koefisien Gini bernilai antara 0-1 yang merupakan rasio antara luas area antara kurva Lorenz dengan garis kemerataan sempurna (Syamsuddin, 2011).

% Kumulatif Penduduk

Gambar 1. Bentuk Arsiran Kurva Lorenz % Kumulatif

Dari gambar diatas, sumbu horizontal menyatakan persentase kumulatif penduduk, sedangkan sumbu vertikal menyatakan bagian dari total pendapatan yang diterima oleh masing-masing persentase penduduk tersebut. Sedangkan garis diagonal ditengah disebut “garis kemerataan sempurna”. Karena setiap titik pada garis diagonal merupakan tempat kedudukan persentase penduduk yang sama dengen persentasi penerimaan pendapatan. Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari garis diagonal maka semakin tinggi tingkat ketidakmerataannya. Sebaliknya, semakin dekat jarak kurva Lorenz dari garis diagonal maka semakin tinggi tingkat pemerataan distribusi pendapatannya. Pada gambar diatas berketimpangan digambarkan sebagai daerah yang diarsir (Halim, 2012).

Indeks Gini Ratio dapat dihitung dengan rumus berikut: GR= 1- ∑�= fi (Yi – 1 + Yi)

Dimana :

GR = Angka Koefisien Gini (Gini Ratio) fi = Proporsi jumlah Rumah Tangga

Yi = Proporsi jumlah pendapatan RT kumulatif

i = Indeks yang menunjukkan nomor sampel

Nilai indeks gini ada diantara 0 - 1. Semakin tinggi nilai indeks Gini menunjukkan ketidakmerataan pendapatan yang semakin tinggi. Jika nilai indeks gini adalah 0 maka artinya terdapat kemerataan sempurna pada distribusi pendapatan, sedangkan jika bernilai 1 berarti terjadi ketidakmerataan pendapatan yang sempurna. Kategori tingkat pendapatan berdasarkan nilai dari indeks Gini (Gini Ratio) dibagi kedalam tiga kriteria sebagaimana tertera pada tabel 2 berikut ini :

Tabel 2. Indikator Ketimpangan Gini Ratio

Nilai Gini Ratio Tingkat Ketimpangan

< 0,35 Rendah

0,35 - 0,5 Sedang

> 0,5 Tinggi

Sumber : Todaro, 1994

Menurut BPS (2012), selain penggunaan koefisien Gini (Gini Ratio) yang dilengkapi dengan kurva Lorenz, tingkat ketimpangan distribusi pendapatan juga dapat diukur dengan menggunakan kriteria yang ditentukan Bank Dunia (World Bank). Ketimpangan distribusi pendapatan yang diukur dengan kriteria Bank Dunia (World Bank) ini diperoleh dengen menghitung persentase jumlah pendapatan dari 40% kelompok penduduk berpendapatan rendah dibandingkan dengan total pendapatan seuruh penduduk. Bank Dunia (World Bank) mengklasifikasikan tingkat ketimpangan berdasarkan tiga kategori seperti yang terlihat pada Tabel 3 berikut ini :

Tabel 3. Indikator Ketimpangan Menurut Bank Dunia (World Bank) Klasifikasi Distribusi Pendapatan Ketimpangan Tinggi 40% penduduk berpendapatan rendah

menerima < 12% dari total pendapatan Ketimpangan Sedang 40% penduduk berpendapatan rendah

menerima 12%-17% dari total pendapatan Ketimpangan Rendah 40% penduduk berpendapatan rendah

menerima > 17% dari total pendapatan Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012

Dokumen terkait