• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka 1 Nelayan

Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki pantai terpanjang di dunia, dengan garis pantai lebih dari 81.000 km. Dari 67.439 desa di Indonesia, kurang lebih 9261 desa dikategorikan sebagai daerah pesisir. Sebagian besar penduduknya miskin. Desa-desa pesisir adalah kantong-kantong kemiskinan struktural yang potensial (Kusnadi, 2002).

Sektor kelautan dan perikanan merupakan merupakan salah satu sektor ekonomi yang memiliki peranan dalam pembangunan ekonomi nasional, khususnya dalam penyediaan bahan pangan protein, perolehan devisa, dan penyediaan lapangan kerja. Pada saat krisis ekonomi, peranan sektor ekonomi perikanan semakin signifikan, terutama dalam hal mendatangkan devisa. Akan tetapi ironisnya sektor perikanan selama ini belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah dan kalangan pengusaha, padahal bila sektor perikanan dikelola secara serius akan memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pembangunan ekonomi nasional serta dapat mengentaskan kemiskinan masyarakat Indonesia terutama masyarakat nelayan dan petani (Mulyadi, 2005).

Provinsi dengan jumlah nelayan paling banyak di Indonesia ialah Provinsi Jawa Timur (mencapai lebih dari 334.000 nelayan), diikuti Jawa Tengah (lebih dari 203.000 nelayan) dan Jawa Barat (sekitar 183.000 nelayan). Sulawesi Selatan,

Sumatera Utara, dan Aceh berturut-turut menjadi provinsi dengan jumlah nelayan ke-4, ke-5, dan ke-6 di Indonesia (Harmadi, 2014).

Pada dasarnya, penggolongan sosial dalam masyarakat nelayan dapat ditinjau dari tiga sudut pandang. Pertama, dari segi penguasaan alat-alat produksi atau peralatan alat-alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring, dan perlengkapan yang lain), struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh. Kedua, ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya, struktur masyarakat nelayan terbagi kedalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil. Disebut nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan relatif banyak, sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya. Ketiga, dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat nelayan terbagi dalam nelayan modern dan nelayan tradisional (Kusnadi, 2002).

Nelayan dapat dibagi menjadi beberapa kategori menurut kepemilikan kapalnya (Mubyarto, 1984), yaitu :

1. Nelayan pemilik, nelayan yang memiliki kapal perahu atau kapal penangkap ikan dan dia sendiri ikut serta atau tidak ikut ke laut untuk memperoleh hasil laut.

2. Nelayan juragan, nelayan yang membawa kapal orang lain tetapi ia tidak memiliki kapal.

3. Nelayan buruh, nelayan yang hanya memiliki faktor produksi tenaga kerja tanpa memiliki perahu penangkap ikan.

Menurut Tarigan (2007), berdasarkan perahu/kapal penangkap ikan, nelayan pemilik dibagi menjadi nelayan tradisional dan nelayan bermotor. Nelayan tradisional memakai perahu tanpa mesin/motor. Bila perahu mempunyai mesin yang ditempel di luar perahu disebut perahu motor tempel, bila perahu /kapal mempunyai mesin di dalam kapal maka disebut kapal motor. Berdasarkan besarnya mesin yang digunakan diukur dengan GT (Gross Ton), kapal motor dibagi menjadi:

1. Kapal kecil, yaitu < 5 GT – 10 GT 2. Kapal sedang, yaitu 10 GT – 30 GT 3. Kapal besar, yaitu > 30 GT

Kemiskinan masyarakat pesisir bersifat multi dimensi dan disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat tersebut. Di samping itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan permodalan, budaya, dan gaya hidup. Adanya keterbatasan modal yang dimiliki nelayan skala kecil menyebabkan terjadi kecenderungan nelayan terikat pinjaman dengan pelepas uang (pedagang), bahkan hubungan antara pedagang ikan dan nelayan cenderung bersifat eksploitatif (Qoid dan Setiawan, dkk. 1993).

2.1.2 Petani

Menurut Kusnadi (1996) petani adalah seseorang yang mempunyai profesi bercocok tanam (menanam tumbuh-tumbuhan) dengan maksud tumbuh-tumbuhan dapat berkembang biak menjadi lebih banyak serta dapat dipungut hasilnya,tujuan menanam tumbuh-tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup yaitu dapat dimakan manusia dan hewan peliharaannya.

Gambaran untuk melihat tingkat kesejahteraan petani dapat ditunjukkan pada hasil Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian 2013 (SPP 2013) yang dirilis BPS pada Juli 2014. BPS mencatat pendapatan rumah tangga tani dari usaha sektor pertanian rata-rata hanya Rp 12,4 juta per tahun atau Rp 1 juta per bulan. Itu artinya, petani mengalami kesulitan untuk mencapai kesejahteraan apabila hanya mengandalkan usaha tani pada sisi budidaya saja (Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2015).

Petani berlahan sempit dapat diidentikkan dengan petani miskin di pedesaan. Artinya, rumah tangga petani berlahan sempit dan rumah tangga petani yang tidak mempunyai lahan merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Anggota masyarakat lapisan bawah ini disertai oleh berbagai keterbatasan, antara lain aksesibilitas terhadap peluang-peluang ekonomi sebagai sumber pendapatan (Nurmanaf,dkk. 2002).

Menurut Sastraatmadja (2010), berdasarkan kepemilikan tanah, petani dibedakan menjadi beberapa kelompok yaitu :

1. Petani buruh, adalah petani yang sama sekali tidak memiliki lahan sawah. 2. Petani gurem, adalah petani yang memiliki lahan sawah 0,1 sd 0,5 hektar. 3. Petani kecil, adalah petani yang memiliki lahan sawah 0,51 sd 1 hektar. 4. Petani besar, adalah petani yang memiliki lahan sawah lebih dari satu hektar.

Klasifikasi petani berdasarkan status sosial ekonomi di pedesaan yaitu :

1. Petani tanpa lahan dan modal. Petani ini paling miskin, paling rentan, dan hanya memiliki tenaga kerja.

2. Petani punya lahan sempit tanpa modal. Petani ini hanya memiliki lahan tempat berdiri rumah/gubuknya. Dia tidak dapat mengusahakan tanaman secara memadai. 3. Petani punya lahan sedang tanpa modal. Petani ini masih rendah produksinya karena tanpa modal dia susah berusaha. Petani semacam ini dapat dikembangkan dengan memberikan bantuan modal dan penyuluhan.

4. Petani punya lahan cukup dan modal cukup. Jenis petani ini hanya membutuhkan penyuluhan/inovasi baru untuk mengembangkan usahataninya.

Kelompok penduduk miskin yang berada pada masyarakat pedesaan dan perkotaan pada umumnya dapat digolongkan pada buruh tani, petani gurem, pedagang kecil, nelayan, pengrajin kecil, buruh, pedagang kaki lima, pemulung, pengemis dan pengangguran. Kelompok miskin akan menimbulkan problem yang berkelanjutan bagi kemiskinan kultural dan struktural apabila tidak ditangani secara serius terutama generasi berikutnya (Supriatna, 2000).

Dokumen terkait